... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ...

Jumat, 10 Mei 2013

[Cerpen Duet] When you say nothing at all

-Rinai-
Cinta itu sekuat kematian ....
kau tak akan pernah tahu sampai saatnya tiba.”
Aku memandang lekat pada nisan dingin di hadapanku. Aku tahu sebentar lagi butiran kristal akan jatuh dari pelupuk mataku. Selalu begini, tiap aku ke tempat ini. Tiap aku memandang lekat pada nisan kaku ini. Tiap aku berbincang lewat kata atau doa pada sebaris nama yang terukir di situ.
Arwan Bagaskara
Perlahan, air mataku turun saat nama itu kueja terus dalam hati. Sosok yang sampai sekarang masih begitu lekat dalam ingatanku. Lelaki yang enam bulan lalu masih bisa kulihat senyumnya. Lelaki yang berani melamarku dan menjadikanku tunangannya. Lelaki yang jasadnya sudah bersatu dengan tanah itu … dia Bagas-ku. Aku rindu dia.
Cukup lama aku bercerita lewat isak tentang hari-hariku seminggu belakangan ini, pada sosok Bagas yang masih bisa kurekam lewat kenangan, sampai tiba-tiba sebuah tangan menyentuh pundakku dari samping. Aku tidak kaget lagi, sebab kutahu tangan milik siapa itu.
Sumber : Google
“Rinai, sudah sejam kita di sini. Sudah cukup hari ini kau menangis dan mengadu pada Bagas. Sekarang, peluk dia lewat doamu.”
Aku menoleh pada lelaki yang sedang berjongkok di sampingku sambil mengangguk kecil. Dia selalu tahu kapan waktunya aku harus berhenti terisak di depan makam. Aku lalu menutup mata, berdoa untuk Bagas. Aku tahu dia di sampingku juga melakukan hal yang sama.
“Kita pulang sekarang?” Dia bertanya yang kubalas dengan anggukan.
Kami berjalan meninggalkan kompleks pemakaman umum.
**

[Cerpen Duet] Dalam Diam



Sumber : Google
Tok tok …
"Bi, aku pergi dulu ya? Udah dijemput nih" teriak Lara sambil berlari ke arah pintu depan.
"Hai, sudah siap pergi. Yuk langsung aja, ga ada orang di rumah" sapa Lara sambil mengapit lengan Bayu menuju mobil.
Lara Utami namanya, seorang mahasiswi tingkat akhir di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Cowok di sebelahnya yang sedang nyetir namanya Bayu Hanggono, Lara lebih sering memanggilnya Boboy. Mereka berdua sudah bersahabat sejak kecil. Lara memang sering pergi bersama Bayu, selain karena pacarnya yang jauh, orang tua Lara pun lebih tenang ketika Lara bepergian bersama Bayu.
"Aaah, akhirnya bisa juga keluar rumah.." keluh Lara sesaat setelah duduk dalam mobil.
"Lagian lo juga sih Ra, liburan cuma di rumah aja. Kemaren gue ajakin ke pantai ga mau." timpal Bayu seketika.
"Bukannya gue ga mau, tapi kemaren kan gue diajak ke Bandung sama orang tua gue. Lo tau sendiri kan kaya apa orang tua gue kalo udah ada acara keluarga ga bakal ada yang boleh absen."
"Hahaha, derita lo sih keluarga bikin acara kaya orang roadshow. Jauh lagi tempatnya." canda Bayu.
Lara melirik Bayu dengan tatapan kesal sambil mengarahkan tangannya menghidupkan music player dalam mobil Bayu dan seketika sebuah lagu mengalun menemani perjalanan mereka siang itu.
Andai engkau tahu
Bila menjadi aku
Sejuta rasa di hati …
Lama tlah ku pendam
Tapi akan kucoba mengatakan
Lagu kesukaan mereka sejak SMA, menjadi lagu andalan yang Lara nyanyikan dengan iringan petikan gitar oleh Bayu dan semua teman mereka pun tahu lagu itu memang terasa lebih indah ketika Lara dan Bayu yang membawakan.
~♥~♥~♥~

Kamis, 09 Mei 2013

[Cerpen Duet] Love Hurt




“Rintiknya mengabarkan keberadaan senja yang seolah menghilang oleh sang hujan. Aku tak perlu bersusah payah mengejar sang senja atau memutar waktu agar bertemu dengannya. Sebab, senja tetaplah senja, yang akan memberikan warna yang berbeda setiap hari berganti. Begitu pula kamu, cinta.”

