... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ...

Kamis, 12 September 2013

[FF] Perjalanan Cinta & Cita-cita

Paris-Perancis, 2013
Hawa dingin menelisik belakang daun telinga. Keindahan kelap-kelip lampu di menara Eiffel ikut serta menemani malam indah sepasang suami-istri yang sedang berdiri di bawahnya sambil bergandengan tangan. Tiba-tiba sang istri terkenang kisah enam tahun silam, perbincangan di bawah langit senja benua seberang bersama sang suami, lelaki tercintanya.
“Maafkan aku. Bukan karena aku tidak cinta, tapi kita berbeda, mon chérie [1],” ujar lelaki berambut cepak bernama Ari memegang kedua bahu gadis itu dan menatap matanya tajam.
“Tapi aku yakin kita bisa, bukankah menyatukan perbedaan itu indah?” Tanya gadis itu sambil bercucuran air mata.
“Maaf aku tidak bisa. Mengertilah chérie.”

Berau-Indonesia, 2009
Panas terik yang membakar kulit. Ira berjalan menuju sebuah warung internet untuk melihat pengumuman beasiswa yang ia ajukan. Tuhan benar-benar sedang berbaik hati kala itu. Kerja kerasnya selama setahun, siang-malam membuka kitab kuning berbahasa Inggris berjudul Cliffs TOEFL Preparation Guide dan mendaftar beasiswa ke berbagai universitas di luar negeri akhirnya terbayar dengan sebuah kata “lulus”.
“Semoga semuanya berjalan lancar anakku, jaga dirimu baik-baik. Jangan lupa sama Allah, selalu minta pertolongan-Nya,” kata Ibu sambil menangis memeluk erat Ira.
Malam menjelang keberangkatan, ia merenungi perpisahannya dengan Ari setahun lalu hingga ia bangkit dan ingin melanjutkan hidup dengan pergi meninggalkan Indonesia untuk melanjutkan studynya ke Negara Kanguru.

Selasa, 10 September 2013

[FF] Saksi Mata

Perjalanan jauh antar wilayah itu sangat melelahkan. Aku sampai harus beristirahat di suatu restoran restoran di daerah BSD, Tangerang ini memang mewah sekali. Harganya mahal-mahal, tetapi aku sedang ingin makan di sini walau sampai harus menguras uangku.
            Aku duduk sendiri di sudut restoran dan berhadapan dengan kaca. Beberapa meja di sekitarku terisi oleh pelanggan. Baik pelanggan yang makan sendirian ataupun bersama dengan kenalannya, setiap meja terisi. Restorannya sedang rame di saat waktu makan siang.
            Aku memesan satu paket steak yang dilengkapi dengan salad dan kentang goreng dengan segelas ice cappuccino. Saat aku sedang menunggu pesananku dating, aku mencuri dengar pembicaraan pelanggan lainnya yang berada di seberang mejaku.
            Seorang wanita yang kuyakini usianya lebih tua dariku, berpenampilan begitu biasa saja. Berbalutkan dress panjang berwarna abu-abu, dengan rambut berantakannya yang sedikit memutih dia duduk bersama dengan seorang pria yang sepertinya seusia dengannya. Pria itu memakai topi hitam yang bagian depannya ditekuk, jaket hitam polos yang kerahnya ditegakkan hingga menutupi lehernya. Keduanya duduk dengan tidak tenang, sepertinya sedang ada yang mengawasi mereka atau apalah.

[FF] Lelaki bertopi di ujung senja

Senja itu, ada seorang laki-laki datang. Tiada kata, hanya diam saja. Annisa hanya melihatnya sekilas tanpa ada kata-kata untuknya, lelaki yang baru saja duduk disampingnya.

Annisa memilih untuk berdiam diri di bandara Sultan Mahmud Badarrudin II. Menikmati senja yang menghantarkan jingga ke peraduan terakhirnya. Menghirup sisa-sisa angin dalam paru-paru. Annisa sedang tak ingin bicara. Dia tidak bisu hanya saja sedang menikmati diam untuk beberapa waktu.

Hingga tiba waktunya, Annisa beranjak pergi. Tak peduli dengan lelaki bertopi yang sudah menemaninya sejak tadi. Lelaki itu pun tak tergerak hati untuk menahannya atau sekadar menanyakan akan kemana dia pergi.

Iya, malam sudah merayap datang. Kini, si lelaki bertopi itu hanya ditemani angin malam yang menusuk-nusuk hingga ke tulangnya.
Beberapa hari berlalu, Annisa kembali ke bandara itu. Dilihatnya lelaki bertopi itu lebih dulu memilih duduk di sana, di tempat mereka bertemu kemarin. Sebotol kopi diseduhnya hingga dasarnya. Annisa datang menghampiri dengan membawa beberapa buku sebagai temannya.

[FF] Membuka Surga

Siang itu, setelah pulang dari sekolah, Fima membongkar celengan plastik miliknya, ia congkel-congkel dengan gunting kecil miliknya. Kamarnya dikunci rapat-rapat, ia tak mau ibunya tahu apa yang dilakukannya. Celengan itu adalah pemberian ibunya dua bulan yang lalu.

“Asik, terima kasih bu. Fima janji akan rajin menabung,” Kata-kata itu kini tinggal kenangan. Janji itu Fima langgar dengan membongkar celengannya. Semua ia lakukan karena terpaksa. Fima melangkah gontai melewati pekarangan rumahnya, ia takut ketahuan ibunya kalau siang-siang keluar. Fima mengeluarkan sepedanya, kakinya menggoes dengan semangat menuju pasar.

Sampailah Fima di depan toko kue. Ia masih duduk di atas sepedanya, kemudian mengeluarkan dan menghitung kembali uangnya, ada tiga lembar uang dua puluh ribu, dan empat uang sepuluh ribu. senyumnya mengembang, keceriaan hadir dalam dirinya saat itu. Tinggal beberapa langkah lagi niatnya akan terwujud.

[FF] Teta

“Aku beruntung bisa ketemu sama kamu ….” Eros menatap tepat di kedua manik mata Teta.

Perempuan berlesung pipi itu tersipu sambil menunduk. Selalu saja kotak kalimat yang dimiliki Eros bisa membuat dirinya malu-malu seperti ini. Betapa dia sangat mengagumi laki-laki di depannya itu.

“Apa yang membuatmu beruntung bertemu denganku?”

Eros tertawa kecil. Rambut ikalnya yang sedikit panjang bergoyang ditiup angin sore. Hari ini rambut gondrongnya dibiarkan bergerak liar tanpa pengikat.
Eros berdehem kecil. “Apa, ya? Hmm—” Mengerling sedikit pada Teta, “mungkin karena kau sangat istimewa, lebih dari yang kau tahu.”

Lagi-lagi Teta tersipu. Meskipun jawaban Eros sama sekali tidak menuntaskan keingintahuannya, tapi tetap saja laki-laki itu bisa membuatnya mati kutu kesekian kalinya.

“Teta …,” panggil Eros. “kamu memang tidak setiap saat mengerti aku, begitupun sebaliknya. Kita masih memiliki banyak kekurangan satu sama lain. Tau apa yang membuatku beruntung bertemu kamu sejak tiga tahun lalu?”

[FF] Menghindar

“Bu, bapak ke mana sih?”

“Kerja lah De, kenapa tiba-tiba kamu nanyain bapak? Biasanya cuek.”

“Aku mau lihat wajah bapak.”

“Ada apa dengan wajah bapak?”

“Aku lupa wajah bapak, Bu. Habis bapak pergi dan pulang saat aku masih tidur.”

Ibu tersentak kaget mendengar perkataan anak gadis bungsunya. Sementara si bungsu berlalu dengan wajahnya yang cemberut. Gadis kecil yang kritis itu jarang berkata, namun tiap kali ia berkata seringkali membuat ibunya terbengong-bengong. Takjub. Antara kepolosan dan kecerdasannya yang melampaui usia si bungsu.

Sebulan kemudian..

[FF] Tentang Pertemuan yang tak pernah salah

Stasiun Senen, Jakarta pukul enam sore tidaklah terlalu ramai. Sandy melihat sekeliling, di setiap sudut stasiun ada saja para penumpang dengan membawa banyak sekali bawaan. Sandy  menertawakan dirinya sendiri, Sandy hanya membawa ransel yang entah isinya apa. Ia tidak peduli.
Sandy memeriksa kembali tiket kereta dengan tujuan Yogyakarta. Sandy akan melarikan diri dari penatnya Jakarta. Jakarta, sudah tidak senyaman dulu.
Dua puluh lima menit sebelum jadwal keberangkatan, kereta datang. Sandy mulai mencari tempat duduknya, gerbong enam dengan nomor kursi 13A.
“Ini gerbong enam, 13A, benar kan?” Sandy heran melihat kursinya sudah ada yang menduduki.
Lelaki berusia kira-kira lebih tua tiga tahun dari Sandy itu menoleh menatap Sandy, Lelaki itu tersenyum “Iya, benar. Maaf saya duduki. Tadi belum ada siapa-siapa, jadi saya duduk  dulu di sini.”

Kalian pernah merasakan bagaimana rasanya nyaman membicarakan segala hal dengan seseorang yang baru saja ditemui? Begitulah.
Kereta mulai jalan perlahan, “Untuk apa perjalanan ini?” Sandy mengalihkan perhatiannya dari buku yang ia pegang dan sekarang memandang lelaki di depannya.
“Untukku? Aku ingin sebentar saja melarikan diri dari penatnya Jakarta. Bagaimana denganmu?’
“Aku rindu merindukan rasanya untuk pulang..”
“Kau beruntung,”

[FF] Perayaan

“Datanglah, demi penghormatan terhadap masa lalu kita.”

