Sumber : Google |
Suasana jalanan sudah
ramai dengan lalu lalang kendaraan. Di depanku terdapat beberapa orang yang
mengejar bus, sedangkan lainnya asyik dengan buku atau gadget di tangannya. Ada
senyum, sedih, bahagia dan ada pula tawa lepas yang menyatu dalam barisan
orang-orang yang berdiri dan duduk mematung di halte bus. Pagi selalu memberikan
lembaran baru untuk diukir sampai malam tiba.
Aku masih ikut larut di
dalam keramaian halte pagi ini, menunggu Morin dan Roni teman baikku. Kami terbiasa
berangkat bersama menuju sekolah, menghabiskan kebersamaan singkat kami di
jalan. Kegiatan pagi yang selalu kami kerjakan bersama adalah saling menunggu. Setelah
semua berkumpul kami berlarian mengejar bus yang tak pernah ramah setiap kali
datang, -kencang dan tak menghiraukan penumpang yang berlarian- .
“Woy, ngelamun aja.” Morin
dan Roni menepuk pundakku.
“Ah, lu, mengagetkan saja. Kalian tumben lama banget, sih? Kering nih, gue di sini
sendirian.” Aku menatap wajah mereka.
“Tadi ada urusan sedikit
di rumah sama nyokap. Maaf ya, Tur
kalau nunggu lama,” jawab Morin, senyumnya terlempar lepas. Guntur Adi Prasetya
adalah namaku.
“Kalau gue tadi bantuin bokap beres-beres
berkas dulu. Besok beliau ke Hongkong ada kerjaan disana. Sorry, bro, hehe” Roni
melanjutkan setelah Morin usai menjawab. Tangannya menggaruk-garuk kepala dan
seperti biasa cengengesan dan tak pernah tampak keseriusan di wajahnya.
“Ya sudah, ayo jalan! Nanti
kita bisa telat lagi. Sudah jam berapa ini?” Aku menarik tangan mereka berdua
naik ke bus yang baru saja datang.
Setengah jam perjalanan
cukup sebentar bagi kami yang selalu senang bertemu pagi. Kami sampai dengan selamat
di depan gerbang sekolah, suasana bus sekolah tadi pun tak seramai biasanya.
Mungkin karena waktu yang sudah hampir menunjukkan pukul 07.00 WIB. Biasanya
pukul 06.30 kami sudah duduk santai di bangku kelas. Tapi jam segini kami baru
sampai.
“Nah, lho, gerbang sudah ditutup. Gimana, nih, Tur, Ron? Mana ada ulangan Matematika lagi nanti jam ketiga.”
Wajah Morin panik sekali, seperti orang kebakaran jenggot, kondisi Morin saat
ini mungkin sama seperti yang banyak orang sebut.
“Santai saja, ah, ga
usah panik. Kita lewat tembok belakang aja, bagaimana? Oke?” Tidak lagi
menunggu persetujuan aku dan Morin, Roni langsung berlari ke tembok belakang
sekolah.
Tak ada toleransi dalam
lingkungan sekolah. Siapapun yang terlambat mereka tidak boleh masuk, sekalipun
itu guru atau kepala sekolah. Semua akan mendapatkan poin yang tertera di buku
sangsi.
Pada dasarnya kami bertiga
adalah anak yang baik. Roni yang tak pernah serius dan selalu cengengesan ini
termasuk anak yang pintar di kelas. Nilainya tak pernah berada di bawah angka
90. Roni anak yang supel dan mudah bergaul dengan siapapun. Tak heran temannya
banyak, baik yang di dalam sekolah maupun yang ada di luar sekolah.
Sedangkan Morin adalah
salah satu murid yang paling pintar di antara anak-anak pintar di kelas kami. Selain
itu dia sangat ramah pada siapapun, wajahnya yang cantik menjadi daya tarik
tersendiri di dalam pergaulannya. Dia banyak disukai anak-anak satu sekolah. Siapa
yang tak kenal Morin? Sebut saja namanya, semua pasti kenal, dia primadona di
sekolah kami.
Sedangkan aku, biar dibilang
tak sepintar Roni dan Morin namun aku termasuk murid yang rajin, menurut
teman-teman dan guru-guru. Pesan ayahku dulu, “Kita boleh tidak pintar dalam pendidikan, tapi kita harus pintar
melawan rasa malas.” Dan kata-kata itu yang selalu aku pegang sampai
sekarang. Untuk soal kehidupan aku banyak belajar dari ayah dan ibuku. Untuk
soal pelajaran aku banyak belajar dari Morin dan Roni.
Sekian menit berlari dan kini
kami sudah berada tepat di tembok belakang sekolah. Kami tahu di balik tembok yang
lumayan tinggi ini ada rumput-rumput liar yang tinggi dan lebat, serta seperti
pemandangan ruang kosong yang tak terurus. Tempat belakang sekolah ini biasa digunakan
anak-anak genk badung di sekolah
untuk merokok pada jam istirahat.
“Ah, gue gak berani memanjat tembok ini. Rok gue panjang begini, ribet pasti.” ujar Morin pesimis.
“Gampang, sudah pasti gue bantuin.” Roni meyakinkan Morin.
“Nah, itu ada bangku.” Aku
bergegas mengambil bangku dan menaruhnya di dekat Morin berdiri kemudian menyuruhnya
naik pelan-pelan.
“Auuu…” Morin sudah
berhasil terjun dari atas tembok namun nampaknya dia terjatuh dan sedikit
merasakan sakit, tergambar dari nada suaranya.
“Morin, lu ga kenapa-kenapa, kan?” Aku dan Roni
panik.
“Enggak apa-apa kok aman, deh,
hanya sakit sedikit. Sudah buruan kalian naik!” tegas Morin.
Setelah Morin berhasil, aku
dan Roni menyusulnya. “Akhirnya lolos juga…” Sorak kami bangga. Sekeliling
sudah sepi, tidak ada kehidupan. Hanya ada rumput-rumput yang tumbuh liar,
pepohonan yang daunnya bergoyang-goyang diterpa angin serta lorong-lorong kelas
yang tidak terisi.
Kami melangkahkan kaki,
meninggalkan tempat di mana pijakan kaki tegak menantang. Melewati tumpukan
semak-semak yang cukup mengganggu perjalanan, menyusuri lorong kelas. Dan sampailah
di titik terakhir di mana perjuangan kami untuk masuk kelas sangatlah ditentukan
di sini, yaitu loket guru piket. Hari ini yang menjaga Bu Indah, guru killer yang paling ditakutkan anak-anak
seantero sekolah.
“Yes, Bu Indah ga ada di
bangkunya, kawan,” Roni tersenyum penuh kemenangan.
“Ayo, bergegas!”
Kami berlari sekuat
tenaga, tiba-tiba Morin terjatuh. Akibat turun dari tembok tinggi tadi ternyata
masih menyisakan sakit di kakinya.
“Guntur, Morin, Roni….”
ujar sebuah suara, “Dari mana kalian? Pasti telat…”
Suara mencengkeram itu, sangat
kami kenali, siapa yang tak paham suara bergemuruh seperti suara halilintar itu.
Suara yang selalu membuat hampir seluruh murid di sekolah ini lari sejauh
mungkin meninggalkannya. Suara yang membuat kuping tak kuasa mendengarnya. Apalagi
ketika suara itu mulai berkata panjang lebar, dunia seakan hancur pada saat itu
juga.
“Diam di situ!” Perintah Bu
Indah kepada kami.
“Kalian ingat peraturan di
sekolah ini? Tidak boleh ada yang telat!”
“Prak…Prak…Prak…” Penggarisan
kayu besar, jatuh berkali-kali di meja yang tak bersalah sedikitpun.
Ekspresi kami hanya diam
seperti anak ayam yang kedinginan. Tanpa pergerakan, mematung. Kami tak berani
menoleh ke belakang. Akhir kata, kami dihukum hormat bendera selama setengah
jam, membersihkan halaman, dan terakhir kami harus membersihkan kamar mandi
sekolah. Pagi yang menyenangkan bukan?
Karena tidak mengikuti
kelas hingga jam istirahat berbunyi, guru Matematika mengizinkan kami untuk
mengikuti ulangan susulan di ruang guru. Waktu istirahat kami tergadaikan, entahlah
kami mimpi apa semalam. Yang jelas kami tidak mimpi dikejar-kejar monster yang
sering jadi musuh Ultraman di setiap
pertarungannya. Namun lebih mengerikan kami langsung dihadapkan pada kenyataan
yang cukup melelahkan untuk hari ini.
Ah,
kau tahu, kawan? Di dalam sudut sempit
Saat
kita tak mampu untuk bergerak dan sebaris luka menganga
Kita
tetap mampu berpegang tangan untuk saling menguatkan
***
Andi
berlari mengejar Bela yang mengambil penanya. Rudy, Yakub, Fikri dan Dio sibuk
melipat kertas-kertas robekan bukunya menjadi sebuah robot-robotan yang akan
mereka gunakan untuk bermain. Mereka sangat kreatif, penuh dengan ide-ide cemerlang.
Sebagian temanku yang wanita tertawa, berbincang-bincang, dan bergosip ria. Sedangkan
yang laki-laki berpencar melakukan kegiatan sesuka hatinya. Seperti inilah kondisi
kelas setiap harinya ketika jam kosong.
Di sekolah kami, ada tujuh
kelas untuk kelas tiga. Dua kelas IPA dan lima kelas IPS. Dan kelas IPA I
adalah yang paling susah diatur. Ya, itu kelas kami. Banyak guru yang sering
kesal karena tingkah laku kami. Tapi percayalah, di balik sikap negatif selalu
ada sisi positifnya. Kelas kami memang paling brutal, tapi untuk urusan
pelajaran kelas kamilah yang paling unggul di antara kelas lain.
Semester pertama Daffi dikirim
ke Australia untuk mengikuti olimpiade matematika tingkat Internasional. Daffi
terpilih setelah melalui seleksi ketat yang diikuti puluhan ribu siswa di Indonesia.
Sebuah kebanggaan untuk murid dari kelas yang sering dicap jelek oleh semua
guru dan kepala sekolah. Sasha dan Anggun, tiga bulan yang lalu mereka dikirim
untuk mewakili sekolah kami di ajang Olahraga Badminton Tingkat Nasional di Bandung.
Dan tentunya masih banyak lagi prestasi yang lahir dari kelas kami.
Sebagian dari kami
berprinsip sama. Yaitu, kita boleh nakal tapi kita tidak boleh bodoh. Walau
tidak semua berprinsip sama tapi setidaknya 75% isi kelas punya prinsip yang
sama. Apa yang sudah kami mulai dari awal harus kami selesaikan. Apapun rintangan
yang menghadang di depan nanti, itu urusan belakangan.
Inilah
kami
Di
mana mentari terbit malam hari
Namun tetap
menghangatkan indahnya dunia
***
Bruuk! Aku terjatuh di lantai depan pintu kelas.
Roni memukulku keras
sekali. Aku memegang bibir kiri bawah, kulihat di tanganku mengalir darah. Aku tidak
tahu kenapa Roni melakukan ini.
“Kenapa lu mukul gue, Ron? Salah gue apa?” Luka bekas pukulan Roni
barusan cukup membuat nyeri di gusi dalam.
“Heh, gue enggak pernah
nyangka sahabat yang selama ini sudah gue
anggap seperti saudara bisa melakukan hal ini,” Nampak sekali dari raut
wajahnya, Roni sangat kesal padaku.
“Maksud lu apa,sih, Ron? Sumpah gue enggak mengerti
apa yang lu katakan,” Aku berdiri
mencoba menghampiri Roni yang masih dibawa oleh emosi.
“Heh, sudahlah Tur enggak
usah sok baik di depan gue. Lu itu mateng luarnya tapi busuk
dalemnya!” Emosi Roni terus memuncak.
Bruuk! Untuk kedua kalinya aku terjatuh, kali ini lebih keras.
Roni terus memukuli wajahku.
Aku masih mencoba bertahan untuk tidak melawan, bukan aku takut, tapi aku tak
mau menyakiti dia sedikit pun. Roni sahabat yang selalu ada di sampingku setiap
hari di sekolah. Bukan sekedar teman tapi Roni sudah seperti kakakku sendiri. Dia
yang paling dewasa dalam menentukan tindakan. Tapi, kenapa sikapnya yang
sekarang seperti anak kecil?
