Sumber : Google |
"Rico Nugroho, panggilan untuk Rico Nugroho."
Suara suster dari loket pendaftaran berlari menghampiriku dari speaker yg ada di sudut ruangan. Aku
mengumpulkan tenaga untuk berdiri menghampiri loket pendaftaran. Benda-benda di
sekelilingku seakan berputar. Aku merasa
seperti sedang berada di atas kapal yang menerobos badai. Tiga hari sudah aku
terbaring sakit di rumah, pusing yang teramat sangat datang menghampiri.
Badanku panas, setiap ingin bangkit dari tempat tidur seperti ada yang sedang
mengocok perutku, mual. Selama tiga hari ini pula perutku tak terisi makanan. Seingatku
baru apel yang kemarin dibeli ibu yang sudah berhasil masuk ke perutku. Bahkan
makanan-makanan enak yang kerap menggagalkan program dietku pun tak bisa membujuk
perutku untuk mau diisi. Tubuhku semakin lemas, hingga akhirnya hari ini aku
memaksakan untuk pergi ke rumah sakit ditemani ayah.
"Ini berkas-berkasnya, Anda bisa langsung masuk ke ruang lab untuk
pengambilan darahnya."
"Oke suster."
Aku meninggalkan ayah di ruang tunggu lalu masuk ke ruangan yang ditunjuk
suster itu, ia mempersilakanku duduk dan langsung menyiapkan peralatannya.
Aroma khas rumah sakit menusuk hidungku, bau obat-obatan yang bercampur baur di
udara, menambah rasa mual. Tak lama kemudian suster menghampiri dengan jarum
suntik di tangan kanan dan di tangan kirinya ada tourniquet yang digunakan untuk mengikat lengan atasku agar darah
lebih mudah diambil. Setelah tourniquet
terikat kuat, jarum suntik pun ditancapkan ke lenganku. Mulai terlihat cairan
kental berwarna merah memenuhi tabung jarum suntik itu.
"Sudah ya, nanti hasil tesnya bisa diambil satu jam dari
sekarang."
"Oke, terimakasih suster."
Aku keluar dari ruangan menuju ruang tunggu. Mungkin kalau dalam film
kartun, di atas kepalaku sudah ada bintang-bintang yang berputar menandakan
kepalaku yang pusing. Tapi aku tetap paksakan berjalan. Aku harus cepat sembuh,
dua minggu lagi Ujian Akhir Semester di kampusku dimulai. Itu yang menjadi
motivasiku agar cepat sembuh.
Menunggu ternyata masih menjadi pekerjaan yang menyebalkan bagiku. Waktu
satu jam terasa sangat panjang. Aku tak sabar menunggu hasil. Ingin sekali
rasanya aku keluar dari rumah sakit ini secepatnya. Karena terlalu bosan
menunggu aku putuskan untuk tidur saja di ruang tunggu.
###
"Rico Nugroho, panggilan untuk Rico Nugroho."
Lagi-lagi suara suster keluar dari speaker
membangunkanku. Tak terasa sudah satu jam aku tertidur. Aku mencoba bangkit
dari tempat dudukku, menghampiri suster yang memanggil namaku.
"Ini hasil pemeriksaan tadi, anda ada gejala demam berdarah,
trombositnya sudah di bawah normal dan disarankan untuk rawat inap"
Aku langsung menghampiri ayah dan bertanya apakah ayah setuju kalau aku
dirawat inap di rumah sakit. Ternyata ayah setuju. Beliau langsung mengurus
administrasi rumah sakit, kebetulan ada tempat kosong di ruang kelas dua. Salah
satu suster menuntunku menuju ruang pemeriksaan lagi untuk diinfus, setelah itu
aku dibawa dengan kasur dorong menuju Ruang Kenanga di lantai dua. Ayah yang
sudah selesai mengurus administrasi mengikuti dari belakang. Tak lama kemudian
aku sampai di Ruang Kenanga. Ruangnya berbentuk persegi yang cukup besar, ada
dua buah toilet terletak di sudut dekat pintu masuk. Kapasitas ruangan untuk
empat orang pasien. Sudah ada dua orang yang menginap di situ, keduanya
terlihat sudah paruh baya, yang satu terbaring lemah dengan selang infus di
tangan kanan dan selang oksigen di hidungnya, yang satu lagi sedang tertidur
pulas.
Ayah menghampiriku dan pamit ingin pulang dulu mau mengambil peralatanku
untuk menginap karena memang tak ada persiapan sebelumnya untuk menginap di sini.
Aku masih berbaring di kasur, mengeluarkan handphone
dari saku. Jariku mulai menari di atas keypad
qwerty, mengetik pesan singkat untuk Vira.
Sayang, aku dirawat di RS Qadr nih,
baru masuk tadi, niatnya cuma periksa ternyata harus dirawat, hehe
Tak lama kemudian muncul balasan.
Waduuhhh.. Cepat sembuh sayang, maaf
aku belum bisa jenguk hari ini, masih banyak pasien di sini, I'm so sorry, get
well soon, Love u.
Seperti biasa, Vira selalu disibukkan oleh pasiennya di rumah sakit. Dia
bekerja sebagai bidan di rumah sakit yang lumayan jauh dari kota. Rumah sakit
itu tak pernah sepi dari pasien. Setiap hari pasti ada saja pasien yang
menghabiskan waktunya. Saat bekerja dia jarang bisa memegang handphone-nya. Interaksi di antara kami
pun mulai berkurang. Jarang sekali bisa ngobrol
di telepon dengannya. Biasanya kami ngobrol
hanya via pesan singkat handphone,
itupun aku harus menunggu dia yang menghubungi duluan untuk memastikan aku
tidak mengganggu pekerjaannya.
Jam di dalam ruangan sudah menunjukkan pukul 12 siang, tiba-tiba kantuk
mulai menyerang. Aku memilih untuk tidur saja. Tapi belum sempat aku memejamkan
mata, ada bayang seseorang yang melintas di pikiranku. Dengan cepat kusambar handphone di meja tepat samping kasurku.
Jariku mulai menari lagi di atas keypad.
Haloo Shena, lagi sibuk gak? Aku
dirawat nih di RS Qadr, jenguk doongg..
Baru saja kuletakkan handphoneku
di kasur ternyata ada balasan pesan dari Shena.
Ya ampun rico, kamu sakit apa? Nanti
pulang kerja aku mampir, kebetulan kan dekat dari tempat kerjaku
Ada rasa bahagia yang terselip di hatiku. Entah kenapa cuma Shena yang
selalu ada saat aku butuh. Shena adalah cinta pertamaku, sebelum akhirnya sifat
egoisku yang harus memisahkan kami, dan kemudian aku bertemu Vira. Aku jadi
ingat seminggu lalu. Dia juga ada di rumah sakit ini, di ruang yang berbeda.
Tiba-tiba dia mengirim pesan kepadaku kalau dia sedang dirawat karena tipus,
dia memintaku menemaninya karena sedang tak ada yang menunggunya di rumah
sakit. Ibunya pulang untuk mengambil baju ganti dan selimut untuknya. Tanpa
pikir panjang aku langsung pergi ke rumah sakit. Memang hanya sebentar aku
menemaninya siang itu karena ada les bahasa inggris. Tapi sorenya seusai les
bahasa inggris aku kembali ke rumah sakit membawakan makanan untuknya. Bahagia
rasanya ada di dekatnya, apalagi waktu aku melihat selimut yang dibawakan
ibunya adalah selimut pemberianku saat ulang tahunnya dulu. Aku menemaninya
hingga larut malam. Menghabiskan waktu berdua, berbagi cerita, nostalgia
tentang hubungan kami dulu, sampai membicarakan tentang pasangan masing-masing.
Ya, memang kami sudah sama-sama memiliki pasangan. Tapi entah kenapa bayangnya
tak pernah hilang dari pikiranku dan aku pun yakin kalau di hati Shena masih
ada aku.
"Sudah hampir jam 12 nih Co, kamu pulang gih, sebentar lagi Aldi
datang, mungkin dia akan menginap di sini, aku tak mau sampai dia melihat kamu
di sini Co."
###
"Ini obatnya, diminum setelah makan ya."
Suara suster menarikku keluar dari lamunanku.
"Baik Sus, terima kasih."
Aku belum bernafsu menyentuh makanan yang diantarkan suster. Pikiranku
masih tertuju pada Shena. Aku kembali hanyut dalam lamunan tentangnya. Saat hari
kedua dia dirawat pun aku kembali menjenguknya. Kubawakan dia sebuah novel,
karena aku tahu hobi dia membaca dan agar dia tak bosan terus berbaring di
rumah sakit.
Ada satu momen yang tak pernah terlupakan olehku. Saat sedang asyik
bercerita dia mendekatkan tangannya ke arah tanganku, ingin sekali aku
menggenggamnya, seperti dulu, saat kami masih larut dalam cinta. Aku ragu untuk
menggenggam tanggannya, tapi ternyata dia meraih tanganku. Terasa ada aliran
listrik yang mengalir melalui tanganku. Cinta yang pernah layu seperti mekar
kembali. Kami menghabiskan waktu seharian berdua, hanya berdua, sampai malam
harus memaksa kami berpisah.
###
PIIPP..PIIPP..
Ada pesan masuk di handphone ku, di layar tertulis nama
Shena.
Co, kamu di ruang apa? Aku udah sampai di Qadr
Di Ruang Kenanga di lantai 2 Shen
Tak lama kemudian pintu ruangan terbuka dan Shena muncul dengan senyum
manis yang menggantung indah di bibirnya, masih seperti dulu. Penampilannya pun
tak ada yang berubah, selalu tampil simpel, apa adanya. Dia datang sambil
menenteng kantong plastik di tangan kirinya dan tas yang masih menggantung di
pundak kanannya.
“Halo Rico, ini aku bawain Pocari Sweat sama jus jambu buat kamu, kamu
harus banyak minum untuk naikin trombositnya lagi, semoga cepet sembuh yaa”
“Makasih banyak yah Shen. Gak
nyangka kita gantian masuk rumah sakitnya, kamu sudah keluar, aku malah masuk.”
“Makanya kamu jaga kesehatan dong, ini makanan kok gak dimakan? Kamu harus makan dong. Aku suapin yah.”
Shena mengambil nampan berisi makanan yang tadi diletakkan oleh suster di
meja dan bersiap menyuapiku makanan. Dengan perlahan dia menyuapi makanan,
sesuap demi sesuap, sambil sesekali mengambilkanku minum. Perhatiannya padaku
tidak berkurang sedikit pun, aku semakin yakin kalau masih ada cinta untukku di
hatinya. Setelah selesai menyuapiku kami hanya sempat ngobrol sebentar karena dia harus pamit pulang. Tapi dia janji esok
pagi sebelum berangkat kerja akan mampir menjengukku lagi.
###
Saat aku sedang asik membaca novel yang dibawakan Ayah dari rumah ada
pesan singkat yang masuk ke handphone
ku. Ternyata itu pesan dari Vira
Sayang, maaf ya hari ini aku gak bisa
datang menjenguk, aku janji besok pasti datang
Pesan darinya membuatku kaget, besok kan Shena juga janji mau datang
lagi. Semoga saja mereka datang pada waktu yang berbeda. Entah apa nanti reaksi
Vira kalau dia sampai melihat Shena menjengukku. Kami sudah sering bertengkar
tentang Shena. Dia sangat cemburu jika aku masih berhubungan dengan Shena.
Biasanya aku langsung menghapus pesan singkat dari Shena di handphoneku jika aku bertemu Vira. Aku mungkin
adalah orang yang paling jahat untuk Vira. Kalau saja dia tahu pikiranku masih
saja tertuju pada Shena, entah apa jadinya nanti. Aku bingung, aku sayang Vira,
hubungan kami sudah berjalan setahun lebih. Tapi tak bisa kupungkiri juga kalau
bayangan Shena masih terus menetap di pikiranku. Tak pernah pergi.
###
Suara alarm handphone nyaring
membangunkanku. Lekas kuraih handphone
itu dan mematikan alarm, takut mengganggu pasien yang lain di ruanganku. Saat
melihat layar handphone ternyata ada
sebuah pesan masuk.
Pagi Rico, ayo bangun, jangan lupa
sholat subuh, aku nanti mampir ke situ sekitar jam 7 yah
Ternyata pesan dari Shena. Aku menghela napas lega. Syukurlah dia datang
pagi. Kemungkinan Vira akan datang siang nanti. Jadi mereka tak mungkin bertemu
di sini. Aku langsung beranjak dari tempat tidurku menuju kamar mandi untuk
mengambil wudhu. Butuh usaha ekstra untuk mengambil wudhu karena tangan kananku
masih terpasang infus. Setelah selesai sholat aku lanjut membaca novel di atas
kasur sambil menunggu Shena datang.
###
DORR!
“Serius banget sih bacanya,
hehe”
Shena mengagetkanku yang sedang asik membaca.
"Huh!
Untung aku tidak jantungan."
"Iya, maaf, maaf, bercanda kok bagaimana kondisimu hari ini?”
"Alhamdulillah sudah mulai membaik, hasil cek darah kemarin
trombositku sudah mulai naik, mungkin besok atau lusa sudah bisa pulang."
"Waah, bagus deh, Alhamdulillah, oiya, sebenarnya aku ke sini hari
ini untuk memberikan ini."
Shena mengambil secarik kertas dari sakunya, dan memberikannya padaku.
Ingatanku pun kembali ke masa saat aku masih bersamanya. Dulu kami sering
menuliskan puisi-puisi cinta pada secarik kertas. Aku masih menyimpan
puisi-puisinya, tersimpan rapi dalam kotak biskuit kecil yang memang sudah
kusiapkan untuk itu. Kotak kenangan.
Setelah memberikan kertas itu padaku ia langsung pergi ke tempat kerjanya
yang terletak tidak jauh dari rumah sakit. Aku penasaran dengan isi surat yang
diberikan Shena tapi aku juga takut untuk membukanya. Aku takut apa yang aku
pikirkan selama ini terjadi. Dia ingin menjauh dariku. Tapi sepertinya rasa
penasaranku mengalahkan rasa takutku. Kuambil kertas yang tadi aku letakkan di
meja samping tempat tidurku, perlahan aku membukanya dan membaca isinya.
Mungkin dulu aku telah salah pergi darimu.
Aku terlalu egois memikirkan diriku sendiri,
tapi percayalah bisa bersamamu adalah anugerah
untukku.
Bait-bait puisi darimu pun masih selalu kusimpan,
tersimpan rapat dalam kotak kenangan kita,
Tapi tidak dalam hati.
Biarlah kenangan kita jadi kenangan yg terindah.
Maaf,
Saat ini aku belum bisa membuka kotak itu,
Karena hatiku masih terpatri nama "Aldi"
Aku senang bisa menghabiskan waktu denganmu beberapa
minggu ini,
Tapi aku tak bisa terus seperti itu,
Aku tak ingin mengkhianati cinta Aldi.
Harus aku akui,
Masih ada cinta untukmu,
Aku takut,
Takut dengan tetap bersamamu cinta itu akan semakin
besar
Takut dengan tetap bersamamu akan membuatku khilaf.
Jadi,
Aku putuskan untuk sesaat menjauh darimu,
Mungkin ini yang terbaik untuk kita,
Dalam hatiku tetap berharap bisa bersamamu lagi,
Tapi mungkin bukan saat ini,
Biarlah takdir yang menentukan jalannya,
Sampai saat kita bisa melanjutkan bait-bait puisi
kita,
Tapi,
bukan saat ini...
DEGG!
Seperti ada yang menghantam hatiku dengan keras, ternyata apa yang
kupikirkan benar-benar terjadi. Mungkin memang salahku juga yang terlalu
berharap. Aku juga telah salah kepada Vira karena telah menyia-nyiakan
cintanya. Banyak rasa yang berkecamuk dalam hatiku. Di satu sisi aku sedih
karena harus berpisah dari Shena, tapi di sisi lain aku pun senang, karena
mungkin dengan cara ini aku bisa lebih mencintai Vira, tanpa bayang-bayang
Shena.
Aku jadi teringat kata-kata Shena dulu waktu kami pisah.
“Masa lalu itu seperti spion, kita
boleh sesekali melihat kearahnya sebagai pelajaran agar kita lebih hati-hati.
Tapi ingat, yang ada di depan jauh lebih penting. Masih ada masa depan yang
harus dijalani.”
Mungkin memang ini jalan yang terbaik untuk aku dan Shena. Saat ini yang
harus kupikirkan adalah apa yang ada di depanku, apa yang ada di hadapanku,
Vira. Aku tak boleh menyia-nyiakan cintanya. Aku berjanji akan mencoba lari
dari bayang-bayang Shena. Biarlah surat ini menjadi penghuni baru dalam kotak
kenanganku yang mungkin tak akan pernah kubuka lagi.
###
*Cerita Pendek ini ditulis oleh Setyo Joko
Tidak ada komentar:
Posting Komentar