Kalimat gadis di hadapannya bagaikan nyanyian kematian. Sepucuk undangan berwarna ungu dikombinasikan perak menegaskan surat pengantar kematian hati pemuda itu. Desember. Penutup tahun yang sungguh tepat dipilihnya. Segala kisah yang teramu ternyata berakhir seperti ini. Desember datang dengan gontai, meranggaskan pucuk-pucuk harapan dalam diri pemuda itu. Yang tersisa hanyalah keletihan yang tak mampu ia hadapi sendiri, seakan hidup segan mati tak mau. Sementara bagi sang gadis, Desember membawa pucuk yang akan bersemai dan berbunga. Balutan gaun pengantin nan indah, para tamu yang bersulang demi kebahagiaannya, diiringi lagu “From this moment” seperti yang dicitakan sang gadis.

“Kau akan datang, kan?”

“Aku belum tahu.”

“Aku sangat mengharapkan kedatanganmu, Adri. Berbahagialah untukku.”

Undangan.

[FF] Sebut saja namanya Dika

Sebut saja namanya Dika, dia adalah anak yang gagal lulus dalam ujian Nasional SMA 2010, dan sampai sekarang dia tidak melanjutkan sekolah. Berbeda dengan si Joe, anak nomer satu disekolah. Dika dan Joe adalah sahabat mulai kecil, banyak orang yang menyebut mereka saudara kembar. Tata cara bicara dan tata cara berpakaian mereka juga sama.
Setelah pengumuman kelulusan kedekatan mereka mulai berbeda, seperti yang banyak orang sangka, kalau si Joe tidak mau berteman sama anak yang tidak lulus SMA. Beberapa kali Dika sms Joe “joe, kamu dimana?, kamu baik-baik saja?, yuk main.” Tak ada satupun balasan yang diketikan oleh Joe. Dika juga sering mencoba telpon Joe tapi tidak ada respon darinya.
***
Joe telah pergi dari desa dan melanjutkan kuliahnya di ITS, bidang Teknik Industri. sampai dia lulus kuliah, tak pernah menghubungi Dika. Kehidupan Joe sudah mulai berubah lebih nyaman, dengan 2 mobil dan rumah mewah. Joe melihat majalah Francise yang biasanya dia beli tiap bulan, disitu ada sebuah seminar yang sangat menarik hati Joe, dan dia memutuskan untuk mengikuti “seminar Industri cengkeh indonesia bersama Susilo” itu dengan biaya 150000.

[FF] Diorama Cinta

Mata Faris terlihat sangat lelah. Semalam adalah hari yang cukup melelahkan untuknya. Mulai tadi malam Seorang wanita bernama Tera telah resmi menjadi tunangannya dan dua Bulan lagi mereka akan menikah.Faris teringat akan percakapannya semalam dengan Tera."Tera? Apakah benar kau mencintaiku? Pertunangan ini adalah rencana orangtua kita. Apakah kau tidak keberatan sama sekali?" Faris menatap mata Tera."Mengapa di malam pertunangan kita kau menanyakan hal begini? Apa yang kau fikirkan ,Faris? Atau mungkin kau ragu akan perasaanku? Atau..""Bukan. Bukan begitu. Aku tidak ragu sama sekali. Hanya saja.." Faris tak dapat melanjutkan kalimatnya."Aku mencintaimu Faris." Tera tak berani menatap Faris."Baiklah Itu sudah cukup." Dengan lembut Faris menggandeng tangan Tera dan membawanya masuk ke ruangan dimana acara mereka akan segera di mulai.

***

[FF] If You Could See Me Now

Malam itu, Eudia sedang duduk di tengah lapangan sepak bola sambil mendengarkan musik dan menikmati cahaya kunang-kunang. Ia bersama dengan sahabatnya sejak kecil, Ryan. Kedua orang tua mereka juga saling berteman akrab sejak kecil, bahkan ketika mereka sudah memiliki keluarga masing-masing dan memiliki anak. Begitulah persahabatan turun-temurun itu masih tetap terjalin sampai saat ini

Eudia dan Ryan tidak pernah terpisahkan walaupun mereka memiliki hobby dan kegiatan yang berbeda. Bahkan ketika Ryan harus pergi ke sebuah laut di pulau Kalimantan hanya untuk memancing, Eudia tetap setia menemaninya. Begitupun ketika Eudia meminta Ryan menemaninya ke perpustakaan untuk membaca buku, Ryan rela menemaninya selama berjam-jam. Tetapi menurut mereka, tidak ada tempat yang lebih nyaman dan menyenangkan daripada lapangan sepak bola di dekat komplek perumahan mereka.

 “Gimana rasanya masuk kuliah, Di?” Tanya Ryan.

“Nggak seru, Yan. Nggak ada lo sih. Kita kan dari dulu sama-sama, tapi sekarang nggak bisa sama-sama,” jawab Eudia dengan nada sedih dan manja.

[FF] 100 Kata (Dua Alternatif Cerita)

Paradoks (1)
“Anak-anakku, siswa-siswi SMA Anti Korupsi yang Bapak cintai. Kasus korupsi telah merajalela di mana-mana. Para koruptor berkeliaran menggerogoti uang rakyat. Negara ini akan hancur jika korupsi terus menjalar seperti jamur di musim hujan. Dan, ditangan kalianlah negara ini bisa diselamatkan karena kalian siswa-siswi anti korupsi. Ayo pekikkan, ‘KAMI GENERASI ANTI KORUPSI!!!’”
“KAMI GENERASI ANTI KORUPSI!!!” seluruh siswa bersemangat memekikkan kalimat tersebut.
Ritual Senin usai, sang kepsek memanggil ajudannya.
“Tolong jemput dan antarkan anak saya ke sekolahnya, ya! Hmm, pakai mobil sekolah saja. Mobilku masuk bengkel.”
Lalu Sang Kepsek asik berselancar di dunia maya demi melihat hasil pertandingan sepak bola semalam.


Bebas seperti kumpulan balon

Adzan Maghrib berkumandang di sebuah masjid kecil yang terletak di bawah jembatan besi. Adzan memanggil seluruh umat muslim untuk berbondong-bondong menuju masjid kecil itu dengan menuruni tangga kayu yang tinggi dari atas jembatan. Tanpa air PDAM yang mengaliri kampung, mereka tak khawatir dimana mereka akan bersuci. Dengan penuh semangat, mereka berlari menuju sebuah sungai kecil di belakang masjid untuk berwudhu.

Lihatlah anak-anak itu! Mereka hidup dengan kesederhanaan tanpa kemewahan apapun, bebas dan tanpa beban. Sepertinya, mereka telah sedikit melupakan tragedi banjir tahun 2009 lalu yang menghilangkan nyawa sebagian dari keluarga mereka. Tapi ternyata, tidak semua anak mampu melampauinya. Dia Supian, ia kehilangan ayah yang sangat ia cintai. Kini ia hanya tinggal dengan ibunya yang sedang sakit dan kedua adiknya yang masih balita.

Setiap sepulang sekolah, ia pergi ke lahan untuk menjaga padinya yang sedang berbuah dari serangan tikus-tikus lapar. Ia tak pernah mengeluh dan menjalaninya dengan senang hati. Terkadang ia pergi dengan ibu dan kedua adiknya. Tetapi, jika penyakit ibunya sedang kambuh, ia hanya bersama dengan kedua adiknya sambil membawa buku pelajaran. Tak ada sesiapa lagi yang bisa ia andalkan untuk menjadi tulang punggung keluarga.

Potret rasa

Reslla Aghnaita Chak's photo.
Gambar untuk ide cerita

Gadis itu masih disana. Menatap lurus di hamparan jauh, bening, dan biru. Indah, tak terkira indahnya. Inilah yang selalu kutunggu, pagi-siang-sore-malam.

                “Cekrik!”

                Aku mulai memotretnya.

                Ia object abadi yang selalu kunanti. Tak peduli dari pagi higga pagi lagi.

                “Kinar!” seorang laki-laki dari arah jam dua dari tempatku berdiri sekarang memangilnya. Kulihat Kinar tersenyum pada lelaki itu lalu melambaikan tangannya. Mereka semakin dekat, kemudian saling berbincang. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi ini pasti akan lama. Ah, sial.

                “Peng-gang-gu,”

                Kataku pelan menuju ke tempatku duduk tadi, menatap mereka yang sedang asyik berbincang. Kutengguk sisa tengguk kopiku sambil melihat-lihat hasil jepretanku hari ini.

                “Hanya dapat satu foto Kinar, dan…” aku mengernyitkan dahi, menatap bingung pada beberapa hasil jepretanku yang lainnya, “mana mungkin bisa?”


Cerita dari kereta

Bahkan kau bisa merasa jatuh cinta di atas kereta yang melaju….”
Rene menyodorkan tiket dan KTP-nya kepada penjaga peron stasiun. Lelaki paruh baya itu menerimanya dengan senyum ramah. Rene membalas dengan senyum dan anggukan kecil. Setelah selesai mengecek semuanya, penjaga peron menyilakannya masuk. Setelah berterima kasih, Rene berjalan menuju ruang tunggu.
Jadwal keberangkatan keretanya masih lima belas menit lagi. Dia memilih duduk di ruang tunggu yang kursinya sudah diisi oleh beberapa orang. Untungnya jalanan Jakarta malam ini bisa bermurah hati padanya hingga tidak terlambat sampai ke Stasiun Senen.
Rene menyimpan tas pakaian yang sejak tadi dia jinjing di kursi di sampingnya. Sebuah kotak persegi panjang dia keluarkan dari dalam tasnya. Kotak dengan tinggi tak lebih dari 20 cm. kotaknya terbuat dari bahan plastik bening, dengan tali di bagian atas sebagai pegangan saat kotak itu dijinjing.
Dengan mata berbinar Rene memandangi lima buah boneka teddy bear di dalam kotak itu. Boneka beruang—yang sejak pertama kali dilihatnya di toko boneka kemarin, sudah membuatnya jatuh cinta dan tak berpikir lama untuk membelinya—dengan berbagai pernak-pernik di tubuhnya. Ada yang memegang kukis, memakai topi warna-warni, dan ada pula yang memakai baju penutup warna merah muda.

[FF] Tentang sebuah boneka

Tak ada yang bisa memilih akan diciptakan menjadi apa. Termasuk juga saya. Setelah tahun-tahun sebelumnya menjadi pohon Bulian atau yang memiliki nama ilmiah eusderoxylon zwageri di lereng gunung di daerah Kalimantan sana, kini saya dilahirkan kembali. Kali ini bukan menjadi pohon dengan tinggi 36 meter dan batang yang kokoh dan kuat. Bukan menjadi tumbuhan langka atau tanaman-tanaman hidup lainnya.

Bukan.

Kali ini saya berenkarnasi menjadi sebuah benda mati. Saya bukan lagi pohon kesepian di tengah lereng gunung yang hanya bisa menyaksikan keindahan alam dari tempat yang sama setiap hari. Teman bercerita saya bukan lagi si Akar Karak dengan tinggi 14 meter atau rerumputan di sekeliling tempat saya berdiri dulu.

Kali ini saya bisa jalan ke mana saja. Bisa dibawa dengan enteng, bahkan saya tak lagi sering merasakan kedinginan saat malam hari atau kesunyian yang mencekam seperti dulu. Saya selalu merasa hangat dengan pelukan dan usapan tangan-tangan kecil.

Strawberry Cake's Love

Aku sudah hampir lupa, berapa jumlah senja dan hujan yang sudah terlewati di kafe ini. Aku bahkan sulit mengingat kapan terakhir kali aku ke sini. Jarum pendek jam di tangan kiriku menunjuk ke bagian kosong diantara angka empat dan lima, sedangkan jarum panjangnya ke angka sembilan. Aku meleset tiga menit dari jadwal biasa, ungkapku dalam hati. Dihadapanku telah tersedia menu yang sudah menjadi favorit keluargaku, terutama Ayah dan Ibu. Secangkir kopi, segelas susu, dan strawberry cake’s love kesukaan Ibuku. Beberapa saat setelah menyeduh kopi, aku menatap surat yang baru saja dikirim dari rumah, aku pun tersenyum. Sebuah senyum terukir di bibirku, sebelum akhirnya aku tersadar dan mencoba bersikap biasa. Dan aku mulai menggenggam sebuah kotak kecil yang mengingatkanku pada kisah masa kecil di sini. Ternyata aku sudah melewati banyak kenangan di kafe ini, dulu.

Di suatu titik di masa lalu, tepat di tanggal yang sama, aku ikut merayakan hari pernikahan Ayah dan Ibu. Dan di sinilah kami. Duduk di sudut kafe, sementara sejumlah orang di sekitar kami sibuk dengan pembicaraan mereka masing-masing. Ada juga yang tatapannya penuh tanda tanya. Beberapa orang yang lewat di belakang kami untuk sekedar memesan kue atau kopi saja. Lalu berlalu. Aku masih ingat, saat Ibu dan Ayah bercanda lalu aku menatap mereka pekat dan dalam. Seru. Tetapi aku lebih banyak tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Usiaku dulu masih terlalu kecil untuk paham. Ya, terkadang mereka tertawa lepas, lalu saling berteriak. Tidak lama kemudian mereka kembali menyeduh kopi dan makan beberapa buah strawberry. Jadi orang dewasa itu enak tetapi sepertinya terlalu rumit untuk dijalani, bisikku dalam hati.

Berbahagialah disana, Disa.

Cuaca akhir-akhir ini memang tidak menentu. Harusnya bulan ini adalah musim penghujan. Tapi entah mengapa, panas yang menyengat pun terkadang mendominasi. Tapi senja kali ini sepertinya sedang sendu, hujan datang sedari tadi yang tidak menunjukan tanda-tanda akan berhenti.
Dari jendela, terlihat hujan sangat deras. Beberapa orang sibuk memayungi dirinya masing-masing. Dengan payung, tas atau bahkan plastik seadanya. Mereka sibuk mencari tempat atau sesuatu yang bisa melindungi diri dari hujan. Sebentar, mengapa banyak orang yang tidak menyukai hujan ?
Sedangkan aku, aku masih saja duduk disini. Duduk di kafe ini sudah kurang lebih dua jam, masih dengan laptop yang terus menyala, beberapa kertas yang berserakan dan tiga cangkir kopi yang telah kuhabiskan.
Rutinitas adalah sesuatu yang membosankan, menurutku. Aku sudah merasa lelah dengan deadline yang tidak ada habisnya, dengan meeting-meeting yang hanya menghabiskan waktu atau suara ocehan bos yang masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. Bekerja menjadi salah satu karyawan di sebuah perusahaan besar membuatku muak. Aku ingin bebas.
Dan bulan ini, aku memutuskan untuk mengambil keputusan yang mungkin bagi sebagian orang adalah hal gila. Aku akan berhenti bekerja setelah semua tanggung jawabku di kantor selesai. Aku akan menikah dan aku akan tinggal di Bali, tempat impianku menghabiskan waktu. Aku ingin bebas dan berkarya disana. Menjadi seorang fotografer yang sesekali menjadi seorang penyair, untuk diriku sendiri.
**

Pertemuan yang Tertunda

Ristina Fauzia's photo.
Gambar untuk ide cerita
Ku langkahkan kaki ini dengan santai, sembari ku hirup udara di sekelilingku.

            Sudah banyak yang berubah sejak dua tahun lalu..

Kaki ini semakin kuat menapaki pasir yang mulai berganti dengan batu karang. Suara orang – orang mulai berganti dengan desir angin yang semakin kencang berhempus menerpaku. Setelah dua tahun bukan hal mudah bagiku untuk kembali ke tempat ini. Butuh kekuatan dan yang aku tahu hari ini adalah waktu yang tepat untuk kembali menjejakkan kaki disini, pucuk pantai penuh kenangan ini.

“Hai, selamat bertemu lagi”, sapaku pada tempat ini yang tentu tanpa jawaban.

Dua tahun bukanlah waktu yang sebentar. Seiring dengan kenanganku dengan tempat ini. Disini aku mengenalnya dan disini juga aku melepasnya sesaat sebelum aku memutuskan untuk meninggalkan kota ini.

Aku duduk di dataran yang menghadap ke pantai.

Sudah berubah, ramai sekali di bawah sana. Terlalu riuh dan aku tak terlalu suka dengan keriuhan itu, berbeda denganmu yang mungkin akan sangat menikmati keriuhan itu.

Nama itu kembali hadir. Tentu saja, karena tempat ini hanya milik aku dan dia. Aku dan kamu, Flo dan Riko.

“ Hai, kapan sampai disini?”. Sapa seseorang sambil menepuk pundakku.

“ Hah? Kamu? Eh, baru saja”. Aku tak dapat menyembunyikan kekagetan ini.

Sekotak Pensil Warna

Di antara tumpukan baju, sepatu, dan peralatan sekolah baru hasil pemberian beberapa donatur, anak laki-laki yang ada di hadapanku hanya memilih sekotak pensil warna. Hmm, dia kutaksir berusia delapan tahun. Rambutnya keriting dan kulitnya sawo matang. Dia tidak tergiur dengan aneka barang baru yang terhampar di sekelilingnya. Teman-temannya memandang heran pada anak laki-laki itu.
“Hai, Ris. Kau nggak tertarik dengan baju barumu ini?” tanya temannya heran. “Buat aku saja ya?”
Ah kini aku tahu namanya: Ris. Aku lihat dia tidak menanggapi hanya sekedar menjawab pertanyaan temannya. Dia terus sibuk memandang kotak pensil berisi 32 warna barunya.
Ris berlari ke lantai atas tempat kamarnya berada. Dia mengambil buku sketsa. Beberapa menit dia hanya terpaku memandang lurus kertas putih di depannya. Sepertinya Ris sedang berpikir ingin menggambar apa. Perlahan dia membuka kotak pensil warna dan mengambil pensil hitam.
Ris membuat sebuah sketsa. Tampaknya dia sangat lihai menggambar. Ris memainkan pensil hitam itu dengan lincah seperti penari. Aku dapat melihat dengan jelas gambar itu. Tiga orang manusia yang kurasa seperti ayah, ibu, dan anak. Gambar itu berada di sebuah taman nan cantik. Menikmati pemandangan sambil bercengkrama. Mungkinkah itu gambar tentang diri Ris dengan ayah-ibunya?
Ris lalu mengambil pensil warna lainnya. Dia memainkan berbagai warna untuk menciptakan gambar yang sangat indah. Dan astaga! Aku sangat takjub! Gambarnya benar-benar sangat indah!
Ris kemudian mengambil kembali pensil hitamnya. Dia menggoreskan sebuah kalimat. Oh, Tuhan, aku tercengang membaca kalimatnya!

