Sumber : Google |
Yudha memandangi sekumpulan anak muda yang sedang bernyanyi lagu daerah
Berau, Kalimantan Timur di salah satu sudut taman di kompleks dekat rumahnya.
Beberapa di antara mereka memetik gitar dan membunyi-bunyikan botol plastik
kosong.
Kirap-kirap sikulimpapat
Lakata kirap dirantau kassai
Kira-kira kami mandapat
Bassarnya niat mulang
babassai
Yudha
selalu suka tempat ini. Saat suntuk dan mumet dengan kegiatannya, dia sering
mencari hiburan di taman ini. Di taman ini berbagai kegiatan dilakukan oleh
berbagai kelompok muda-tua. Tak lupa taman ini juga digunakan bagi sepasang
muda-mudi yang sedang kasmaran.
Yudha
mengeluarkan netbook dari ransel
hitamnya. Setelah menyalakannya, dia membuka file berjudul “Mencuri Senja”. Seketika dia tampak serius menekan keyboard. Sesekali matanya melirik pada
kumpulan pemuda yang sedang menyanyi tadi. Entah kenapa tiba-tiba saja ia ingin
melanjutkan tulisannya yang sempat tertunda seminggu.
**
“Naskahmu ini belum layak diterbitkan,
Yud. Kalau kamu bawa ke kantorku, editor
pasti akan menolaknya. Konfliknya masih klise, padahal aku suka lho judulnya.”
Yudha
mendengarkan dengan seksama via telepon komentar sepupunya, Jamal, yang bekerja
sebagai layouter di salah satu
penerbit buku ternama di Jakarta. Pekan lalu Yudha mengirimkan sinopsis novel
yang baru selesai dia tulis kepada Jamal via surat elektronik. Dia berharap
sepupunya itu bisa membantunya dalam hal penerbitan novelnya.
“Emang
kamu tak bisa ngomong ke editornya gitu bilang terima aja naskahku itu?”
“Enggak bisa, Yud. Ini tuh penerbit gede, ga
bisa asal ambil naskah lalu diterbitkan. Coba deh pertajam ide cerita kamu.
Atau kamu bisa coba di penerbit lain deh. Maaf, ya.”
Yudha
mengembuskan napas lelahnya. “Ya sudah, Mal. Makasih banyak, yah. Nanti aku rombak
dulu, deh. Tak apa-apa kan, kalau nanti aku kirim ke kamu lagi?”
“Sip lah, kabari saja. Oh, iya. Gimana kuliah
kamu? Aman? Kata ibumu kamu terlalu sibuk nulis, ya? Saran aku bagi waktumu.
Menulis sih menulis aja, Yud. Tapi ingat tanggung jawabmu di kampus. Kamu masih
semester 4 lho. Masih panjang perjalanan buatmu,” jelas Jamal panjang
lebar.
Yudha
seperti disadarkan lagi pada dunia nyata. Impiannya untuk menjadi penulis dan
kuliahnya yang juga harus dijalani. Harus dia akui bahwa selama ini dia terlalu
fokus pada ambisinya menjadi penulis besar sehingga melupakan beberapa tanggung
jawabnya.
“Halooo, haloooo? Yudha?”
Suara
di ujung telepon menyadarkan Yudha dari lamunan singkatnya. “Eh, maaf, Mal.
Iya, Mal. Aku bakal atur waktu kuliah sama nulis, kok. Hmm …, makasih ya atas
bantuannya.”
Setelah
itu mereka memutuskan pembicaraan.
Yudha
kembali melamun. Komentar-komentar Jamal menambah beban pikirannya. Sudah dua
kali dengan barusan naskahnya ‘ditolak’ penerbit. Pertama, dua bulan lalu dia
mendapat pemberitahuan melalui surat elektronik bahwa naskah novelnya belum
bisa diterima salah satu penerbit besar yang berpusat di Jogjakarta. Kedua,
barusan. Meskipun Jamal bekerja sebagai layouter
di penerbit besar di Jakarta, tapi sedikit banyak sepupunya itu mengerti
tipe-tipe naskah yang diterima oleh kantornya.
Sepertinya aku harus kerja lebih
keras lagi. Aku harus jadi penulis besar dan membuktikan ke orang-orang kalau
penulis dari luar Jawa juga hebat-hebat! Anak Berau sepertiku juga bisa.
**
Tiga bulan
kemudian ….
“Hot
Cappucino satu, ada lagi?” Pelayan café mencocokkan pesanan Yudha dengan kertas
catatannya.
