... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ...

Sabtu, 22 Juni 2013

[Puisi Akrostik] Perempuan Indonesia

P arasmu sungguh rupawan
E lok tutur katamu seperti untaian berlian
R agamu kau jaga layaknya mahkota idaman
E nergi positif selalu kau pancarkan
M emperlihatkan keanggunan yang kau punya
P usaran kharima yang rupawan
U sah kau ragukan lagi
A ndilmu dalam kemajuan suatu negeri
N ampak sangat begitu berarti

I ndahkah suatu sisi tanpa adanya kau yang mengisi?
N eraca mulai tak seimbang
D ilema kemakmuran merasuki
O mbak kemakmuran menerjang
N aluri untuk bergerak kau dahulukan
E mansipasi atau ego yang menangkan?
S adarkah bahwa kau kunci dari sebuah kemajuan?
I inilah titik dimana harus kau pikirkan
A ku sebagai seorang ibu atau sebagai pekerja kantoran?

*Puisi ini ditulis oleh Ristinesia

[Puisi Akrostik] Untukmu Perempuan

P arasmu menelusup ke dalam kabin sukma
E mansipasi menguap dalam catatan - catatan buku
R upanya kau meragu, sewaktu dunia mengajakmu kembali
E ndapkan lara, kumohon kau tetap bertahan
M emang tak adil bila suaramu hanya dianggap angin lalu
P un namamu tak pernah tercatat di dalam mata keadilan
U sah kau peduli kelak tetesan air akan merobohkan angkuhnya takdir
A jarkanmu setegar Kartini
N anti, hari ini, dan lampau kau pasti akan pahami

Untukmu Perempuan (dalam Catatan Perjalanan Seorang TKW)

*Puisi ini ditulis oleh Haqi

[Puisi Akrostik] RESLA AKNAITA CHAK

Rasanya bak secangkir kopi yang disesap
Erat semakin hangat dalam dekap
Saat mata indahmu sendu menatap
Lesung pipitmu pun ikut tersingkap
Aduhai …. Aku terperangkap

Aroma wangimu semerbak mendekat
Kepayang aku lupa akhirat
Nafas pun memburu semakin tercekat
Aliran darah rasanya bergerak cepat
Irama jantung berdegup dahsyat
Terperangkap akan panah amor yang melesat
Aduhai….Aku terjerat

Caramu  melenggang semampai gemulai
Hampiri aku yang semakin terkulai
Akankah kau datang membelai?
Karena hari ini kita resmi sebagai mempelai.

*Puisi ini ditulis oleh Chal

Jumat, 21 Juni 2013

[Puisi Akrostik] WANITA MASA KINI

Waktu laksana kereta
Antarkan kau pada kini
Namamu berjejer di berbagai bidang
Intimidasi kaum Adam
Terkadang.
Alirkan pandangan baru bernama: Feminisme.

Menatap dunia, memilih celana dibanding kebaya
Adalah cara pandangmu kini.
Simbol modernisasi, emansipasi,
Ataukah hanya kesalahan proposisi?

Kartini masa kini...
Ia mengejawantah sosok baru.
Namun pada dasarnya
Ia tetaplah satu... PEREMPUAN.


*Puisi Akrostik - WANITA MASA KINI*
Puisi ini ditulis oleh meta morfillah

[Puisi Akrostik] Untukmu, Ibuku

U ntukmu ibu..
N amaku yang selalu terselip dalam doamu,
T ak pernah berhenti kau panjatkan..
U ngkapan cinta yang hadir disetiap doa
K an mengiringi setiap langkahku
M enyambut masa depan
U ntuk bisa membahagiakanmu

I bu..
B ila aku belum mampu bahagiakanmu, maaf
U ntuk semua khilaf yang ku lakukan, maaf
K arena mungkin aku belum mampu
U ntuk membalas semua kasihmu


* Puisi ini ditulis oleh Joko

[Puisi Akrostik] Kelembutan Dirimu, Ibuku

Kasih sayang yang begitu melimpah
Enggan rasanya, kuabaikan
Lembutnya senyummu
Enggan untuk tidak kupandangi
Membuat diriku selalu rindu
Bukan untuk sekedar menghormatimu
Untuk mencintai dan menjagamu
Tanpa ingin pergi jauh darimu
Angan indah akan senyum banggamu, memenuhi benakku
Namun waktu belum berpihak

Darimu, aku belajar menjadi tegar
Ingin lebih kuat dan sabar
Rindu akan kasih sayangmu
Ingin diri ini menjadi seorang ibu sepertimu
Menjadi ibu sabar dan kuat
Untuk keluargaku, kelak


Ibuku sayang, aku ingin berkata
Betapa aku mencintaimu
Untuk selamanya dalam darahku
Karena kau adalah hidupku
Untuk cinta sepanjang hayatmu, yang tak ternilai itu


*Puisi ini ditulis oleh Dania Sunshine

[Puisi Akrostik] Ia, bernama Perempuan

Perempuan...
Elokmu melebihi indahnya senja
Rambutmu simbol mahkota

Embun saat pagi
Menyejukkan hati
Pelipur lara dikala sedih

Untuk kesekian kalinya
Asmara kembali tumbuh
Nari-menari selaras lagu

Biar, biar saja begitu
Usah ragu

Kala cinta telah terbelenggu
Airmata mana lagi yang mampu mengganggu?

Nyanyi-menyanyi semerdu empedu
Walau hatimu bukan untukku
Arah hatimu bukan tertuju padaku
Namun...
Imajiku akan selalu tentangmu
Tumbuh dan luruh
Akankah aku jadi pelabuhan terakhirmu, oh perempuanku?


Semarang, 25 April 2013
*Puisi ini ditulis oleh Resla Aknaita Chak []

Senin, 17 Juni 2013

[Puisi Akrostik] IBU

Ribuan detik kuhabisi
Isak dan tangis tak terhitung lagi
Nyanyian termerdu hingga tersendu silih berganti menemani
Inikah yang dinamakan sejati?

Sosok pahlawan nyata
Untuk hidupku ia korbankan segalanya
Lalu balasan apa yang ia minta?
Ah, ia tak butuh belas ataupun balas
Setitikpun tidak
Tanpa pamrih
Riwayatmu akan tetap terpatri
Ibuku....


Didedikasikan untuk Ibuku tercinta, Rini Sulastri.


*Puisi ini ditulis oleh Resla

[Puisi Akrostik] Cut Nyak Dien

Cintamu untuk negeri ini
Usah kuragukan lagi
Tumpah darah, kegigihan dan perjuanganmu, telah kau curahkan sepenuh hati

Nyatalah segala perjuangan
Yang kau ukir sungguh begitu sempurna
Aku meneladani semangat juangmu
Keikhlasanmu, dan dedikasimu untuk tanah Indonesia

Dilahirkan untuk tanah ini, gugur pula untuk tanah ini
Indonesia Raya
Enggan kulupakan semua jasamu, hai kau penakluk imperialisme-kolonialis
Namun, jika suatu saat namamu terlupakan, kau tetaplah perempuan tangguh Indonesia


*Puisi ini ditulis oleh ini Vita

[Cerpen Duet] Hipofisis Cinta Sepihak

Andai aku bisa, memutar kembali..
            Aku memejamkan mata. Memaksa oksigen masuk dengan cepat untuk memenuhi rongga paru-paru, dahiku mengkerut seperti merasakan sesuatu yang salah. Dan ketika oksigen terurai tergantikan karbondioksida. Mataku terbuka, Aku menyadari. Aku memang tidak punya hati.
***
            Aku melirik jam dinding. “Tentu saja sekarang waktunya” pikirku. Sudah jadi kebiasaan satu hari di setiap pekan, 2 hari sebelum hari Minggu, tepat di pukul 4 sore, kegiatan ini kulakukan, kegiatan yang tanpa sengaja telah menjadi kebiasaan semenjak aku menyakiti perasaannya, dan semenjak aku sadar telah menyakitinya, semenjak itu pula aku berpura-pura untuk tidak menyakitinya. Mungkin inilah bentuk rasa bersalahku, menghubunginya seminggu sekali, bertukar cerita. Panggilan tersambung.

            “Halo Wi, lagi apa?” aku memulai pembicaraan.
“Lagi pakai baju nih, habis mandi. Situ lagi apa?”
Apa? Pakai baju? Habis mandi? Aku mengkerutkan dahi.“Jadi masih pakai handuk dong? Terus cara megang ponselnya gimana??” aku terkekeh. Itu yang aku suka dari kamu selalu apa adanya.
“Omes banget, ponselnya ya di letakin di atas meja,terus dispeaker dong. Eh, gimana kabarnya di sana? Aman sehat sentosa kan? Kangen gak sama aku? Hehehe”
“Oh, masuk akal! Hehehe... alhamdulillah semua baik, sehat sentosa? Emang kamu Menteri Kesehatan? Kangen? Siapa? Aku? Lumayan lah..” Iya, Menteri Kesehatan hati aku. Setengah mampus aku kangen.
Aku tidak bisa menyembunyikan rasa rinduku. Itu wajar.

[Cerpen Duet] Kisah Kita Yang Salah

“Tentang ia yang dekat namun terasa jauh. Dan tentang ia yang jauh namun terasa dekat…”

                Dibalik jendela ini aku merenung. Aku tahu ini masih terlalu pagi untuk sebuah lamunan yang sama setiap harinya. Dan suara burung-burung itu terlalu sayang untuk di abaikan. Tapi inilah kenyataannya. Aku membuka mata, membuka gorden dan kemudian duduk di sana. Meski cuaca berganti, rintik dan suara burung bergantian menghampiri, bunga mekar dan daun gugur datang bergantian seakan pasrah akan musim yang mengendalikan mereka, dan buku –teman lamunanku- yang berganti setiap aku khatam membacanya. Semuanya berganti. Hanya aku, hanya lamunanku yang tetap sama. Tak pernah berganti sedikitpun.
                Tentang ia yang dekat namun terasa jauh. Dan tentang ia yang jauh namun terasa dekat. 
                “Aku besok pulang. Kamu nggak ada janji, kan, sama Surya?”
                Pesan singkatnya. Dua kali ia mengirimkan pesan yang sama.
                “Nggak ada, Wang. Cepat pulang ya…” balasku.
                Awang. Aku mengenalnya enam tahun lalu, saat Masa Orientasi Sekolah di SMA. Saat itu ia membelaku habis-habisan ketika seorang senior memarahiku karena aku terlambat.
                “Bukankah di sekolah ini kalau terlambat dalam waktu kurang dari 5 menit masih bisa di tolerir? Sedangkan….” Ia melambatkan bicaranya, kemudian membaca papan nama yang ku gantungkan besar-besar di leher, “Sedangkan Kidung hanya terlambat 3 menit.” Katanya lantang.
                Berani sekali dia, pikirku.
                “Bahkan kamu masih harus menoleh ke arahnya untuk sekedar tahu namanya.”
                Gila. Ia sudah gila.
                “Kalian berdua. Silakan menuju lapangan, dan hormat ke bendera. Sekarang!”
                Ah. Sial!
                Tapi setidaknya aku tak menahan malu sendirian karena hukuman.
                “Namamu Awang ya? Kenapa berani sekali? Namaku…”
                “Aku tahu namamu Kidung.” Sambarnya cepat. Kemudian menjabat tanganku. Kami tertawa.
                Aku pura-pura, awalnya. Hingga sekarang aku lupa bahwa aku sedang berpura-pura. Aku tak berniat untuk menyeretnya sedalam ini. Aku hanya ingin meletakkannya sementara di tempat ini. Namun caraku salah. Justru aku yang sekarang tak ingin ia pergi, meski tempat ini telah dimiliki.
                Kring…. 
                Suara telfon itu membuyarkan lamunanku. Kupencet tombol hijau itu.
                “Selamat pagi, Kidung. Satu jam lagi aku nyampe, ya…” suara dari seberang.
                “Iya..” jawabku seadanya, singkat. Kemudian menutup telfon dan mulai bersiap diri.
***

[Cerpen Duet] KAULAH SEGALANYA

Nisa tertunduk memperhatikan bulir-bulir hujan yang jatuh ke jari-jari kakinya, sebenarnya bukan hanya kakinya namun seluruh tubuhnyapun sudah basah kuyup. Hujan sore ini tidak membuat Nisa menepi untuk menghindarinya. Ia lelah hari ini. Lukanya menganga lebar, Sakit sekali. Setidaknya tetesan air hujan dapat membuat wajahnya terlihat menjadi samar. Antara airmata dan air hujan...
                Perang antara hati dan otaknya membuat ia menjadi semakin lelah. Tentang rindu yang sudah menumpuk terlalu tinggi, tentang hati yang mencintai dengan cara yang tak bisa di mengerti, tentang jiwa yang sudah begitu sabarnya menunggu. Ia butuh istirahat sejenak. Ia butuh waktu tanpa memikirkan apapun. Namun itu semuapun “dulu”. Kali ini Nisa hanya sedang mengingat bukan meratapi. Ia yakin keputusannya sudah tepat karna waktu terus berjalan maka ia akan tetap melangkah ke depan tanpa menoleh ke belakang. Kini airmata di wajah Nisa terlihat di hiasi dengan senyum. Senyum bahagia, bahagia karna berhasil melepaskan dan merelakan.
                                                                        ***                

            “Huh! Kuliah pagi buta begini selalu saja menyulitkanku” Rian menggerutu.
            “Jam berapa ini? Jam 7 kamu bilang pagi buta yan? Ckck.. dasar tukang molor” ucap Nisa sambil berkacak pinggang.
            “Hahaha.. aku sih masih tetap tenang karena ada gadis cantik yang selalu membangunkanku setiap pagi” goda Rian sambil memeluk pundak Nisa.
            “Kasihan sekali gadis itu pasti.. ” Nisa melotot lucu lalu menjitak Rian.
            “Aduh.. hahahaha.. nanti ada kuliah jam berapa lagi kita, Nis?” Rian terkekeh.
            “Jam satu matakuliah pemasaran” jawab Nisa sambil berlalu.

            Nisa selalu menikmati suasana pagi seperti ini besama Rian. Menyenangkan bisa membangunkan dan mengingatkan Rian pagi-pagi untuk segera mandi. Lucu sekali saat mendengarkan suara Rian yang sedang terkantuk dan uring-uringan di ujung telefon. Dan lagi lagi melihat Rian melahap sarapan sandwich yang Nisa bawakan adalah kebahagiaan yang tidak bisa di jabarakan. Ah terlalu banyak hal yang Nisa sukai dari sahabatnya itu.
               Lima tahun sudah mereka bersahabat. Hanya berdua dan tanpa pasangan masing-masing, mereka berdua sudah terlalu klop sehingga tidak berniat untuk menambah personil di dalam persahabatan mereka. Bahkan banyak teman-teman mereka yang mengira Nisa dan Rian berpacaran. Mereka selalu menanggapi dengan guyonan jika di tanya begitu oleh siapapun. Tetapi pada kenyataannya Nisa menikmati itu.
***

Rasaku

Ini tentang seulas senyum yang terus membayang
Tentang teduhnya tatapan mata yang bersarang
Tentang lembutnya tutur kata yang terngiang
Tentang namamu yang membekas tak pernah hilang
Semua ini tentangmu sayang

Jantungku berdegup lebih kencang
Langkah kakiku tertahan untuk pulang
Ragaku lemas serasa melayang
Semua ini karenamu sayang

Setiap mataku terpana padamu
Saat itu pula rasaku tak menentu
Detak nadiku
Goncangan dadaku
Menghanyutkan ketenangan kalbuku

Ah…, mencintaimu begitu menyenangkan sayang
Membuat kepala mabuk kepayang
Lagu cinta selalu berdendang
Namun..
Apakah rasamu seperti rasaku, sayang?


*Puisi ini ditulis oleh Chalriz

Untukmu, Cinta Pertamaku

Kau datang lagi saat aku jatuh,
Tak pernah kau coba tuk menarik,
Atau pun mendorong ku tuk bangkit,
Tapi kau terus ada disampingku,
Menuntun ku tuk bangkit bersamamu,

Kau berikan ku perhatianmu,
Kau berikan ku kasih sayangmu,
Kau berikan ku rasa yang sama,
Yang dulu pernah aku rasakan

Kau bilang,
kau akan menghadirkan kembali cinta yang pernah hilang

Tapi tahu kah kau
Cinta yang tumbuh dalam hatiku,
Tak pernah pergi
Dia masih tetap disini,
Setia menunggu,
Menunggu mu kembali memberikan warna indahmu

Mendung yang sedaritadi menggantung di bibir langitpun pergi,
Seakan tahu keadaan hatiku yang tak lagi mendung,
Tak lagi mendung karena hadirmu,
Tak lagi mendung karena cintamu,
Tak lagi mendung karena kau yang dulu pernah pergi,
Kini kembali menghiasi hari-hariku,
Cinta pertamaku..


*Puisi ini ditulis oleh Joko

[FF] Ruangku, milikmu.

Hai, selamat datang disini…
Di ruang gelap yang tak bisa kutafsirkan lagi ukuran lebar, panjang, tinggi, hingga luasnya. Entah sudah sejak kapan aku meng-iya-kan kelancangannya untuk tinggal. Sehingga membuatnya tuman, menganggap seolah tempat tersebut telah berpindah tangan, menjadi hak miliknya.
Mengobrak-abrik. Mengendalikan system kerja didalamnya. Seenaknya membuat rindu, terkadang pilu, tak ketinggalan cemburu, hingga sendu. Mengais apapun yang masih tersisa disana. Memungutnya. Membuang jauh-jauh. Dan memastikannya untuk tak lagi kembali. Biar. Biar saja begitu. Biar hanya dia saja yang tinggal disana.
Mencari sesi untuk mencintai. Mengambil hati supaya dicintai. Menyatukan keduanya agar bisa saling berbagi. Ini tentang hati yang saling mengisi. Tentang rindu yang sedalam kalbu. Dan tentang tangis yang tak selamanya tragis.
Aku tak tahu aku yang ke-berapa untuknya, aku tak peduli. Yang jelas ia yang pertama disini. Meski ia sempat tersaingi oleh hati yang lain, namun ia tak pernah pergi. Ia hanya tertumpuk, terimbun oleh hati lain yang numpang tinggal. Awalnya samar hingga ke dasar, kemudian seperti biasa, ia kembali terpapar.
Inikah cinta pertama?

[Cerpen] Sebutir Debu Pun Tak boleh Tahu

Dedaunan gugur, Agustus 2012
Aku benci berada disini dan kembali menulis setiap kenangan bersama nama yang tak pernah berhenti bermain di sudut pikirku.

Sebuah rasa yang tak terdefinisi..
Namun ia hadir seolah merangkai cinta…
Sebuah rasa yang tersimpan ..
Tak terucap,,
Hanya di sujud panjang ku menyebutmu, Cinta..

Senja ,September 2012
“mau kemana kita ? katanya hari ini jadwalmu tidak terlalu padat ??? suara diujung satelit telepon.”
“hehm, baiklah aku akan segera ke rumahmu . Segera siap-siap jangan sampai aku menunggu terlalu lama.  tertawa kecil diantara ujung satelit telepon. Tak lama kemudian Rival menutup ponselnya. ”

(telepon terputus, sang penelpon dan penerima telepon pun segera bergegas )

15menit kemudian..
Terdengar suara ketukan pintu dan ucapan salam yang tak asing lagi, bergegas orang dari dalam ruangan membuka pintu ..Trataaaa..
Sesosok lelaki dengan kemeja rapi dan jeans birunya telah berdiri dengan disambut senyuman manisku . “Selamat menyambut senja “
“ahh jangan bicara seperti itu , besok juga kamu baikan lagi kok dengannya begitulah nada datarku ketika menjawab setiap keluh kesah Rival tentang pacarnya. Kami memang sering menghabiskan waktu hanya untuk saling mendengar cerita tentang kehidupan dia dan aku. Kami sudah terbiasa menjalani rutinitas seperti itu dari putih abu-abu hingga menjalani masa kuliah. Persahabatan , hanya sebatas itulah kami memberi makna setiap percakapan dan kebiasaan selama ini. TITIK.

Perjalanan menuju kafe cappucino terhenti , lalu kami akan kembali mengelilingi taman kota hanya untuk mengukur setiap waktu ke waktu.

[FF] Jatuh Cinta (Lagi)

Hujan dan segala ingatan tentangmu. Aku tidak begitu ingat bagaimana awal pertemuan kita untuk pertama kalinya, tapi bagaimanapun itu kita tetap harus berterimakasih kepada Tuhan bukan ?

Bagaimana mungkin aku bisa melupakan percakapan-percakapan kecil yang kita lakukan bersama, bahkan akupun masih bisa mengingat dengan jelas perdebatan yang pernah kita lakukan. Sialnya  aku selalu kalah jika berdebat denganmu.
Aku merasa aneh, dan aku sangat menikmati keanehan ini. Rasanya aku akan baik-baik saja jika harus terjebak di keanehan ini. Jadi, bagaimana bisa aku memikirkan seseorang yang aku sendiri pun tidak menyangka bahwa Ia yang terus-menerus hadir difikiranku. Bagaimana bisa pula aku merindukan seseorang yang baru kutemui dua kali? Ya, baru dua kali kita bertemu secara langsung.

Kau masih ingat pertemuan kedua kita? Oke, biarkan aku bercerita sedikit ya.
Kita janji untuk bertemu di stasiun Manggarai sebelum melanjutkan perjalanan yang ingin kita tuju. Kecerobohanku terulang, aku salah turun stasiun. Aku ingat bagaimana paniknya aku saat menelponmu, aku berencana untuk membatalkan pertemuan kita dan kamu dengan sabarnya memberi petunjuk jalan yang benar.

Setelah itu, akhirnya kita berada di satu kereta yang sama namun beda gerbong kereta. Aku tidak tahu kamu dan aku dipisahkan oleh berapa gerbong kereta. Berada disatu kereta sudah mampu membuatku lebih tenang dari apapun.

Akhirnya kita sampai ditempat tujuan. saat kita bertemu kembali, mengapa hanya saling diam yang kita lakukan? Aku mungkin sedang menata hatiku, mengaturnya untuk tetap tenang karena terlalu bahagia bertemu denganmu lagi. Bagaimana denganmu? Apapun yang kau fikirkan hingga akhirnya memilih diam, aku tidak ingin mengetahuinya. Simpanlah untuk dirimu sendiri dan biarkan aku menikmati rasa penasaranku entah sampai kapanpun.

Lalu kita jalan beriringan, namun tidak lama kemudian langkahmu selalu saja melebihi langkahku. Langkahmu yang terlalu cepat atau aku yang sengaja memperlambat?

Satu hal lagi, ketika kamu berada sepuluh langkah didepanku, kamu berbalik lalu memotretku dengan kamera handphone milikmu. Sampai saat ini, aku tidak berani membahasnya. Dan akupun menikmati rasa penarasanku untuk kesekian kalinya.

Kamu  selalu membuatku tidak bisa berkomentar apapun, seperti saat kau mengeluarkan sebotol besar air putih dan agar-agar yang kau simpan didalam tas ranselmu. Kau menepati janjimu, saat kau tahu aku sakit. kamu dengan begitu baiknya membuatkan agar-agar  untukku. Aku sangat menghargai dan berterimakasih akan hal itu.

Dan rasanya aku tidak mampu bercerita lagi tentang pertemuan kita. Untuk selanjutnya, aku bukannya tidak mengharapkan. Aku hanya bisa mengaminkan  setiap hatiku bilang “semoga suatu saat bisa bertemu lagi…”
Aku  menikmati rasanya jantung ini berdetak lebih kencang dari biasanya, lalu akan ada seperti ratusan kupu-kupu diperutku. Perasaan itulah yang akan hadir  jika kita bertemu, menatap wajah masing-masing lalu menghabiskan waktu dengan bercerita tentang apapun.
Tadinya, aku tidak mengerti apa yang sedang kurasakan saat ini, sampai aku menyadari bahwa setiap pandanganku akan selalu tertuju padamu. Disetiap sujudku dan kepada Tuhan yang maha naik. Aku tahu namamu yang akan aku rapalkan yang kemudian menjadi doa-doa kecil yang kusampaikan padanya.
Dan aku menyadari aku sedang jatuh cinta. Dan jatuh cinta denganmu itu, tidak cukup sekali. Berkali-kali, setiap hari setiap saat.
Dan yang paling sederhana antara aku dan kamu mungkin adalan saling mendoakan.


*FF ini ditulis oleh Fitria

[FF] Galau? Yes, I am.

Aku adalah seorang yang keras hati
Yang tak pernah merasakan kelembutan hati
Hingga di sini. Di penantian terakhir
Kuberjumpa dengan engkau terpikat aku jadinya
PADI – Angkuh

Sebenarnya apa, sih, enaknya galau? Pertanyaan itu yang sering berputar-putar di benakku. Kenapa teman-temanku pada bangga cerita ke diriku dan orang-orang bahwa mereka sedang galau? Dan penyakit utama mereka galau adalah karena suka dengan lawan jenis. Oh, yeah, sesuatu yang belum pernah aku rasakan meski aku sudah hampir menginjak usia kepala tiga.
Ada-ada saja tingkah laku para galauer dalam mengekspresikan kegalauan mereka: ‘menyampah’ dengan update status di social media, mencuri waktu belajar atau bekerja hanya untuk curhat dengan rekan semeja, sibuk telepon atau sms, dan hal yang tidak bermanfaat lainnya. Bagiku, setiap ada permasalahan—entah itu masalah kerjaan atau pun orang-orang di rumah—aku coba menghadapinya dengan kepala dingin. Tidak perlu sibuk cerita ke sana-ke sini hanya untuk menunjukkan bahwa aku sedang galau. Apa enaknya orang-orang tahu permasalahan kita? Hanya untuk mencari simpati?
Semua pertanyan itu terus menganga hingga aku menemukan jawabannya.

***

Berbicara masalah cinta, hmm, memang saat ini aku belum menemukannya. Teman-temanku bilang bahwa aku terlalu banyak kriteria. Bahkan sobatku sejak SMA mengatakan bahwa aku terlalu angkuh untuk setidaknya lebih kenal secara dekat dengan seorang wanita. Apa salahnya? Jujur aku tidak ingin salah dalam memilih pasangan. Aku tidak ingin para wanita memandangku hanya karena tampang fisik semata atau pun status sosial yang aku sandang saat ini. Aku hanya ingin mendapatkan cinta pertama sekaligus terakhir dalam hidupku. Itu saja.
“Woy! Sedang apa kau, Dimas? Melamun saja dirimu. Apa sedang memikirkan wanita? Hahaa,” seorang rekan kerja, Rino, mengagetkan lamunanku.
“Aah, enggak, ini aku sedang menyelesaikan laporan,” jawabku kalem sambil pura-pura memainkan tuts laptop.
“Ayo, pulang! Sudah jam 8 malam, tuh. Oh, iya, anterin gue ke toko kue dulu sebentar, ya? Anak gue titip minta dibelikan kue bolu pandan kesukaannya,” ajak Rino.
“Atur saja bos, toh, gue nebeng mobil lu ini.”

Di toko kue—saat Rino sedang asyik berbelanja—mataku tertuju ke arah luar yang dibatasi jendela kaca besar. Aku melihat ada seorang wanita. Dia sedang membantu seorang kakek memungut buah mangga yang berserakan. Rupanya kakek tersebut tersandung sehingga buah mangga jualannya jatuh berantakan.
Aku amati wanita tersebut: tidak begitu cantik tapi menarik dan memiliki kelembutan hati. Sekonyong-konyong, hatiku tergerak untuk mendekati wanita tersebut. Jalan raya yang ramai membuat aku sulit untuk menyebrang. Dan oh, damn, kemana gerangan wanita tersebut? Aku mencari-carinya, bertanya ke orang-orang tapi tidak ada yang tahu.
Berhari-hari aku diliputi kerinduan akan sosok wanita tersebut. Aku tidak tahu harus ke mana mencari dirinya. Mengapa rasa cinta yang baru pertama kali aku alami membuatku menjadi gila dan *sigh* galau. Akhirnya harus kuakui, aku galau. Kini aku mengerti kenapa para galauer begitu ekspresif atas kegalauannya. Karena mereka butuh tempat untuk mencurahkan perasaannya dan atau pun berharap ada solusi atas permasalahannya. Dan kini aku butuh solusi ke mana harus menemukan dia—cinta pertamaku.


*FF ini ditulis oleh haqizhou

[FF] Kepada Kamu, Cinta Pertama

Kepadamu, lelaki pertama….

Aku menuliskan ini di salah satu sudut cafe favoritku, ditemani secangkir Macchiato Coffee dengan senja dan hujan rintik-rintik di luar sana. Aku menuliskan ini sambil menerka-nerka bagaimana ekspresi wajahmu saat membaca ini. Aku menuliskannya sambil tersenyum, pada jingga yang basah. Aku tersenyum pada jejak bibir di cangkir  kopiku.

Kau tahu? Di luar sana hujan menuntaskan rindu tanah akan dingin pelukan tiap tetes airnya. Senja menuntaskan rindu pelangi pada jingga dalam tataran tujuh warnanya yang sebelumnya tidak pernah lengkap. Tapi, sampai surat ini kaubaca, rinduku tak akan pernah tuntas. Aku menabungnya, sampai pada saat pertemuan kita.

Akan kuceritakan kau tentang apa yang kusuka dan tidak kusukai selama ini. Tapi sebelumnya, aku ingin bertanya padamu ... Apakah di tempatmu sekarang juga sedang hujan? Sebab, aku ingin kau merasakan apa yang aku rasakan saat menulis surat ini untukmu ...

Namaku Senja. Tanpa embel-embel di depan atau di belakang kata itu. Entahlah, kata ibu, dari remaja dia adalah penikmat senja. Makanya aku diberi nama Senja. Hanya satu kata. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, senja diartikan sebagai waktu (hari) setengah gelap sesudah matahari terbenam. Bisa dibilang, perantara sore menuju malam.

Di luar tempatku menuliskan ini, hujan masih rintik-rintik. Dinding café yang terbuat dari kaca masih berembun, memperlihatkan jalan samar-samar. Aku menyukai hujan saat hari memasuki senja. Selain jingga, kau juga akan menemukan enam warna langit. Merah-Jingga-Kuning-Hijau-Biru-Nila-Ungu, dengan latar jingga keemasan di langit sana. Indah bukan?

Semua karena kamu, aku begitu mengagumi senja dan hujan. Semua karena seseorang yang kini memegang surat yang kutulis saat hujan senja hari ini. Semua karenamu, yang sejak kecil selalu kubayangkan, datang saat senja dan tersenyum di depanku. Semua karenamu, cinta pertamaku.

[Cerpen] Sejumput cinta di batas waktu

Kamu tahu aku suka sama kamu
Aku tahu kamu suka sama aku
Tapi kita berdua sama-sama tahu
Waktu kita telah habis
Terlambat …
Kau terlalu takut menyatakan
Dan aku terlalu takut menanyakan
Karena tak selamanya kita membutuhkan
Sebuah jawaban …

Tari memandangi handphonenya yang menampakkan layar notes berisi puisi yang dibuatnya. Lalu ia mengalihkan pandangannya menatap air mancur yang menari-nari di kolam depan Perpustakaan Nasional. Banyak sekali yang dipikirkannya. Banyak pula yang disesalinya. Tak terasa satu jam telah berlalu. Tari menghela napas panjang. Seolah-olah dengan cara itu masalahnya akan selesai dan dunia akan lebih baik padanya. Tiba-tiba handphonenya berbunyi dan menampilkan satu nama.

Cakra.

“Halo, Assalammu’alaikum.” Persis dering kedua Tari mengangkat teleponnya.
“Walaikumsalam. Kamu dimana Ri?”
Suara yang selalu menghantui pikiranku.
“Di Perpustakaan Nasional. Kenapa?” jawab Tari seraya menata hatinya yang dag dig dug.
“Habis ini ada acara lagi gak? Ada yang mau kubicarakan. Bisa?”
“Hmm.. bisa. Kebetulan hari ini gak ada rencana ke tempat lain.”
“Ok. Tunggu di sana yaa. I’m on the way. See you there.”
“Ok.”

Apa yang ingin dibicarakannya? Aneh sekali dia, jauh-jauh dari Tangerang hanya menemuiku untuk bicara.
Akhirnya Tari masuk ke dalam Perpustakaan Nasional yang agak ramai di hari Sabtu demi menunggu Cakra.

***

[Cerpen] Gembel Gombal

Sumpeh!

Tu orang nggak banget, deh!


Aku bergidig setiap mengingat sosok menyebalkan Galang. Anak baru, pindahan dari Cirebon yang sejak seminggu lalu resmi menjadi penghuni tetap kelas IPA 4, kelasku. Sejak pertama melihatnya, hanya satu kata yang terlintas di pikiranku. Berantakan! Dan kumal!

Baiklah, itu dua kata! Ringisku dalam hati.

Tubuhnya tinggi kurus, kulitnya hitam. Rambutnya nampak agak gondrong dan tidak terurus. Seragam yang dipakainya pun terlihat lusuh, seperti sudah berusia puluhan tahun saking belelnya. Hadeuuh! Nggak  habis pikir. Kok satpam bisa-bisanya ngebolehin anak selecek ini melewati gerbang sekolah?

Helow prens! Gue Galang. Siap jadi idola baru di kelas ini. Don wori bi hepi, meski kesing kw tiga, tapi daleman gue kelas premiun. Nggak percaya? Bagi para cewek, silahkan buktikan sendiri.”

Kalimat perkenalan diucapkannya dengan logat jawa medok, sukses mengundang tawa hampir semua murid di kelas. Tapi hal itu justru membuatku langsung ill feel, secara aku paling anti  sama cowok yang berlagak cool dan sok ganteng. Apalagi kalau tampang  tidak  mendukung macam si Galang ini. Sorry, bukannya menghina. Melihat dia berdiri di depan kelas dengan posisi kaki agak miring sebelah, kedua lengan masuk saku celana, dan kepala yang mengangguk-angguk saat bicara malah membuatnya terlihat seperti orang yang lagi slebor.

Dengan tampang dan gaya seperti itu siap jadi idola baru katanya? Mimpi kaleee!!

Sialnya lagi, tu cowok malah dapet tempat duduk di samping mejaku. Kulihat teman-temanku mengamati dia berjalan untuk duduk di mejanya dengan antusias. Beberapa orang tertawa cekikikan melihat gaya melenggangnya yang  ala model catwalk.

Tepat di sampingku, dia berhenti. Aku mengerutkan kening saat menyadari cowok itu mengamatiku.

Beberapa saat kami berpandangan. Lalu tiba-tiba, sebelah matanya berkedip dan seringaian muncul dari bibirnya yang agak kehitaman.

“Hei, biutipul!”

Mulut itu lalu monyong, mengecup sebelah telapak tangan lalu meniupkannya ke arahku!

Gelak tawa segera tumpah ruah di seluruh ruangan kelas.

Tanpa sadar aku bergidik. Cepat-cepat kualihkan pandangan, tak tahan melihat seringaian genitnya. Di depan kelas, Pak Ganjar, wali kelas kami,  malah nampak ikut terbahak-bahak. Hatiku semakin dongkol.

***

[Cerpen] Dia yang Pertama, Luna

“ Uh! Gila Al, capek banget nih gue.”
“Baru berapa meter Mbul, udah teler aja lu. Makanya lu gue ajakin jogging biar kurusan. Hahaha “
“Kamfret lu Al! “ Kata Gembul sambil mengejar Ale.
Ale dan Gembul adalah sahabat dari TK, mereka bertetangga, mempunyai hobby yang sama, dan bersekolah di sekolah yang sama sejak TK. Ale, yang akrab disapa Al ini berperawakan tinggi, kekar, ia digilai oleh cewek-cewek satu sekolah dan jadi cowok terkeren di sekolahnya. Tapi, berbeda sekali dengan sahabatnya, Gembul (Okesip, ini nama kerennya) ia tak seberapa tinggi, tidak seberapa kekar dan  tidak seberapa digilai cewek-cewek karena dia Gembul dan tidak seberapa ganteng. Nama aslinya? Tentu saja bukan Gembul, tapi Rio Pratama. Gembul suka banget sama bakso dan mie ayam nya pak Gendut yang terkenal “nampol banget”. Tidak heran badannya gembul, segembul bakso Pak Gendut.
            Setiap hari minggu pagi, mereka biasanya jogging disekitar komplek. Al pengen banget temen sepermainannya itu jadi temen sepelaminannya (Okesip, fokus!), maksud gue, Al pengen banget hommie nya yang tidak seberapa ganteng itu punya badan yang agak bagusan (Oke, AGAK). Alesannya klise banget, Ale belum pernah liat Gembul punya pacar. Semoga dengan badannya yang (sekali lagi) agak bagusan bisa dapetin cewek yang dia taksir.
“Gue belum mau pacaran Al, lagian mana ada yang mau ama gue.”
“ Lah, hopeless banget lu?”
“Bukan gitu Al, lu kan tau, gue belum nemu cewek yang kayak Luna Maya”
“ Ya elah Mbul, standar lu turunin dikit ngapa?”
“Ya gimana? Gue tuh udah cinta banget sama Luna, Al.”
“Iya, tapi mau sampe kapan lu nunggu Mbul?”
“Sampe gue ketemu sama pujaan gue yang kayak Luna lah Al.”
“Tapi gue bosen liat lu ngelus-ngelus TV mulu setiap kali ada Luna Maya nongol.”
“Ya suka-suka gue, ngapa lu yang ribet sih?”
Tiba-tiba,
“Eh Mbul, Mbul.. Liat noh!”
“Apasih Al?”
“Lu liat ke jendela atas rumah ijo itu Mbul!”
“Aaa.. paaa s s siihh?” kata Gembul sambil melihat ke arah jendela dan terperangah mengagumi makhluk ciptaan Tuhan itu.
“Gila, Al! Itu Luna, Al? Itu Luna? Seriusan itu Luna?”
“Ck ck ck ck, gila Al.. Lirikan matanya, Luna banget Al! Lu kenal nggak?”
“Boro-boro Mbul. Tapi setau gue, rumah ini baru ditempatin kemarin Mbul”
Gembul masih terpesona, gadis itu lalu tersenyum dan menghilang dari balik jendela.
* * *

Cinta Pertama

Kamu
bidadari yang menjelma jadi manusia
Yang hadir lewat perkenalan singkat

Kamu
Yang datang mengisi ruang hati ini untuk pertama kali
Membuka hati yang telah lama sendiri


Cinta pertama,
Bukan kedua, ketiga atau keempat


*Puisi ini ditulis oleh Djamall