Aku sangat rindu ayah-ibu...
Aku ingin bertemu dan memeluk kalian :’(

Kereta Pembawa Pesan

Dania Sunshine's photo.
Gambar untuk ide cerita
Kadang kala, berdiri menunggu itu sangat membosankan. Ya, bosan sekali. Aku sampai lelah berdiri dan kesemutan.Tidak ada bangku, untuk kubisa duduki. Tidak ada apa-apa yang bias dijadikan tempat duduk. Aku lelah berdiri dan menunggu, padahal. Apalagi sendiri.
            Kali ini sedang musim gugur. Di musim ini adalah musim yang paling kusuka. Di mana bunga-bunga berguguran. Peralihan musim panas ke musim dingin. Udaranya sejuk dengan sedikit sentuhan dingin di kulit. Aku paling suka melihat saat bunga-bunga berguguran, membuat jalanan penuh dengan daun yang berguguran.
            Aku sedang berdiri di pinggiran White Bridge. Memandangi dedaunan yang jatuh ke air sungai, lalu mengalir mengikuti arah alirannya. Sungainya jernih sekali. Di sisi kanan kiri sungai, ada banyak pohon dan rerumput hijau. Asri sekali. Aku membiarkan rambut coklat panjangku tersibak karena hembusan anginnya.
            “Catthy!” panggil seseorang dengan suara nyaring. Seseorang itu memangil nama kecilku. Dia melambaikan tangan padaku. “Catherine!”
            Aku menoleh. Ternyata Suzane yang memanggilkku. Perut buncitnya bergerak seperti gelombang saat dia berlari mendekatiku. Lalu dia melebarkan mulutnya.
            “Anthony tidak menerima pesanmu.” Ia berucap dengan napas yang tersenggal-senggal. Lalu dia berusaha menenangkan diri dan mengatur napasnya.
            Aku masih memperhatikannya. Menunggu kelanjutan ucapannya. Seakan mengerti arti pandanganku yang penuh harap, Suzane lalu terkesiap.
            “Anthony tidak menerima pesanmu.” Suzane kembali mengulang ucapannya. Aku mengulai bahuku.
            “Sudah kukirim sejak tiga hari yang lalu padahal,” ucapku dengan sedih sekali. Rasanya aku baru saja dibanting dari langit ke bumi. Sakit.
            “Tapi itu yang ia katakan padaku tadi.”
Aku melirik Suzane, “Kau bertemu dengannya hari ini?”
            “Ya. Dia tidak bilang padamu?”
            Aku terdiam. Cukup lama. Bukan terdiam karena tidak tahu, tetapi terdiam karena marah. Anthony tidak bilang apa-apa pada pesannya yang terakhir minggu lalu. Kalau tahu dia akan ke London, aku pasti tidak akan mengirim pesan padanya. Mengirim pesan saja tidak sampai, sudah pakai kirim kilat padahal.
            “Tidak,” jawabku dengan dingin. Aku masih kecewa mendengar kabar ini.
            “Ya, dia memang sebentar saja. Paling lama sepuluh menit. Hanya berbincang dengan Pak Robin.” Suzane menjelaskan. Dia pasti tahu kalau aku sedang menahan geram.
            “Tapi seharusnya dia bilang padaku. Pesanku sangatlah penting.” Aku tidak bisa menahan diri. Dengan kesal, aku menggerutu. Suzane menyentuh bahuku, dielusnya dengan lembut.
            “Ini mungkin dadakan. Kau tahulah seperti apa Pak Robin kalau sudah memberi perintah. Harus segera.” Suzane menenangkanku.
            “Pesanku sangat penting. Lebih penting daripada perintah Pak Robin.” Aku menggertak. Suzane terlihat kaget, kedua matanya terbuka lebar.

21.00

Meta 'morfillah''s photo.
Gambar untuk ide cerita

Sebuah motor keluaran Jepang kabur selepas menabrak seorang gadis. Korban terpental ke trotoar jalanan, dengan darah mengucur dari kepalanya. Tak jauh dari sang gadis, payungnya yang putih terperciki titik-titik merah darahnya. Malam berubah mencekam. Tiada seorang pun saksi mata, karena hujan yang mengguyur sedari sore, merayu setiap orang di kota ini untuk bergelut dengan kasurnya saja. Perlahan gadis itu menghembuskan napas terakhirnya dengan mata terbelalak ke arahku.

Aku di sini.
  ***

Penerang Hidup

DJ'aMall Muhammad's photo.
Gambar untuk ide cerita
Kamis, Mei 2012.

Jam 10 pagi Viosi sedang bertegur sapa dengan temannya di twitter, sesaat kemudian dia tenggelam di timeline, cuaca pagi cukup cerah di kota kecil yang letaknya berdekatan dengan jogja. Dia habiskan waktunya untuk melepas lelah dengan membaca tweet teman-temannya. Dia membentangka kakinya ke kursi kemudian meminum teh hangat yang baru saja dibuatnya. Dagangannya pagi itu cukup laris, sehingga dia bisa pulang lebih cepat dari biasanya.

Masih hanyut tenggelam dalam lautan kata-kata di timeline, matanya tertuju pada retweet dari akun teman.

@SedekahBerbagi: Adik kita ini menderita tumor tulang lengan dari Kulon Progo. Dia saat ini berada di Rumah Sakit.

@SedekahBerbagi: Di butuhkan relawan untuk membantu menemani dan mengurus adik ini. mohon hubungi nomer 084321xxxx.

Hatinya tersentuh, nafasnya sedikit sesak, wajahnya berlinang air mata. Entah mengapa ini bisa dia rasakan ketika melihat foto anak itu, penyakit ganas menyerah anak yang belum baligh. Yang jelas saat itu dia jatuh dalam kesedihan. Jam menunjukan pukul sepuluh pagi, Viosi memutuskan untuk ikut membantu.
***

Hiduplah Sehidup-hidupnya

Putri Anak Darman's photo.
Gambar untuk ide cerpen

“Apa hubungannya?” Tepat disaat pertanyaan ini memenuhi pikiranmu, jangan buru-buru mencari jawabannya sama saat ketika kamu sedang duduk di bangku kuliah semester akhir dan harus menyelesaikan tugas akhir sebelum dinyatakan berhak ikut sidang, yudisium, wisuda, (kerja) dan nikah.
            Sayangnya, ada perbedaan sedikit antara menyelesaikan tugas akhir dengan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan pertanyaan “Apa Hubungannya?”  Karena   saat menyelesaikan tugas akhir kamu tidak patut bertanya “apa hubungannya?” ke dosen pembimbing karena dalam masa ini doping diatas segalanya, Dia yang menentukan kamu berhak ikutan sidang dan lanjut yudisium hingga wisuda, tentu saja tidak dengan menikah, itu hak kamu sepenuhnya, dan nafsumu terutama. Jadi jangan membantah perkataan doping.
            “Halo, nama saya Fathia. Nama panggilan Fathia” Aku memperkenalkan diri sesingkat yang kubisa, aku merasakan  beberapa pasang mata menatap serius ke arahku. Mata para lelaki seperti sedang melihat rendang. “Hai Fathia...” seseorang disebelahku menyapa sambil tersenyum. Aku membalas dengan senyuman. Perkenalan berlanjut ke manusia yang lainnya.
            Aku memesan teh manis lagi, sudah waktunya menambah gelas kedua, haus betul hari ini. Tadi, saat pergi ke acara buka bersama bareng komunitas smartphone ini aku berjalan kaki dari persimpangan yang lumayan jauh. Dan aku meneguk gelas kedua, “Am, aku mau teh manis lagi ya!” Orang yang kupanggil mengambil gelasku. Kali ini ada yang beda dengan teh manis ketigaku. Bukan isinya melainkan gelasnya. Gelasnya diganti dengan gelas baru, mungkin karena gelas sebelumnya telah kotor dipenuhi bau mulutku yang sedang berpuasa atau mungkin pecah saat Aam mengambil teh manis ketigaku? Tapi aku tidak mendengar ramai bunyi pecahan gelas. Apa yang terjadi?
            “Gelasnya kok ganti Am?” aku menerima gelas baru dengan mimik muka yang datar.
“Udahlah ko minum aja, udah untung teh manisnya belum habis”
Rasa penasaranku terabaikan. Sebagai cewek cantik dan polos di komunitas ini aku cuma tersenyum sinis dan meminum teh manis ketigaku. Hei! Ada yang berbeda lagi dari teh manis ketigaku dengan teh manis kedua sebelumnya! Aku tertegun menghentikan aksi minum eleganku. Aku mengamati gelas teman lainnya yang memesan teh manis juga. Dan benar, aku benar! Teh manis ketigaku berbeda dengan yang lainnya. Teh manis ketiga ini dibuatkan khusus untukku. Khusus!
            Alih-alih takut bertanya lagi aku cuma mengamati, mengamati teh manis ketigaku. Lebih kental dari teh sebelumnya dan ini teh manis baru yang hanya dibuatkan khusus untuk gelas ini. Untuk peminumnya. Karena masih ada ampas teh dengan tali sebuah merk teh ternama di Indonesia. Manis. Aku teguk sekali lagi lalu membiarkannya dingin. “Nasi goreng seafood” Pelayan menghampiri meja kami. “Disini Kak, seru abang berkacamata didepanku” sambil menoleh dia melanjutkan “Fathia tadi pesan nasi goreng seafood kan?”. “Eh iya bang” jawabku singkat.
***