Bukan melerai, teman-teman
yang melihat kami malah asyik menonton. Mereka bersorak-sorai kesenangan seolah
mendapatkan hiburan gratis. “Ayo, ayo, ayo!” Begitu kira-kira. Beberapa mencoba
memisahkan Roni dariku, namun tak mampu melawan amarah Roni yang sedang
meluap-luap. Ada yang terkena pukulannya, sikutannya atau tendangannya.
Wajahku sudah tidak
berbentuk, penuh dengan memar-memar biru bekas pukulan. Roni nampaknya marah
besar, bahkan mungkin ia tak berniat sedikitpun untuk menghentikan pukulannya.
Masih dan terus ia terjunkan pukulan demi pukulan di wajahku. Aku tak menyangka
Roni yang cengengesan bisa sesangar ini.
“Permisi, permisi… Ada
apaan ini?” Morin datang menerobos masuk ke tengah keramaian penonton.
“Roni!! Apa-apaan, sih, lu? Kenapa lu pukul Guntur hingga babak-belur begitu? Hah?” Morin melerai dan
menarik Roni berdiri.
“Kalian juga! Guntur dipukulin
seperti ini, kalian hanya menonton saja? Dimana pikiran kalian? Kalian, tuh, sudah pada dewasa harusnya tahu apa
yang seharusnya kalian lakukan!” Penonton kesiangan alias teman-teman kami yang
menonton langsung membubarkan diri. Wajahku sudah habis tak berbentuk.
“Kenapa, sih, Ron? Kenapa?
Ini ada apa? Coba jelaskan ke gue!” Morin
kesal sekali melihat dua sahabatnya berkelahi.
“Gue sudah dua hari mengikuti dia,” telunjuknya mengarah ke mukaku. “Dan
asal, lu, tahu Rin, dia sudah beberapa
kali ini jalan bersama cewek gue! Sahabat
macam apa yang tega-teganya menikung sahabat sendiri?”
“Hanya gara-gara itu, lu memukul Guntur? Iya? Lu sudah tanya ke Guntur kenapa dia
selama beberapa hari ini jalan sama cewek lu?
Lu sudah tanya? Hah?”
“Kenapa lu hanya diem saja Tur dipukulin? Lu enggak tanya apa masalahnya?” Morin
larut dalam ketegangan.
Teman-teman satu kelas
masih memperhatikan kami tapi ketika salah satu dari kami menoleh ke arah
mereka semua seolah pura-pura tidak melihat. Mereka memberi ruang pada Morin
untuk menyelesaikan semuanya.
“Tanya sendiri, deh, sama Roni! Gue sudah tanya baik-baik sama dia tapi dia malah terus memukul gue.”
“Memang benar beberapa
hari ini gue jalan sama Kalista, tapi
sumpah enggak ada sedikit pun dalam
benak gue untuk nikung, lu, Ron. Asal
lu tau, Kalista itu minta gue buat mengajarkan dia bikin puisi.
Dia bilang susah untuk mengeluarkan kata-kata menjadi indah. Dan perlu lu tahu puisi itu bakal dia bacakan
khusus buat lu saat acara kelulusan
nanti! Kalau lu gak percaya, silakan tanya
sendiri sama Kalista,” Aku mencoba menjelaskan semua kesalahpahaman yang ada.
“Kenapa, lu, enggak
bilang dari awal,Tur?” Nada bicara Roni lemah lembut sekali beda dengan yang
tadi.
“Hehe, lu, lucu ya, Ron. Mana ada kejutan yang
dibilangin? Dimana-mana kejutan ya enggak
dikasih tahu ke orang yang bakal diberikan kejutan!” Jawabku sambil menahan
rasa sakit.
“Sudah jelas kan semuanya?
Kali lain kalau mau bertindak dipikir dulu Ron, jangan langsung main kasar. Sudah
sana minta maaf sama Guntur. Gue, tuh, enggak
mau lihat sahabat gue berantem hanya
karena seorang wanita.”
Roni menjulurkan tangannya
padaku, aku yang masih terduduk di lantai menyambutnya dan bangun. “Maafkan gue ya, Tur. Sumpah gue menyesal sudah melakukan ini sama lu,” Roni memelukku erat.
Cinta dan persahabatan dua
elemen yang tak bisa terpisahkan namun seringkali ketika mendapatkan salah
satu, satu lainnya dilupakan.
Tahukah
kau, sobat?
Bukan
pilu yang aku benci
Adalah
hilangnya kepercayaanmu yang aku takuti
Menghantam benteng
setia tak ada remah tersisa
***
Enam bulan
kemudian.
“Anak-anak, minggu depan
adalah pengumuman Ujian Nasional,” Pesan terakhir Bu Diana sebelum meninggalkan
kelas tadi. Kebetulan sekolah memang sudah libur tapi hari ini semua disuruh
masuk untuk mendapatkan info-info seputar pengumuman UN.
“Enggak kerasa, ya, minggu depan sudah pengumuman. Bagaimana cerita
kita nanti setelah lulus, ya?” tanya Morin padaku. Sekelebat Morin memutar
balik tubuhnya seraya tak ingin kehilangan sedikit pun obrolan aku dan Roni. Posisi
duduknya berada tepat di depanku. Dia duduk bersama Nita.
Di kelas banyak sekali
teman wanita Morin tapi entah kenapa dia lebih senang bermain bersama aku dan
Roni yang laki-laki. Bahkan Nita pernah bilang “Kalian bertiga, tuh, kaya
bayi kembar siam, dempet terus.” Nita bukan tak mau ikut kumpul-kumpul
dengan kami. Entahlah apa alasannya yang jelas dia anak yang sangat pendiam di
kelas.
“Eh, iya, kita bakal
sering kumpul, kan, seperti biasa jika nanti sudah lulus? Kalian enggak bakal lupa, kan, sama
persahabatan kita? Gue selalu sedih kalau
membayangkan harus berpisah sama kalian… Aaaa…” Mulutnya manyun, cemberut
nyebelin khas cewe yang lagi ngambek bercanda.
“Kayak rumah kita
jauh-jauh aja. Tiap hari kumpul juga bisa kali,” celetuk Roni.
“Ya,
kali. Kita, kan, masih disatukan oleh sekolah makanya gampang buat kumpul,
kalau sudah kerja atau kuliah apa gampang waktu kita buat kumpul? Kayaknya enggak segampang yang lu bilang, deh, Ron. Bener, enggak,
Tur?” Morin mengernyitkan dahinya.
“Ada benernya yang Morin
bilang. Aktivitas baru, teman baru, suasana baru pasti lebih menyenangkan dan
membuat kita lupa pada yang lama. Tapi gue
percaya, kok, kalian enggak akan seperti itu,” aku ikut
bersuara.
“Janji?” Morin tersenyum. Tangannya
maju menunjukkan jari kelingkingnya di hadapanku dan juga Roni.
“Janji!” Kami sama-sama
berteriak kecil, mempersatukan ketiga jari kelingking menjadi satu di tengah. Senyum
bertaburan di masing-masing wajah kami.
“Cieeeeeee… Anak kembang
kompakan amat,” teriakan yang cukup keras terdengar di telinga kami, suara itu
mengisi penuh ruangan kelas bahkan mungkin terdengar sampai keluar.
Kami tidak sadar, ternyata
seisi kelas memperhatikan kami yang sedang bercengkerama bersama.
“Hei hei hei, kalian bakal
kangen gue, enggak, nih? Bentar lagi,
kan, pengumuman kelulusan sudah pasti
kita enggak mungkin kumpul
bareng-bareng lagi seperti ini. Gue
pasti bakal kangen berat sama kalian semua, sama suasana kelas yang bising, bercandaan
kalian dan senyum tawa kalian yang sering mewarnai mimpi-mimpi gue,” Morin berdiri di atas bangku dan
berteriak lantang di depan anak-anak sekelas.
Apa yang terjadi? Kelas
dalam sekejap menjadi tenang. Tidak ada suara sedikit pun yang keluar dari
mulut-mulut yang biasa ramai. Tidak ada pergerakan tubuh yang aktif seperti biasanya.
Semua mata tertuju pada Morin.
“Terserah kalian mau
kangen atau enggak sama gue, yang jelas kalian akan selalu ada
dalam ingatan gue, tersimpan rapi
dalam memori pikiran gue. Kalian
harus tahu itu. Haha”
Telah
tiba di satu hari
Di
mana janji kita telah terukir
Atas
nama alam semesta
Kita kecup bersama
hangatnya persahabatan
***
Hari yang kami
tunggu-tunggu telah tiba. Perjuangan kami selama tiga tahun di sekolah ini, ditentukan
oleh ujian selama enam hari. LULUS atau TIDAK LULUS kami akan ketahui di lembar-lembar
kertas pengumuman di mading yang akan dipajang oleh guru jam sepuluh nanti.
Aku cemas, yang ada di pikiranku
hanya satu: Bagaimana jika aku tidak lulus? Mungkin yang aku alami sama seperti
saat ayah alami saat menunggu ibu melahirkan adikku dulu. Aku ingat ayah tak
bisa diam duduk di bangku, tapi dia terus berjalan, berputar-putar keliling
pintu dan duduk lagi. Ya, kegiatan itu aku lakukan berulang-ulang. Sama persis
bukan? Tidak lama Roni dan Morin datang, wajah mereka pun sama denganku. Datar
dan keceriaannya tak nampak di sana.
Lihatlah kemana
kegembiraan yang sering diumbar kelas ini kepada kelas-kelas lain. Kemana
perginya? Sepi, hanya ada suara-suara kecil dari pojok, beberapa masih bisa berbincang
namun lebih banyak yang diam. Kami disuruh menunggu di kelas oleh para guru,
tidak boleh berkeliaran.
“Para siswa diharapkan
berkumpul di lapangan,” begitu kira-kira suara dari speaker.
Kami semua berlarian
keluar kelas, berebut ingin cepat sampai di lapangan. Semua kelas tiga tumpah
jadi satu di lapangan, berbaris rapi sekali. Kepala sekolah sudah berdiri di
atas tempat biasa beliau berpidato. Dan guru-guru sudah berbaris rapi di
samping kanan kirinya.
“Para guru yang saya
hormati serta anak-anak yang bapak cintai,” Isi pidato kepala sekolah masih
sama seperti hari seni saat upacara. Bedanya perasaan tegang, deg-degan, serta
takut menyelimuti raut wajah setiap murid kelas tiga di lapangan.
Beberapa menit lagi status
murid SMA akan kami lepas, serta melepas seragam putih abu-abu yang dulu kami
idam-idamkan ketika duduk di bangku SMP, jika kami lulus. Dan akan tetap
bergelar murid SMA jikalau kami tidak lulus. Pengumuman ini menjadi penentu
perjalanan yang sering kami sebut “sekolah”.
“Kalian LULUS 100%...” Suara
lantang kepala sekolah membangunkan wajah-wajah yang tertunduk lesu.
“Horeee…” Riuh sorak para
murid bertebaran di lapangan. Langit pagi yang biru terang disertai terik yang
cukup panas, tidak bisa mengalahkan kegembiraan kami.
Semua hanyut dalam semarak
kelulusan, termasuk Roni dan Morin. Sedangkan aku, entah mengapa malah
menyendiri di bawah pohon mangga depan ruang guru. Menatap masa depanku setelah
ini akan seperti apa.
Bisa sampai pada titik ini
adalah hal yang luar biasa buatku, tidak semua anak bisa mendapatkan pendidikan
seperti apa yang sudah aku dapatkan sampai saat ini. Rasa syukurku tak pernah
terhenti untuk semua yang telah Allah berikan. Terima kasih untuk kedua orang
tuaku, doa-doa dan dukungan serta kerja keras mereka membanting tulang untuk memberikan
yang terbaik untukku dan pendidikanku.
Tiba-tiba dari samping ada
yang menepuk pundakku. “Selamat, ya, Nak. Perjuanganmu belum berakhir, masa
depanmu masih panjang. Kejar semua itu dengan karya dan prestasi, jadikan caci
maki sebagai amunisi untuk melangkah menjadi yang terbaik.”
Aku menoleh, ingin tahu
siapa yang berbicara itu. Dan aku pun terkejut. Beliau adalah Ibu Indah, guru killer itu. Seandainya semua murid
melihat ini pasti mereka akan berubah pikiran dan merasa bersalah menganggap Ibu
Indah itu menyeramkan.
Senyum Ibu Indah jatuh di
kedua bola mataku dan merontokkan sendi-sendi pikiranku. Lihatlah betapa
indahnya senyum itu sama seperti nama pemiliknya dan betapa terlihatnya
ketulusan hadir di sana. “Apa ini mimpi?”
gumamku dalam hati. Bahwasanya selama ini kami telah salah menilai Ibu Indah. Beliau
sebenarnya bukan galak tapi tegas.
Teman-teman menghampiriku, kita berpelukan
bersama.
Eiyo. . . it’s not the end, it’s just beginning
Ok detak detik tirai mulai menutup panggung
Tanda skenario eyo baru harus diusung
Lembaran kertas barupun terbuka
Tinggalkan yang lama, biarkan sang pena berlaga.
Tanda skenario eyo baru harus diusung
Lembaran kertas barupun terbuka
Tinggalkan yang lama, biarkan sang pena berlaga.
Kita pernah sebut itu kenangan tempo dulu
Pernah juga hilang atau takkan pernah berlalu
Masa jaya putih biru atau abu-abu (hey)
Memori cerita cinta aku, dia dan kamu
Pernah juga hilang atau takkan pernah berlalu
Masa jaya putih biru atau abu-abu (hey)
Memori cerita cinta aku, dia dan kamu
Saat dia (dia) dia masuki alam pikiran
Ilmu bumi dan sekitarnya jadi kudapan
Cinta masa sekolah yang pernah terjadi
That was the moment a part of sweet memory.
Ilmu bumi dan sekitarnya jadi kudapan
Cinta masa sekolah yang pernah terjadi
That was the moment a part of sweet memory.
Kita membumi, melangkah berdua
Kita ciptakan hangat sebuah cerita
Mulai dewasa, cemburu dan bungah
Finally now, its our time to make a history
Kita ciptakan hangat sebuah cerita
Mulai dewasa, cemburu dan bungah
Finally now, its our time to make a history
Bergegaslah kawan tuk sambut masa depan
Tetap berpegang tangan, saling berpelukan
Berikan senyuman tuk sebuah perpisahan
Kenanglah sahabat kita untuk selamanya
Tetap berpegang tangan, saling berpelukan
Berikan senyuman tuk sebuah perpisahan
Kenanglah sahabat kita untuk selamanya
Satu alasan kenapa kau kurekam dalam memori
Satu cerita teringat didalam hati
Karena kau berharga dalam hidupku, teman
Untuk satu pijakan menuju masa depan
Satu cerita teringat didalam hati
Karena kau berharga dalam hidupku, teman
Untuk satu pijakan menuju masa depan
Saat duka bersama, tawa bersama
Berpacu dalam prestasi (huh) hal yang biasa
Satu persatu memori terekam
Didalam api semangat yang tak mudah padam
Berpacu dalam prestasi (huh) hal yang biasa
Satu persatu memori terekam
Didalam api semangat yang tak mudah padam
Kuyakin kau pasti sama dengan diriku
Pernah berharap agar waktu ini tak berlalu
Kawan kau tahu, kawan kau tahu kan?
Beri pupuk terbaik untuk bunga yang kau simpan
Pernah berharap agar waktu ini tak berlalu
Kawan kau tahu, kawan kau tahu kan?
Beri pupuk terbaik untuk bunga yang kau simpan
Bergegaslah kawan tuk sambut masa depan
Tetap berpegang tangan, saling berpelukan
Berikan senyuman tuk sebuah perpisahan
Kenanglah sahabat kita untuk selamanya.
Tetap berpegang tangan, saling berpelukan
Berikan senyuman tuk sebuah perpisahan
Kenanglah sahabat kita untuk selamanya.
Lagu
“Kita Selamanya” yang diputar Pak Sholeh menutup lembaran kisah kami di sekolah
ini. Sekolah dan seluruh isinya yang kami cinta…
“Kita
Untuk Selamanya” Kita berkata bersama-sama saling bergandengan tangan…
*Cerita Pendek ini ditulis oleh Djamall dan HqZhou
Tidak ada komentar:
Posting Komentar