Hosu Gongwon.. Ilsan Lake Park - 2013

Sumber : Google
Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Tak banyak yang berubah. Danau yang nampak jernih, pepohonan hijau, serta bunga yang mekar segar di pertengahan musim semi. Menawarkan berjuta pesona yang membuat banyak wisatawan asing sengaja datang untuk melihat keindahannya.
Lama aku menunggu untuk bisa duduk di sini. Sekadar untuk bercerita pada keindahan yang ditawarkan alam semesta. Bagiku, tempat ini tidak hanya sekedar memberikan keindahan, tapi juga menyimpan kenangan termanis dalam hidup yang tidak pernah tergantikan oleh apapun. Kenangan tiga tahun yang lalu, saat aku dan Hyun Bin masih bersama. Bagaimana tidak, aku dan Hyun Bin sudah terbiasa bersama melewati senja di tempat ini hingga sang hujan pun ikut menjadi kenangan termanis.
Han Hyun Bin.. Sahabat masa kecil, teman terbaik, sekaligus ... cinta sejatiku.
Tanpa sadar aku tertawa, miris. Seperti pepatah yang mengatakan kau tidak akan sadar arti penting seseorang sampai kau kehilangannya, begitulah yang aku rasakan tentang Hyun Bin. Setelah bertahun-tahun akhirnya aku menyadari, hatiku tak akan pernah bisa terlepas dari bayangannya.  
Hyun Bin mengisi sepenuhnya kenangan masa kecilku. Sejak dulu aku sudah terbiasa menghabiskan waktu, meminta perlindungan kepadanya. Masih tertanam dalam ingatanku  pertemuan pertama kami. Senja itu seperti biasa eomma dan appa mengajakku berkeliling taman. Saat itu usiaku masih 8 tahun. Aku yang terlalu gembira karena baru saja mendapatkan hadiah sepeda dari appa, memutuskan untuk memisahkan diri dan bersepeda ke tempat yang agak jauh. Mungkin aku terlalu bersemangat sehingga tidak menyadari kalau sebuah batu yang cukup besar menghalangi jalan. Sepedaku pun tersandung batu dan aku tidak bisa mengendalikannya sampai kemudian terjatuh. Tiba-tiba datang sosok anak laki-laki yang sepertinya juga berusia sama denganku berlari, membantuku berdiri. Ah, senyumnya masih selalu kuingat. Aku tidak tahu bagaimana kami bisa berjalan bersama sampai aku menemukan eomma dan appa.
Tiga hari setelah kejadian itu, eomma mengajakku ke rumahnya untuk berterimakasih secara khusus atas pertolongannya. Saat itulah aku tahu kalau rumahnya berada tak jauh dari rumahku. Sekolah kami pun sama. Hanya saja berbeda kelas. Kami pun menjadi akrab dan  memutuskan untuk pergi sekolah bersama-sama. Persahabatan kami dimulai. Sampai akhirnya kami memutuskan mengubah kata persahabatan menjadi cinta tepat setelah kelulusan SMA.
Tiga tahun yang lalu, taman danau di kota Goyang ini seolah menjadi saksi bisu pernyataan cinta kami. Aku masih ingat, hujan turun saat itu, tapi Hyun Bin langsung menarikku meninggalkan perayaan kelulusan kami di sebuah cafe dan  mengajakku ke tepi Danau Ilsan. Tak peduli guyuran hujan, disaksikan hamparan bunga di belakang kami, kami pun mengikrarkan cinta. Hari itu kebahagiaanku semakin berlipat-lipat sehingga tak aku pedulikan gerutuan eomma dan appa yang melihatku pulang dalam keadaan basah kuyup.
Sebulan kemudian kami harus terpisah karena Hyun Bin melanjutkan kuliah di luar negeri dan aku memutuskan menetap di kota tercinta ini. Sulit memang menjalankan sebuah hubungan sementara kami terpisahkan oleh jarak. Meski kerap rasa takut kehilangan menggerogoti pikiranku, tapi komunikasi dan rasa saling percaya selalu kami utamakan. Aku tidak pernah bosan mendengar kata-kata rindu yang dilontarkannya dari kejauhan. Entah karena hubungan kami sudah menjadi sebuah kebutuhan atau memang didasarkan karena rasa cinta, baik aku maupun Hyun Bin menikmati keadaan ini.
Seiring dengan berjalannya waktu, saat aku disibukkan dengan berbagai kegiatan kuliah dan kepenulisan di kampus, aku dihadapkan pada sisi berbeda dari Hyun Bin yang tidak pernah aku ketahui sebelumnya. Dia menjadi lebih posesif. Awalnya aku memaklumi karena hubungan kami dibatasi jarak. Seperti halnya diriku, dia pun pasti merasa kesepian dan khawatir. Namun semakin lama, frekuensi pertengkaran kami semakin meningkat. Sering  kami bertengkar hanya karena aku terlambat membalas pesan singkat, atau lupa untuk mengabari sehari saja. Lima bulan dari waktu kami berpacaran, pernah terlintas untuk mundur saja. Aku muak dengan sifat Hyun Bin yang semakin hari seolah menjadi satpam yang selalu ingin tahu keberadaanku dan membatasi kegiatanku. Ya, terlintas mengakhiri hubungan ini namun selalu urung karena ucapannya yang manis itu.
Dia begitu karena menyayangiku, kucoba mensugesti diri. Aku harus bersabar. Akan kucoba untuk memahaminya lebih dalam.
Setahun lamanya tak berjumpa sampai akhirnya kami bisa saling bertatapan lagi. Aku sangat senang menerima kabar bahwa Hyun Bin akan pulang untuk menghabiskan masa liburan kenaikan tingkat. Hari itu, masih di musim semi yang basah yang selalu menyuguhkan keromantisannya, kami bertemu kembali. Hyun Bin mengajakku bertemu di tempat kami mengikat janji. Tanpa berpikir dua kali aku langsung mengiyakan tawarannya. Akan kubawa sepucuk cinta dan segenggam rindu, akan kuluapkan padanya dan pada sang senja di tepi Danau Ilsan.
“Apa yang kau rindu dariku, Ga Eul?” tanya Hyun Bin. Kami duduk berdampingan di rerumputan basah, menatap jauh ke cakrawala.
Aku tersenyum sambil menundukkan wajah. “Semuanya,” jawabku. “Kau mempunyai senyum yang tak bisa kudapat dari lelaki manapun. Kau memiliki sinar mata yang tak bisa kutatap dari lelaki manapun begitu juga dengan tingkahmu yang terkadang membuatku seolah memiliki satpam saja. Ada banyak hal yang membuatku selalu merindumu.”
Oh, ya? Tapi kita akan terpisah lagi untuk waktu yang lama. Akankah rasamu padaku tak akan berubah?”
Wajah itu seolah mengisyaratkan perpisahan yang  tertunda. Dadaku tiba-tiba bergetar tak tenang. Semoga itu hanya pikirku saja.
Aku menyentuh tangannya. “Pertanyaan macam apa itu? Bukankah hari ini kita akhirnya bisa bertemu?”
Hujan seketika turun, tanpa gerimis yang menghantar kedatangannya. Percakapan di antara kami pun semakin serius. Aku mengabarinya tentang rindu yang tak terbatas, tentang cinta yang semakin bersemai. Genggaman tangan yang tak ingin kulepas lagi.
Namun hari itu, seolah Hyun Bin memberikan kesempatan pada sang hujan untuk menghapus semua harapanku. Bersama petir yang tiba-tiba hadir. Seolah cahayanya merekam jelas pertemuan kami.
“Aku tidak ingin lagi menyiksa diri dengan mencemaskanmu,” bisiknya perlahan, mencoba untuk mengurangi rasa sakit yang bisa ditimbulkan saat kata demi kata yang terucap darinya perlahan merobek hatiku. “Aku juga tidak ingin membuatmu merasa terkekang dengan semua kekonyolan yang pasti membuatmu tidak nyaman.”
“Apa maksudmu? Tidak, Hyun Bin a, aku..
“Aku bertemu wanita lain!” tukas Hyun Bin mematahkan kalimatku. “Dia.. mampu menenangkanku saat aku hampir gila karena mencemaskanmu.”
Itu bukan lagi merobek hatiku. Tapi menghancurkannya!
Setelah menjadi wanita paling kasihan karena membendung rindu sendiri. Akhirnya aku benar-benar menjadi wanita paling menyedihkan. Ya, dicampakkan begitu saja sebelum sempat mengurai semua rindu yang terasa menyesakkan dadaku setahun terakhir ini bukankah sangat menyedihkan?
Aku pun menjadi takut melangkah lagi. Takut melangkahkan kaki ke setiap sudut kota yang menyisakan jejak kenangan antara aku dan Hyun Bin. Aku jadi membenci hujan yang turun bersamaan dengan sang senja. Aku juga jadi muak dengan tatapan lelaki manapun, karena yang terbayang di mataku ketika melihat semua itu adalah sosok Hyun Bin yang perlahan menghilang dari peredaran bumiku. Menyakitkan.
Sampai kemudian aku bertemu Jun Soo, teman dunia mayaku. Dia hadir membawa tujuh warna pelangi yang kukira sempat hilang dari duniaku. Perlahan mengubah hidupku bahkan sejak pertama kali kami berkenalan. Dulu, aku selalu ingin menghentikan sang waktuku ketika mengingat Hyun Bin. Sebab sakitnya melebihi duri yang sempat kupijak di taman Danau Ilsan senja itu.
Duniaku perlahan kembali berputar. Jun Soo seolah memberi warna di kehidupanku yang menyedihkan. Membuatku kembali hidup. Aku pun menyadari perpisahan dengan Hyun Bin mungkin yang terbaik. Tak akan akan ada lagi cemas, takut, atau kepedihan karena kerinduan yang tak terurai. Saat aku terpenjara dalam kenangan masa laluku, Jun Soo hadir seperti lilin kecil memberi terang dalam hidup lalu menghangatkan setiap kata yang membuatku nyaman menghabiskan waktu bercerita dengannya. Aku dan Jun Soo memang baru saling kenal, tapi perkenalan ini seolah membuka lebar kesempatan untukku bisa melupakan masa lalu.
Tiga bulan setelah perkenalan melalui dunia maya. Aku memutuskan untuk berlibur ke Seoul. Jun Soo tinggal dan kuliah di sana. Di ibu kota Korea Selatan itu, aku sering mendengar cerita dari Jun Soo tentang sebuah kedai kopi yang sangat menarik untuk dikunjungi. Hakrim Dabang, kedai kopi yang sudah ada sejak tahun 1956 dan konon banyak dikunjungi oleh para sastrawan, seniman, dan artis di negeri ini. Jun Soo merekomendasikan tempat ini begitu tahu aku sangat menyukai dunia sastra dan penulisan. Dia pun berjanji untuk mengajakku ke sana seandainya nanti kami bertemu.
“Kalau kau lihat buku tamunya, waah, kau akan bisa melihat tulisan para sastrawan terkenaal!" begitu ujarnya saat kami berbicara tentang Hakrim.