Yudha
mengangguk mengiyakan. Pelayan berjalan menjauh meninggalkan Yudha dengan netbooknya.
Suasana
café Daeng Ichang sore ini sangat
tenang. Tempat kepunyaan orang Makassar ini justru bernuansa Sunda, dengan
bangunan yang 80% didominasi bambu. Pandangan Yudha menjelajah seluruh isi
café. Di salah satu sudut tampak empat orang berpenampilan rapi dengan kemeja
dan jas—tampaknya orang kantoran yang sedang meeting. Di sudut lainnya Yudha melihat sepasang muda-mudi
berpakaian jersey salah satu klub
sepakbola luar negeri sedang asyik bercengkrama. Yudha tersenyum melihat
pakaian keduanya yang mirip. Lalu ada beberapa orang lagi yang tersebar di meja
lain.
Beberapa
saat kemudian, pesanan Yudha datang. Sambil menikmati cappuccino-nya, lelaki berambut cepak ini mulai memainkan jemarinya
di atas keyboard. Sesekali matanya
terpejam—sambil berpikir mencari ide tulisan—lalu kembali mengetik.
Right Here Waiting milik Richard
Marx mengalun dari speaker café unik
yang terletak di jalan H. Isa 3 Berau ini. Yudha dan pengunjung lainnya tampak
menikmati list-list lagu yang disediakan café.
Tiba-tiba
ikon mail di layar monitor netbook Yudha muncul saat ia tengah
menuliskan lanjutan naskah novelnya. Segera ia mengklik gambar amplop tersebut
lalu membaca isinya. Ternyata pemberitahuan dari kampus tempatnya kuliah. Nilai
mata kuliah semester 4 sudah keluar. Yudha segera mengunduh attach file nilainya.
Segera
muncul deretan huruf-huruf dalam tabel di layar Yudha. Wajahnya tiba-tiba
menegang mendapat beberapa huruf ‘D’ di beberapa mata kuliah wajibnya. Yudha
bolak-balik membaca tulisan-tulisan di layar. Dia benar tak salah liat.
Nilainya semester lalu sangat kacau!
Ada
dua mata kuliah mengulang dan satu nilai tunda dari enam mata kuliah yang dia
program semester 4 lalu. Betul-betul kacau! Yudha mengacak rambut ikalnya yang
sudah mulai memanjang hampir menutupi leher.
Kalau Ibu tahu, pasti dia bakal
marah. Aku selalu bilang kalau kuliahku baik-baik saja.
Yudha
meringis kecil membayangkan kalau ibunya nanti tahu. Selama ini Yudha nampak
baik-baik saja menjalani kegiatan kuliahnya. Padahal, tanpa setahu ibu dan
keluarganya yang lain, Yudha sering bolos kuliah. Bukan hanya itu, di kelas dia
selalu tidak konsentrasi. Beberapa kali dia ditegur dosen bahkan sempat
menghadap. Sekarang imbasnya pada nilai-nilai kuliahnya.
Lelaki
berdarah Berau ini bukannya tidak sadar dengan apa yang dia lakukan selama ini,
tapi karena ambisinya mengejar impian menjadi penulislah yang membuat jalan
pendidikannya kini mulai macet.
Hampir
tiap hari Yudha berkutat dengan naskah. Dia semakin tidak mengurus dirinya,
lingkungan, dan cuek pada pendidikannya. Dia jadi antisosial. Selalu mencari
tempat untuk sendiri hanya untuk menulis, menulis, dan menulis naskah.
Yudha
terlalu sibuk mengejar impian dan tak sadar bahwa impiannya tidak dijalani
dengan cara yang indah. Impiannya kini menjelma menjadi ambisi untuk
mendapatkan sesuatu dengan mengorbankan hal-hal yang penting. Lingkungannya,
hubungannya dengan orang lain, serta pendidikannya.
**
Malam yang tenang di
sebuah kamar kos ukuran 3 x 4, Yudha sedang sibuk mengutak-atik CPU komputer
bututnya, yang ia beri nama Bedjo. Ia benar-benar sudah tidak bisa berfungsi
dengan baik. Padahal malam itu ia ingin merevisi naskah yang sudah ia buat.
Tiba-tiba, ia teringat
dengan kejadian yag ia alami di taman sore tadi. Anak-anak yang kurang
beruntung itu, kegembiraan mereka dan… gadis itu. Ia bahkan lupa untuk
berkenalan. Ia tak pernah membayangkan saat ini masih ada wanita muda yang mau peduli
dengan anak-anak jalanan. Biasanya, gadis sepertinya lebih suka shopping bersama teman-temannya atau
kopdar di sebuah coffee shop untuk
bergosip dan pamer kecantikannya. Yudha sangat mengagumi gadis itu.
Sore itu Yudha ingin
pergi ke rumah sahabatnya di Gunung Tabur untuk menumpang mengetik dan
melanjutkan tulisannya. Tapi, tiba-tiba ia mengurungkan niatnya, dan ingin
mengunjungi anak-anak jalanan yang ia temui kemarin di taman. Dia berharap bisa
menemukan kegembiraan seperti kemarin, dan bertemu dengan gadis itu.
Ia datang pada waktu
yang tidak tepat, tak satupun anak yang ia temui, begitu pula gadis itu. Ia
berkeliling taman dan mencoba mencarinya. Ternyata, gadis itu sedang menunggu
di pelabuhan ketinting.
“Mau kemana?”
“Mau ke Gunung Tabur. Eh, iya. Kamu yang kemarin ketemu di taman kan?” tanya
gadis itu menyelidik.
“Iya, kirain udah lupa.” jawab Yudha tersenyum dan salah tingkah.
“Ya nggak dong, kamu mau nyebrang juga? Mau barengan?” ajak gadis itu
dengan senyumnya yang riang.
“Iya, boleh. Eh, itu udah datang ketintingnya.”
jawab Yudha sambil menunjuk ke arah salah satu perahu kecil tersebut.
Mereka berdua diam, dan
hanya terdengar suara mesin ketinting. Yudha berusaha ingin memulai pembicaraan,
tapi ia bingung apa yang harus ia katakan.
“O ya, dari kemarin kita ngobrol banyak banget tapi kita belum kenalan
ya? Aku Vila.” ucapnya sambil menyodorkan tangannya mengajak bersalaman.
“E.. Iya. Aku Yudha.” jawabnya sambil tersenyum.
Sepanjang perjalanan,
Vila bercerita tentang kegiatannya sehari-harinya, kuliahnya, pekerjaannya, dan
bagaimana ia bisa bertemu dengan anak-anak hebat itu. Yudha lebih memilih
menjadi pendengar yang baik. Ia sangat kagum dengan cerita-cerita Vila tentang
anak-anak hebat itu. Lagi-lagi ia masih tidak percaya dengan penampilan Vila
yang fashionista tetapi ternyata
hatinya sangat baik dan sederhana. Don’t
judge book by its cover!
“Thank you Yud, udah mau jadi pendengar yang baik, besok kita ketemu di
taman biasa ya. Aku belum dengar cerita tentang kamu.” kata Vila sambil
tersenyum dan berlalu turun dari perahu.
Yudha tak mengucapkan
sepatah kata apapun, ia hanya tersenyum sambil menatap Vila.
***
Pembicaraan dengan Vila
sore itu membuat Yudha bertanya-tanya. Mengapa ia begitu dekat seperti sudah
bersahabat lama? Mengapa Vila menceritakan tentang dirinya? Bahkan Vila ingin
mengetahui lebih jauh sosok laki-laki yang baru saja ia temui. Ah sudahlah.
Semangatku semakin
berkobar setelah pertemuanku dengan Vila dan cerita-ceritanya tentang anak-anak
jalanan itu. Ia seakan menjadi spirit dalam
langkah hebatku ini. Ya, aku ingin menulis lagi. Mencoba menjamah karyaku
dengan kata-kata hebat.
Merevisi sebuah karya adalah hal yang sangat
menyenangkan bagi seorang penulis, biasanya imajinasinya semakin berkembang
pada setiap tahap perbaikan. Itu yang aku rasakan, dan entah mengapa aku yakin
bahwa naskah ini akan bisa diterima oleh penerbit. Entah kapan, tapi aku akan
mencoba dan menikmati prosesnya walaupun aku tak tahu hal apa yang akan menanti
di depanku. It’s a climb.
***
Langit jingga menyapaku, burung-burung terbang
berkelompok membentuk formasi yang indah menuju sarangnya, anak-anak muda yang
sedang bercengkerama dengan kawannya, suara tawa anak-anak yang sedang bermain
di atas jungkat-jungkit, dan suara ketinting
yang lewat dan saling bersahutan. Aku
tak pernah bosan menikmati suasana ini.
“Hai Yud. Sorry ya nunggu lama banget, sampe senja gini. Aku tadi kesini
tapi ternyata nggak ada anak-anak, jadi aku pergi dengan Arief. Sekali lagi
sorry banget ya Yud.” Vila memelas, sambil menelungkupkan tangannya.
“Iya, nggak apa La, kita Maghrib-an dulu yuk!” ajak Yudha sambil
keduanya berjalan menuju sebuah Masjid yang letaknya tak jauh dari taman.
Mereka lalu menuju sebuah tempat popular yang biasa dimanfaatkan
orang-orang berkumpul dengan keluarga atau teman-teman menikmati bintang
ataupun makanan dan minuman yang tersedia di sana. Masyarakat Berau biasa
menyebutnya Tepian. Letaknya di tepi sungai Segah, dan setiap sore hingga malam
tiba, ramai orang-orang duduk di tepinya. Sebab itu dinamakan Tepian. Keramaian
itu dimanfaatkan oleh sebagian pedagang untuk meraup keuntungan dengan
berjualan aneka makanan dan minuman.
“Arief itu pacarmu La?” tanya Yudha sambil memalingkan wajahnya ke arah
Vila memulai pembicaraan.
“Oh, dia tunangan aku Yud, kenapa?” jawab Vila sekenanya, sambil
menyeruput segelas saraba.
“Oh…. “ jawab Yudha pendek dan memalingkan mukanya.
Mereka menikmati
indahnya bintang bertaburan malam itu berdua sambil menikmati minuman yang
menghangatkan tubuh.
“Trus, kamu belum cerita tentang kamu ke aku, ceritain dong.” kata Vila
sambil tersenyum manis.
“Aku? Aku pengangguran dan aku bukan mahasiswa.” jawab Yudha sekenanya.
“Kok gitu?” tanya Vila heran sambil mengernyitkan dahi.
“Aku terlalu sibuk nulis La, sampai-sampai aku lupa punya kampus.” jawabnya
sambil tertawa ringan.
“Kamu penulis?” tanya Vila lagi.
“Iya, aku suka nulis, tapi setiap aku ajukan naskahku, pasti gagal.
Padahal aku sudah mengorbankan waktuku dan semua yang aku punya, materi,
kuliah, dan bahkan orang tuaku. Aku tidak pernah menceritakan kenyataan ini
kepada mereka. Yang mereka tahu, aku kuliah dan menghabiskan waktuku hanya
untuk mendekam di kos-kosan dan berjibaku dengan buku-buku.” jelas Yudha.
“Aku juga Yud. Dulu aku suka sekali nyanyi, aku bercita-cita menjadi
seorang penyanyi, tapi orang tuaku tidak menyetujuinya. Sama sepertimu, aku
mengorbankan semua waktuku dan orang-orang yang aku cintai. Waktuku hanya untuk
menyanyi dan menyanyi. Aku masuk kuliah di jurusan yang sangat tidak aku sukai,
jadi kuliahku terbengkalai dan akhirnya orang tuaku mengetahuinya. Mereka
sangat marah. Mereka tidak pernah suka aku menyanyi. Setiap kali aku merasa
kesepian, aku pergi ke taman itu dan bertemu dengan anak-anak hebat itu di
taman, kami lalu berteman akrab. Keindahan musik yang mereka bawakan, membuatku
ingin mengajari mereka bernyanyi. Mereka adalah anak-anak yang hebat. Merekalah
yang bisa membuatku jadi lebih hidup. Aku tak pernah menyerah untuk membujuk
kedua orang tuaku untuk mengijinkanku menyanyi. Aku terus mencoba dan terus
berlatih. Lalu setahun kemudian, kedua orang tuaku menyetujui kemauanku dan aku
memutuskan untuk melanjutkan kuliahku di jurusan musik. Di kampus itu, aku
bertemu dengan Arief, dan ia selalu menjadi semangatku dalam berkarya.” jelas
Vila sambil memandang lurus ke arah riak sungai di depannya.
Yudha masih membisu dan
memandang kosong ke depan. Tapi tiba-tiba ia teringat akan sosok ibunya. Ia merasa
sangat berdosa, hanya ibunya yang ia miliki saat ini, dan ia tak ingin jika
ibunya tidak sempat menyaksikan kesuksesannya.
“Yud, Arief SMS nih, katanya
mau jemput. Aku kenalin sama dia mau nggak?” tanya Vila memecahkan lamunannya.
.”Oh iya, boleh. Aku juga mau pulang nih, harus nulis lagi La.” jawab
Yudha sambil melihat jam tangannya.
