Matanya
sipit. Tipeku sekali. Kulitnya mulus, kriteriaku sekali. Bibir bawahnya tebal
dan berwarna merah muda. Dia alami,
natural
….
“Aku
capek. Pulang, yuk, Jo!”
sentuhan tangannya di pundakku. Mengagetkan.
“Ah,
segini doang masa kamu
udah capek,
sih? Olahraga pagi itu
perlu, Di. Letoy banget!” seruku seraya mengejeknya.
“Hahaha—” Dia terbahak. “Ini udah tahun ketiga dan elo
masih manggil ‘kamu’ ke aku, Jo. Aku terharu sama k-a-m-u. Hahaha.” Dia
menekankan suara pada kata ‘kamu’.
“Apaan, sih?” Wajahku merengut. “Kamu kan tau kalau
sebelum menginjakkan kaki di ibukota ini, aku tinggal di kota yang tak mengenal
istilah elo-gue. Jadi, kamu gak usah ngejek. Ayo, ah! Laper nih—” Aku melangkah
mendahuluinya, masih dengan tersungut-sungut.
Dia mengikut di belakangku masih dengan suara
cekikikan khasnya, dengan bibir merah mudanya.
Di, ini lebih dari sekadar arti k-a-m-u.
**
“Jadi
apa sarapan kita pagi ini,
Tuan Muda? Ka-mu mau aku beliin apa,
Jo?” Lagi-lagi Di
menggodaku.
Aku
mencampakkan sepatu olahraga sekenanya ke belakang pintu. Meskipun kos ini makin sempit,
tapi aku senang.
Walaupun hanya
bersebelahan kamar, tapi Di di
sini. Dia di sini, indekos bersamaku.
“Lontong
aja, pakai telor sama perkedel,
sambalnya dibanyakin. Sekalian
kerupuk keritingnya tiga, ya, Di?! “ kataku dengan nada memerintah yang dibuat-buat.
“Siap, Bos! Tunggu sebentar, yaaa—” Di berbalik kemudian berjalan menjauh.
Punggung
kokohnya pun sangat mengagumkan ….
**
Aku
tak pernah jujur tentang perasaan ini. Pernah sekali terceplos kalimat, “Kamu cantik, Di …” –yang hanya dibalas dengan tertawaan.
\
Di,
aku serius dengan itu ….
Lamunanku
buyar. Aku tersadar. Masih di Minggu pagi saat aku dikagetkan dengan kedatangan pacar Di.
“Hai, Jo. Cintaku ke mana?” katanya sambil tersenyum tipis padaku.
“Lagi beli sarapan di warung depan gang. Gak ketemu
emang?”
Dia menggeleng. “Mungkin selisih jalan. Gue ke sini
naik ojek, gak jalan kaki soalnya.”
“Oh.” Aku mengangguk singkat.
“Eh, Di beli buat berapa orang, sih? Gue juga belum
sarapan.” Pacarmu mengambil ponsel dan kutebak pasti dia akan meneleponmu.
Aku ingin menjauh dari sini agar tak mendengar
percakapan mesra kalian. Aku berjalan menuju kamar mandi. Mending aku nongkrong
di kamar mandi saja.
“Halo, Sayang? Aku udah di kos kamu, bareng Jo. Iya,
kok tau aku belum sarapan? Oke. Aku tunggu ya, Sayang. Bye.”
Kupingku mulai panas mendengar percakapan mesra
kalian. Sayang dia bilang? Sayangku lebih dari
kata ‘sayang’ padamu, Di ….
Aku
tak berminat lebih lama di kamar mandi ini. Jongkok. kakiku bakalan keram.
Tapi, cuma petak ini yang bisa menjauhkan
aku dari kamu untuk
beberapa saat. Petak yang selalu sedia aku datangi setiap pacarmu datang. Aku benci mendengar kemesraan kalian. Aku iri mendengar pacarmu
bermanja-manja padamu.
Aku
suka bersebelahan kos denganmu, sangat suka. Kali pertama kamu menawarkan padaku,
“Yaudah, elo ngekos di tempat gue aja. Emang sih, kos campur
gitu.
Tapi dipagarin, kok. Peraturan tetap
peraturan. Kita gak
bisa macam-macam,
Bro! Hahaha—”
Bukan,
bukan itu alasan aku mau indekos
di kos-an campur ini. Aku
tergila-gila sama kamu, Di.
Kamu cantik, gak seperti mereka.
Kulitmu mulus dan
matamu sipit. Aku suka. Suka sekali.
Kamu
cantik, Di. Kamu beda. Tidak seperti mereka yang sibuk memutihkan kulit dan wax sana sini. Kamu beda dari kaum kita.
Kamu tidak berbulu dada. Itu naturalnya
kamu, Di.
Didi Arhadi .... Aku cinta kamu.
“Jo? Joshua?!! Cepetan, deh. Lontongnya
udah dingin,
nih!”
*Selesai*
*FF ini
ditulis oleh Fathia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar