... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ...

Kamis, 09 Mei 2013

[Cerpen Duet] The Journey


Sumber : Google

Yudha memandangi sekumpulan anak muda yang sedang bernyanyi lagu daerah Berau, Kalimantan Timur di salah satu sudut taman di kompleks dekat rumahnya. Beberapa di antara mereka memetik gitar dan membunyi-bunyikan botol plastik kosong.





Kirap-kirap sikulimpapat
Lakata kirap dirantau kassai
Kira-kira kami mandapat
Bassarnya niat mulang babassai
Yudha selalu suka tempat ini. Saat suntuk dan mumet dengan kegiatannya, dia sering mencari hiburan di taman ini. Di taman ini berbagai kegiatan dilakukan oleh berbagai kelompok muda-tua. Tak lupa taman ini juga digunakan bagi sepasang muda-mudi yang sedang kasmaran.
Yudha mengeluarkan netbook dari ransel hitamnya. Setelah menyalakannya, dia membuka file berjudul “Mencuri Senja”. Seketika dia tampak serius menekan keyboard. Sesekali matanya melirik pada kumpulan pemuda yang sedang menyanyi tadi. Entah kenapa tiba-tiba saja ia ingin melanjutkan tulisannya yang sempat tertunda seminggu.
**
Naskahmu ini belum layak diterbitkan, Yud.  Kalau kamu bawa ke kantorku, editor pasti akan menolaknya. Konfliknya masih klise, padahal aku suka lho judulnya.”
Yudha mendengarkan dengan seksama via telepon komentar sepupunya, Jamal, yang bekerja sebagai layouter di salah satu penerbit buku ternama di Jakarta. Pekan lalu Yudha mengirimkan sinopsis novel yang baru selesai dia tulis kepada Jamal via surat elektronik. Dia berharap sepupunya itu bisa membantunya dalam hal penerbitan novelnya.
“Emang kamu tak bisa ngomong ke editornya gitu bilang terima aja naskahku itu?”
Enggak bisa, Yud. Ini tuh penerbit gede, ga bisa asal ambil naskah lalu diterbitkan. Coba deh pertajam ide cerita kamu. Atau kamu bisa coba di penerbit lain deh. Maaf, ya.”
Yudha mengembuskan napas lelahnya. “Ya sudah, Mal. Makasih banyak, yah. Nanti aku rombak dulu, deh. Tak apa-apa kan, kalau nanti aku kirim ke kamu lagi?”
Sip lah, kabari saja. Oh, iya. Gimana kuliah kamu? Aman? Kata ibumu kamu terlalu sibuk nulis, ya? Saran aku bagi waktumu. Menulis sih menulis aja, Yud. Tapi ingat tanggung jawabmu di kampus. Kamu masih semester 4 lho. Masih panjang perjalanan buatmu,” jelas Jamal panjang lebar.
Yudha seperti disadarkan lagi pada dunia nyata. Impiannya untuk menjadi penulis dan kuliahnya yang juga harus dijalani. Harus dia akui bahwa selama ini dia terlalu fokus pada ambisinya menjadi penulis besar sehingga melupakan beberapa tanggung jawabnya.
Halooo, haloooo? Yudha?”
Suara di ujung telepon menyadarkan Yudha dari lamunan singkatnya. “Eh, maaf, Mal. Iya, Mal. Aku bakal atur waktu kuliah sama nulis, kok. Hmm …, makasih ya atas bantuannya.”
Setelah itu mereka memutuskan pembicaraan.
Yudha kembali melamun. Komentar-komentar Jamal menambah beban pikirannya. Sudah dua kali dengan barusan naskahnya ‘ditolak’ penerbit. Pertama, dua bulan lalu dia mendapat pemberitahuan melalui surat elektronik bahwa naskah novelnya belum bisa diterima salah satu penerbit besar yang berpusat di Jogjakarta. Kedua, barusan. Meskipun Jamal bekerja sebagai layouter di penerbit besar di Jakarta, tapi sedikit banyak sepupunya itu mengerti tipe-tipe naskah yang diterima oleh kantornya.

Sepertinya aku harus kerja lebih keras lagi. Aku harus jadi penulis besar dan membuktikan ke orang-orang kalau penulis dari luar Jawa juga hebat-hebat! Anak Berau sepertiku juga bisa.
**

Tiga bulan kemudian ….
“Hot Cappucino satu, ada lagi?” Pelayan café mencocokkan pesanan Yudha dengan kertas catatannya.
Yudha mengangguk mengiyakan. Pelayan berjalan menjauh meninggalkan Yudha dengan netbooknya.
Suasana café Daeng Ichang sore ini sangat tenang. Tempat kepunyaan orang Makassar ini justru bernuansa Sunda, dengan bangunan yang 80% didominasi bambu. Pandangan Yudha menjelajah seluruh isi café. Di salah satu sudut tampak empat orang berpenampilan rapi dengan kemeja dan jas—tampaknya orang kantoran yang sedang meeting. Di sudut lainnya Yudha melihat sepasang muda-mudi berpakaian jersey salah satu klub sepakbola luar negeri sedang asyik bercengkrama. Yudha tersenyum melihat pakaian keduanya yang mirip. Lalu ada beberapa orang lagi yang tersebar di meja lain.
Beberapa saat kemudian, pesanan Yudha datang. Sambil menikmati cappuccino-nya, lelaki berambut cepak ini mulai memainkan jemarinya di atas keyboard. Sesekali matanya terpejam—sambil berpikir mencari ide tulisan—lalu kembali mengetik.
Right Here Waiting milik Richard Marx mengalun dari speaker café unik yang terletak di jalan H. Isa 3 Berau ini. Yudha dan pengunjung lainnya tampak menikmati list-list lagu yang disediakan café.
Tiba-tiba ikon mail di layar monitor netbook Yudha muncul saat ia tengah menuliskan lanjutan naskah novelnya. Segera ia mengklik gambar amplop tersebut lalu membaca isinya. Ternyata pemberitahuan dari kampus tempatnya kuliah. Nilai mata kuliah semester 4 sudah keluar. Yudha segera mengunduh attach file nilainya.
Segera muncul deretan huruf-huruf dalam tabel di layar Yudha. Wajahnya tiba-tiba menegang mendapat beberapa huruf ‘D’ di beberapa mata kuliah wajibnya. Yudha bolak-balik membaca tulisan-tulisan di layar. Dia benar tak salah liat. Nilainya semester lalu sangat kacau!
Ada dua mata kuliah mengulang dan satu nilai tunda dari enam mata kuliah yang dia program semester 4 lalu. Betul-betul kacau! Yudha mengacak rambut ikalnya yang sudah mulai memanjang hampir menutupi leher.
Kalau Ibu tahu, pasti dia bakal marah. Aku selalu bilang kalau kuliahku baik-baik saja.
Yudha meringis kecil membayangkan kalau ibunya nanti tahu. Selama ini Yudha nampak baik-baik saja menjalani kegiatan kuliahnya. Padahal, tanpa setahu ibu dan keluarganya yang lain, Yudha sering bolos kuliah. Bukan hanya itu, di kelas dia selalu tidak konsentrasi. Beberapa kali dia ditegur dosen bahkan sempat menghadap. Sekarang imbasnya pada nilai-nilai kuliahnya.
Lelaki berdarah Berau ini bukannya tidak sadar dengan apa yang dia lakukan selama ini, tapi karena ambisinya mengejar impian menjadi penulislah yang membuat jalan pendidikannya kini mulai macet.
Hampir tiap hari Yudha berkutat dengan naskah. Dia semakin tidak mengurus dirinya, lingkungan, dan cuek pada pendidikannya. Dia jadi antisosial. Selalu mencari tempat untuk sendiri hanya untuk menulis, menulis, dan menulis naskah.
Yudha terlalu sibuk mengejar impian dan tak sadar bahwa impiannya tidak dijalani dengan cara yang indah. Impiannya kini menjelma menjadi ambisi untuk mendapatkan sesuatu dengan mengorbankan hal-hal yang penting. Lingkungannya, hubungannya dengan orang lain, serta pendidikannya.
**
            Malam yang tenang di sebuah kamar kos ukuran 3 x 4, Yudha sedang sibuk mengutak-atik CPU komputer bututnya, yang ia beri nama Bedjo. Ia benar-benar sudah tidak bisa berfungsi dengan baik. Padahal malam itu ia ingin merevisi naskah yang sudah ia buat.
