|
Sumber : Google |
Suasana jalanan sudah
ramai dengan lalu lalang kendaraan. Di depanku terdapat beberapa orang yang
mengejar bus, sedangkan lainnya asyik dengan buku atau gadget di tangannya. Ada
senyum, sedih, bahagia dan ada pula tawa lepas yang menyatu dalam barisan
orang-orang yang berdiri dan duduk mematung di halte bus. Pagi selalu memberikan
lembaran baru untuk diukir sampai malam tiba.
Aku masih ikut larut di
dalam keramaian halte pagi ini, menunggu Morin dan Roni teman baikku. Kami terbiasa
berangkat bersama menuju sekolah, menghabiskan kebersamaan singkat kami di
jalan. Kegiatan pagi yang selalu kami kerjakan bersama adalah saling menunggu. Setelah
semua berkumpul kami berlarian mengejar bus yang tak pernah ramah setiap kali
datang, -kencang dan tak menghiraukan penumpang yang berlarian- .
“Woy, ngelamun aja.” Morin
dan Roni menepuk pundakku.
“Ah, lu, mengagetkan saja. Kalian tumben lama banget, sih? Kering nih, gue di sini
sendirian.” Aku menatap wajah mereka.
“Tadi ada urusan sedikit
di rumah sama nyokap. Maaf ya, Tur
kalau nunggu lama,” jawab Morin, senyumnya terlempar lepas. Guntur Adi Prasetya
adalah namaku.
“Kalau gue tadi bantuin bokap beres-beres
berkas dulu. Besok beliau ke Hongkong ada kerjaan disana. Sorry, bro, hehe” Roni
melanjutkan setelah Morin usai menjawab. Tangannya menggaruk-garuk kepala dan
seperti biasa cengengesan dan tak pernah tampak keseriusan di wajahnya.
“Ya sudah, ayo jalan! Nanti
kita bisa telat lagi. Sudah jam berapa ini?” Aku menarik tangan mereka berdua
naik ke bus yang baru saja datang.
Setengah jam perjalanan
cukup sebentar bagi kami yang selalu senang bertemu pagi. Kami sampai dengan selamat
di depan gerbang sekolah, suasana bus sekolah tadi pun tak seramai biasanya.
Mungkin karena waktu yang sudah hampir menunjukkan pukul 07.00 WIB. Biasanya
pukul 06.30 kami sudah duduk santai di bangku kelas. Tapi jam segini kami baru
sampai.
“Nah, lho, gerbang sudah ditutup. Gimana, nih, Tur, Ron? Mana ada ulangan Matematika lagi nanti jam ketiga.”
Wajah Morin panik sekali, seperti orang kebakaran jenggot, kondisi Morin saat
ini mungkin sama seperti yang banyak orang sebut.
“Santai saja, ah, ga
usah panik. Kita lewat tembok belakang aja, bagaimana? Oke?” Tidak lagi
menunggu persetujuan aku dan Morin, Roni langsung berlari ke tembok belakang
sekolah.
Tak ada toleransi dalam
lingkungan sekolah. Siapapun yang terlambat mereka tidak boleh masuk, sekalipun
itu guru atau kepala sekolah. Semua akan mendapatkan poin yang tertera di buku
sangsi.
Pada dasarnya kami bertiga
adalah anak yang baik. Roni yang tak pernah serius dan selalu cengengesan ini
termasuk anak yang pintar di kelas. Nilainya tak pernah berada di bawah angka
90. Roni anak yang supel dan mudah bergaul dengan siapapun. Tak heran temannya
banyak, baik yang di dalam sekolah maupun yang ada di luar sekolah.
Sedangkan Morin adalah
salah satu murid yang paling pintar di antara anak-anak pintar di kelas kami. Selain
itu dia sangat ramah pada siapapun, wajahnya yang cantik menjadi daya tarik
tersendiri di dalam pergaulannya. Dia banyak disukai anak-anak satu sekolah. Siapa
yang tak kenal Morin? Sebut saja namanya, semua pasti kenal, dia primadona di
sekolah kami.
Sedangkan aku, biar dibilang
tak sepintar Roni dan Morin namun aku termasuk murid yang rajin, menurut
teman-teman dan guru-guru. Pesan ayahku dulu, “Kita boleh tidak pintar dalam pendidikan, tapi kita harus pintar
melawan rasa malas.” Dan kata-kata itu yang selalu aku pegang sampai
sekarang. Untuk soal kehidupan aku banyak belajar dari ayah dan ibuku. Untuk
soal pelajaran aku banyak belajar dari Morin dan Roni.
Sekian menit berlari dan kini
kami sudah berada tepat di tembok belakang sekolah. Kami tahu di balik tembok yang
lumayan tinggi ini ada rumput-rumput liar yang tinggi dan lebat, serta seperti
pemandangan ruang kosong yang tak terurus. Tempat belakang sekolah ini biasa digunakan
anak-anak genk badung di sekolah
untuk merokok pada jam istirahat.
“Ah, gue gak berani memanjat tembok ini. Rok gue panjang begini, ribet pasti.” ujar Morin pesimis.
“Gampang, sudah pasti gue bantuin.” Roni meyakinkan Morin.
“Nah, itu ada bangku.” Aku
bergegas mengambil bangku dan menaruhnya di dekat Morin berdiri kemudian menyuruhnya
naik pelan-pelan.
“Auuu…” Morin sudah
berhasil terjun dari atas tembok namun nampaknya dia terjatuh dan sedikit
merasakan sakit, tergambar dari nada suaranya.
“Morin, lu ga kenapa-kenapa, kan?” Aku dan Roni
panik.
“Enggak apa-apa kok aman, deh,
hanya sakit sedikit. Sudah buruan kalian naik!” tegas Morin.
Setelah Morin berhasil, aku
dan Roni menyusulnya. “Akhirnya lolos juga…” Sorak kami bangga. Sekeliling
sudah sepi, tidak ada kehidupan. Hanya ada rumput-rumput yang tumbuh liar,
pepohonan yang daunnya bergoyang-goyang diterpa angin serta lorong-lorong kelas
yang tidak terisi.
Kami melangkahkan kaki,
meninggalkan tempat di mana pijakan kaki tegak menantang. Melewati tumpukan
semak-semak yang cukup mengganggu perjalanan, menyusuri lorong kelas. Dan sampailah
di titik terakhir di mana perjuangan kami untuk masuk kelas sangatlah ditentukan
di sini, yaitu loket guru piket. Hari ini yang menjaga Bu Indah, guru killer yang paling ditakutkan anak-anak
seantero sekolah.
“Yes, Bu Indah ga ada di
bangkunya, kawan,” Roni tersenyum penuh kemenangan.
“Ayo, bergegas!”
Kami berlari sekuat
tenaga, tiba-tiba Morin terjatuh. Akibat turun dari tembok tinggi tadi ternyata
masih menyisakan sakit di kakinya.
“Guntur, Morin, Roni….”
ujar sebuah suara, “Dari mana kalian? Pasti telat…”
Suara mencengkeram itu, sangat
kami kenali, siapa yang tak paham suara bergemuruh seperti suara halilintar itu.
Suara yang selalu membuat hampir seluruh murid di sekolah ini lari sejauh
mungkin meninggalkannya. Suara yang membuat kuping tak kuasa mendengarnya. Apalagi
ketika suara itu mulai berkata panjang lebar, dunia seakan hancur pada saat itu
juga.
“Diam di situ!” Perintah Bu
Indah kepada kami.
“Kalian ingat peraturan di
sekolah ini? Tidak boleh ada yang telat!”
“Prak…Prak…Prak…” Penggarisan
kayu besar, jatuh berkali-kali di meja yang tak bersalah sedikitpun.
Ekspresi kami hanya diam
seperti anak ayam yang kedinginan. Tanpa pergerakan, mematung. Kami tak berani
menoleh ke belakang. Akhir kata, kami dihukum hormat bendera selama setengah
jam, membersihkan halaman, dan terakhir kami harus membersihkan kamar mandi
sekolah. Pagi yang menyenangkan bukan?
Karena tidak mengikuti
kelas hingga jam istirahat berbunyi, guru Matematika mengizinkan kami untuk
mengikuti ulangan susulan di ruang guru. Waktu istirahat kami tergadaikan, entahlah
kami mimpi apa semalam. Yang jelas kami tidak mimpi dikejar-kejar monster yang
sering jadi musuh Ultraman di setiap
pertarungannya. Namun lebih mengerikan kami langsung dihadapkan pada kenyataan
yang cukup melelahkan untuk hari ini.
Ah,
kau tahu, kawan? Di dalam sudut sempit
Saat
kita tak mampu untuk bergerak dan sebaris luka menganga
Kita
tetap mampu berpegang tangan untuk saling menguatkan
***