[Cerpen Duet] The Journey


Sumber : Google

Yudha memandangi sekumpulan anak muda yang sedang bernyanyi lagu daerah Berau, Kalimantan Timur di salah satu sudut taman di kompleks dekat rumahnya. Beberapa di antara mereka memetik gitar dan membunyi-bunyikan botol plastik kosong.





Kirap-kirap sikulimpapat
Lakata kirap dirantau kassai
Kira-kira kami mandapat
Bassarnya niat mulang babassai
Yudha selalu suka tempat ini. Saat suntuk dan mumet dengan kegiatannya, dia sering mencari hiburan di taman ini. Di taman ini berbagai kegiatan dilakukan oleh berbagai kelompok muda-tua. Tak lupa taman ini juga digunakan bagi sepasang muda-mudi yang sedang kasmaran.
Yudha mengeluarkan netbook dari ransel hitamnya. Setelah menyalakannya, dia membuka file berjudul “Mencuri Senja”. Seketika dia tampak serius menekan keyboard. Sesekali matanya melirik pada kumpulan pemuda yang sedang menyanyi tadi. Entah kenapa tiba-tiba saja ia ingin melanjutkan tulisannya yang sempat tertunda seminggu.
**
Naskahmu ini belum layak diterbitkan, Yud.  Kalau kamu bawa ke kantorku, editor pasti akan menolaknya. Konfliknya masih klise, padahal aku suka lho judulnya.”
Yudha mendengarkan dengan seksama via telepon komentar sepupunya, Jamal, yang bekerja sebagai layouter di salah satu penerbit buku ternama di Jakarta. Pekan lalu Yudha mengirimkan sinopsis novel yang baru selesai dia tulis kepada Jamal via surat elektronik. Dia berharap sepupunya itu bisa membantunya dalam hal penerbitan novelnya.
“Emang kamu tak bisa ngomong ke editornya gitu bilang terima aja naskahku itu?”
Enggak bisa, Yud. Ini tuh penerbit gede, ga bisa asal ambil naskah lalu diterbitkan. Coba deh pertajam ide cerita kamu. Atau kamu bisa coba di penerbit lain deh. Maaf, ya.”
Yudha mengembuskan napas lelahnya. “Ya sudah, Mal. Makasih banyak, yah. Nanti aku rombak dulu, deh. Tak apa-apa kan, kalau nanti aku kirim ke kamu lagi?”
Sip lah, kabari saja. Oh, iya. Gimana kuliah kamu? Aman? Kata ibumu kamu terlalu sibuk nulis, ya? Saran aku bagi waktumu. Menulis sih menulis aja, Yud. Tapi ingat tanggung jawabmu di kampus. Kamu masih semester 4 lho. Masih panjang perjalanan buatmu,” jelas Jamal panjang lebar.
Yudha seperti disadarkan lagi pada dunia nyata. Impiannya untuk menjadi penulis dan kuliahnya yang juga harus dijalani. Harus dia akui bahwa selama ini dia terlalu fokus pada ambisinya menjadi penulis besar sehingga melupakan beberapa tanggung jawabnya.
Halooo, haloooo? Yudha?”
Suara di ujung telepon menyadarkan Yudha dari lamunan singkatnya. “Eh, maaf, Mal. Iya, Mal. Aku bakal atur waktu kuliah sama nulis, kok. Hmm …, makasih ya atas bantuannya.”
Setelah itu mereka memutuskan pembicaraan.
Yudha kembali melamun. Komentar-komentar Jamal menambah beban pikirannya. Sudah dua kali dengan barusan naskahnya ‘ditolak’ penerbit. Pertama, dua bulan lalu dia mendapat pemberitahuan melalui surat elektronik bahwa naskah novelnya belum bisa diterima salah satu penerbit besar yang berpusat di Jogjakarta. Kedua, barusan. Meskipun Jamal bekerja sebagai layouter di penerbit besar di Jakarta, tapi sedikit banyak sepupunya itu mengerti tipe-tipe naskah yang diterima oleh kantornya.

Sepertinya aku harus kerja lebih keras lagi. Aku harus jadi penulis besar dan membuktikan ke orang-orang kalau penulis dari luar Jawa juga hebat-hebat! Anak Berau sepertiku juga bisa.
**

[Cerpen Duet] Aku, Kalian dan Waktu


Sumber : Google

Suasana jalanan sudah ramai dengan lalu lalang kendaraan. Di depanku terdapat beberapa orang yang mengejar bus, sedangkan lainnya asyik dengan buku atau gadget di tangannya. Ada senyum, sedih, bahagia dan ada pula tawa lepas yang menyatu dalam barisan orang-orang yang berdiri dan duduk mematung di halte bus. Pagi selalu memberikan lembaran baru untuk diukir sampai malam tiba.
Aku masih ikut larut di dalam keramaian halte pagi ini, menunggu Morin dan Roni teman baikku. Kami terbiasa berangkat bersama menuju sekolah, menghabiskan kebersamaan singkat kami di jalan. Kegiatan pagi yang selalu kami kerjakan bersama adalah saling menunggu. Setelah semua berkumpul kami berlarian mengejar bus yang tak pernah ramah setiap kali datang, -kencang dan tak menghiraukan penumpang yang berlarian- .
“Woy, ngelamun aja.” Morin dan Roni menepuk pundakku.
“Ah, lu, mengagetkan saja. Kalian tumben lama banget, sih? Kering nih, gue di sini sendirian.” Aku menatap wajah mereka.
“Tadi ada urusan sedikit di rumah sama nyokap. Maaf ya, Tur kalau nunggu lama,” jawab Morin, senyumnya terlempar lepas. Guntur Adi Prasetya adalah namaku.
“Kalau gue tadi bantuin bokap beres-beres berkas dulu. Besok beliau ke Hongkong ada kerjaan disana. Sorry, bro, hehe” Roni melanjutkan setelah Morin usai menjawab. Tangannya menggaruk-garuk kepala dan seperti biasa cengengesan dan tak pernah tampak keseriusan di wajahnya.
“Ya sudah, ayo jalan! Nanti kita bisa telat lagi. Sudah jam berapa ini?” Aku menarik tangan mereka berdua naik ke bus yang baru saja datang.
Setengah jam perjalanan cukup sebentar bagi kami yang selalu senang bertemu pagi. Kami sampai dengan selamat di depan gerbang sekolah, suasana bus sekolah tadi pun tak seramai biasanya. Mungkin karena waktu yang sudah hampir menunjukkan pukul 07.00 WIB. Biasanya pukul 06.30 kami sudah duduk santai di bangku kelas. Tapi jam segini kami baru sampai.
“Nah, lho, gerbang sudah ditutup. Gimana, nih, Tur, Ron? Mana ada ulangan Matematika lagi nanti jam ketiga.” Wajah Morin panik sekali, seperti orang kebakaran jenggot, kondisi Morin saat ini mungkin sama seperti yang banyak orang sebut.
“Santai saja, ah, ga usah panik. Kita lewat tembok belakang aja, bagaimana? Oke?” Tidak lagi menunggu persetujuan aku dan Morin, Roni langsung berlari ke tembok belakang sekolah.
Tak ada toleransi dalam lingkungan sekolah. Siapapun yang terlambat mereka tidak boleh masuk, sekalipun itu guru atau kepala sekolah. Semua akan mendapatkan poin yang tertera di buku sangsi.
Pada dasarnya kami bertiga adalah anak yang baik. Roni yang tak pernah serius dan selalu cengengesan ini termasuk anak yang pintar di kelas. Nilainya tak pernah berada di bawah angka 90. Roni anak yang supel dan mudah bergaul dengan siapapun. Tak heran temannya banyak, baik yang di dalam sekolah maupun yang ada di luar sekolah.
Sedangkan Morin adalah salah satu murid yang paling pintar di antara anak-anak pintar di kelas kami. Selain itu dia sangat ramah pada siapapun, wajahnya yang cantik menjadi daya tarik tersendiri di dalam pergaulannya. Dia banyak disukai anak-anak satu sekolah. Siapa yang tak kenal Morin? Sebut saja namanya, semua pasti kenal, dia primadona di sekolah kami.
Sedangkan aku, biar dibilang tak sepintar Roni dan Morin namun aku termasuk murid yang rajin, menurut teman-teman dan guru-guru. Pesan ayahku dulu, “Kita boleh tidak pintar dalam pendidikan, tapi kita harus pintar melawan rasa malas.” Dan kata-kata itu yang selalu aku pegang sampai sekarang. Untuk soal kehidupan aku banyak belajar dari ayah dan ibuku. Untuk soal pelajaran aku banyak belajar dari Morin dan Roni.
Sekian menit berlari dan kini kami sudah berada tepat di tembok belakang sekolah. Kami tahu di balik tembok yang lumayan tinggi ini ada rumput-rumput liar yang tinggi dan lebat, serta seperti pemandangan ruang kosong yang tak terurus. Tempat belakang sekolah ini biasa digunakan anak-anak genk badung di sekolah untuk merokok pada jam istirahat.
“Ah, gue gak berani memanjat tembok ini. Rok gue panjang begini, ribet pasti.” ujar Morin pesimis.
“Gampang, sudah pasti gue bantuin.” Roni meyakinkan Morin.
“Nah, itu ada bangku.” Aku bergegas mengambil bangku dan menaruhnya di dekat Morin berdiri kemudian menyuruhnya naik pelan-pelan.
“Auuu…” Morin sudah berhasil terjun dari atas tembok namun nampaknya dia terjatuh dan sedikit merasakan sakit, tergambar dari nada suaranya.
“Morin, lu ga kenapa-kenapa, kan?” Aku dan Roni panik.
Enggak apa-apa kok aman, deh, hanya sakit sedikit. Sudah buruan kalian naik!” tegas Morin.
Setelah Morin berhasil, aku dan Roni menyusulnya. “Akhirnya lolos juga…” Sorak kami bangga. Sekeliling sudah sepi, tidak ada kehidupan. Hanya ada rumput-rumput yang tumbuh liar, pepohonan yang daunnya bergoyang-goyang diterpa angin serta lorong-lorong kelas yang tidak terisi.
Kami melangkahkan kaki, meninggalkan tempat di mana pijakan kaki tegak menantang. Melewati tumpukan semak-semak yang cukup mengganggu perjalanan, menyusuri lorong kelas. Dan sampailah di titik terakhir di mana perjuangan kami untuk masuk kelas sangatlah ditentukan di sini, yaitu loket guru piket. Hari ini yang menjaga Bu Indah, guru killer yang paling ditakutkan anak-anak seantero sekolah.
Yes, Bu Indah ga ada di bangkunya, kawan,” Roni tersenyum penuh kemenangan.
“Ayo, bergegas!”
Kami berlari sekuat tenaga, tiba-tiba Morin terjatuh. Akibat turun dari tembok tinggi tadi ternyata masih menyisakan sakit di kakinya.
“Guntur, Morin, Roni….” ujar sebuah suara, “Dari mana kalian? Pasti telat…”
Suara mencengkeram itu, sangat kami kenali, siapa yang tak paham suara bergemuruh seperti suara halilintar itu. Suara yang selalu membuat hampir seluruh murid di sekolah ini lari sejauh mungkin meninggalkannya. Suara yang membuat kuping tak kuasa mendengarnya. Apalagi ketika suara itu mulai berkata panjang lebar, dunia seakan hancur pada saat itu juga. 
“Diam di situ!” Perintah Bu Indah kepada kami.
“Kalian ingat peraturan di sekolah ini? Tidak boleh ada yang telat!”
“Prak…Prak…Prak…” Penggarisan kayu besar, jatuh berkali-kali di meja yang tak bersalah sedikitpun.
Ekspresi kami hanya diam seperti anak ayam yang kedinginan. Tanpa pergerakan, mematung. Kami tak berani menoleh ke belakang. Akhir kata, kami dihukum hormat bendera selama setengah jam, membersihkan halaman, dan terakhir kami harus membersihkan kamar mandi sekolah. Pagi yang menyenangkan bukan?
Karena tidak mengikuti kelas hingga jam istirahat berbunyi, guru Matematika mengizinkan kami untuk mengikuti ulangan susulan di ruang guru. Waktu istirahat kami tergadaikan, entahlah kami mimpi apa semalam. Yang jelas kami tidak mimpi dikejar-kejar monster yang sering jadi musuh Ultraman di setiap pertarungannya. Namun lebih mengerikan kami langsung dihadapkan pada kenyataan yang cukup melelahkan untuk hari ini.

Ah, kau tahu, kawan? Di dalam sudut sempit
Saat kita tak mampu untuk bergerak dan sebaris luka menganga
Kita tetap mampu berpegang tangan untuk saling menguatkan

***

[Cerpen Duet] Cinta Tidak Menyerah


Sumber : Google

Senja berwarna jingga bercahaya terang di atas air. Aku melihatnya dengan penuh kagum dan haru biru. Pemandangan indah seperti ini jarang kunikmati, apalagi saat bersama dengannya, Rani, temanku sejak kami di Taman Kanak-kanak. Dia tinggal di wilayah yang tidak jauh dariku, kami selalu satu sekolah hingga sekarang, di masa kuliah semester lima.
“Anton!” suara yang lembut memanggil. Suara seorang wanita. Aku menoleh. Sosok gadis bertubuh ramping, dengan rambut panjang lurus dan hitam legam menghampiriku dengan senyum lebar manisnya. Namanya Rani Ernasari, teman kecilku. Manis, cantik, ramah dan pintar.
“Ngapain sih? Dipanggil-panggil kok enggakk nyahut sih?” Rani ngedumel. Dia duduk di sampingku.
“Lagi lihat langit di senja hari. Lihat deh. Cantik ya.” Jawabku, memandangi langit senja bercahaya jingga di atas air yang cantik itu dengan kagum.
“Yah, aku kalah sama langit senjanya.” Rani kembali ngedumel. Aku terkekeh geli.
“Ada apa sih? Kok jadi ngomel-ngomel sendiri sih?”
Rani mengulum bibirnya, “Hmmm…”
Aku tahu, Rani pasti sedang bete karena sesuatu. Ngomel-ngomel tanpa sebab, itu tanda dia sedang bete atau kesal. Tapi Rani diam selama beberapa detik.
“Hayo kenapa sih?”
“Tugas kuliahku nih.” Rani menghela nafas dengan berat. “Pak Khae ngasih tugas buat proposal wirausaha. Aku kan enggakk bisa, Ton.”
“Kenapa enggakk bisa?”
“Ya, kan enggakk pernah wirausaha. Terus tugasnya kelompok, dan kita belum nemuin ide yang pas untuk kita nih. Jadinya aku bête, karena yang lain juga belum ngasih ide.” Rani menjelaskan, dengan ekspresi cemberutnya.
“Nah, idemu apa?”
Rani tersentak kaget, lalu dia diam selama beberapa detik dan memutarkan kedua bola matanya yang indah ke kanan dan ke kiri.
“Usaha jaket. Gimana? Tapi kan banyak saingan. Iya kan?”
“Nah, tinggal kamu buat perbedaannya.”
“Misalnya?” tanya Rani padaku.
“Ya, desainnya. Atau bahannya. Bisa kamu buat secara spesifik dan khusus yang belum ada atau yang belum banyak dijual. Iya kan?” aku memberikan ide. Rani menganggukkan kepalanya.
“Iya. Bener juga kamu.” Lalu dia tersenyum girang. “Terus kelompokmu buat proposal apa, Ton?”
“Kedai Kopi.” Aku memberinya cengiran lebar.
“Kedainya diapain?”
“Kedai Kopi kecil dengan interior penuh dengan kayu yang diplitur, ada foto, gambar tentang kopi dan permainan yang bisa dimainkan sama pelanggan. Dan aku mau ajak beberapa kedai kopi yang sudah terkenal untuk kerja sama. Seperti jadi pemasok kopi-kopinya.” Jelasku dengan antusias.
“Emangnya kedai kopi yang udah terkenal itu mau bantuin?”
“Enggakk ada yang enggak mungkin.” Aku menyentuh pundak Rani, memberinya semangat. “Kalau mau usaha pasti bisa kok. Cari yang mau. Oke?” Rani tersenyum merekah dengan cantik.
“Kamu itu selalu yakin ya.”
“Yep. Haruslah.” Aku merapikan rambut pendekku dan bergaya sok keren di depan Rani lalu memberikannya cengiran lebar. “Kalau enggak yakin, gimana wirausahanya lancar? Jadi, keyakinan itu perlu. Wajib malahan.”
Aku dan Rani kembali menikmati pemandangan langit senja yang cantik di depan kami. Duduk santai di pinggiran pantai. Aku dan Rani sedang menghabiskan seharian penuh dengan bersantai dan jalan-jalan ke pantai di hari libur kuliah.
“Eh, makan es cendol yuk. Mau enggak, Ton?” ajak Rani. Kedua matanya memandangi es cendol dengan penuh kekaguman. Sepertinya Rani sangat ingin es cendol.
“Boleh. Yuk.”
***

[Cerpen] Memori Dalam Kotak Kenangan



Sumber : Google
 "Rico Nugroho, panggilan untuk Rico Nugroho."
Suara suster dari loket pendaftaran berlari menghampiriku dari speaker yg ada di sudut ruangan. Aku mengumpulkan tenaga untuk berdiri menghampiri loket pendaftaran. Benda-benda di sekelilingku seakan berputar.  Aku merasa seperti sedang berada di atas kapal yang menerobos badai. Tiga hari sudah aku terbaring sakit di rumah, pusing yang teramat sangat datang menghampiri. Badanku panas, setiap ingin bangkit dari tempat tidur seperti ada yang sedang mengocok perutku, mual. Selama tiga hari ini pula perutku tak terisi makanan. Seingatku baru apel yang kemarin dibeli ibu yang sudah berhasil masuk ke perutku. Bahkan makanan-makanan enak yang kerap menggagalkan program dietku pun tak bisa membujuk perutku untuk mau diisi. Tubuhku semakin lemas, hingga akhirnya hari ini aku memaksakan untuk pergi ke rumah sakit ditemani ayah.
"Ini berkas-berkasnya, Anda bisa langsung masuk ke ruang lab untuk pengambilan darahnya."
"Oke suster."
Aku meninggalkan ayah di ruang tunggu lalu masuk ke ruangan yang ditunjuk suster itu, ia mempersilakanku duduk dan langsung menyiapkan peralatannya. Aroma khas rumah sakit menusuk hidungku, bau obat-obatan yang bercampur baur di udara, menambah rasa mual. Tak lama kemudian suster menghampiri dengan jarum suntik di tangan kanan dan di tangan kirinya ada tourniquet yang digunakan untuk mengikat lengan atasku agar darah lebih mudah diambil. Setelah tourniquet terikat kuat, jarum suntik pun ditancapkan ke lenganku. Mulai terlihat cairan kental berwarna merah memenuhi tabung jarum suntik itu.
"Sudah ya, nanti hasil tesnya bisa diambil satu jam dari sekarang."
"Oke, terimakasih suster."
Aku keluar dari ruangan menuju ruang tunggu. Mungkin kalau dalam film kartun, di atas kepalaku sudah ada bintang-bintang yang berputar menandakan kepalaku yang pusing. Tapi aku tetap paksakan berjalan. Aku harus cepat sembuh, dua minggu lagi Ujian Akhir Semester di kampusku dimulai. Itu yang menjadi motivasiku agar cepat sembuh.
Menunggu ternyata masih menjadi pekerjaan yang menyebalkan bagiku. Waktu satu jam terasa sangat panjang. Aku tak sabar menunggu hasil. Ingin sekali rasanya aku keluar dari rumah sakit ini secepatnya. Karena terlalu bosan menunggu aku putuskan untuk tidur saja di ruang tunggu.

###

[Cerpen] Everlasting Love



Sumber : Google
Fitrii benci Mamaa!!” teriakan Fitri bergema di kamar mungil ujung rumah sedehana kawasan Pondok Permai itu.
Astaghfirullah apa yang terjadi dengan anakku? Mama mengusap dada kaget dan mencari pegangan agar tetap bisa berdiri karena ia terlalu lelah bekerja pagi tadi.
Sudah dua tahun ia menjadi single parent untuk satu anaknya. Suaminya meninggal karena penyakit gagal ginjal yang semakin hari semakin parah kaerna tak punya cukup uang untuk biaya operasi. Jika mengingat itu, hatinya selalu teriris, sedih.
“Mama sudah janjikan hari ini mau ke sekolah untuk ambil rapor Fitri! Semua orang tua teman-teman Fitri datang, kecuali mama Fitri sendiri…. Mama sudah nggak peduli lagi ya, sama Fitri?!!” serbu Fitri keluar dari kamarnya.
Astaghfirullah. Iya, Mama lupa, Nak. Sungguh bukan sengaja Fitri, banyak masalah hari ini di toko.” Suara mama bergetar, penuh penyesalan.
“Lupaa??! Oh, iya, Mama memang selalu lupa semua tentang Fitri. Sejak papa meninggal, Mama memang enggak pernah ke sekolah untuk ambil rapor Fitri. Bahkan bulan lalu Mama juga lupa hari ulang tahun Fitri, kan?!” bentak Fitri menahan tangis.
Mamanya menahan tangis, sungguh menyesal. Ia benar-benar lupa, hari ini toko kelontong sederhana yang ia dirikan 5 bulan lalu benar-benar kacau. Banyak utang pelanggan yang belum lunas. Belum lagi koperasi tempat ia meminjam uang untuk modal mendirikan toko, juga menagih uang angsuran bulanannya. Sejak awal ia tahu ini tidak mudah, membesarkan anak sambil mencari nafkah seorang diri.
“Kamu mau kemana, Fit??” tanya mama melihat anaknya keluar kamar sudah rapi dan membawa tas mungil miliknya
“Fitri mau pergi, Ma. Fitri pusing—” jawab Fitri sekenanya sambil berlalu.
“Kamu belum makan, Fit. Makan dulu, Nak!” teriak mama karena melihat anaknya sudah keluar rumah.
Kali ini mama benar-benar menitikkan air mata. Sungguh ia sayang sekali kepada Fitri. Semua yang ia kerjakan semata-mata hanya agar Fitri tidak hidup susah seperti ia dulu.
Mama menghela napas berat. Suamiku … aku sangat merindukanmu. Sungguh ….
**

[Cerpen] Mawar Putih



Sumber : google
Citra, gimana kabarmu? –Abi-
Isi pesan singkat yang ditujukan Abi ke ponselku. Cukup membuatku kaget. Pesan yang baru saja sampai ke ponselku itu dikirim setelah hampir dua tahun aku dan Abi tak pernah saling berkomunikasi.
Aku kembali teringat pada sosok gagah tapi sedikit egois itu. Namun, Abi sangat baik padaku. Sewaktu SMA, Abi berpacaran dengan sahabatku yang bernama Putri. Seorang gadis yang pandai dan cantik. Putri sering mewakili sekolah kami dalam berbagai perlombaan. Aku sendiri bukan tipe yang cerdas dan cantik seperti Putri. Tapi, nilaiku juga tidak apes-apes sekali. Sebelum kelulusan SMA, kudengar Abi dan Putri putus.
Sekarang aku dan Abi sudah menginjak umur 24 tahun. Terakhir aku dan dia berkomunikasi—sekitar dua tahun lalu—adalah saat reuni SMA kami. Waktu itu kami tak banyak bicara. Hanya say hello dan bertukar nomor ponsel. Hanya itu.
Kabarku baik, Abi. Bagaimana denganmu?
Aku baru saja mengirimkan balasan pesan ke nomornya dengan keheranan yang masih menggantung. Aku kira dia sudah lupa denganku, ternyata dia masih menyimpan nomor ponselku.
Ponselku berdering tanda sms masuk. Balasan dari Abi. Dia mengajakku ketemuan di salah satu kafe di kota ini. Segera kuiyakan ajakannya itu.
**
Di luar sedang gerimis. Lagu Fix You dari band Coldplay mengalun lembut dari pengeras suara di dalam Kafe KOPJA (Kopi Jalanan). Aroma kopi mendominasi salah satu kafe di kota Malang ini. Perpaduan menarik. Gerimis, aroma kopi, dan musik tenang.
Aku dan Abi sama-sama memesan kopi lampung, kopi favorit kami. Aromanya kuat dan menenangkan. Aku suka menghirup aroma kopi. Semacam terapi untuk pikiran juga, bagiku.
“Kamu sekarang kerja di mana?” tanyaku membuka percakapan.
“Alhamdulillah, sekarang aku mengurusi sebuah kebun milik perusahaan swasta di kampungku. Yah, semacam tukang kebun,” jawab Abi sambil terkekeh.
Aku kaget mendengar jawabannya. Bagaimana mungkin Abi yang cerdas—saingan Putri dalam hal prestasi akademik—hanya menjadi tukang kebun? Bahkan aku yang dulunya pas-pasan sekarang bisa menjadi seorang general manager. Padahal setahuku Abi adalah seorang sarjana pertanian. Takdir memang tetaplah menjadi sebuah rahasia. Aku tersenyum kecil untuk menutupi kekagetanku.
“Tukang kebun yang kumaksud juga bukan tukang kebun yang biasa mengurusi kebun-kebun kecil, Cit. Kebunnya luas dan gajiku lumayan cukup untuk membiayai hidupku di sini.” Abi mungkin menangkap rona kekagetanku.
“Tapi bukankah kamu sarjana pertanian? Seharusnya bisa mendapat pekerjaan yang lebih layak.”
Abi tersenyum tipis sambil menatap lekat kedua bola mataku. “Tapi aku lebih suka merawat tanaman di sini.”
Semoga Abi tak menangkap bunyi detak jantungku atau semoga wajahku sekarang tak berubah menjadi merah. Aku merasa aneh dengan perasaanku ini. Aku bingung dengan seorang jawara kelas yang sekarang seorang sarjana, rela mengurusi kebun di kampung . yah, meskipun gaji yang dia dapatkan cukup, tapi tetap saja bagiku pekerjaan itu tidak pantas untuk dia.
Abi kemudia menceritakan tentang pekerjaannya. Dia merawat tanaman-tanaman milik perusahaan tersebut dengan suka cita. Katanya, dari dulu dia senang merawat tanaman-tanaman. Baginya, tanaman itu seperti manusia. Mesti dirawat dengan penuh kasih sayang agar tumbuhnya tidak rusak atau gagal.
Aku masih menyimak kisahnya ketika ponselku tiba-tiba berbunyi. Ternyata ada hal mendadak yang harus kuurus sekarang. Aku pun segera pamit dan berjanji untuk bertemu kembali dengannya beberapa hari lagi. Abi mengiyakan.
**

[Cerpen] The Boy Next Door



Sumber : Google
“Festival Warga?” tanyaku saat membaca surat edaran dari Ibu RT yang bertamu di rumahku. Aku mengintip dari ruang makan, Mama sedang berbincang dengan ibu RT di runag tamu
“Palingan juga acara buang uang seperti biasanya,” ucap Mama setelah ibu RT pulang. Seperti biasa, Mama akan berkomentar demikian—dengan ekspresi mencibir.
“Bukannya kayak pasar malam ya, Ma?”
“Itu ‘kan cuma acara kumpul-kumpul gitu, terus makan-makan, gosip. Biasalah ibu-ibu di sini kan hobi yang seperti itu.” Mama menggerutu sendiri.
Aku meletakan surat edaran tersebut. “Ada stan-stan, tuh. Berarti kan ada jualannya. Enggak kayak kumpul-kumpul dan makan-makan waktu lebaran. Menurut aku sih, Ma. Aku mau datang, ah. Mau lihat.”
Mama mengerucutkan bibirnya. “Ya sudah, kalau mau datang.”
“Kan belum pernah ada acara seperti ini, Ma. Adanya cuma pasar malam. Tapi itu juga enggak sepanjang jalan komplek. Bagus, kan? Jadi enggak banyak kendaraan berkeliaran seharian. Kayak car free day gitu, bebas kendaraan,” ocehku.
Aku membayangkan acara nanti akan bebas kendaraan. Sepanjang jalanan hanya ada stan-stan yang menjual macam-macam dan semua warga memenuhi pinggir jalan. Sepertinya seru.
Mama melahap makan siangnya lagi tanpa berkomentar.
**
Aku memang tertarik untuk datang ke Festival Warga. Selain ini adalah acara baru yang belum pernah diadakan di lingkungan tempat tinggalku, juga ada banyak hal lainnya. Bertemu dan berbincang dengan tetangga, melihat-lihat apa saja yang dijual dan tentunya dengan niat membeli, dan mungkin bisa bertemu dengan cinta pertamaku.
Cinta pertama? Aduh, kalau ingat tentang dua kata itu pasti aku akan langsung gugup. Cinta pertamaku adalah tetanggaku dan teman TK-ku. Sedangkan aku—mungkin—akan bertemu dengan dia pada perayaan festival yang diselenggarakan sepanjang komplek perumahan kami.
Rumahnya tidak berdampingan dengan rumahku. Rumahnya berada di pinggir jalan yang berseberangan dengan gang rumahku. Kami berada di lingkungan perumahan yang sama, satu RT, satu RW, satu kecamatan, dan satu kelurahan. Ditambah lagi, orang tua kami yang saling kenal, walau bukan termasuk golongan hubungan akrab dan dekat.
Namanya Aulia Agung—Aku memanggil cowok itu ‘Aul’. Tubuhnya tinggi dan besar, dengan kulit berwarna kuning langsat. Rambutnya pendek dan hitam. Ada tahi lalat di area pipinya. Bibirnya merah dan tipis.
Bisa dibilang, aku tidak mengenal Aul secara baik. Walau kami bertetangga, walau dia adalah cinta pertamaku, tetap saja aku tidak mengenal dia secara pribadi. Ceritanya juga sederhana, dia teman se-TK dan kami selalu berangkat bersama. Sejak itu kami memang dekat dan aku sering duduk di sampingnya. Tapi, semakin kami beranjak dewasa, kami malah tidak dekat dan seperti tidak kenal.
Mulai pagi ini hingga nanti malam, festival akan diadakan sehari penuh. Festival ini diadakan untuk merayakan Hari Proklamasi Indonesia, 17 Agustus 2012. Ini pertama kalinya di lingkungan perumahanku mengadakan acara ini. Akan ada banyak stan makanan, jilbab, pakaian, dan dagangan lainnya. Acara ini bukan pula sukarela, jadi dibuat seperti pasar malam. Hanya saja diadakan seharian penuh dan ditambah hiburan lagu-lagu dan karaoke bersama bagi siapa saja yang mau bernyanyi.
Aku tidak mungkin tidak datang, ‘kan? Karena pestanya di depan gangku, jadi otomatis aku akan datang dan melihatnya. Walau ibuku atau siapapun di rumahku tidak tertarik datang, tapi aku mau datang karena ini pertama kalinya dan menurutku ini seru.
**