            Tiba-tiba, ia teringat dengan kejadian yag ia alami di taman sore tadi. Anak-anak yang kurang beruntung itu, kegembiraan mereka dan… gadis itu. Ia bahkan lupa untuk berkenalan. Ia tak pernah membayangkan saat ini masih ada wanita muda yang mau peduli dengan anak-anak jalanan. Biasanya, gadis sepertinya lebih suka shopping bersama teman-temannya atau kopdar di sebuah coffee shop untuk bergosip dan pamer kecantikannya. Yudha sangat mengagumi gadis itu.
            Sore itu Yudha ingin pergi ke rumah sahabatnya di Gunung Tabur untuk menumpang mengetik dan melanjutkan tulisannya. Tapi, tiba-tiba ia mengurungkan niatnya, dan ingin mengunjungi anak-anak jalanan yang ia temui kemarin di taman. Dia berharap bisa menemukan kegembiraan seperti kemarin, dan bertemu dengan gadis itu.
            Ia datang pada waktu yang tidak tepat, tak satupun anak yang ia temui, begitu pula gadis itu. Ia berkeliling taman dan mencoba mencarinya. Ternyata, gadis itu sedang menunggu di pelabuhan ketinting.
“Mau kemana?”
“Mau ke Gunung Tabur. Eh, iya. Kamu yang kemarin ketemu di taman kan?” tanya gadis itu menyelidik.
“Iya, kirain udah lupa.” jawab Yudha tersenyum dan salah tingkah.
“Ya nggak dong, kamu mau nyebrang juga? Mau barengan?” ajak gadis itu dengan senyumnya yang riang.
“Iya, boleh. Eh, itu udah datang ketintingnya.” jawab Yudha sambil menunjuk ke arah salah satu perahu kecil tersebut.
            Mereka berdua diam, dan hanya terdengar suara mesin ketinting. Yudha berusaha ingin memulai pembicaraan, tapi ia bingung apa yang harus ia katakan.
“O ya, dari kemarin kita ngobrol banyak banget tapi kita belum kenalan ya? Aku Vila.” ucapnya sambil menyodorkan tangannya mengajak bersalaman.
“E.. Iya. Aku Yudha.” jawabnya sambil tersenyum.
            Sepanjang perjalanan, Vila bercerita tentang kegiatannya sehari-harinya, kuliahnya, pekerjaannya, dan bagaimana ia bisa bertemu dengan anak-anak hebat itu. Yudha lebih memilih menjadi pendengar yang baik. Ia sangat kagum dengan cerita-cerita Vila tentang anak-anak hebat itu. Lagi-lagi ia masih tidak percaya dengan penampilan Vila yang fashionista tetapi ternyata hatinya sangat baik dan sederhana. Don’t judge book by its cover!
“Thank you Yud, udah mau jadi pendengar yang baik, besok kita ketemu di taman biasa ya. Aku belum dengar cerita tentang kamu.” kata Vila sambil tersenyum dan berlalu turun dari perahu.
            Yudha tak mengucapkan sepatah kata apapun, ia hanya tersenyum sambil menatap Vila.
                                                                        ***
            Pembicaraan dengan Vila sore itu membuat Yudha bertanya-tanya. Mengapa ia begitu dekat seperti sudah bersahabat lama? Mengapa Vila menceritakan tentang dirinya? Bahkan Vila ingin mengetahui lebih jauh sosok laki-laki yang baru saja ia temui. Ah sudahlah.
            Semangatku semakin berkobar setelah pertemuanku dengan Vila dan cerita-ceritanya tentang anak-anak jalanan itu. Ia seakan menjadi spirit dalam langkah hebatku ini. Ya, aku ingin menulis lagi. Mencoba menjamah karyaku dengan kata-kata hebat.
Merevisi sebuah karya adalah hal yang sangat menyenangkan bagi seorang penulis, biasanya imajinasinya semakin berkembang pada setiap tahap perbaikan. Itu yang aku rasakan, dan entah mengapa aku yakin bahwa naskah ini akan bisa diterima oleh penerbit. Entah kapan, tapi aku akan mencoba dan menikmati prosesnya walaupun aku tak tahu hal apa yang akan menanti di depanku. It’s a climb.
***
Langit jingga menyapaku, burung-burung terbang berkelompok membentuk formasi yang indah menuju sarangnya, anak-anak muda yang sedang bercengkerama dengan kawannya, suara tawa anak-anak yang sedang bermain di atas jungkat-jungkit, dan suara ketinting yang lewat dan saling bersahutan. Aku tak pernah bosan menikmati suasana ini.
“Hai Yud. Sorry ya nunggu lama banget, sampe senja gini. Aku tadi kesini tapi ternyata nggak ada anak-anak, jadi aku pergi dengan Arief. Sekali lagi sorry banget ya Yud.” Vila memelas, sambil menelungkupkan tangannya.
“Iya, nggak apa La, kita Maghrib-an dulu yuk!” ajak Yudha sambil keduanya berjalan menuju sebuah Masjid yang letaknya tak jauh dari taman.
Mereka lalu menuju sebuah tempat popular yang biasa dimanfaatkan orang-orang berkumpul dengan keluarga atau teman-teman menikmati bintang ataupun makanan dan minuman yang tersedia di sana. Masyarakat Berau biasa menyebutnya Tepian. Letaknya di tepi sungai Segah, dan setiap sore hingga malam tiba, ramai orang-orang duduk di tepinya. Sebab itu dinamakan Tepian. Keramaian itu dimanfaatkan oleh sebagian pedagang untuk meraup keuntungan dengan berjualan aneka makanan dan minuman.
“Arief itu pacarmu La?” tanya Yudha sambil memalingkan wajahnya ke arah Vila memulai pembicaraan.
“Oh, dia tunangan aku Yud, kenapa?” jawab Vila sekenanya, sambil menyeruput segelas saraba.
“Oh…. “ jawab Yudha pendek dan memalingkan mukanya.
            Mereka menikmati indahnya bintang bertaburan malam itu berdua sambil menikmati minuman yang menghangatkan tubuh.
“Trus, kamu belum cerita tentang kamu ke aku, ceritain dong.” kata Vila sambil tersenyum manis.
“Aku? Aku pengangguran dan aku bukan mahasiswa.” jawab Yudha sekenanya.
“Kok gitu?” tanya Vila heran sambil mengernyitkan dahi.
“Aku terlalu sibuk nulis La, sampai-sampai aku lupa punya kampus.” jawabnya sambil tertawa ringan.
“Kamu penulis?” tanya Vila lagi.
“Iya, aku suka nulis, tapi setiap aku ajukan naskahku, pasti gagal. Padahal aku sudah mengorbankan waktuku dan semua yang aku punya, materi, kuliah, dan bahkan orang tuaku. Aku tidak pernah menceritakan kenyataan ini kepada mereka. Yang mereka tahu, aku kuliah dan menghabiskan waktuku hanya untuk mendekam di kos-kosan dan berjibaku dengan buku-buku.” jelas Yudha.
“Aku juga Yud. Dulu aku suka sekali nyanyi, aku bercita-cita menjadi seorang penyanyi, tapi orang tuaku tidak menyetujuinya. Sama sepertimu, aku mengorbankan semua waktuku dan orang-orang yang aku cintai. Waktuku hanya untuk menyanyi dan menyanyi. Aku masuk kuliah di jurusan yang sangat tidak aku sukai, jadi kuliahku terbengkalai dan akhirnya orang tuaku mengetahuinya. Mereka sangat marah. Mereka tidak pernah suka aku menyanyi. Setiap kali aku merasa kesepian, aku pergi ke taman itu dan bertemu dengan anak-anak hebat itu di taman, kami lalu berteman akrab. Keindahan musik yang mereka bawakan, membuatku ingin mengajari mereka bernyanyi. Mereka adalah anak-anak yang hebat. Merekalah yang bisa membuatku jadi lebih hidup. Aku tak pernah menyerah untuk membujuk kedua orang tuaku untuk mengijinkanku menyanyi. Aku terus mencoba dan terus berlatih. Lalu setahun kemudian, kedua orang tuaku menyetujui kemauanku dan aku memutuskan untuk melanjutkan kuliahku di jurusan musik. Di kampus itu, aku bertemu dengan Arief, dan ia selalu menjadi semangatku dalam berkarya.” jelas Vila sambil memandang lurus ke arah riak sungai di depannya.
            Yudha masih membisu dan memandang kosong ke depan. Tapi tiba-tiba ia teringat akan sosok ibunya. Ia merasa sangat berdosa, hanya ibunya yang ia miliki saat ini, dan ia tak ingin jika ibunya tidak sempat menyaksikan kesuksesannya.
“Yud, Arief SMS nih, katanya mau jemput. Aku kenalin sama dia mau nggak?” tanya Vila memecahkan lamunannya.
.”Oh iya, boleh. Aku juga mau pulang nih, harus nulis lagi La.” jawab Yudha sambil melihat jam tangannya.