“Semoga ceritaku tadi bisa jadi pelajaran buatmu ya. Entah kenapa aku
mau cerita tentang masa lalu aku sama kamu, padahal kan kita belum kenal lama
ya?” kata Vila sambil tersenyum.
“Nice to know you dear Vila.”
jawab Yudha sambil membungkukkan badannya dan melipat tangan sebelah kanannya
menyilang ke arah dada kirinya.
Mereka tertawa bersama.
Ketika Arief datang, Vila mengajaknya untuk berkenalan dengan Yudha. Tetapi,
mereka tidak sempat berkisah panjang lebar karena malam sudah cukup larut.
Mereka memutuskan untuk segera pulang.
***
“Lima ratus ya mas?”
“Loh ndak bisa toh, moso lemari
butut koyo ngono kui dihargai lima ngatus? Ya ora enek sing gelem toh.” jawab
lelaki paruh baya itu sambil menekan tombol-tombol dalam kalkulatornya dengan
brutal.
Yudha sedang tawar-menawar dengan seorang pria
paruh baya berlogat Jawa yang ia temui di pasar loak. Yudha ingin menjual
lemari pakaiannya. Tak apa jika ia harus meletakkan pakaian-pakaiannya di dalam
kardus. Ia benar-benar butuh uang untuk memperbaiki computer-nya. Ia malu jika setiap kali menulis ia harus meminjam
pada kawannya.
Sudah beberapa hari ia selalu pergi ke rumah Andi
meminjam computer untuk ia gunakan
mengerjakan naskahnya. Awalnya ia setuju, sempat beberapa kali Yudha datang dan
meminta bantuan. Tetapi, ia merasa Yudha sangat mengganggu dan tidak nyaman.
Setiap kali Yudha datang, ibunya lebih dulu menemuinya. Siang itu, Yudha datang
dengan peluh bercucuran sambil menggendong tasnya. Ia berjalan kaki menuju rumah
Andi yang jaraknya lumayan jauh dari kosnya. Sepeda motor yang biasa
menemaninya sedang tidak bersahabat kali ini. Senyumnya begitu sumringah ketika
melihat Andi sedang duduk di teras sedang membaca buku dengan secangkir kopi.
Tetapi, senyum itu tiba-tiba musnah ketika Andi segera masuk ke dalam rumahnya
dan menutup pintu. Peristiwa itu sungguh sangat menyakitkannya, tetapi ia tetap
berbesar hati.
***
“Bagus sekali Nak! Saya
suka ini, langsung teken kontrak sama Mba yang baju hijau tadi ya.” kata seorang
wanita berkacamata tebal sambil membolak-balik halaman demi halaman bundelan
kertas itu.
“Ibu serius?” tanya
Yudha tidak percaya.
“Ya, langsung teken
kontrak sama Mba di depan ya!” jawab wanita itu.
Yudha keluar ruangan
itu dengan mata yang berbinar-binar dan gembira. Ia sudah tak sabar untuk
menemui adik-adik hebatnya di Taman Sanggam, Vila dan juga Arief. Sejak
pertemuan sore itu, mereka benar-benar sudah seperti sebuah keluarga. Bahkan,
penerbit itu adalah rekomendasi dari Arief. Ia ternyata adalah pembaca
sekaligus komentator hebat.
“Akhirnya, ada penerbit khilaf yang mau menerima naskahku!” teriak Yudha
sambil mengangkat kedua tangannya ke atas.
“Wah! Congratulation ya Yud.” kata Arief sambil menyambut sahabatnya itu
dan memeluknya.
“Selamat ya Yud! Kamu hebat!” kata Vila sambil menyurungkan tangannya
bersalaman.
Yudha melihat ke arah
anak-anak itu dan kedua sahabatnya yang selalu menyemangatinya di saat ia
jatuh.
Suara-suara di dalam
kepalaku selalu berkata bahwa aku tak akan bisa meraihnya. Akan ada banyak
rintangan di depannya, tapi aku tetap tegak berdiri. Ini bukan tentang seberapa
cepat aku mencapai impianku. Tetapi tentang sebuah proses, perjuangan yang aku
hadapi, kemungkinan-kemungkinan yang aku ambil, dan orang-orang di sekitarku.
Life is not
only about your journey to the happiness. But also, the people who have met you
during your journey.
Carpe diem!
*Cerita Pendek ini ditulis oleh Dhilayaumil dan Vita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar