... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ...

Kamis, 09 Mei 2013

[Cerpen Duet] Aku, Kalian dan Waktu


Sumber : Google

Suasana jalanan sudah ramai dengan lalu lalang kendaraan. Di depanku terdapat beberapa orang yang mengejar bus, sedangkan lainnya asyik dengan buku atau gadget di tangannya. Ada senyum, sedih, bahagia dan ada pula tawa lepas yang menyatu dalam barisan orang-orang yang berdiri dan duduk mematung di halte bus. Pagi selalu memberikan lembaran baru untuk diukir sampai malam tiba.
Aku masih ikut larut di dalam keramaian halte pagi ini, menunggu Morin dan Roni teman baikku. Kami terbiasa berangkat bersama menuju sekolah, menghabiskan kebersamaan singkat kami di jalan. Kegiatan pagi yang selalu kami kerjakan bersama adalah saling menunggu. Setelah semua berkumpul kami berlarian mengejar bus yang tak pernah ramah setiap kali datang, -kencang dan tak menghiraukan penumpang yang berlarian- .
“Woy, ngelamun aja.” Morin dan Roni menepuk pundakku.
“Ah, lu, mengagetkan saja. Kalian tumben lama banget, sih? Kering nih, gue di sini sendirian.” Aku menatap wajah mereka.
“Tadi ada urusan sedikit di rumah sama nyokap. Maaf ya, Tur kalau nunggu lama,” jawab Morin, senyumnya terlempar lepas. Guntur Adi Prasetya adalah namaku.
“Kalau gue tadi bantuin bokap beres-beres berkas dulu. Besok beliau ke Hongkong ada kerjaan disana. Sorry, bro, hehe” Roni melanjutkan setelah Morin usai menjawab. Tangannya menggaruk-garuk kepala dan seperti biasa cengengesan dan tak pernah tampak keseriusan di wajahnya.
“Ya sudah, ayo jalan! Nanti kita bisa telat lagi. Sudah jam berapa ini?” Aku menarik tangan mereka berdua naik ke bus yang baru saja datang.
Setengah jam perjalanan cukup sebentar bagi kami yang selalu senang bertemu pagi. Kami sampai dengan selamat di depan gerbang sekolah, suasana bus sekolah tadi pun tak seramai biasanya. Mungkin karena waktu yang sudah hampir menunjukkan pukul 07.00 WIB. Biasanya pukul 06.30 kami sudah duduk santai di bangku kelas. Tapi jam segini kami baru sampai.
“Nah, lho, gerbang sudah ditutup. Gimana, nih, Tur, Ron? Mana ada ulangan Matematika lagi nanti jam ketiga.” Wajah Morin panik sekali, seperti orang kebakaran jenggot, kondisi Morin saat ini mungkin sama seperti yang banyak orang sebut.
“Santai saja, ah, ga usah panik. Kita lewat tembok belakang aja, bagaimana? Oke?” Tidak lagi menunggu persetujuan aku dan Morin, Roni langsung berlari ke tembok belakang sekolah.
Tak ada toleransi dalam lingkungan sekolah. Siapapun yang terlambat mereka tidak boleh masuk, sekalipun itu guru atau kepala sekolah. Semua akan mendapatkan poin yang tertera di buku sangsi.
Pada dasarnya kami bertiga adalah anak yang baik. Roni yang tak pernah serius dan selalu cengengesan ini termasuk anak yang pintar di kelas. Nilainya tak pernah berada di bawah angka 90. Roni anak yang supel dan mudah bergaul dengan siapapun. Tak heran temannya banyak, baik yang di dalam sekolah maupun yang ada di luar sekolah.
Sedangkan Morin adalah salah satu murid yang paling pintar di antara anak-anak pintar di kelas kami. Selain itu dia sangat ramah pada siapapun, wajahnya yang cantik menjadi daya tarik tersendiri di dalam pergaulannya. Dia banyak disukai anak-anak satu sekolah. Siapa yang tak kenal Morin? Sebut saja namanya, semua pasti kenal, dia primadona di sekolah kami.
Sedangkan aku, biar dibilang tak sepintar Roni dan Morin namun aku termasuk murid yang rajin, menurut teman-teman dan guru-guru. Pesan ayahku dulu, “Kita boleh tidak pintar dalam pendidikan, tapi kita harus pintar melawan rasa malas.” Dan kata-kata itu yang selalu aku pegang sampai sekarang. Untuk soal kehidupan aku banyak belajar dari ayah dan ibuku. Untuk soal pelajaran aku banyak belajar dari Morin dan Roni.
Sekian menit berlari dan kini kami sudah berada tepat di tembok belakang sekolah. Kami tahu di balik tembok yang lumayan tinggi ini ada rumput-rumput liar yang tinggi dan lebat, serta seperti pemandangan ruang kosong yang tak terurus. Tempat belakang sekolah ini biasa digunakan anak-anak genk badung di sekolah untuk merokok pada jam istirahat.
“Ah, gue gak berani memanjat tembok ini. Rok gue panjang begini, ribet pasti.” ujar Morin pesimis.
“Gampang, sudah pasti gue bantuin.” Roni meyakinkan Morin.
“Nah, itu ada bangku.” Aku bergegas mengambil bangku dan menaruhnya di dekat Morin berdiri kemudian menyuruhnya naik pelan-pelan.
“Auuu…” Morin sudah berhasil terjun dari atas tembok namun nampaknya dia terjatuh dan sedikit merasakan sakit, tergambar dari nada suaranya.
“Morin, lu ga kenapa-kenapa, kan?” Aku dan Roni panik.
Enggak apa-apa kok aman, deh, hanya sakit sedikit. Sudah buruan kalian naik!” tegas Morin.
Setelah Morin berhasil, aku dan Roni menyusulnya. “Akhirnya lolos juga…” Sorak kami bangga. Sekeliling sudah sepi, tidak ada kehidupan. Hanya ada rumput-rumput yang tumbuh liar, pepohonan yang daunnya bergoyang-goyang diterpa angin serta lorong-lorong kelas yang tidak terisi.
Kami melangkahkan kaki, meninggalkan tempat di mana pijakan kaki tegak menantang. Melewati tumpukan semak-semak yang cukup mengganggu perjalanan, menyusuri lorong kelas. Dan sampailah di titik terakhir di mana perjuangan kami untuk masuk kelas sangatlah ditentukan di sini, yaitu loket guru piket. Hari ini yang menjaga Bu Indah, guru killer yang paling ditakutkan anak-anak seantero sekolah.
Yes, Bu Indah ga ada di bangkunya, kawan,” Roni tersenyum penuh kemenangan.
“Ayo, bergegas!”
Kami berlari sekuat tenaga, tiba-tiba Morin terjatuh. Akibat turun dari tembok tinggi tadi ternyata masih menyisakan sakit di kakinya.
“Guntur, Morin, Roni….” ujar sebuah suara, “Dari mana kalian? Pasti telat…”
Suara mencengkeram itu, sangat kami kenali, siapa yang tak paham suara bergemuruh seperti suara halilintar itu. Suara yang selalu membuat hampir seluruh murid di sekolah ini lari sejauh mungkin meninggalkannya. Suara yang membuat kuping tak kuasa mendengarnya. Apalagi ketika suara itu mulai berkata panjang lebar, dunia seakan hancur pada saat itu juga. 
“Diam di situ!” Perintah Bu Indah kepada kami.
“Kalian ingat peraturan di sekolah ini? Tidak boleh ada yang telat!”
“Prak…Prak…Prak…” Penggarisan kayu besar, jatuh berkali-kali di meja yang tak bersalah sedikitpun.
Ekspresi kami hanya diam seperti anak ayam yang kedinginan. Tanpa pergerakan, mematung. Kami tak berani menoleh ke belakang. Akhir kata, kami dihukum hormat bendera selama setengah jam, membersihkan halaman, dan terakhir kami harus membersihkan kamar mandi sekolah. Pagi yang menyenangkan bukan?
Karena tidak mengikuti kelas hingga jam istirahat berbunyi, guru Matematika mengizinkan kami untuk mengikuti ulangan susulan di ruang guru. Waktu istirahat kami tergadaikan, entahlah kami mimpi apa semalam. Yang jelas kami tidak mimpi dikejar-kejar monster yang sering jadi musuh Ultraman di setiap pertarungannya. Namun lebih mengerikan kami langsung dihadapkan pada kenyataan yang cukup melelahkan untuk hari ini.

Ah, kau tahu, kawan? Di dalam sudut sempit
Saat kita tak mampu untuk bergerak dan sebaris luka menganga
Kita tetap mampu berpegang tangan untuk saling menguatkan

***

Andi berlari mengejar Bela yang mengambil penanya. Rudy, Yakub, Fikri dan Dio sibuk melipat kertas-kertas robekan bukunya menjadi sebuah robot-robotan yang akan mereka gunakan untuk bermain. Mereka sangat kreatif, penuh dengan ide-ide cemerlang. Sebagian temanku yang wanita tertawa, berbincang-bincang, dan bergosip ria. Sedangkan yang laki-laki berpencar melakukan kegiatan sesuka hatinya. Seperti inilah kondisi kelas setiap harinya ketika jam kosong.
Di sekolah kami, ada tujuh kelas untuk kelas tiga. Dua kelas IPA dan lima kelas IPS. Dan kelas IPA I adalah yang paling susah diatur. Ya, itu kelas kami. Banyak guru yang sering kesal karena tingkah laku kami. Tapi percayalah, di balik sikap negatif selalu ada sisi positifnya. Kelas kami memang paling brutal, tapi untuk urusan pelajaran kelas kamilah yang paling unggul di antara kelas lain.
Semester pertama Daffi dikirim ke Australia untuk mengikuti olimpiade matematika tingkat Internasional. Daffi terpilih setelah melalui seleksi ketat yang diikuti puluhan ribu siswa di Indonesia. Sebuah kebanggaan untuk murid dari kelas yang sering dicap jelek oleh semua guru dan kepala sekolah. Sasha dan Anggun, tiga bulan yang lalu mereka dikirim untuk mewakili sekolah kami di ajang Olahraga Badminton Tingkat Nasional di Bandung. Dan tentunya masih banyak lagi prestasi yang lahir dari kelas kami.
Sebagian dari kami berprinsip sama. Yaitu, kita boleh nakal tapi kita tidak boleh bodoh. Walau tidak semua berprinsip sama tapi setidaknya 75% isi kelas punya prinsip yang sama. Apa yang sudah kami mulai dari awal harus kami selesaikan. Apapun rintangan yang menghadang di depan nanti, itu urusan belakangan.
Inilah kami
Di mana mentari terbit malam hari
Namun tetap menghangatkan indahnya dunia
***
Bruuk! Aku terjatuh di lantai depan pintu kelas.
Roni memukulku keras sekali. Aku memegang bibir kiri bawah, kulihat di tanganku mengalir darah. Aku tidak tahu kenapa Roni melakukan ini.
“Kenapa lu mukul gue, Ron? Salah gue apa?” Luka bekas pukulan Roni barusan cukup membuat nyeri di gusi dalam.
“Heh, gue enggak pernah nyangka sahabat yang selama ini sudah gue anggap seperti saudara bisa melakukan hal ini,” Nampak sekali dari raut wajahnya, Roni sangat kesal padaku.
“Maksud lu apa,sih, Ron? Sumpah gue enggak mengerti apa yang lu katakan,” Aku berdiri mencoba menghampiri Roni yang masih dibawa oleh emosi.
Heh, sudahlah Tur enggak usah sok baik di depan gue. Lu itu mateng luarnya tapi busuk dalemnya!” Emosi Roni terus memuncak.
Bruuk! Untuk kedua kalinya aku terjatuh, kali ini lebih keras.
Roni terus memukuli wajahku. Aku masih mencoba bertahan untuk tidak melawan, bukan aku takut, tapi aku tak mau menyakiti dia sedikit pun. Roni sahabat yang selalu ada di sampingku setiap hari di sekolah. Bukan sekedar teman tapi Roni sudah seperti kakakku sendiri. Dia yang paling dewasa dalam menentukan tindakan. Tapi, kenapa sikapnya yang sekarang seperti anak kecil?
Bukan melerai, teman-teman yang melihat kami malah asyik menonton. Mereka bersorak-sorai kesenangan seolah mendapatkan hiburan gratis. “Ayo, ayo, ayo!” Begitu kira-kira. Beberapa mencoba memisahkan Roni dariku, namun tak mampu melawan amarah Roni yang sedang meluap-luap. Ada yang terkena pukulannya, sikutannya atau tendangannya.
Wajahku sudah tidak berbentuk, penuh dengan memar-memar biru bekas pukulan. Roni nampaknya marah besar, bahkan mungkin ia tak berniat sedikitpun untuk menghentikan pukulannya. Masih dan terus ia terjunkan pukulan demi pukulan di wajahku. Aku tak menyangka Roni yang cengengesan bisa sesangar ini.
“Permisi, permisi… Ada apaan ini?” Morin datang menerobos masuk ke tengah keramaian penonton.
“Roni!! Apa-apaan, sih, lu? Kenapa lu pukul Guntur hingga babak-belur begitu? Hah?” Morin melerai dan menarik Roni berdiri.
“Kalian juga! Guntur dipukulin seperti ini, kalian hanya menonton saja? Dimana pikiran kalian? Kalian, tuh, sudah pada dewasa harusnya tahu apa yang seharusnya kalian lakukan!” Penonton kesiangan alias teman-teman kami yang menonton langsung membubarkan diri. Wajahku sudah habis tak berbentuk.
“Kenapa, sih, Ron? Kenapa? Ini ada apa? Coba jelaskan ke gue!” Morin kesal sekali melihat dua sahabatnya berkelahi.
Gue sudah dua hari mengikuti dia,” telunjuknya mengarah ke mukaku. “Dan asal, lu, tahu Rin, dia sudah beberapa kali ini jalan bersama cewek gue! Sahabat macam apa yang tega-teganya menikung sahabat sendiri?”
“Hanya gara-gara itu, lu memukul Guntur? Iya? Lu sudah tanya ke Guntur kenapa dia selama beberapa hari ini jalan sama cewek lu? Lu sudah tanya? Hah?”
“Kenapa lu hanya diem saja Tur dipukulin? Lu enggak tanya apa masalahnya?” Morin larut dalam ketegangan.
Teman-teman satu kelas masih memperhatikan kami tapi ketika salah satu dari kami menoleh ke arah mereka semua seolah pura-pura tidak melihat. Mereka memberi ruang pada Morin untuk menyelesaikan semuanya.
“Tanya sendiri, deh, sama Roni! Gue sudah tanya baik-baik sama dia tapi dia malah terus memukul gue.”
“Memang benar beberapa hari ini gue jalan sama Kalista, tapi sumpah enggak ada sedikit pun dalam benak gue untuk nikung, lu, Ron. Asal lu tau, Kalista itu minta gue buat mengajarkan dia bikin puisi. Dia bilang susah untuk mengeluarkan kata-kata menjadi indah. Dan perlu lu tahu puisi itu bakal dia bacakan khusus buat lu saat acara kelulusan nanti! Kalau lu gak percaya, silakan tanya sendiri sama Kalista,” Aku mencoba menjelaskan semua kesalahpahaman yang ada.
“Kenapa, lu, enggak bilang dari awal,Tur?” Nada bicara Roni lemah lembut sekali beda dengan yang tadi.
“Hehe, lu, lucu ya, Ron. Mana ada kejutan yang dibilangin? Dimana-mana kejutan ya enggak dikasih tahu ke orang yang bakal diberikan kejutan!” Jawabku sambil menahan rasa sakit.
“Sudah jelas kan semuanya? Kali lain kalau mau bertindak dipikir dulu Ron, jangan langsung main kasar. Sudah sana minta maaf sama Guntur. Gue, tuh, enggak mau lihat sahabat gue berantem hanya karena seorang wanita.”
Roni menjulurkan tangannya padaku, aku yang masih terduduk di lantai menyambutnya dan bangun. “Maafkan gue ya, Tur. Sumpah gue menyesal sudah melakukan ini sama lu,” Roni memelukku erat.
Cinta dan persahabatan dua elemen yang tak bisa terpisahkan namun seringkali ketika mendapatkan salah satu, satu lainnya dilupakan.
Tahukah kau, sobat?
Bukan pilu yang aku benci
Adalah hilangnya kepercayaanmu yang aku takuti
Menghantam benteng setia tak ada remah tersisa
***
Enam bulan kemudian.
“Anak-anak, minggu depan adalah pengumuman Ujian Nasional,” Pesan terakhir Bu Diana sebelum meninggalkan kelas tadi. Kebetulan sekolah memang sudah libur tapi hari ini semua disuruh masuk untuk mendapatkan info-info seputar pengumuman UN.
Enggak kerasa, ya, minggu depan sudah pengumuman. Bagaimana cerita kita nanti setelah lulus, ya?” tanya Morin padaku. Sekelebat Morin memutar balik tubuhnya seraya tak ingin kehilangan sedikit pun obrolan aku dan Roni. Posisi duduknya berada tepat di depanku. Dia duduk bersama Nita.
Di kelas banyak sekali teman wanita Morin tapi entah kenapa dia lebih senang bermain bersama aku dan Roni yang laki-laki. Bahkan Nita pernah bilang “Kalian bertiga, tuh, kaya bayi kembar siam, dempet terus.” Nita bukan tak mau ikut kumpul-kumpul dengan kami. Entahlah apa alasannya yang jelas dia anak yang sangat pendiam di kelas.
“Eh, iya, kita bakal sering kumpul, kan, seperti biasa jika nanti sudah lulus? Kalian enggak bakal lupa, kan, sama persahabatan kita? Gue selalu sedih kalau membayangkan harus berpisah sama kalian… Aaaa…” Mulutnya manyun, cemberut nyebelin khas cewe yang lagi ngambek bercanda.
“Kayak rumah kita jauh-jauh aja. Tiap hari kumpul juga bisa kali,” celetuk Roni.
            “Ya, kali. Kita, kan, masih disatukan oleh sekolah makanya gampang buat kumpul, kalau sudah kerja atau kuliah apa gampang waktu kita buat kumpul? Kayaknya enggak segampang yang lu bilang, deh, Ron. Bener, enggak, Tur?” Morin mengernyitkan dahinya.
“Ada benernya yang Morin bilang. Aktivitas baru, teman baru, suasana baru pasti lebih menyenangkan dan membuat kita lupa pada yang lama. Tapi gue percaya, kok, kalian enggak akan seperti itu,” aku ikut bersuara.
“Janji?” Morin tersenyum. Tangannya maju menunjukkan jari kelingkingnya di hadapanku dan juga Roni.
“Janji!” Kami sama-sama berteriak kecil, mempersatukan ketiga jari kelingking menjadi satu di tengah. Senyum bertaburan di masing-masing wajah kami.
“Cieeeeeee… Anak kembang kompakan amat,” teriakan yang cukup keras terdengar di telinga kami, suara itu mengisi penuh ruangan kelas bahkan mungkin terdengar sampai keluar.
Kami tidak sadar, ternyata seisi kelas memperhatikan kami yang sedang bercengkerama bersama.
“Hei hei hei, kalian bakal kangen gue, enggak, nih? Bentar lagi, kan, pengumuman kelulusan sudah pasti kita enggak mungkin kumpul bareng-bareng lagi seperti ini. Gue pasti bakal kangen berat sama kalian semua, sama suasana kelas yang bising, bercandaan kalian dan senyum tawa kalian yang sering mewarnai mimpi-mimpi gue,” Morin berdiri di atas bangku dan berteriak lantang di depan anak-anak sekelas.
Apa yang terjadi? Kelas dalam sekejap menjadi tenang. Tidak ada suara sedikit pun yang keluar dari mulut-mulut yang biasa ramai. Tidak ada pergerakan tubuh yang aktif seperti biasanya. Semua mata tertuju pada Morin.
“Terserah kalian mau kangen atau enggak sama gue, yang jelas kalian akan selalu ada dalam ingatan gue, tersimpan rapi dalam memori pikiran gue. Kalian harus tahu itu. Haha”
Telah tiba di satu hari
Di mana janji kita telah terukir
Atas nama alam semesta
Kita kecup bersama hangatnya persahabatan
***
Hari yang kami tunggu-tunggu telah tiba. Perjuangan kami selama tiga tahun di sekolah ini, ditentukan oleh ujian selama enam hari. LULUS atau TIDAK LULUS kami akan ketahui di lembar-lembar kertas pengumuman di mading yang akan dipajang oleh guru jam sepuluh nanti.
Aku cemas, yang ada di pikiranku hanya satu: Bagaimana jika aku tidak lulus? Mungkin yang aku alami sama seperti saat ayah alami saat menunggu ibu melahirkan adikku dulu. Aku ingat ayah tak bisa diam duduk di bangku, tapi dia terus berjalan, berputar-putar keliling pintu dan duduk lagi. Ya, kegiatan itu aku lakukan berulang-ulang. Sama persis bukan? Tidak lama Roni dan Morin datang, wajah mereka pun sama denganku. Datar dan keceriaannya tak nampak di sana.
Lihatlah kemana kegembiraan yang sering diumbar kelas ini kepada kelas-kelas lain. Kemana perginya? Sepi, hanya ada suara-suara kecil dari pojok, beberapa masih bisa berbincang namun lebih banyak yang diam. Kami disuruh menunggu di kelas oleh para guru, tidak boleh berkeliaran.
“Para siswa diharapkan berkumpul di lapangan,” begitu kira-kira suara dari speaker.
Kami semua berlarian keluar kelas, berebut ingin cepat sampai di lapangan. Semua kelas tiga tumpah jadi satu di lapangan, berbaris rapi sekali. Kepala sekolah sudah berdiri di atas tempat biasa beliau berpidato. Dan guru-guru sudah berbaris rapi di samping kanan kirinya.
“Para guru yang saya hormati serta anak-anak yang bapak cintai,” Isi pidato kepala sekolah masih sama seperti hari seni saat upacara. Bedanya perasaan tegang, deg-degan, serta takut menyelimuti raut wajah setiap murid kelas tiga di lapangan.
Beberapa menit lagi status murid SMA akan kami lepas, serta melepas seragam putih abu-abu yang dulu kami idam-idamkan ketika duduk di bangku SMP, jika kami lulus. Dan akan tetap bergelar murid SMA jikalau kami tidak lulus. Pengumuman ini menjadi penentu perjalanan yang sering kami sebut “sekolah”.
“Kalian LULUS 100%...” Suara lantang kepala sekolah membangunkan wajah-wajah yang tertunduk lesu.
“Horeee…” Riuh sorak para murid bertebaran di lapangan. Langit pagi yang biru terang disertai terik yang cukup panas, tidak bisa mengalahkan kegembiraan kami.
Semua hanyut dalam semarak kelulusan, termasuk Roni dan Morin. Sedangkan aku, entah mengapa malah menyendiri di bawah pohon mangga depan ruang guru. Menatap masa depanku setelah ini akan seperti apa.
Bisa sampai pada titik ini adalah hal yang luar biasa buatku, tidak semua anak bisa mendapatkan pendidikan seperti apa yang sudah aku dapatkan sampai saat ini. Rasa syukurku tak pernah terhenti untuk semua yang telah Allah berikan. Terima kasih untuk kedua orang tuaku, doa-doa dan dukungan serta kerja keras mereka membanting tulang untuk memberikan yang terbaik untukku dan pendidikanku.
Tiba-tiba dari samping ada yang menepuk pundakku. “Selamat, ya, Nak. Perjuanganmu belum berakhir, masa depanmu masih panjang. Kejar semua itu dengan karya dan prestasi, jadikan caci maki sebagai amunisi untuk melangkah menjadi yang terbaik.”
Aku menoleh, ingin tahu siapa yang berbicara itu. Dan aku pun terkejut. Beliau adalah Ibu Indah, guru killer itu. Seandainya semua murid melihat ini pasti mereka akan berubah pikiran dan merasa bersalah menganggap Ibu Indah itu menyeramkan.
Senyum Ibu Indah jatuh di kedua bola mataku dan merontokkan sendi-sendi pikiranku. Lihatlah betapa indahnya senyum itu sama seperti nama pemiliknya dan betapa terlihatnya ketulusan hadir di sana. “Apa ini mimpi?” gumamku dalam hati. Bahwasanya selama ini kami telah salah menilai Ibu Indah. Beliau sebenarnya bukan galak tapi tegas.
Teman-teman menghampiriku, kita berpelukan bersama.

Eiyo. . .   it
s not the end, its just beginning
Ok detak detik tirai mulai menutup panggung
Tanda skenario eyo baru harus diusung
Lembaran kertas barupun terbuka
Tinggalkan yang lama, biarkan sang pena berlaga
.
Kita pernah sebut itu kenangan tempo dulu
Pernah juga hilang atau takkan pernah berlalu
Masa jaya putih biru atau abu-abu (hey)
Memori c
erita cinta aku, dia dan kamu
Saat dia (dia) dia masuki alam pikiran
Ilmu bumi dan sekitarnya jadi kudapan
Cinta masa sekolah yang pernah terjadi
That was the moment a part of sweet memor
y.
Kita membumi, melangkah berdua
Kita ciptakan hangat sebuah cerita
Mulai dewasa, cemburu dan bungah
Finally now, its our time to make a history
Bergegaslah kawan tuk sambut masa depan
Tetap berpegang tangan, saling berpelukan
Berikan senyuman tuk sebuah perpisahan
Kenanglah sahabat kita untuk s
elamanya
Satu alasan kenapa kau kurekam dalam memori
Satu cerita teringat didalam hati
Karena kau berharga dalam hidupku, teman
Untuk satu pijakan menuju masa depan
Saat duka bersama, tawa bersama
Berpacu dalam prestasi (huh) hal yang biasa
Satu persatu memori terekam
Didalam api semangat yang tak mudah padam
Kuyakin kau pasti sama dengan diriku
Pernah berharap agar waktu ini tak berlalu
Kawan kau tahu, kawan kau tahu kan?
Beri pupuk terbaik untuk bunga yang kau simpan
Bergegaslah kawan tuk sambut masa depan
Tetap berpegang tangan, saling berpelukan
Berikan senyuman tuk sebuah perpisahan
Kenanglah sahabat kita untuk s
elamanya.
Lagu “Kita Selamanya” yang diputar Pak Sholeh menutup lembaran kisah kami di sekolah ini. Sekolah dan seluruh isinya yang kami cinta…
“Kita Untuk Selamanya” Kita berkata bersama-sama saling bergandengan tangan…
  


*Cerita Pendek  ini ditulis oleh Djamall dan HqZhou

Tidak ada komentar:

Posting Komentar