... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ...

Kamis, 12 September 2013

[FF] Perjalanan Cinta & Cita-cita

Paris-Perancis, 2013
Hawa dingin menelisik belakang daun telinga. Keindahan kelap-kelip lampu di menara Eiffel ikut serta menemani malam indah sepasang suami-istri yang sedang berdiri di bawahnya sambil bergandengan tangan. Tiba-tiba sang istri terkenang kisah enam tahun silam, perbincangan di bawah langit senja benua seberang bersama sang suami, lelaki tercintanya.
“Maafkan aku. Bukan karena aku tidak cinta, tapi kita berbeda, mon chérie [1],” ujar lelaki berambut cepak bernama Ari memegang kedua bahu gadis itu dan menatap matanya tajam.
“Tapi aku yakin kita bisa, bukankah menyatukan perbedaan itu indah?” Tanya gadis itu sambil bercucuran air mata.
“Maaf aku tidak bisa. Mengertilah chérie.”

Berau-Indonesia, 2009
Panas terik yang membakar kulit. Ira berjalan menuju sebuah warung internet untuk melihat pengumuman beasiswa yang ia ajukan. Tuhan benar-benar sedang berbaik hati kala itu. Kerja kerasnya selama setahun, siang-malam membuka kitab kuning berbahasa Inggris berjudul Cliffs TOEFL Preparation Guide dan mendaftar beasiswa ke berbagai universitas di luar negeri akhirnya terbayar dengan sebuah kata “lulus”.
“Semoga semuanya berjalan lancar anakku, jaga dirimu baik-baik. Jangan lupa sama Allah, selalu minta pertolongan-Nya,” kata Ibu sambil menangis memeluk erat Ira.
Malam menjelang keberangkatan, ia merenungi perpisahannya dengan Ari setahun lalu hingga ia bangkit dan ingin melanjutkan hidup dengan pergi meninggalkan Indonesia untuk melanjutkan studynya ke Negara Kanguru.

Selasa, 10 September 2013

[FF] Saksi Mata

Perjalanan jauh antar wilayah itu sangat melelahkan. Aku sampai harus beristirahat di suatu restoran restoran di daerah BSD, Tangerang ini memang mewah sekali. Harganya mahal-mahal, tetapi aku sedang ingin makan di sini walau sampai harus menguras uangku.
            Aku duduk sendiri di sudut restoran dan berhadapan dengan kaca. Beberapa meja di sekitarku terisi oleh pelanggan. Baik pelanggan yang makan sendirian ataupun bersama dengan kenalannya, setiap meja terisi. Restorannya sedang rame di saat waktu makan siang.
            Aku memesan satu paket steak yang dilengkapi dengan salad dan kentang goreng dengan segelas ice cappuccino. Saat aku sedang menunggu pesananku dating, aku mencuri dengar pembicaraan pelanggan lainnya yang berada di seberang mejaku.
            Seorang wanita yang kuyakini usianya lebih tua dariku, berpenampilan begitu biasa saja. Berbalutkan dress panjang berwarna abu-abu, dengan rambut berantakannya yang sedikit memutih dia duduk bersama dengan seorang pria yang sepertinya seusia dengannya. Pria itu memakai topi hitam yang bagian depannya ditekuk, jaket hitam polos yang kerahnya ditegakkan hingga menutupi lehernya. Keduanya duduk dengan tidak tenang, sepertinya sedang ada yang mengawasi mereka atau apalah.

[FF] Lelaki bertopi di ujung senja

Senja itu, ada seorang laki-laki datang. Tiada kata, hanya diam saja. Annisa hanya melihatnya sekilas tanpa ada kata-kata untuknya, lelaki yang baru saja duduk disampingnya.

Annisa memilih untuk berdiam diri di bandara Sultan Mahmud Badarrudin II. Menikmati senja yang menghantarkan jingga ke peraduan terakhirnya. Menghirup sisa-sisa angin dalam paru-paru. Annisa sedang tak ingin bicara. Dia tidak bisu hanya saja sedang menikmati diam untuk beberapa waktu.

Hingga tiba waktunya, Annisa beranjak pergi. Tak peduli dengan lelaki bertopi yang sudah menemaninya sejak tadi. Lelaki itu pun tak tergerak hati untuk menahannya atau sekadar menanyakan akan kemana dia pergi.

Iya, malam sudah merayap datang. Kini, si lelaki bertopi itu hanya ditemani angin malam yang menusuk-nusuk hingga ke tulangnya.
Beberapa hari berlalu, Annisa kembali ke bandara itu. Dilihatnya lelaki bertopi itu lebih dulu memilih duduk di sana, di tempat mereka bertemu kemarin. Sebotol kopi diseduhnya hingga dasarnya. Annisa datang menghampiri dengan membawa beberapa buku sebagai temannya.

[FF] Membuka Surga

Siang itu, setelah pulang dari sekolah, Fima membongkar celengan plastik miliknya, ia congkel-congkel dengan gunting kecil miliknya. Kamarnya dikunci rapat-rapat, ia tak mau ibunya tahu apa yang dilakukannya. Celengan itu adalah pemberian ibunya dua bulan yang lalu.

“Asik, terima kasih bu. Fima janji akan rajin menabung,” Kata-kata itu kini tinggal kenangan. Janji itu Fima langgar dengan membongkar celengannya. Semua ia lakukan karena terpaksa. Fima melangkah gontai melewati pekarangan rumahnya, ia takut ketahuan ibunya kalau siang-siang keluar. Fima mengeluarkan sepedanya, kakinya menggoes dengan semangat menuju pasar.

Sampailah Fima di depan toko kue. Ia masih duduk di atas sepedanya, kemudian mengeluarkan dan menghitung kembali uangnya, ada tiga lembar uang dua puluh ribu, dan empat uang sepuluh ribu. senyumnya mengembang, keceriaan hadir dalam dirinya saat itu. Tinggal beberapa langkah lagi niatnya akan terwujud.

[FF] Teta

“Aku beruntung bisa ketemu sama kamu ….” Eros menatap tepat di kedua manik mata Teta.

Perempuan berlesung pipi itu tersipu sambil menunduk. Selalu saja kotak kalimat yang dimiliki Eros bisa membuat dirinya malu-malu seperti ini. Betapa dia sangat mengagumi laki-laki di depannya itu.

“Apa yang membuatmu beruntung bertemu denganku?”

Eros tertawa kecil. Rambut ikalnya yang sedikit panjang bergoyang ditiup angin sore. Hari ini rambut gondrongnya dibiarkan bergerak liar tanpa pengikat.
Eros berdehem kecil. “Apa, ya? Hmm—” Mengerling sedikit pada Teta, “mungkin karena kau sangat istimewa, lebih dari yang kau tahu.”

Lagi-lagi Teta tersipu. Meskipun jawaban Eros sama sekali tidak menuntaskan keingintahuannya, tapi tetap saja laki-laki itu bisa membuatnya mati kutu kesekian kalinya.

“Teta …,” panggil Eros. “kamu memang tidak setiap saat mengerti aku, begitupun sebaliknya. Kita masih memiliki banyak kekurangan satu sama lain. Tau apa yang membuatku beruntung bertemu kamu sejak tiga tahun lalu?”

[FF] Menghindar

“Bu, bapak ke mana sih?”

“Kerja lah De, kenapa tiba-tiba kamu nanyain bapak? Biasanya cuek.”

“Aku mau lihat wajah bapak.”

“Ada apa dengan wajah bapak?”

“Aku lupa wajah bapak, Bu. Habis bapak pergi dan pulang saat aku masih tidur.”

Ibu tersentak kaget mendengar perkataan anak gadis bungsunya. Sementara si bungsu berlalu dengan wajahnya yang cemberut. Gadis kecil yang kritis itu jarang berkata, namun tiap kali ia berkata seringkali membuat ibunya terbengong-bengong. Takjub. Antara kepolosan dan kecerdasannya yang melampaui usia si bungsu.

Sebulan kemudian..

[FF] Tentang Pertemuan yang tak pernah salah

Stasiun Senen, Jakarta pukul enam sore tidaklah terlalu ramai. Sandy melihat sekeliling, di setiap sudut stasiun ada saja para penumpang dengan membawa banyak sekali bawaan. Sandy  menertawakan dirinya sendiri, Sandy hanya membawa ransel yang entah isinya apa. Ia tidak peduli.
Sandy memeriksa kembali tiket kereta dengan tujuan Yogyakarta. Sandy akan melarikan diri dari penatnya Jakarta. Jakarta, sudah tidak senyaman dulu.
Dua puluh lima menit sebelum jadwal keberangkatan, kereta datang. Sandy mulai mencari tempat duduknya, gerbong enam dengan nomor kursi 13A.
“Ini gerbong enam, 13A, benar kan?” Sandy heran melihat kursinya sudah ada yang menduduki.
Lelaki berusia kira-kira lebih tua tiga tahun dari Sandy itu menoleh menatap Sandy, Lelaki itu tersenyum “Iya, benar. Maaf saya duduki. Tadi belum ada siapa-siapa, jadi saya duduk  dulu di sini.”

Kalian pernah merasakan bagaimana rasanya nyaman membicarakan segala hal dengan seseorang yang baru saja ditemui? Begitulah.
Kereta mulai jalan perlahan, “Untuk apa perjalanan ini?” Sandy mengalihkan perhatiannya dari buku yang ia pegang dan sekarang memandang lelaki di depannya.
“Untukku? Aku ingin sebentar saja melarikan diri dari penatnya Jakarta. Bagaimana denganmu?’
“Aku rindu merindukan rasanya untuk pulang..”
“Kau beruntung,”

[FF] Perayaan

“Datanglah, demi penghormatan terhadap masa lalu kita.”

Kalimat gadis di hadapannya bagaikan nyanyian kematian. Sepucuk undangan berwarna ungu dikombinasikan perak menegaskan surat pengantar kematian hati pemuda itu. Desember. Penutup tahun yang sungguh tepat dipilihnya. Segala kisah yang teramu ternyata berakhir seperti ini. Desember datang dengan gontai, meranggaskan pucuk-pucuk harapan dalam diri pemuda itu. Yang tersisa hanyalah keletihan yang tak mampu ia hadapi sendiri, seakan hidup segan mati tak mau. Sementara bagi sang gadis, Desember membawa pucuk yang akan bersemai dan berbunga. Balutan gaun pengantin nan indah, para tamu yang bersulang demi kebahagiaannya, diiringi lagu “From this moment” seperti yang dicitakan sang gadis.

“Kau akan datang, kan?”

“Aku belum tahu.”

“Aku sangat mengharapkan kedatanganmu, Adri. Berbahagialah untukku.”

Undangan.

[FF] Sebut saja namanya Dika

Sebut saja namanya Dika, dia adalah anak yang gagal lulus dalam ujian Nasional SMA 2010, dan sampai sekarang dia tidak melanjutkan sekolah. Berbeda dengan si Joe, anak nomer satu disekolah. Dika dan Joe adalah sahabat mulai kecil, banyak orang yang menyebut mereka saudara kembar. Tata cara bicara dan tata cara berpakaian mereka juga sama.
Setelah pengumuman kelulusan kedekatan mereka mulai berbeda, seperti yang banyak orang sangka, kalau si Joe tidak mau berteman sama anak yang tidak lulus SMA. Beberapa kali Dika sms Joe “joe, kamu dimana?, kamu baik-baik saja?, yuk main.” Tak ada satupun balasan yang diketikan oleh Joe. Dika juga sering mencoba telpon Joe tapi tidak ada respon darinya.
***
Joe telah pergi dari desa dan melanjutkan kuliahnya di ITS, bidang Teknik Industri. sampai dia lulus kuliah, tak pernah menghubungi Dika. Kehidupan Joe sudah mulai berubah lebih nyaman, dengan 2 mobil dan rumah mewah. Joe melihat majalah Francise yang biasanya dia beli tiap bulan, disitu ada sebuah seminar yang sangat menarik hati Joe, dan dia memutuskan untuk mengikuti “seminar Industri cengkeh indonesia bersama Susilo” itu dengan biaya 150000.

[FF] Diorama Cinta

Mata Faris terlihat sangat lelah. Semalam adalah hari yang cukup melelahkan untuknya. Mulai tadi malam Seorang wanita bernama Tera telah resmi menjadi tunangannya dan dua Bulan lagi mereka akan menikah.Faris teringat akan percakapannya semalam dengan Tera."Tera? Apakah benar kau mencintaiku? Pertunangan ini adalah rencana orangtua kita. Apakah kau tidak keberatan sama sekali?" Faris menatap mata Tera."Mengapa di malam pertunangan kita kau menanyakan hal begini? Apa yang kau fikirkan ,Faris? Atau mungkin kau ragu akan perasaanku? Atau..""Bukan. Bukan begitu. Aku tidak ragu sama sekali. Hanya saja.." Faris tak dapat melanjutkan kalimatnya."Aku mencintaimu Faris." Tera tak berani menatap Faris."Baiklah Itu sudah cukup." Dengan lembut Faris menggandeng tangan Tera dan membawanya masuk ke ruangan dimana acara mereka akan segera di mulai.

***

[FF] If You Could See Me Now

Malam itu, Eudia sedang duduk di tengah lapangan sepak bola sambil mendengarkan musik dan menikmati cahaya kunang-kunang. Ia bersama dengan sahabatnya sejak kecil, Ryan. Kedua orang tua mereka juga saling berteman akrab sejak kecil, bahkan ketika mereka sudah memiliki keluarga masing-masing dan memiliki anak. Begitulah persahabatan turun-temurun itu masih tetap terjalin sampai saat ini

Eudia dan Ryan tidak pernah terpisahkan walaupun mereka memiliki hobby dan kegiatan yang berbeda. Bahkan ketika Ryan harus pergi ke sebuah laut di pulau Kalimantan hanya untuk memancing, Eudia tetap setia menemaninya. Begitupun ketika Eudia meminta Ryan menemaninya ke perpustakaan untuk membaca buku, Ryan rela menemaninya selama berjam-jam. Tetapi menurut mereka, tidak ada tempat yang lebih nyaman dan menyenangkan daripada lapangan sepak bola di dekat komplek perumahan mereka.

 “Gimana rasanya masuk kuliah, Di?” Tanya Ryan.

“Nggak seru, Yan. Nggak ada lo sih. Kita kan dari dulu sama-sama, tapi sekarang nggak bisa sama-sama,” jawab Eudia dengan nada sedih dan manja.

[FF] 100 Kata (Dua Alternatif Cerita)

Paradoks (1)
“Anak-anakku, siswa-siswi SMA Anti Korupsi yang Bapak cintai. Kasus korupsi telah merajalela di mana-mana. Para koruptor berkeliaran menggerogoti uang rakyat. Negara ini akan hancur jika korupsi terus menjalar seperti jamur di musim hujan. Dan, ditangan kalianlah negara ini bisa diselamatkan karena kalian siswa-siswi anti korupsi. Ayo pekikkan, ‘KAMI GENERASI ANTI KORUPSI!!!’”
“KAMI GENERASI ANTI KORUPSI!!!” seluruh siswa bersemangat memekikkan kalimat tersebut.
Ritual Senin usai, sang kepsek memanggil ajudannya.
“Tolong jemput dan antarkan anak saya ke sekolahnya, ya! Hmm, pakai mobil sekolah saja. Mobilku masuk bengkel.”
Lalu Sang Kepsek asik berselancar di dunia maya demi melihat hasil pertandingan sepak bola semalam.


Bebas seperti kumpulan balon

Adzan Maghrib berkumandang di sebuah masjid kecil yang terletak di bawah jembatan besi. Adzan memanggil seluruh umat muslim untuk berbondong-bondong menuju masjid kecil itu dengan menuruni tangga kayu yang tinggi dari atas jembatan. Tanpa air PDAM yang mengaliri kampung, mereka tak khawatir dimana mereka akan bersuci. Dengan penuh semangat, mereka berlari menuju sebuah sungai kecil di belakang masjid untuk berwudhu.

Lihatlah anak-anak itu! Mereka hidup dengan kesederhanaan tanpa kemewahan apapun, bebas dan tanpa beban. Sepertinya, mereka telah sedikit melupakan tragedi banjir tahun 2009 lalu yang menghilangkan nyawa sebagian dari keluarga mereka. Tapi ternyata, tidak semua anak mampu melampauinya. Dia Supian, ia kehilangan ayah yang sangat ia cintai. Kini ia hanya tinggal dengan ibunya yang sedang sakit dan kedua adiknya yang masih balita.

Setiap sepulang sekolah, ia pergi ke lahan untuk menjaga padinya yang sedang berbuah dari serangan tikus-tikus lapar. Ia tak pernah mengeluh dan menjalaninya dengan senang hati. Terkadang ia pergi dengan ibu dan kedua adiknya. Tetapi, jika penyakit ibunya sedang kambuh, ia hanya bersama dengan kedua adiknya sambil membawa buku pelajaran. Tak ada sesiapa lagi yang bisa ia andalkan untuk menjadi tulang punggung keluarga.

Potret rasa

Reslla Aghnaita Chak's photo.
Gambar untuk ide cerita

Gadis itu masih disana. Menatap lurus di hamparan jauh, bening, dan biru. Indah, tak terkira indahnya. Inilah yang selalu kutunggu, pagi-siang-sore-malam.

                “Cekrik!”

                Aku mulai memotretnya.

                Ia object abadi yang selalu kunanti. Tak peduli dari pagi higga pagi lagi.

                “Kinar!” seorang laki-laki dari arah jam dua dari tempatku berdiri sekarang memangilnya. Kulihat Kinar tersenyum pada lelaki itu lalu melambaikan tangannya. Mereka semakin dekat, kemudian saling berbincang. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi ini pasti akan lama. Ah, sial.

                “Peng-gang-gu,”

                Kataku pelan menuju ke tempatku duduk tadi, menatap mereka yang sedang asyik berbincang. Kutengguk sisa tengguk kopiku sambil melihat-lihat hasil jepretanku hari ini.

                “Hanya dapat satu foto Kinar, dan…” aku mengernyitkan dahi, menatap bingung pada beberapa hasil jepretanku yang lainnya, “mana mungkin bisa?”


Cerita dari kereta

Bahkan kau bisa merasa jatuh cinta di atas kereta yang melaju….”
Rene menyodorkan tiket dan KTP-nya kepada penjaga peron stasiun. Lelaki paruh baya itu menerimanya dengan senyum ramah. Rene membalas dengan senyum dan anggukan kecil. Setelah selesai mengecek semuanya, penjaga peron menyilakannya masuk. Setelah berterima kasih, Rene berjalan menuju ruang tunggu.
Jadwal keberangkatan keretanya masih lima belas menit lagi. Dia memilih duduk di ruang tunggu yang kursinya sudah diisi oleh beberapa orang. Untungnya jalanan Jakarta malam ini bisa bermurah hati padanya hingga tidak terlambat sampai ke Stasiun Senen.
Rene menyimpan tas pakaian yang sejak tadi dia jinjing di kursi di sampingnya. Sebuah kotak persegi panjang dia keluarkan dari dalam tasnya. Kotak dengan tinggi tak lebih dari 20 cm. kotaknya terbuat dari bahan plastik bening, dengan tali di bagian atas sebagai pegangan saat kotak itu dijinjing.
Dengan mata berbinar Rene memandangi lima buah boneka teddy bear di dalam kotak itu. Boneka beruang—yang sejak pertama kali dilihatnya di toko boneka kemarin, sudah membuatnya jatuh cinta dan tak berpikir lama untuk membelinya—dengan berbagai pernak-pernik di tubuhnya. Ada yang memegang kukis, memakai topi warna-warni, dan ada pula yang memakai baju penutup warna merah muda.

[FF] Tentang sebuah boneka

Tak ada yang bisa memilih akan diciptakan menjadi apa. Termasuk juga saya. Setelah tahun-tahun sebelumnya menjadi pohon Bulian atau yang memiliki nama ilmiah eusderoxylon zwageri di lereng gunung di daerah Kalimantan sana, kini saya dilahirkan kembali. Kali ini bukan menjadi pohon dengan tinggi 36 meter dan batang yang kokoh dan kuat. Bukan menjadi tumbuhan langka atau tanaman-tanaman hidup lainnya.

Bukan.

Kali ini saya berenkarnasi menjadi sebuah benda mati. Saya bukan lagi pohon kesepian di tengah lereng gunung yang hanya bisa menyaksikan keindahan alam dari tempat yang sama setiap hari. Teman bercerita saya bukan lagi si Akar Karak dengan tinggi 14 meter atau rerumputan di sekeliling tempat saya berdiri dulu.

Kali ini saya bisa jalan ke mana saja. Bisa dibawa dengan enteng, bahkan saya tak lagi sering merasakan kedinginan saat malam hari atau kesunyian yang mencekam seperti dulu. Saya selalu merasa hangat dengan pelukan dan usapan tangan-tangan kecil.

Strawberry Cake's Love

Aku sudah hampir lupa, berapa jumlah senja dan hujan yang sudah terlewati di kafe ini. Aku bahkan sulit mengingat kapan terakhir kali aku ke sini. Jarum pendek jam di tangan kiriku menunjuk ke bagian kosong diantara angka empat dan lima, sedangkan jarum panjangnya ke angka sembilan. Aku meleset tiga menit dari jadwal biasa, ungkapku dalam hati. Dihadapanku telah tersedia menu yang sudah menjadi favorit keluargaku, terutama Ayah dan Ibu. Secangkir kopi, segelas susu, dan strawberry cake’s love kesukaan Ibuku. Beberapa saat setelah menyeduh kopi, aku menatap surat yang baru saja dikirim dari rumah, aku pun tersenyum. Sebuah senyum terukir di bibirku, sebelum akhirnya aku tersadar dan mencoba bersikap biasa. Dan aku mulai menggenggam sebuah kotak kecil yang mengingatkanku pada kisah masa kecil di sini. Ternyata aku sudah melewati banyak kenangan di kafe ini, dulu.

Di suatu titik di masa lalu, tepat di tanggal yang sama, aku ikut merayakan hari pernikahan Ayah dan Ibu. Dan di sinilah kami. Duduk di sudut kafe, sementara sejumlah orang di sekitar kami sibuk dengan pembicaraan mereka masing-masing. Ada juga yang tatapannya penuh tanda tanya. Beberapa orang yang lewat di belakang kami untuk sekedar memesan kue atau kopi saja. Lalu berlalu. Aku masih ingat, saat Ibu dan Ayah bercanda lalu aku menatap mereka pekat dan dalam. Seru. Tetapi aku lebih banyak tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Usiaku dulu masih terlalu kecil untuk paham. Ya, terkadang mereka tertawa lepas, lalu saling berteriak. Tidak lama kemudian mereka kembali menyeduh kopi dan makan beberapa buah strawberry. Jadi orang dewasa itu enak tetapi sepertinya terlalu rumit untuk dijalani, bisikku dalam hati.

Berbahagialah disana, Disa.

Cuaca akhir-akhir ini memang tidak menentu. Harusnya bulan ini adalah musim penghujan. Tapi entah mengapa, panas yang menyengat pun terkadang mendominasi. Tapi senja kali ini sepertinya sedang sendu, hujan datang sedari tadi yang tidak menunjukan tanda-tanda akan berhenti.
Dari jendela, terlihat hujan sangat deras. Beberapa orang sibuk memayungi dirinya masing-masing. Dengan payung, tas atau bahkan plastik seadanya. Mereka sibuk mencari tempat atau sesuatu yang bisa melindungi diri dari hujan. Sebentar, mengapa banyak orang yang tidak menyukai hujan ?
Sedangkan aku, aku masih saja duduk disini. Duduk di kafe ini sudah kurang lebih dua jam, masih dengan laptop yang terus menyala, beberapa kertas yang berserakan dan tiga cangkir kopi yang telah kuhabiskan.
Rutinitas adalah sesuatu yang membosankan, menurutku. Aku sudah merasa lelah dengan deadline yang tidak ada habisnya, dengan meeting-meeting yang hanya menghabiskan waktu atau suara ocehan bos yang masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. Bekerja menjadi salah satu karyawan di sebuah perusahaan besar membuatku muak. Aku ingin bebas.
Dan bulan ini, aku memutuskan untuk mengambil keputusan yang mungkin bagi sebagian orang adalah hal gila. Aku akan berhenti bekerja setelah semua tanggung jawabku di kantor selesai. Aku akan menikah dan aku akan tinggal di Bali, tempat impianku menghabiskan waktu. Aku ingin bebas dan berkarya disana. Menjadi seorang fotografer yang sesekali menjadi seorang penyair, untuk diriku sendiri.
**

Pertemuan yang Tertunda

Ristina Fauzia's photo.
Gambar untuk ide cerita
Ku langkahkan kaki ini dengan santai, sembari ku hirup udara di sekelilingku.

            Sudah banyak yang berubah sejak dua tahun lalu..

Kaki ini semakin kuat menapaki pasir yang mulai berganti dengan batu karang. Suara orang – orang mulai berganti dengan desir angin yang semakin kencang berhempus menerpaku. Setelah dua tahun bukan hal mudah bagiku untuk kembali ke tempat ini. Butuh kekuatan dan yang aku tahu hari ini adalah waktu yang tepat untuk kembali menjejakkan kaki disini, pucuk pantai penuh kenangan ini.

“Hai, selamat bertemu lagi”, sapaku pada tempat ini yang tentu tanpa jawaban.

Dua tahun bukanlah waktu yang sebentar. Seiring dengan kenanganku dengan tempat ini. Disini aku mengenalnya dan disini juga aku melepasnya sesaat sebelum aku memutuskan untuk meninggalkan kota ini.

Aku duduk di dataran yang menghadap ke pantai.

Sudah berubah, ramai sekali di bawah sana. Terlalu riuh dan aku tak terlalu suka dengan keriuhan itu, berbeda denganmu yang mungkin akan sangat menikmati keriuhan itu.

Nama itu kembali hadir. Tentu saja, karena tempat ini hanya milik aku dan dia. Aku dan kamu, Flo dan Riko.

“ Hai, kapan sampai disini?”. Sapa seseorang sambil menepuk pundakku.

“ Hah? Kamu? Eh, baru saja”. Aku tak dapat menyembunyikan kekagetan ini.

Sekotak Pensil Warna

Di antara tumpukan baju, sepatu, dan peralatan sekolah baru hasil pemberian beberapa donatur, anak laki-laki yang ada di hadapanku hanya memilih sekotak pensil warna. Hmm, dia kutaksir berusia delapan tahun. Rambutnya keriting dan kulitnya sawo matang. Dia tidak tergiur dengan aneka barang baru yang terhampar di sekelilingnya. Teman-temannya memandang heran pada anak laki-laki itu.
“Hai, Ris. Kau nggak tertarik dengan baju barumu ini?” tanya temannya heran. “Buat aku saja ya?”
Ah kini aku tahu namanya: Ris. Aku lihat dia tidak menanggapi hanya sekedar menjawab pertanyaan temannya. Dia terus sibuk memandang kotak pensil berisi 32 warna barunya.
Ris berlari ke lantai atas tempat kamarnya berada. Dia mengambil buku sketsa. Beberapa menit dia hanya terpaku memandang lurus kertas putih di depannya. Sepertinya Ris sedang berpikir ingin menggambar apa. Perlahan dia membuka kotak pensil warna dan mengambil pensil hitam.
Ris membuat sebuah sketsa. Tampaknya dia sangat lihai menggambar. Ris memainkan pensil hitam itu dengan lincah seperti penari. Aku dapat melihat dengan jelas gambar itu. Tiga orang manusia yang kurasa seperti ayah, ibu, dan anak. Gambar itu berada di sebuah taman nan cantik. Menikmati pemandangan sambil bercengkrama. Mungkinkah itu gambar tentang diri Ris dengan ayah-ibunya?
Ris lalu mengambil pensil warna lainnya. Dia memainkan berbagai warna untuk menciptakan gambar yang sangat indah. Dan astaga! Aku sangat takjub! Gambarnya benar-benar sangat indah!
Ris kemudian mengambil kembali pensil hitamnya. Dia menggoreskan sebuah kalimat. Oh, Tuhan, aku tercengang membaca kalimatnya!

Aku sangat rindu ayah-ibu...
Aku ingin bertemu dan memeluk kalian :’(

Kereta Pembawa Pesan

Dania Sunshine's photo.
Gambar untuk ide cerita
Kadang kala, berdiri menunggu itu sangat membosankan. Ya, bosan sekali. Aku sampai lelah berdiri dan kesemutan.Tidak ada bangku, untuk kubisa duduki. Tidak ada apa-apa yang bias dijadikan tempat duduk. Aku lelah berdiri dan menunggu, padahal. Apalagi sendiri.
            Kali ini sedang musim gugur. Di musim ini adalah musim yang paling kusuka. Di mana bunga-bunga berguguran. Peralihan musim panas ke musim dingin. Udaranya sejuk dengan sedikit sentuhan dingin di kulit. Aku paling suka melihat saat bunga-bunga berguguran, membuat jalanan penuh dengan daun yang berguguran.
            Aku sedang berdiri di pinggiran White Bridge. Memandangi dedaunan yang jatuh ke air sungai, lalu mengalir mengikuti arah alirannya. Sungainya jernih sekali. Di sisi kanan kiri sungai, ada banyak pohon dan rerumput hijau. Asri sekali. Aku membiarkan rambut coklat panjangku tersibak karena hembusan anginnya.
            “Catthy!” panggil seseorang dengan suara nyaring. Seseorang itu memangil nama kecilku. Dia melambaikan tangan padaku. “Catherine!”
            Aku menoleh. Ternyata Suzane yang memanggilkku. Perut buncitnya bergerak seperti gelombang saat dia berlari mendekatiku. Lalu dia melebarkan mulutnya.
            “Anthony tidak menerima pesanmu.” Ia berucap dengan napas yang tersenggal-senggal. Lalu dia berusaha menenangkan diri dan mengatur napasnya.
            Aku masih memperhatikannya. Menunggu kelanjutan ucapannya. Seakan mengerti arti pandanganku yang penuh harap, Suzane lalu terkesiap.
            “Anthony tidak menerima pesanmu.” Suzane kembali mengulang ucapannya. Aku mengulai bahuku.
            “Sudah kukirim sejak tiga hari yang lalu padahal,” ucapku dengan sedih sekali. Rasanya aku baru saja dibanting dari langit ke bumi. Sakit.
            “Tapi itu yang ia katakan padaku tadi.”
Aku melirik Suzane, “Kau bertemu dengannya hari ini?”
            “Ya. Dia tidak bilang padamu?”
            Aku terdiam. Cukup lama. Bukan terdiam karena tidak tahu, tetapi terdiam karena marah. Anthony tidak bilang apa-apa pada pesannya yang terakhir minggu lalu. Kalau tahu dia akan ke London, aku pasti tidak akan mengirim pesan padanya. Mengirim pesan saja tidak sampai, sudah pakai kirim kilat padahal.
            “Tidak,” jawabku dengan dingin. Aku masih kecewa mendengar kabar ini.
            “Ya, dia memang sebentar saja. Paling lama sepuluh menit. Hanya berbincang dengan Pak Robin.” Suzane menjelaskan. Dia pasti tahu kalau aku sedang menahan geram.
            “Tapi seharusnya dia bilang padaku. Pesanku sangatlah penting.” Aku tidak bisa menahan diri. Dengan kesal, aku menggerutu. Suzane menyentuh bahuku, dielusnya dengan lembut.
            “Ini mungkin dadakan. Kau tahulah seperti apa Pak Robin kalau sudah memberi perintah. Harus segera.” Suzane menenangkanku.
            “Pesanku sangat penting. Lebih penting daripada perintah Pak Robin.” Aku menggertak. Suzane terlihat kaget, kedua matanya terbuka lebar.

21.00

Meta 'morfillah''s photo.
Gambar untuk ide cerita

Sebuah motor keluaran Jepang kabur selepas menabrak seorang gadis. Korban terpental ke trotoar jalanan, dengan darah mengucur dari kepalanya. Tak jauh dari sang gadis, payungnya yang putih terperciki titik-titik merah darahnya. Malam berubah mencekam. Tiada seorang pun saksi mata, karena hujan yang mengguyur sedari sore, merayu setiap orang di kota ini untuk bergelut dengan kasurnya saja. Perlahan gadis itu menghembuskan napas terakhirnya dengan mata terbelalak ke arahku.

Aku di sini.
  ***

Penerang Hidup

DJ'aMall Muhammad's photo.
Gambar untuk ide cerita
Kamis, Mei 2012.

Jam 10 pagi Viosi sedang bertegur sapa dengan temannya di twitter, sesaat kemudian dia tenggelam di timeline, cuaca pagi cukup cerah di kota kecil yang letaknya berdekatan dengan jogja. Dia habiskan waktunya untuk melepas lelah dengan membaca tweet teman-temannya. Dia membentangka kakinya ke kursi kemudian meminum teh hangat yang baru saja dibuatnya. Dagangannya pagi itu cukup laris, sehingga dia bisa pulang lebih cepat dari biasanya.

Masih hanyut tenggelam dalam lautan kata-kata di timeline, matanya tertuju pada retweet dari akun teman.

@SedekahBerbagi: Adik kita ini menderita tumor tulang lengan dari Kulon Progo. Dia saat ini berada di Rumah Sakit.

@SedekahBerbagi: Di butuhkan relawan untuk membantu menemani dan mengurus adik ini. mohon hubungi nomer 084321xxxx.

Hatinya tersentuh, nafasnya sedikit sesak, wajahnya berlinang air mata. Entah mengapa ini bisa dia rasakan ketika melihat foto anak itu, penyakit ganas menyerah anak yang belum baligh. Yang jelas saat itu dia jatuh dalam kesedihan. Jam menunjukan pukul sepuluh pagi, Viosi memutuskan untuk ikut membantu.
***

Hiduplah Sehidup-hidupnya

Putri Anak Darman's photo.
Gambar untuk ide cerpen

“Apa hubungannya?” Tepat disaat pertanyaan ini memenuhi pikiranmu, jangan buru-buru mencari jawabannya sama saat ketika kamu sedang duduk di bangku kuliah semester akhir dan harus menyelesaikan tugas akhir sebelum dinyatakan berhak ikut sidang, yudisium, wisuda, (kerja) dan nikah.
            Sayangnya, ada perbedaan sedikit antara menyelesaikan tugas akhir dengan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan pertanyaan “Apa Hubungannya?”  Karena   saat menyelesaikan tugas akhir kamu tidak patut bertanya “apa hubungannya?” ke dosen pembimbing karena dalam masa ini doping diatas segalanya, Dia yang menentukan kamu berhak ikutan sidang dan lanjut yudisium hingga wisuda, tentu saja tidak dengan menikah, itu hak kamu sepenuhnya, dan nafsumu terutama. Jadi jangan membantah perkataan doping.
            “Halo, nama saya Fathia. Nama panggilan Fathia” Aku memperkenalkan diri sesingkat yang kubisa, aku merasakan  beberapa pasang mata menatap serius ke arahku. Mata para lelaki seperti sedang melihat rendang. “Hai Fathia...” seseorang disebelahku menyapa sambil tersenyum. Aku membalas dengan senyuman. Perkenalan berlanjut ke manusia yang lainnya.
            Aku memesan teh manis lagi, sudah waktunya menambah gelas kedua, haus betul hari ini. Tadi, saat pergi ke acara buka bersama bareng komunitas smartphone ini aku berjalan kaki dari persimpangan yang lumayan jauh. Dan aku meneguk gelas kedua, “Am, aku mau teh manis lagi ya!” Orang yang kupanggil mengambil gelasku. Kali ini ada yang beda dengan teh manis ketigaku. Bukan isinya melainkan gelasnya. Gelasnya diganti dengan gelas baru, mungkin karena gelas sebelumnya telah kotor dipenuhi bau mulutku yang sedang berpuasa atau mungkin pecah saat Aam mengambil teh manis ketigaku? Tapi aku tidak mendengar ramai bunyi pecahan gelas. Apa yang terjadi?
            “Gelasnya kok ganti Am?” aku menerima gelas baru dengan mimik muka yang datar.
“Udahlah ko minum aja, udah untung teh manisnya belum habis”
Rasa penasaranku terabaikan. Sebagai cewek cantik dan polos di komunitas ini aku cuma tersenyum sinis dan meminum teh manis ketigaku. Hei! Ada yang berbeda lagi dari teh manis ketigaku dengan teh manis kedua sebelumnya! Aku tertegun menghentikan aksi minum eleganku. Aku mengamati gelas teman lainnya yang memesan teh manis juga. Dan benar, aku benar! Teh manis ketigaku berbeda dengan yang lainnya. Teh manis ketiga ini dibuatkan khusus untukku. Khusus!
            Alih-alih takut bertanya lagi aku cuma mengamati, mengamati teh manis ketigaku. Lebih kental dari teh sebelumnya dan ini teh manis baru yang hanya dibuatkan khusus untuk gelas ini. Untuk peminumnya. Karena masih ada ampas teh dengan tali sebuah merk teh ternama di Indonesia. Manis. Aku teguk sekali lagi lalu membiarkannya dingin. “Nasi goreng seafood” Pelayan menghampiri meja kami. “Disini Kak, seru abang berkacamata didepanku” sambil menoleh dia melanjutkan “Fathia tadi pesan nasi goreng seafood kan?”. “Eh iya bang” jawabku singkat.
***

Kamis, 29 Agustus 2013

[FF] I wanna go home

“Cepetan  Mar!!” teriak  Arya.
“Iya, ini bawaannya berat”.
“Kamu sih kayak cewek, cuma lima harisaja di sana bawaanya sebanyak itu!”
Sambil setangah berlari menyeret koper dengan tangan kiri dan menjinjing kardus di tangan kanannya Damar berusaha mengejar abangnya, Arya yang mulai tak kelihatan di tengah padatnya manusia berlalu-lalang.
“Tiketnya Dik” petugas itu menghardik Arya yang sementara berlari melewati pos pemeriksaan.
“Oh, maaf pak. Saya sedang terburu-buru. Ini dua dengan adik saya yang mmmm…. Nah itu tuh pak yang berbaju biru muda dan berkaca mata” tunjuk Arya
“Oke masuk. Kamu juga masuk “ seru petugas kepada keduanya.
Damar segera berjalan melewati beberapa orang lain yang tengah mengantri dan menyusul abangnya yang sudah berlari duluan ke arah tempat check-in Sriwijaya Air.
“Tolonglah mbak masih ada waktu 5 menit kan sebelum keberangkatan?”, ujar Arya sambil melirik jam tangannya.
“Maaf mas, itu sudah prosedur dari perusahaan kami. Waktu check-in  sudah habis dan pintu pesawat sudah ditutup”, ujar mbak-mbak itu sambil tetap tersenyum.
“Mbak, tolong dong mbak. Ini penerbangan terakhir menuju ke Samarinda hari ini. Kalau saya tidak ikut masa iya besok saya harus berlebaran di Surabaya hanya berdua dengan adik saya”.
“Maaf mas, kami tidak dapat membantu mas lagi. Mas juga sebaiknya segera menyingkir karena kami akan membuka check-in  untuk penumpang tujuan daerah lain”.

[FF] Takkan Lari, Cita-Sita di Kejar

“Aku gak bisa!” pekikku setelah mendengar tawaran Inul tersebut.
“Jadi kamu bisanya apa?” Inul membalikkan badannya. Kini kami berhadap-hadapan dan aku merasa jijik melihat gunungan lemak yang menonjol terjiplak dibalik kaos tipisnya itu.
“aku bisanya  jadi istri yang baik buat suami aku, haahaha” aku menjawab sekenanya sambil pergi menghindari Inul, si Gadis sok seksi.
“WHAT?” Inul mengekoriku tetap dengan gerakan gunungan lemak fleksibelnya. “Berhenti dong, Sita mau kemana? Aku cuma minta kamu ngelakuin hal sepele aja kok, gak lebih! Please.. AKU BUTUH BANGET BANTUAN ENTE!”
Aku masih menghiraukannya, tetap berjalan mantap keluar kamar kost tak tahu arah, yang aku tahu, suara Inul akan jadi cempreng jika dia berteriak.
Inul, teman sebangkuku di masa sekolah dasar datang ke kost, mengacaukan semua rencana liburan yang telah ku susun dari sebulan yang lalu. “Ente kemana besok? Masih nganggur kan Sit? Aku ada kerjaan nih, besok aku ke kost ya!” begitu pesan singkat yang ku terima dari Inul semalam yang tidak ku balas dan Gadis sok seksi itu datang sepagi ini? Jam TUJUH PAGI!
Akhirnya langkahku terhenti di ujung gang kostan, terlihat sekilas Inul tersenyum dan berjalan cepat menyusulku, masih tetap dengan gunungan lemak yang fleksibel.
“Sit..” Inul berhenti sebentar, membenarkan kaos ketatnya “Aku  gak minta kamu macam-macam kok, kamu ikut casting di tempat aku kerja. Ini kan cita-cita kamu dari SD! Kamu gak ingat perjalanan kamu buat ngedapetin cita-cita kamu dari dulu gimana? Mau dibantuin kok gak mau! Ente masih mau jadi artis kan?”

[FF] Strawberry Sweet

Ini strawberry kelima yang masuk mulutnya. Ia seperti tak merasakan masam dari strawberry atau mungkin memang hanya ada rasa manis dalam buah yang sedang ia makan itu? Duduk dekat jendela, dengan mp3 yang terpasang di telinga dan melihat ke arah luar jendela. Entah apa yang ia lihat, selalu seperti itu sejak tadi dan ia menikmatinya. Kurasa...

Aku tak ingin mengganggu dan merusak keheningannya meski aku ingin sekali berbincang untuk sekedar membunuh bosan.
"Hallo. Namanya siapa?" Tiba-tiba dia berseru.
Glek! Suaranya. Akhirnya aku mendengarnya. Lembut. Sayang, dia berbicara pada balita yang berada di kursi seberangnya. Ia baru bertemu dengan anak itu, tapi lihatlah mereka langsung akrab.  Aah, ia begitu ramah meski seringkali dia terdiam setiap waktu. Senyum yang memperlihatkan ia tak merasa terganggu dengan interupsi dalam keheningan dan kesendiriannya. Ia sedikit berbincang dengan ibu si balita sambil selalu tersenyum dan aku menikmati senyum itu.

Tak berapa lama, balita itu kembali ke pangkuan ibunya. Ia kembali membuka kotak bekalnya, ya itu kotak strawberrynya. Ia kembali dalam keheningan bersama lima buah strawberrynya. Masih dengan pandangan keluar tapi kali ini ia tersenyum. Manis.

[FF] Mengejar Waktu

"Astagaaaa.. Udah jam setengah satu kurang sepuluh!" Pekik Robby panik.

"Haduh, gimana nih, kira2 bisa gak yah nyampe jam 12.50 di sana?" Pikirnya dalam hati

Ibu Dini –dosen psikologi perkembangan- sepertinya sedang bersemangat mengajar, kelas yang seharusnya selesai pukul 12 siang itu ternyata tetap berlanjut hingga jarum di jam tangan Robby sudah menunjukkan pukul 12.30. Robby yang sudah gelisah sejak tadi menunggu Bu Dini keluar kelas langsung menyambar tas dan buku dari mejanya kemudian bergegas keluar kelas saat Bu Dini pergi. Ia berlari menuju lift dengan tangannya yang masih sibuk memasukkan buku-bukunya ke dalam tas.

"Aduhh, mana gue belom sempet beli bekal.. Aah, nanti aja di sana deh," gumamnya setibanya di lobby kampus sambil jalan cepat meninggalkan area kampusnya.

Robby berjalan menuju halte untuk menunggu bus. Sialnya, setelah sampai halte ternyata tidak ada satupun bus incaran Robby yang lewat. Semakin panik, ia memutar otak, memikirkan cara lain untuk sampai ke tempat tujuannya.

[FF] Hidup (?)

"Aduh!" Ia meringis menahan sakit, kemudian membungkuk untuk membekap telapaknya agar darah tak lagi mengucur. Ia kembali menegakkan badannya dan berjalan berjinjit melewati kerikil-kerikil jahat yang tak pernah bersikap baik pada telapaknya.

Ia meletakkan ranting-ranting kayu yang sedari tadi digendongnya. Bergegas menuju kiwan*, buru-buru membasuh darah yang sudah sedikit mengering pada telapaknya.

Ia tak memiliki anak. Suaminya mandul. Kini, suaminya sakit-sakitan, hanya bisa terbaring menungguinya pulang dengan secangkir kopi dan singkong rebus disamping dipan*nya. Sesekali ia mengganti menu singkong rebus dengan pisang goreng yang digoreng tanpa tepung.

Ia duduk disamping ranjang suaminya, mengganti piring kosong dengan piring baru berisi singkong rebus.

Mata suaminya tak lepas dari telapak kakinya yang dibungkus kain seadanya. Seolah matanya berkata, "kakimu kenapa?"

[FF] Perjalanan, Tentang Sebuah Janji dan Cinta

Hari ini telah tiba. Hari di mana aku harus bertemu dengannya. Dia, wanita yang memiliki sorot mata yang tajam, senyum yang manis, dan bulu mata yang lentik. Aku selalu mengingatnya. Entah, inikah yang dinamakan cinta. Ah, aku hanya berlebihan memaknainya. Itu saja.

Dua tahun yang lalu, aku datang kepadanya. Ya, aku datang membawa sebuah janji untuk dapat bersamanya. Dia menolakku. Dia mengatakan tidak mungkin hanya menerima sebuah janji. Ya, aku memang sedikit egois memaksanya menunggu dalam waktu yang cukup lama. Kini, kuingin datang, sekali lagi membawa sebuah janji itu kepadanya . Aku konyol, bukan ?

Ah, aku tidak seharusnya mengingat-ingat hal itu. Sudah saatnya aku duduk manis di sebuah kereta malam, bergerak menuju Kota Kembang, lagi. Aku tidak ingin ditipu malam, aku juga tidak ingin dikalahkan oleh sang waktu. Kali ini, aku pasti bertemu dengannya. Alunan suara jangkrik menemani perjalananku kali ini. Ah, aku hanya dapat membayangkan wajahnya. Wanita yang sudah kutinggalkan pada sebuah janji.

[FF] Perjalanan

Bapakku nomor satu di dunia. Dengan sepeda onthellnya, dia mengantarkanku ke mana pun aku suka. Berdua kami membaca awan di langit, melihat pacet menggelantung di kaki petani, menertawakan siput yang kalah cepat dengan semut, dan hal lainnya.
Berbeda dengan ibuku yang sakit-sakitan, bapak lebih sering menemaniku. Tak pernah absen mengajakku bepergian.
“Bapak mau ke mana?”
“Ibu sakit. Harus ke dokter, Bapak mau antar. Kamu jaga rumah, ya, Nduk.
Aku mengangguk patuh. Beberapa hari ini ibu terlihat semakin parah dengan sakitnya. Malam yang menggigit seringkali menyebabkan batuknya semakin kencang. Bahkan kudapati saputanganku yang dipinjamnya berlumuran bercak darah.
**
Sebulan sudah bapak bolak-balik ke rumah sakit tempat ibu dirawat. Aku selalu ikut menemani bapak ke rumah sakit, sepulang sekolah. Namun aku tak bertemu dengan ibu. Dilarang sama dokter karena umurku masih sebelas tahun. Takut menular katanya.
“Besok kamu ndak usah ikut, ya, Nduk.”
“Kenapa?”
“Biar bapak sendiri saja yang pergi. Kamu jaga rumah saja ya, jangan nakal.”
Aku kembali mengangguk patuh. Diam dan menelan kekecewaan karena tak disertakan dalam perjalanan bapak.
**
Dari depan gang rumahku, sudah terpasang bendera kuning. Tiba di depan rumah, rumahku telah disesaki oleh tetangga dan orang yang tak kukenal. Mak Ipin, tukang urut di kampung memelukku.
“Yang tabah, ya, Nduk. Urus ibumu dengan baik, jangan nakal.”
Aku menggangguk sembari menahan napas menghirup bau tubuh Mak Ipin yang kurang sedap. Kulihat ibu terbaring lemah di dipan. Tangannya yang tampak seperti tulang belulang memegangi saputangan, menutupi mulutnya, matanya berair. Di lantai bawah terbaring tubuh bapak, tersenyum dan bau kemenyan menguar dari tubuhnya.
Kali ini bapak pergi sendirian, tanpa mengajakku. Untuk pertama kalinya bapak absen.
**


meta morfillah

[FF] Lukisan Malam

Aku belum pernah menyukai suasana malam. Bahkan nyaris tidak suka. Dingin. Gelap. Sendirian. Baik saat sedang di rumah, atau sedang dalam perjalanan, aku tidak suka dengan malam. Namun, malam ini beda. Beda sekali.
            Tahun 2005, di perjalanan pulang kampong dari daerah Jawa Timur tempat Mamaku lahir dan besar. Di waktu bulan suci Ramadhan. Perjalanan berkesan ini menyisakan siraman rohani terindah dan menyentuh kalbu sepanjang hidupku.
            Aku tidak pernah meminta apa-apa pada Papaku selain kebutuhanku. Apa yang aku inginkan bisa kubeli sendiri, dengan menabung. Jadi, aku terbiasa membeli sendiri. Namun kali ini beda. Aku inginkan sebuah CD lagu rohani yang syahdu, menyentuh relungku.
            Aku berkata, “Mau dengar lagu dari Raihan.” Kala itu Raihan – grup nasyid asal Malaysia – baru mengeluarkan album. Lagu-lagunya kudengar di radio dan begitu kusukai.
            “Dengar lagunya di mana?” Papa bertanya. Aku terkejut, tidak biasanya beliau  menanggapi gumamanku itu.
            Kami sedang di dalam mobil. Bersiap menyantap makan malam. Di sekitar wilayah Simpang Lima, Semarang. Aku duduk di belakang sopir, sedangkan Papaku duduk di samping sopir. Mobil terisi penuh dengan keluarga lainnya.
            Aku diam selama satu menit. “Di radio,” jawabku kemudian.
            “Radio di Jakarta?”
            “Iya.”
            Papa diam cukup lama. Mobil masih berlalu. Suasana di dalam mobil juga hening. Dingin karena sentuhan AC. Malam gelap di Semarang yang sejuk dan ramai. Membungkamkan mulut kami. Sambil menahan lapar, kurasa.

[FF] Pulang

Memaknai sebuah perjalanan, ada beberapa hal yang aku fikirkan. Mengenai kebebasan, waktu, pulang dan rindu.
Beberapa orang melakukan perjalanan agar mendapatkan kebebasan. Padahal, dari salah satu buku yang kubaca mengatakan bahwa kebebasan dan ketidakpedulian terkadang terlihat saru.
Perjalanan juga tentu saja tidak akan terlepas dari sang waktu. Waktu itu apa menurut kalian? Sesuatu yang tak terlihat namun selalu ada, menurutku. Dan waktu yang dilewatkan dalam suatu perjalanan bukan tentang lama atau singkatnya, yang terpenting adalah bagaimana memaknai suatu perjalanan. Sesingkat apapun. Aku juga menyadari suatu hal tentang waktu. Waktu itu begitu lucu, misterius dan seakan-akan ingin selalu mengajak kita untuk bermain.
Jika berbicara mengenai pejalanan hidup. Seperti saat ini, aku sedang menjalani bagian dari perjalanan hidupku. Di bawah senja yang tak selalu sempurna, yang tidak melulu menandakan waktunya untuk pulang. Aku duduk di salah satu pojok ruangan restoran cepat saji ditemani segelas soft drink, menunggu salah satu teman lama datang.
Tidak sampai dua puluh menit, ia datang. Teman seperjuangan sejak SMP, saat ini ia telah sukses menjadi seorang sutradara, impiannya sejak dulu. Kami bertemu terakhir enam bulan yang lalu dan baru sempat bertemu lagi hari ini. Ia tetap cantik, berkharisma tinggi dan terlhat selalu ceria. Tapi aku tahu, ada beberapa hal yang berubah. Matanya.

[FF] Waktu Itu Siapa

Hari sudah berganti (lagi). Perasaanku, kemarin baru hari senin, tapi sekarang tiba-tiba sudah hari sabtu. Apa aku bermimpi? Atau waktu yang begitu cepat berlalu?. Aku selalu menyimpan tanya dalam hati, waktu itu apa? Bentuknya seperti apa? Bagaimana dia bisa hadir di tengah-tengan kita tapi dia tak terlihat? Apakah dia sejenis hantu?

Waktu, wujudnya tak pernah tampak oleh mata tapi kehadirnnya kadang bisa dirasakan, kadang tidak. Ketika pelajaran di kelas terasa membosankan, bunyi bel jam istirahat terasa begitu lambat berbunyi. Saat istirahat, mengapa jam masuk kelas begitu cepat. Dan terus begitu dan berulang. Apakah itu waktu? Apa benar dia itu waktu? Aku masih belum benar-benar tahu. Yang aku simpulkan, hanya ada ‘waktu yang membosankan’ dan ‘waktu yang menyenangkan’. Dua-duanya bisa membuat kita terlena.

***

Setiap hari minggu datang, ayah selalu mengajakku pergi meninggalkan rumah. Kita sering pergi bertiga. Tapi belakangan ini ibu sering sakit, kondisinya tak sesehat dulu. Jadi kami lebih sering pergi berdua. Ibu yang melahirkan dan mengajarkanku tentang dunia, ayah yang mengenalkanku pada dunia, melihat begitu indahnya ciptaan tuhan, serta lika-liku kehidupan. Mereka berdua adalah pencerita serta guru terbaik.

[FF] Dompet Rahmi

“Arrghh!! Gimana, dong?”


Tiga pasang mata di depannya menatap. Ikut bingung.

“Mungkin terselip, Mi.”

“Atau lupa nyimpen,  kali?”

Rahmi menggeleng. “Aku sudah mencarinya kemana-mana. Gak ada!”

Nadanya sudah seperti mau menangis.

“Mana kita ada di kota orang lagi. Aduuuh, masa aku sampai ga bisa balik, ntar?”

“Ah, ayo kita cari sekali lagi!” kini Tasya berdiri, mendahului masuk kamar.

“Vi, kau cari di bawah laci! atau di bawah tempat tidur! Siapa tahu jatuh ke sana. Aku coba cari di sekitar kamar! Kau juga, Nid!”

“Siap!” serempak ketiganya menyebar.

[FF] Perjalanan Ini

Kulayangkan pandangku melalui kaca jendela**). Laju pesawat yang melesat telah membawaku jauh ke dalam kenangan. Indah. Penuh warna. Senyum merekah dari bibirku. Kini, sebuah janji akan kutepati kepada seseorang: pulang!

Sudah tujuh tahun aku tidak pernah kembali ke kota asalku di Makassar. Aku habiskan masa-masa tersebut dengan kuliah dan bekerja di Kota Bandung. Aku memang berjanji tidak akan pernah kembali sebelum menjadi orang sukses. Memang berat rasanya, terutama saat aku harus meninggalkan Deviana, kekasihku. Tapi, ini adalah sebuah janji yang takkan pernah bisa aku langgar.

Aku mengenal Deviana saat kami bersekolah di SMA yang sama. Dia adalah teman sekelasku dari kelas satu. Aku menyukainya sejak kali pertama bertemu. Deviana begitu cantik, pintar dan tentunya sangat pengertian. Ternyata mudah untukku bisa menaklukan hatinya. Selang satu bulan perkenalanku dengannya, aku telah menjadi kekasih Deviana.

Kami selalu bersama mengisi waktu selama SMA. Setiap ada aku, Deviana selalu ada di sisiku. Tak terpisahkan. Menghabiskan waktu berdua. Menikmati sunset di Pantai Losari atau pergi ke perpustakaan untuk belajar. Ah, meski kami berdua pacaran tapi kami saling bersaing untuk mendapatkan juara satu –dan Deviana-lah yang selalu unggul *sigh*. Kesenangan itu pun usai sampai akhirnya aku diterima di ITB.

[Surat Pendidikan]

Teruntuk: pelaku pendidikan tanah air.

Menuliskan beberapa huruf yang membentuk kata hingga kalimat disini bagi saya adalah sebuah kesempatan yang luar biasa. Menjabarkan setiap maksud, pendapat, dan sudut pandang saya terhadap pendidikan di bumi pertiwi seluas-luasnya.

Saya paham betul seberapa penting pendidikan bagi anak-anak bangsa. Mengenyam pendidikan dari yang paling kanak-kanak, hingga masa remaja, adalah hal yang ―seharusnya― wajib dilakoni. Tapi, untuk bisa melakoni itu semua dibutuhkan biaya yang tidak sedikit, salah-salah bisa sampai ratusan juta. 

Namun, apalah arti ratusan juta untuk sebuah pelajaran hidup dan akhlak yang pekerti? Tentunya jumlah sebanyak itu sumbut* dengan apa yang didapat oleh anak-anak pengenyam masa pendidikan.

Tapi bagi sebagian anak malah mengenyahkan soal itu. Mereka asyik bermain dilingkungan sekolah, lebih banyak 'main-main' ketimbang mengerjakan tugas. Tanpa tahu apa tujuan mereka berada disana, masa bodoh dengan berapa banyak biaya yang dikeluarkan orang tua mereka, bahkan tidak tahu apa cita-cita mereka.

[Surat Pendidikan] Surat untuk Guru Tercinta

Bandung,  Mei 2013

Assalamualaikum warhmatullahi wabarakatuh.

Bapak dan ibu guru tersayang.

Apa kabar? Lama sekali rasanya kita tidak berjumpa. Maafkan muridmu ini yang selalu merasa sulit meluangkan waktu sekedar untuk menyapa dan bersilaturahmi meski banyak hal yang ingin diceritakan.

Bapak dan Ibu guru…

Saya ingat sekali saat dulu kami ditanya soal cita-cita.  Tak ada satupun yang menjawab ingin menjadi guru. Termasuk saya. Alasan saya sederhana. Bosan. Semua keluarga saya guru. Masa saya harus jadi guru juga. Ditambah lagi sepertinya jadi guru itu susah! Kemana-mana orang pasti kenal kita dan menyapa kita dengan sebutan ibu guru atau bapak guru. Otomatis, kalau begitu kita harus jaim, dong! Secara guru adalah orang yang selalu dianggap baik gerak-geriknya dan budi pekertinya.

Ha..ha.. Maaf. Bahasa gaulnya jadi keluar ^^

Cita-cita saya dulu jadi arsitek. Membangun gedung tinggi yang indah. Terus, saat saya tahu matematika dan fisika itu susah dan membosankan, saya ganti haluan untuk memilih bahasa dan sastra. Saya ingin jadi guide, penerjemah! Bisa keliling ke tempat-tempat asyik, bertemu banyak orang, tetap gaul, dan tidak usah jaim!

[Surat Pendidikan] Kepada Para Sarjana Muda

Kepada Para Sarjana Muda

Hai para pemuda
yang sedang berbahagia, masihkah euphoria kelulusan mengisi kesibukan hari-harimu? Apakah sudah terpikir olehmu, apa yang akan kau kerjakan setelah
hari kelulusanmu? Hari dimana justru kehidupanmu yang sebenarnya baru dimulai. Saat kau sudah dianggap lebih dewasa oleh orang lain, saat kau sudah dirasa mampu menjalankan tanggungjawab yang lebih berat, saat kau akan memulai hidup sebagai seorang manusia yang bukan lagi siswa atau mahasiswa.

Hai para sarjana muda,
Sudah kau rasakan berbagai macam fasilitas selama kau menuntut ilmu dari sejak Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi, sudahkah kau syukuri itu? atau bahkan semua itu kau sia-siakan? Ingatkah kau dengan segala perjuanganmu untuk dapat masuk ke dalam institusi yang kau harapkan? Menganggap tujuan itu yang paling bagus atau bahkan karena paling mewah. Hingga tiba saat kau sudah masuk, nyatanya kau malah tak puas dengan semua yang telah disiapkan dan diberikan untukmu belajar. Seringkali mengeluh dan melihat tempat lain yang kiranya nampak lebih indah daripada tempatmu menuntut ilmu sekarang. Lalu kapan kamu bersyukur untuk hasil kerja kerasmu selama ini?

[Surat Pendidikan] Kepada Ibu yang Anaknya Ingin Sekolah

Terkirim sebuah surat
- Kepada Ibu yang Anaknya Ingin Sekolah

Kepada ibu yang anaknya ingin sekolah,
Pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan atau proses, cara, perbuatan mendidik.

Kepada ibu yang anaknya ingin sekolah,
Dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) berbunyi: Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
Pasal 31 ayat (2) berbunyi: Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Kepada ibu yang anaknya ingin sekolah,
Pendidikan di negara kita yang bernama Indonesia, kini tak ada lagi yang murah.
Embel-embel pendidikan gratis hanyalah sekadar embel-embel. Kenyataannya, pendidikan tetaplah mahal.

Kepada ibu yang anaknya ingin sekolah,
Hakikat pendidikan yang sebenarnya adalah proses memanusiakan manusia.
Membuat derajat anakmu lebih tinggi dengan ilmu.

[Surat Pendidikan] Untuk Pewaris Peradaban

Jakarta, 29 Mei 2013

Salam!

Kepada kalian pewaris peradaban,
Selamat siang. Surat ini kubuat setelah istirahat makan siang. Di sela kesibukanku bekerja. Kau tahu, ini project aneh bagiku. Menulis surat bertemakan pendidikan, mengeluarkan semua uneg-unegku dalam 1000 kata. Lantas, selanjutnya.. apakah akan didengarkan keluhanku? Apa follow-up lanjutannya? Kepada siapa tepatnya surat ini kutujukan? Pada bapak presiden? Aah… beliau sudah terlalu sibuk memikirkan negeri ini, siapalah aku? Hingga suratku HARUS ia baca. Kepada bapak menteri pendidikan? Aduuh… janganlah diganggu pula, tugasnya begitu berat. Mencerdaskan anak bangsa, itu tidak mudah, Kawan. Kepada bapak dirjen Dikti? Kepada rektor? Kepada dekan? Kepada dosen? Kepada guru? Kepada guru mengaji? Kepada ayah dan ibu? Aah… mereka semua sudah terlalu dipusingkan oleh hal lain yang lebih besar.

Ya sudahlah,,, aku pilih kalian saja. Ya… kalian yang sadar dan mencintai peradaban. Peradaban yang madani, yang lahir dari sebuah proses pendidikan yang baik. Peradaban yang kita rindukan namun belum kita maksimalkan untuk menggapainya. Hanya sekadar pengen. Yaa… kurasa itulah permasalahan kita sedari dulu. Terlalu jauhnya realita dan asa. Seakan segala teori itu hanyalah utopia. Benarkah begitu? Tapi… tapi.. aku lihat masih banyak manusia yang idealis dan berhasil mewujudkan mimpinya yang dianggap terlalu bias. Kok bisa ya? Hmm….

[Surat Pendidikan] Surat Cinta untuk Kaum Pejuang di JalanNya

Palembang, 29 mei 2013

Bismillahirahmanirahim,
Assalamu’alaikum wr wb.
Kaum yang berjuang di jalan Allah,
Sebuah surat singkat ini sengaja aku tulis teruntuk kalian para pejuang kebenaran dijalan Allah. Kalian tahu, di mata saya, kalian adalah sosok-sosok hebat yang menyegarkan mata, hati, dan iman. Saya tidak perlu menyebut satu per satu dari kalian yang pernah saya kenal. Perjuangan kalian mengajak pada kebenaran, mengajarkan saya pada ilmu-ilmu agama islam, seperti tak pernah mengenal kata lelah. Saya salut pada kalian yang tetap memperjuangkan akidah islam ditengah kehidupan yang semakin pelik dengan urusan duniawi.

Kaum yang berjuang di jalan Allah,
Kalian telah mengajarkan pendidikan agama yang selama ini hampir hilang dari dunia pendidikan kita. Kita tahu di sekolah dasar hingga dunia perkuliahan hanya beberapa kali saja kita disuguhkan ilmu pendidikan tentang agama islam. Lalu, kepada siapa kita akan mencari ilmu pengetahuan tentang agama kita sendiri ? Sedangkan semua orang tahu, setiap ada perkumpulan pengajian yang sebenarnya niatnya baik, kita dianggap mengikuti dunia tetoris. Kalian tahu pendidikan zaman sekarang kejam, semakin jauh dari akidah. Bagaimana kita akan memperbaiki dunia politik, korupsi yang semakin meraja lela, jika kita sendiri tidak mengubah akhlak kita. Subhanallah, betapa saya bangga melihat perjuangan segelintir orang yang tetap istiqomah memberi pengajaran tentang ilmu agama, meskipun mereka harus secara diam-diam. Perjuangan dalam memberi ilmu untuk anak bangsa yang berakhlak mulia itu sungguh besar, kawan!

[Surat Pendidikan] Pendidikan buat Laskar Langit

Engkau adalah anak-anak yang sudah di pilih oleh Allah untuk menjadi laskar langit, dimana banyak orang yang bergantung kepadamu, Allah juga sudah memilihmu dengan benar dan sudah dipertimbangkan dengan matang. Dan tidak main-main karena Allah sudah menentukan Jalanmu meskipun dikau hidup tanpa Ayah, yang sudah di panggil Oleh Allah.

Laskar langit, dikau tidak sendirian ada aku dan juga banyak lagi laskar langit dilain tempat,  dan di antaranyaa ada yang bisa merasakan pendidikan sampai lulus Kuliah atau bahkan harus putus sekolah waktu SD. Meski kita seperjuangan namun jalan meraih pendidikan kita berbeda, namun tetaplah kita di haruskan belajar, karena Itu adalah perintah Allah.

Perintah yang sangat membawa kebaikan jika dikerjakan. Dan juga bisa membawa Pahala bagi orang Tua yang sudah mendahului kita. Dimana para laskar langit bisa lebih mudah menjadi anak Sholih atau sholihah. Doa doa laskar langit juga lebih baik dari pada doa orang Biasa.

Tidak hanya itu para laskar langit juga mendapat ujian dengan doa-doa yang diucapkan dimana doanya adalah yang baik-baik. Dan untuk itu sebaiknya para laskar langit lebih mendalami ilmu agamanya.

Semakin besar kepercayaan yang diberikan Allah kepada Manusia maka semakin besar pula tanggung jawab manusia. Oleh karena itu mari kita saling belajar dan mengajari apalagi sesama Laskar langit. Dan juga silahkan melanjutkan pendidikan kalian.

[Surat Pendidikan] Suratku, Doaku

Selamat malam…. Apa kabarmu hari ini, Pak? Maafkan aku yang telah lama tak mengunjungimu, bahkan menulis surat padamu aku tak pernah lagi. Ketika aku menuliskan surat ini mungkin engkau  sedang tertidur. Bukan mungkin, tapi kau sudah tertidur, tertidur untuk selamanya di alam sana.

Saat itu 58 tahun dan kau tetap tak pernah letih setiap pagi dengan kakimu yang semakin hari semakin ringkih mengayuh sepeda belasan kilo dan harus turun beberapa kali ketika melewati jembatan yang hanya menggunakan batang kelapa. Belasan kilo itu menjadi dua kali lipat ketika kau kembali mengayuh sepeda onthel itu menuju peraduanmu di siang hari. Peraduan yang sebenarnya hanya merupakan rumah papan dengan atap rumbia yang bahkan saat hujanpun air akan merembes masuk ke dalam rumah.

Tapi itulah kau, kau yang bahagia dengan kesederhanaanmu. Kau yang setiap pagi menyapa kami dengan tawamu, yang selalu memulai kelas dengan cerita-cerita penuh kearifan darimu. Kau yang dipenghujung pensiunmu malah kembali memilih kelas rendah untuk kau ajar. Kau ajarkan kami menulis, berhitung, dan juga hal yang paling ku benci, bernyanyi. Ya, bagiku bernyanyi adalah cuma buat anak TK. Bukan buatku yang sudah berseragam merah-putih.

[Surat Pendidikan] Selamat malam, Para Petinggi

Selamat malam, Para petinggi di negeri tercinta.

Bagaimana kabar kalian ?
Bagaimana kabar negeri  ini? Bagaimana kabar pendidikan di negeri tercinta kita ini ?
Berbicara tentang pendidikan, aku ingin menyampaikan beberapa hal. Bukan untuk menggurui atau berusaha untuk menjadi orang tahu segala hal.
Hai para petinggi,
Tahukah kalian seberapa mahalnya pendidikan di negeri ini?
Aku beri contoh sedikit ya,
Di beberapa daerah di Indonesia. Mereka yang ingin sekolah harus menempuh jarak sekian kilo meter hanya untuk sampai ke sekolah. Berjalan menempuh perjalanan sejauh 30 meter, melewati jembatan yang rapuh, yang sangat bahaya, yang bahkan jika mereka ceroboh sedikit saja mungkin mereka dapat jatuh dari jembatan tersebut. Harus menempuh jarak melalui sungai-sungai, mereka sengaja membawa baju ganti agar baju seragam mereka tidak basah terkena air sungai saat melewati sungai tersebut.
Lalu, di beberapa daerah, beberapa anak yang sudah selesai sekolah, mereka mengadakan kelas sederhana untuk anak-anak di sekitarnya. Mengajarkan, memberi  informasi apapun yang ia dapat setiap hari di sekolah. Membagikan ilmunya. Di daerah perbatasan Indonesia, pengajar sekolah dasar adalah para Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang sedang menjaga perbatasan, sedangkan pengajar yang benar-benar memiliki latar belakang sebagai pengajar atau guru tidak ada satu pun.

[Surat Pendidikan] Surat Cinta untuk Pak Mentri

Kepada,
Bapak mentri pendidikan.
Di tempat.

Assalamualaikum wr. wb, pak mentri. Apapun  kondisi bapak ketika membaca surat ini, semoga Allah selalu berikan rahmat serta kesehatan untuk bapak. Perkenalkan pak, saya Ananda Bayu Sefian. Saya murid kelas tiga di sebuah SMA Negeri yang sangat jauh dari pulau jawa. Saya adalah satu dari sekian banyak anak Indonesia yang beruntung karna dapat melanjutkan sampai jenjang ini. Sekolah yang layak, guru-guru yang ramah. Walau kadang ada juga guru yang sama sekali tidak bersahabat. Saya bersyukur atas semua itu.

Saya tahu dan pastinya bapak lebih tahu, atau tahu tapi seperti tidak tahu atau malah benar-benar tidak tahu?. Di Indonesia masih banyak sekali teman-teman saya yang tidak seberuntung saya. Banyak yang tidak bisa mendapatkan pendidikan yang layak seperti yang saya dapatkan. Banyak dari mereka masih bertahan  dengan fasilitas sekolah yang sama sekali tidak layak untuk disebut sekolah, atapnya tidak ada, bangku dan meja yang rusak, di gabungnya antar kelas, kelas yang sesak, serta kurangnya tenaga pengajar. Yang mengakibatkan mereka tidak dapat menyimak pelajaran dengan sempurna dan masih banyak lagi.

[Surat Pendidikan] Surat untuk Bapak yang Berpendidikan Tinggi

Medan, 27 Mei 2013
Yang terhormat  ‘Pejabat’
di tempat.

           Perkenalkan, saya seorang mahasiswi dari kota yang katanya banyak premannya. Surat ini saya tujukan kepada ‘pejabat’ yang keparat. Maaf jika kata-kata saya terlalu frontal. Buat siapa saja yang berpangkat kotor tepatnya. Izinkan sekali lagi saya ucapkan biar jelas. Surat ini saya tujukan kepada-pejabat-yang-berpangkat-kotor.

              Perkenankan saya ingin menyampaikan isi hati, keluarga saya sederhana, tapi mulutnya pada berbisa. Papa saya suka menonton Anda-pejabat-yang-berpangkat-kotor. Siapapun Anda-pejabat  yang sering muncul di media TV dibandingkan berkontribusi di daerah rakyat kecil. Yang sering berkacak pinggang dengan perut buncit bahkan mungkin Anda tidak bisa melihat jempol kaki anda sendiri. Jujur saja, saya tidak menyukai tontonan Papa saya tersebut. Saya tidak ingin munafik, sayangnya saya juga sering duduk manis ikutan nonton acara tv yang ada Andanya. Apakah kita sejenis Pak ‘Pejabat’?

[Surat Pendidikan] Surat untuk Adik-Adik Kelas 6 Terminal Hujan Bogor

21 Mei 2013

Teruntuk adik-adik kelas 6 Terminal Hujan,
Hai, semua. Senang rasanya kalian sudah melewati masa-masa Ujian Nasional (UN). Pasti kalian sudah tidak sabar menanti hasilnya, bukan? Kakak selalu doakan semoga kalian lulus 100% dan bisa masuk SMP favorit kalian.Sebelum kalian melepaskan masa-masa seragam putih-merah dan berganti menjadi putih-biru. Sebelum kalian – mungkin – tidak akan datang lagi belajar di Terminal Hujan. Kakak ingin bercerita kepada kalian. Maukah kalian mendengarkan cerita kakak?

Kalian tahu mengapa dua tahun yang lalu Kak Anggun dan kawan-kawan membentuk komunitas Terminal Hujan? Karena bermula dari keresahan mereka akan pendidikan anak-anak di Indonesia: biaya sekolah mahal, fasilitas sekolah yang tidak mumpuni, siswa sekolah lebih suka tawuran daripada belajar, dan juga banyak siswa yang drop out dari sekolah. Akhirnya, Kak Anggun diperkenalkan dengan kalian semua (tidak hanya anak kelas 6 yaa..) oleh Ibu-ibu PKK Kota Bogor. Ibu-ibu tersebut menceritakan permasalahan yang ada pada diri kalian hingga akhirnya terbentuklah Komunitas Terminal Hujan.Selang setahun, barulah kakak bergabung menjadi pengajar di Terminal Hujan. Ah, betapa bahagianya kakak bisa bertemu dengan kalian adik-adik. Kakak senang melihat semangat kalian belajar – meski ada satu-dua orang yang juga malas, hee Kakak juga salut dan bangga kepada Kak Anggun dan kawan-kawan sebagai inisiator dari komunitas Terminal Hujan. Salut atas semangat juang mereka untuk membangun komunitas ini. Salut, karena mereka terus berupaya menjadikan diri kalian sosok yang pintar, cerdas, dan bermoral. Kalau bisa dikatakan mereka adalah pahlawan yang benar-benar tanpa mengharapkan balas jasa.

[Surat Pendidikan] "Jangan jadi siswa yang suka nyonto"

Kepada:
Master Fisikaku tercinta

Halo Master.
Masih ingat saya? Ah, pasti Master lupa. Coba saya ingatkan, “saya adalah salah satu siswa yang tidak pernah bosan berdiri ketika tidak bisa menjawab setiap pertanyaan dari teori-teori Fisika yang Anda ajarkan, saya adalah salah satu siswa yang tidak pernah mendapat nilai bagus setiap ulangan dan selalu remedial”. Ya, siapapun yang ada di memory Anda saat ini, saya yakin salah satunya adalah saya.

Master Fisikaku tercinta.
Tahu tidak? Master adalah “guru paling sadis” ketika Anda menjelaskan teori-teori fisika tentang hukum relativitas, vektor, arah medan magnet, elastisitas, dan …. Ah! Bahkan sayapun tidak ingat.

Tetapi, satu hal yang tidak pernah saya lupakan dari Anda, Sang Master Fisika. Kalimat ini, “Jangan jadi siswa yang suka nyonto.”

Setelah sekian lama saya tidak mendengar kalimat itu dari Anda, saya begitu merindukannya. Siapa sangka “mantra” ajaib itu bisa sangat memengaruhi saya. Bukan sekadar kata-kata dari seorang guru Fisika yang menginginkan adanya perubahan dari siswanya. Tetapi lebih dari sekadar itu.

[Surat pendidikan] Surat untukmu, Ibu

Surat untukmu, Ibu.

Berbicara tentang sosok pendidik. Aku memilih surat ini ditujukan untuk ibu. Sosok seorang pendidik dalam keluarga. Guru yang pertama kali Aku temui sejak terlahir di dunia ini. Guru yang tak pernah lelah mendidikku, memberikan fasilitas pendidikan terbaik sejak Taman Kanak-Kanak sampai sekarang duduk di bangku kuliah. Tak pernah lelah, tak pernah mengeluh. Dulu  engkau mengajarkanku berjalan, sedikit menuntunku tapi kemudian engkau lepaskan, membiarkanku mencoba sendiri. Itu engkau lakukan agar aku punya semangat untuk terus berjuang. Engkau juga kadang membiarkanku terjatuh, lalu dengan uluran tanganmu engkau mengajarkanku artinya bangkit dari keterpurukan. Dan masih banyak lagi yang kau ajarkan. Ilmu yang tak pernah diajarkan di sekolah-sekolah formal. Ilmu tentang kasih sayang, ilmu untuk saling berbagi, segala macam ilmu positif kau ajarkan kepadaku, sebagai bekalku untuk mengarungi hidupku kelak.

[Surat Pendidikan] Surat Cinta untuk Oemar Bakri

Bapak Oemar Bakri Terhormat,

            Seorang guru, pengajar dan pendidik. Cintamu pada pendidikan begitu wangi. Engkau yang setiap hari dating dengan niat berbagi ilmu, dengan keinginan besar untuk mendidik anak bangsa penerus di masa depan dengan sepeda kumbang hitammu. Baktimu pada Negara begitu besar, begitu dalam dan tanpa pamrih.
            Kami para putra-putri bangsa, yang awalnya tidak mengenal huruf, tidak tahu bagaimana membaca, tetapi engkau, wahai guru, pengajar dan pendidik, mengajarkannya kepada kami. Mengajarkan kami, mendidik kami, dan mencerdaskan kami. Bukan hanya membaca, menulis, berhitung, tetapi membagi pengetahuan dan ilmumu yang luas itu kepada kami. Dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak bisa menjadi bisa. Ilmu sepanjang hayat yang akan terus terkenang dan abadi di muka bumi ini.
            Wahai pendidik, pengajar yang baik dan begitu setia dengan pekerjaan dan bakti muliamu akan pendidikan bagi bangsa ini, Oemar Bakri, kaulah Sang Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, memberikan ilmu, pengetahun dan tenagamu untuk mengajar tanpa pamrih. Mendidik, mengajarkan, membimbing, dengan cinta dan kasih sayang. Tapi apa balasan bangsa ini padamu?
Inilah reward yang diberikan pemerintah kepada Guru. Reward itu berbentuk gaji yang kecil, itupun masih dipotong sana-sini oleh para koruptor. Bagaimana bangsa ini bisa cerdas kalau guru-guru yang ditugaskan oleh negara untuk mendidik tunas bangsa tidak dihargai tinggi semua pengabdiannya. Katanya tanah Indonesia kaya raya, kenapa penghasilan guru yang dananya didapat dari kekayaan alam ini tidak bisa besar..? tanya kenapa??

[Puisi Akrostik] Esti Kinasih

Embun pagi tebarkan kesejukan
Seperti Ibu yang selalu beri kenyamanan
Tak pernah mengeluh dalam kelelahan
Indahkan dunia dengan kelembutan

Kecantikannya terlindungi
Ibarat mawar yang indah
Namun berduri
Aku ingin sepertinya
Sematkan kasih di tiap langkahnya
Indah, menawan
Hingga lelap menutup matanya

Puisi ditulis oleh Nina Marchiatoo

[Puisi Akrostik] Bidadari Surga

B etapa kau sungguh mahkota yang berharga
I ngatkan kodrat sebagai kaum hawa
D zikirmu, hijabmu, keanggunanmu
A urat terjaga, kaulah muslimah sejati
D i sisi Allah kaulah intan permata
A ndaikan modernisasi menguak
R agamu takkan goyah
I nilah kita pejuang masa kini

S urga menanti, kaum yang di nanti
U sah kau hirau, janjiNya kan pasti
R isalah hati menguat iman
G enggaman hati tersimpan erat..
A dakah kita wanita yang terpilih ?


Palembang, 01 Mei 2013
Puisi ini ditulis oleh Sonya Annisa Ilma

[Puisi Akrostik] Uai, Bundaku

Bolehkah kusemai sajak untukmu?

"Uai, Ibu, Mama, Emak" panggilan buatmu
Namun, tak mengurangi arti tulusmu

Daduhmu merdu pengganti dongeng Cinderella atau Putri Salju
Adakah yang lebih dapat kulakukan selain bersujud pada Tuhan?
Kupeluk kau melalui doa-doa sepanjang umur

Uai, kubawa cinta tulusmu sampai akhirat....


Makasar, 1 Mei 2013
11.50 WITA
Puisi ini ditulis oleh dhilayaumil

[Puisi Akrostik] Wanita

Wajahnya selalu saja memberikanku semangat yang tak pernah habis
Airmatanya adalah kesakitan yang amat sangat dalam hidupku
Nasihatnya bagai doa-doa yang selalu aku nantikan.
Ibu,
Tidurlah dalam pelukanNya yang hangat.
Aku disini merindukan dan akan selalu mendoakanmu.

*untuk seorang teman, yang Ibunya telah tiada* :')

Puisi ini ditulis oleh Fitria

[Puisi Akrostik] Ade Nani

Ada cerita-cerita yang ingin selalu aku ceritakan padamu.
Dan doa-doa yang selalu terucap kepada Tuhan yang maha baik
Engkau tahu, nadi yang ada ditubuhku ini tidak akan memisahkan kita.

Namun, segalanya itu memang ajaib bukan?
Ada Ayah yang selalu memandangi kita dari atas sana.
Nikmat mana lagi yang harus aku dustakan?
Ibu, ijinkan aku bersyukur dengan membahagiakanmu. :')


Puisi ini ditulis oleh Fitria

[Puisi Akrostik] Perempuan Sejati

Pintar budi akalmu
Elok peringai terpuji,walau
Raga sudah tidak bisa menemani kaummu
Entah mengapa, jiwamu terpikat di hati
Mewangi seperti namamu
Pelosok negeri tahu
Ungkapan kecintaanmu yang melegenda
Anggun lenggak-lenggok Kartini
Nekat membarakan semangat emanisipasi

Sekiranya bisa,
Engkau lihat saat ini
Jutaan perempuan modern ikut beremansipasi
Alasan untuk mengenangmu
Tidakkah kau tersenyum disana?
Ia pasti tersenyum, Kartini.Perempuan Sejati.

perempuan sejati,
Puisi ini ditulis oleh fathia
29 April 2013 9.30

Sabtu, 22 Juni 2013

[Puisi Akrostik] Perempuan Indonesia

P arasmu sungguh rupawan
E lok tutur katamu seperti untaian berlian
R agamu kau jaga layaknya mahkota idaman
E nergi positif selalu kau pancarkan
M emperlihatkan keanggunan yang kau punya
P usaran kharima yang rupawan
U sah kau ragukan lagi
A ndilmu dalam kemajuan suatu negeri
N ampak sangat begitu berarti

I ndahkah suatu sisi tanpa adanya kau yang mengisi?
N eraca mulai tak seimbang
D ilema kemakmuran merasuki
O mbak kemakmuran menerjang
N aluri untuk bergerak kau dahulukan
E mansipasi atau ego yang menangkan?
S adarkah bahwa kau kunci dari sebuah kemajuan?
I inilah titik dimana harus kau pikirkan
A ku sebagai seorang ibu atau sebagai pekerja kantoran?

*Puisi ini ditulis oleh Ristinesia

[Puisi Akrostik] Untukmu Perempuan

P arasmu menelusup ke dalam kabin sukma
E mansipasi menguap dalam catatan - catatan buku
R upanya kau meragu, sewaktu dunia mengajakmu kembali
E ndapkan lara, kumohon kau tetap bertahan
M emang tak adil bila suaramu hanya dianggap angin lalu
P un namamu tak pernah tercatat di dalam mata keadilan
U sah kau peduli kelak tetesan air akan merobohkan angkuhnya takdir
A jarkanmu setegar Kartini
N anti, hari ini, dan lampau kau pasti akan pahami

Untukmu Perempuan (dalam Catatan Perjalanan Seorang TKW)

*Puisi ini ditulis oleh Haqi

[Puisi Akrostik] RESLA AKNAITA CHAK

Rasanya bak secangkir kopi yang disesap
Erat semakin hangat dalam dekap
Saat mata indahmu sendu menatap
Lesung pipitmu pun ikut tersingkap
Aduhai …. Aku terperangkap

Aroma wangimu semerbak mendekat
Kepayang aku lupa akhirat
Nafas pun memburu semakin tercekat
Aliran darah rasanya bergerak cepat
Irama jantung berdegup dahsyat
Terperangkap akan panah amor yang melesat
Aduhai….Aku terjerat

Caramu  melenggang semampai gemulai
Hampiri aku yang semakin terkulai
Akankah kau datang membelai?
Karena hari ini kita resmi sebagai mempelai.

*Puisi ini ditulis oleh Chal

Jumat, 21 Juni 2013

[Puisi Akrostik] WANITA MASA KINI

Waktu laksana kereta
Antarkan kau pada kini
Namamu berjejer di berbagai bidang
Intimidasi kaum Adam
Terkadang.
Alirkan pandangan baru bernama: Feminisme.

Menatap dunia, memilih celana dibanding kebaya
Adalah cara pandangmu kini.
Simbol modernisasi, emansipasi,
Ataukah hanya kesalahan proposisi?

Kartini masa kini...
Ia mengejawantah sosok baru.
Namun pada dasarnya
Ia tetaplah satu... PEREMPUAN.


*Puisi Akrostik - WANITA MASA KINI*
Puisi ini ditulis oleh meta morfillah

[Puisi Akrostik] Untukmu, Ibuku

U ntukmu ibu..
N amaku yang selalu terselip dalam doamu,
T ak pernah berhenti kau panjatkan..
U ngkapan cinta yang hadir disetiap doa
K an mengiringi setiap langkahku
M enyambut masa depan
U ntuk bisa membahagiakanmu

I bu..
B ila aku belum mampu bahagiakanmu, maaf
U ntuk semua khilaf yang ku lakukan, maaf
K arena mungkin aku belum mampu
U ntuk membalas semua kasihmu


* Puisi ini ditulis oleh Joko

[Puisi Akrostik] Kelembutan Dirimu, Ibuku

Kasih sayang yang begitu melimpah
Enggan rasanya, kuabaikan
Lembutnya senyummu
Enggan untuk tidak kupandangi
Membuat diriku selalu rindu
Bukan untuk sekedar menghormatimu
Untuk mencintai dan menjagamu
Tanpa ingin pergi jauh darimu
Angan indah akan senyum banggamu, memenuhi benakku
Namun waktu belum berpihak

Darimu, aku belajar menjadi tegar
Ingin lebih kuat dan sabar
Rindu akan kasih sayangmu
Ingin diri ini menjadi seorang ibu sepertimu
Menjadi ibu sabar dan kuat
Untuk keluargaku, kelak


Ibuku sayang, aku ingin berkata
Betapa aku mencintaimu
Untuk selamanya dalam darahku
Karena kau adalah hidupku
Untuk cinta sepanjang hayatmu, yang tak ternilai itu


*Puisi ini ditulis oleh Dania Sunshine

[Puisi Akrostik] Ia, bernama Perempuan

Perempuan...
Elokmu melebihi indahnya senja
Rambutmu simbol mahkota

Embun saat pagi
Menyejukkan hati
Pelipur lara dikala sedih

Untuk kesekian kalinya
Asmara kembali tumbuh
Nari-menari selaras lagu

Biar, biar saja begitu
Usah ragu

Kala cinta telah terbelenggu
Airmata mana lagi yang mampu mengganggu?

Nyanyi-menyanyi semerdu empedu
Walau hatimu bukan untukku
Arah hatimu bukan tertuju padaku
Namun...
Imajiku akan selalu tentangmu
Tumbuh dan luruh
Akankah aku jadi pelabuhan terakhirmu, oh perempuanku?


Semarang, 25 April 2013
*Puisi ini ditulis oleh Resla Aknaita Chak []

Senin, 17 Juni 2013

[Puisi Akrostik] IBU

Ribuan detik kuhabisi
Isak dan tangis tak terhitung lagi
Nyanyian termerdu hingga tersendu silih berganti menemani
Inikah yang dinamakan sejati?

Sosok pahlawan nyata
Untuk hidupku ia korbankan segalanya
Lalu balasan apa yang ia minta?
Ah, ia tak butuh belas ataupun balas
Setitikpun tidak
Tanpa pamrih
Riwayatmu akan tetap terpatri
Ibuku....


Didedikasikan untuk Ibuku tercinta, Rini Sulastri.


*Puisi ini ditulis oleh Resla

[Puisi Akrostik] Cut Nyak Dien

Cintamu untuk negeri ini
Usah kuragukan lagi
Tumpah darah, kegigihan dan perjuanganmu, telah kau curahkan sepenuh hati

Nyatalah segala perjuangan
Yang kau ukir sungguh begitu sempurna
Aku meneladani semangat juangmu
Keikhlasanmu, dan dedikasimu untuk tanah Indonesia

Dilahirkan untuk tanah ini, gugur pula untuk tanah ini
Indonesia Raya
Enggan kulupakan semua jasamu, hai kau penakluk imperialisme-kolonialis
Namun, jika suatu saat namamu terlupakan, kau tetaplah perempuan tangguh Indonesia


*Puisi ini ditulis oleh ini Vita

[Cerpen Duet] Hipofisis Cinta Sepihak

Andai aku bisa, memutar kembali..
            Aku memejamkan mata. Memaksa oksigen masuk dengan cepat untuk memenuhi rongga paru-paru, dahiku mengkerut seperti merasakan sesuatu yang salah. Dan ketika oksigen terurai tergantikan karbondioksida. Mataku terbuka, Aku menyadari. Aku memang tidak punya hati.
***
            Aku melirik jam dinding. “Tentu saja sekarang waktunya” pikirku. Sudah jadi kebiasaan satu hari di setiap pekan, 2 hari sebelum hari Minggu, tepat di pukul 4 sore, kegiatan ini kulakukan, kegiatan yang tanpa sengaja telah menjadi kebiasaan semenjak aku menyakiti perasaannya, dan semenjak aku sadar telah menyakitinya, semenjak itu pula aku berpura-pura untuk tidak menyakitinya. Mungkin inilah bentuk rasa bersalahku, menghubunginya seminggu sekali, bertukar cerita. Panggilan tersambung.

            “Halo Wi, lagi apa?” aku memulai pembicaraan.
“Lagi pakai baju nih, habis mandi. Situ lagi apa?”
Apa? Pakai baju? Habis mandi? Aku mengkerutkan dahi.“Jadi masih pakai handuk dong? Terus cara megang ponselnya gimana??” aku terkekeh. Itu yang aku suka dari kamu selalu apa adanya.
“Omes banget, ponselnya ya di letakin di atas meja,terus dispeaker dong. Eh, gimana kabarnya di sana? Aman sehat sentosa kan? Kangen gak sama aku? Hehehe”
“Oh, masuk akal! Hehehe... alhamdulillah semua baik, sehat sentosa? Emang kamu Menteri Kesehatan? Kangen? Siapa? Aku? Lumayan lah..” Iya, Menteri Kesehatan hati aku. Setengah mampus aku kangen.
Aku tidak bisa menyembunyikan rasa rinduku. Itu wajar.

[Cerpen Duet] Kisah Kita Yang Salah

“Tentang ia yang dekat namun terasa jauh. Dan tentang ia yang jauh namun terasa dekat…”

                Dibalik jendela ini aku merenung. Aku tahu ini masih terlalu pagi untuk sebuah lamunan yang sama setiap harinya. Dan suara burung-burung itu terlalu sayang untuk di abaikan. Tapi inilah kenyataannya. Aku membuka mata, membuka gorden dan kemudian duduk di sana. Meski cuaca berganti, rintik dan suara burung bergantian menghampiri, bunga mekar dan daun gugur datang bergantian seakan pasrah akan musim yang mengendalikan mereka, dan buku –teman lamunanku- yang berganti setiap aku khatam membacanya. Semuanya berganti. Hanya aku, hanya lamunanku yang tetap sama. Tak pernah berganti sedikitpun.
                Tentang ia yang dekat namun terasa jauh. Dan tentang ia yang jauh namun terasa dekat. 
                “Aku besok pulang. Kamu nggak ada janji, kan, sama Surya?”
                Pesan singkatnya. Dua kali ia mengirimkan pesan yang sama.
                “Nggak ada, Wang. Cepat pulang ya…” balasku.
                Awang. Aku mengenalnya enam tahun lalu, saat Masa Orientasi Sekolah di SMA. Saat itu ia membelaku habis-habisan ketika seorang senior memarahiku karena aku terlambat.
                “Bukankah di sekolah ini kalau terlambat dalam waktu kurang dari 5 menit masih bisa di tolerir? Sedangkan….” Ia melambatkan bicaranya, kemudian membaca papan nama yang ku gantungkan besar-besar di leher, “Sedangkan Kidung hanya terlambat 3 menit.” Katanya lantang.
                Berani sekali dia, pikirku.
                “Bahkan kamu masih harus menoleh ke arahnya untuk sekedar tahu namanya.”
                Gila. Ia sudah gila.
                “Kalian berdua. Silakan menuju lapangan, dan hormat ke bendera. Sekarang!”
                Ah. Sial!
                Tapi setidaknya aku tak menahan malu sendirian karena hukuman.
                “Namamu Awang ya? Kenapa berani sekali? Namaku…”
                “Aku tahu namamu Kidung.” Sambarnya cepat. Kemudian menjabat tanganku. Kami tertawa.
                Aku pura-pura, awalnya. Hingga sekarang aku lupa bahwa aku sedang berpura-pura. Aku tak berniat untuk menyeretnya sedalam ini. Aku hanya ingin meletakkannya sementara di tempat ini. Namun caraku salah. Justru aku yang sekarang tak ingin ia pergi, meski tempat ini telah dimiliki.
                Kring…. 
                Suara telfon itu membuyarkan lamunanku. Kupencet tombol hijau itu.
                “Selamat pagi, Kidung. Satu jam lagi aku nyampe, ya…” suara dari seberang.
                “Iya..” jawabku seadanya, singkat. Kemudian menutup telfon dan mulai bersiap diri.
***

[Cerpen Duet] KAULAH SEGALANYA

Nisa tertunduk memperhatikan bulir-bulir hujan yang jatuh ke jari-jari kakinya, sebenarnya bukan hanya kakinya namun seluruh tubuhnyapun sudah basah kuyup. Hujan sore ini tidak membuat Nisa menepi untuk menghindarinya. Ia lelah hari ini. Lukanya menganga lebar, Sakit sekali. Setidaknya tetesan air hujan dapat membuat wajahnya terlihat menjadi samar. Antara airmata dan air hujan...
                Perang antara hati dan otaknya membuat ia menjadi semakin lelah. Tentang rindu yang sudah menumpuk terlalu tinggi, tentang hati yang mencintai dengan cara yang tak bisa di mengerti, tentang jiwa yang sudah begitu sabarnya menunggu. Ia butuh istirahat sejenak. Ia butuh waktu tanpa memikirkan apapun. Namun itu semuapun “dulu”. Kali ini Nisa hanya sedang mengingat bukan meratapi. Ia yakin keputusannya sudah tepat karna waktu terus berjalan maka ia akan tetap melangkah ke depan tanpa menoleh ke belakang. Kini airmata di wajah Nisa terlihat di hiasi dengan senyum. Senyum bahagia, bahagia karna berhasil melepaskan dan merelakan.
                                                                        ***                

            “Huh! Kuliah pagi buta begini selalu saja menyulitkanku” Rian menggerutu.
            “Jam berapa ini? Jam 7 kamu bilang pagi buta yan? Ckck.. dasar tukang molor” ucap Nisa sambil berkacak pinggang.
            “Hahaha.. aku sih masih tetap tenang karena ada gadis cantik yang selalu membangunkanku setiap pagi” goda Rian sambil memeluk pundak Nisa.
            “Kasihan sekali gadis itu pasti.. ” Nisa melotot lucu lalu menjitak Rian.
            “Aduh.. hahahaha.. nanti ada kuliah jam berapa lagi kita, Nis?” Rian terkekeh.
            “Jam satu matakuliah pemasaran” jawab Nisa sambil berlalu.

            Nisa selalu menikmati suasana pagi seperti ini besama Rian. Menyenangkan bisa membangunkan dan mengingatkan Rian pagi-pagi untuk segera mandi. Lucu sekali saat mendengarkan suara Rian yang sedang terkantuk dan uring-uringan di ujung telefon. Dan lagi lagi melihat Rian melahap sarapan sandwich yang Nisa bawakan adalah kebahagiaan yang tidak bisa di jabarakan. Ah terlalu banyak hal yang Nisa sukai dari sahabatnya itu.
               Lima tahun sudah mereka bersahabat. Hanya berdua dan tanpa pasangan masing-masing, mereka berdua sudah terlalu klop sehingga tidak berniat untuk menambah personil di dalam persahabatan mereka. Bahkan banyak teman-teman mereka yang mengira Nisa dan Rian berpacaran. Mereka selalu menanggapi dengan guyonan jika di tanya begitu oleh siapapun. Tetapi pada kenyataannya Nisa menikmati itu.
***

Rasaku

Ini tentang seulas senyum yang terus membayang
Tentang teduhnya tatapan mata yang bersarang
Tentang lembutnya tutur kata yang terngiang
Tentang namamu yang membekas tak pernah hilang
Semua ini tentangmu sayang

Jantungku berdegup lebih kencang
Langkah kakiku tertahan untuk pulang
Ragaku lemas serasa melayang
Semua ini karenamu sayang

Setiap mataku terpana padamu
Saat itu pula rasaku tak menentu
Detak nadiku
Goncangan dadaku
Menghanyutkan ketenangan kalbuku

Ah…, mencintaimu begitu menyenangkan sayang
Membuat kepala mabuk kepayang
Lagu cinta selalu berdendang
Namun..
Apakah rasamu seperti rasaku, sayang?


*Puisi ini ditulis oleh Chalriz

Untukmu, Cinta Pertamaku

Kau datang lagi saat aku jatuh,
Tak pernah kau coba tuk menarik,
Atau pun mendorong ku tuk bangkit,
Tapi kau terus ada disampingku,
Menuntun ku tuk bangkit bersamamu,

Kau berikan ku perhatianmu,
Kau berikan ku kasih sayangmu,
Kau berikan ku rasa yang sama,
Yang dulu pernah aku rasakan

Kau bilang,
kau akan menghadirkan kembali cinta yang pernah hilang

Tapi tahu kah kau
Cinta yang tumbuh dalam hatiku,
Tak pernah pergi
Dia masih tetap disini,
Setia menunggu,
Menunggu mu kembali memberikan warna indahmu

Mendung yang sedaritadi menggantung di bibir langitpun pergi,
Seakan tahu keadaan hatiku yang tak lagi mendung,
Tak lagi mendung karena hadirmu,
Tak lagi mendung karena cintamu,
Tak lagi mendung karena kau yang dulu pernah pergi,
Kini kembali menghiasi hari-hariku,
Cinta pertamaku..


*Puisi ini ditulis oleh Joko