“Semoga ceritaku tadi bisa jadi pelajaran buatmu ya. Entah kenapa aku mau cerita tentang masa lalu aku sama kamu, padahal kan kita belum kenal lama ya?” kata Vila sambil tersenyum.
Nice to know you dear Vila.” jawab Yudha sambil membungkukkan badannya dan melipat tangan sebelah kanannya menyilang ke arah dada kirinya.
            Mereka tertawa bersama. Ketika Arief datang, Vila mengajaknya untuk berkenalan dengan Yudha. Tetapi, mereka tidak sempat berkisah panjang lebar karena malam sudah cukup larut. Mereka memutuskan untuk segera pulang.
                                                                        ***
“Lima ratus ya mas?”
Loh ndak bisa toh, moso lemari butut koyo ngono kui dihargai lima ngatus? Ya ora enek sing gelem toh.” jawab lelaki paruh baya itu sambil menekan tombol-tombol dalam kalkulatornya dengan brutal.
Yudha sedang tawar-menawar dengan seorang pria paruh baya berlogat Jawa yang ia temui di pasar loak. Yudha ingin menjual lemari pakaiannya. Tak apa jika ia harus meletakkan pakaian-pakaiannya di dalam kardus. Ia benar-benar butuh uang untuk memperbaiki computer-nya. Ia malu jika setiap kali menulis ia harus meminjam pada kawannya.
Sudah beberapa hari ia selalu pergi ke rumah Andi meminjam computer untuk ia gunakan mengerjakan naskahnya. Awalnya ia setuju, sempat beberapa kali Yudha datang dan meminta bantuan. Tetapi, ia merasa Yudha sangat mengganggu dan tidak nyaman. Setiap kali Yudha datang, ibunya lebih dulu menemuinya. Siang itu, Yudha datang dengan peluh bercucuran sambil menggendong tasnya. Ia berjalan kaki menuju rumah Andi yang jaraknya lumayan jauh dari kosnya. Sepeda motor yang biasa menemaninya sedang tidak bersahabat kali ini. Senyumnya begitu sumringah ketika melihat Andi sedang duduk di teras sedang membaca buku dengan secangkir kopi. Tetapi, senyum itu tiba-tiba musnah ketika Andi segera masuk ke dalam rumahnya dan menutup pintu. Peristiwa itu sungguh sangat menyakitkannya, tetapi ia tetap berbesar hati.
***
            “Bagus sekali Nak! Saya suka ini, langsung teken kontrak sama Mba yang baju hijau tadi ya.” kata seorang wanita berkacamata tebal sambil membolak-balik halaman demi halaman bundelan kertas itu.
            “Ibu serius?” tanya Yudha tidak percaya.
            “Ya, langsung teken kontrak sama Mba di depan ya!” jawab wanita itu.
            Yudha keluar ruangan itu dengan mata yang berbinar-binar dan gembira. Ia sudah tak sabar untuk menemui adik-adik hebatnya di Taman Sanggam, Vila dan juga Arief. Sejak pertemuan sore itu, mereka benar-benar sudah seperti sebuah keluarga. Bahkan, penerbit itu adalah rekomendasi dari Arief. Ia ternyata adalah pembaca sekaligus komentator hebat.
“Akhirnya, ada penerbit khilaf yang mau menerima naskahku!” teriak Yudha sambil mengangkat kedua tangannya ke atas.
“Wah! Congratulation ya Yud.” kata Arief sambil menyambut sahabatnya itu dan memeluknya.
“Selamat ya Yud! Kamu hebat!” kata Vila sambil menyurungkan tangannya bersalaman.
            Yudha melihat ke arah anak-anak itu dan kedua sahabatnya yang selalu menyemangatinya di saat ia jatuh.
            Suara-suara di dalam kepalaku selalu berkata bahwa aku tak akan bisa meraihnya. Akan ada banyak rintangan di depannya, tapi aku tetap tegak berdiri. Ini bukan tentang seberapa cepat aku mencapai impianku. Tetapi tentang sebuah proses, perjuangan yang aku hadapi, kemungkinan-kemungkinan yang aku ambil, dan orang-orang di sekitarku.
Life is not only about your journey to the happiness. But also, the people who have met you during your journey.
Carpe diem!


*Cerita Pendek ini ditulis oleh Dhilayaumil dan Vita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar