... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ...

Kamis, 09 Mei 2013

[Cerpen] Mawar Putih



Sumber : google
Citra, gimana kabarmu? –Abi-
Isi pesan singkat yang ditujukan Abi ke ponselku. Cukup membuatku kaget. Pesan yang baru saja sampai ke ponselku itu dikirim setelah hampir dua tahun aku dan Abi tak pernah saling berkomunikasi.
Aku kembali teringat pada sosok gagah tapi sedikit egois itu. Namun, Abi sangat baik padaku. Sewaktu SMA, Abi berpacaran dengan sahabatku yang bernama Putri. Seorang gadis yang pandai dan cantik. Putri sering mewakili sekolah kami dalam berbagai perlombaan. Aku sendiri bukan tipe yang cerdas dan cantik seperti Putri. Tapi, nilaiku juga tidak apes-apes sekali. Sebelum kelulusan SMA, kudengar Abi dan Putri putus.
Sekarang aku dan Abi sudah menginjak umur 24 tahun. Terakhir aku dan dia berkomunikasi—sekitar dua tahun lalu—adalah saat reuni SMA kami. Waktu itu kami tak banyak bicara. Hanya say hello dan bertukar nomor ponsel. Hanya itu.
Kabarku baik, Abi. Bagaimana denganmu?
Aku baru saja mengirimkan balasan pesan ke nomornya dengan keheranan yang masih menggantung. Aku kira dia sudah lupa denganku, ternyata dia masih menyimpan nomor ponselku.
Ponselku berdering tanda sms masuk. Balasan dari Abi. Dia mengajakku ketemuan di salah satu kafe di kota ini. Segera kuiyakan ajakannya itu.
**
Di luar sedang gerimis. Lagu Fix You dari band Coldplay mengalun lembut dari pengeras suara di dalam Kafe KOPJA (Kopi Jalanan). Aroma kopi mendominasi salah satu kafe di kota Malang ini. Perpaduan menarik. Gerimis, aroma kopi, dan musik tenang.
Aku dan Abi sama-sama memesan kopi lampung, kopi favorit kami. Aromanya kuat dan menenangkan. Aku suka menghirup aroma kopi. Semacam terapi untuk pikiran juga, bagiku.
“Kamu sekarang kerja di mana?” tanyaku membuka percakapan.
“Alhamdulillah, sekarang aku mengurusi sebuah kebun milik perusahaan swasta di kampungku. Yah, semacam tukang kebun,” jawab Abi sambil terkekeh.
Aku kaget mendengar jawabannya. Bagaimana mungkin Abi yang cerdas—saingan Putri dalam hal prestasi akademik—hanya menjadi tukang kebun? Bahkan aku yang dulunya pas-pasan sekarang bisa menjadi seorang general manager. Padahal setahuku Abi adalah seorang sarjana pertanian. Takdir memang tetaplah menjadi sebuah rahasia. Aku tersenyum kecil untuk menutupi kekagetanku.
“Tukang kebun yang kumaksud juga bukan tukang kebun yang biasa mengurusi kebun-kebun kecil, Cit. Kebunnya luas dan gajiku lumayan cukup untuk membiayai hidupku di sini.” Abi mungkin menangkap rona kekagetanku.
“Tapi bukankah kamu sarjana pertanian? Seharusnya bisa mendapat pekerjaan yang lebih layak.”
Abi tersenyum tipis sambil menatap lekat kedua bola mataku. “Tapi aku lebih suka merawat tanaman di sini.”
Semoga Abi tak menangkap bunyi detak jantungku atau semoga wajahku sekarang tak berubah menjadi merah. Aku merasa aneh dengan perasaanku ini. Aku bingung dengan seorang jawara kelas yang sekarang seorang sarjana, rela mengurusi kebun di kampung . yah, meskipun gaji yang dia dapatkan cukup, tapi tetap saja bagiku pekerjaan itu tidak pantas untuk dia.
Abi kemudia menceritakan tentang pekerjaannya. Dia merawat tanaman-tanaman milik perusahaan tersebut dengan suka cita. Katanya, dari dulu dia senang merawat tanaman-tanaman. Baginya, tanaman itu seperti manusia. Mesti dirawat dengan penuh kasih sayang agar tumbuhnya tidak rusak atau gagal.
Aku masih menyimak kisahnya ketika ponselku tiba-tiba berbunyi. Ternyata ada hal mendadak yang harus kuurus sekarang. Aku pun segera pamit dan berjanji untuk bertemu kembali dengannya beberapa hari lagi. Abi mengiyakan.
**

Aku melihat ke belakang rumahku. Ada lahan kosong yang cukup luas. Dulu aku berencana membuat taman bunga di sebagian lahan yang luas ini, untuk itulah ada satu gazebo bambu yang berdiri di tengah-tengah lahan itu. Aku biasa membaca atau mengetik di gazebo itu. Sayangnya keinginan membuat taman itu belum terealisasikan.
Tiba-tiba sosok Abi melintas di benakku. Mungkin tanah ini bisa dimanfaatkan oleh Abi. Aku bisa mendapatkan penghasilan tambahan juga dari sini. Dari pada lahan seluas ini aku anggurkan. Aku segera memutar otak.
Aku menghubungi rekan-rekanku para pengusaha muda, teman-teman bisnis, bahkan sahabat-sahabatku yang mengerti soal tanaman yang cocok ditanam dan dapat menghasilkan untung. Aku tidak begitu suka dan paham dengan tanaman, sebab aku tak pandai merawatnya.
**
Tepat seminggu kemudian aku bertemu lagi dengan Abi di tempat yang sama seperti sebelumnya. Kali ini hari cerah. Sebentar lagi matahari akan tenggelam di peraduannya. Aku mulai bercerita ke Abi tentang pekerjaanku sebagai pengusaha. Abi mungkin tahu persis, sebab dari SMA aku sudah menunjukkan ketertarikan pada dunia usaha.
“Bi, sejak kapan kamu suka tanaman?” Aku mulai memancing pembicaraan.
“Sejak SMA. Hanya saja banyak yang tidak tahu dengan hobiku merawat tanaman itu.”
Aku mengangguk kecil. “Bi, di belakang rumah ada lahan kosong cukup luas. Hanya terisi gazebo. Kamu bisa menyulap lahan kosong itu, enggak, supaya bisa jadi kebun atau taman bunga? Aku rasa bisnis tanaman bisa menjanjikan, deh.” Aku mulai memasukkan jiwa-jiwa pengusaha pada lelaki di depanku.
Abi terlihat berpikir. “Hmm … asyik juga, sih, punya usaha sendiri. Selama ini aku mengurusi kebun orang. Sepertinya lebih enak mengurusi kebun sendiri.”
“Nah, deal?” Aku menyodorkan telapak tangan kananku. Berniat menyalaminya.
Abi mengangguk. Dia menyalamiku balik. “Oke, bisa. Kapan kita mulai?”
“Secepatnya!” kataku mantap.
**
Aku dan Abi sedang duduk menanti senja di gazebo belakang rumahku. Ada dua gelas kopi terhidang di depan kami. Selama beberapa hari ini kami sama-sama melakukan survey untuk usaha yang akan segera kami rintis bersama.
“Cit, kamu suka bunga?” tanya Abi pelan.
Aku mengangguk. “Iya, aku suka bunga, tapi tak pandai merawatnya—” Aku tertawa kecil. “Aku suka mawar. Apalagi mawar putih.”
Abi mengelus-elus dagunya. “Baiklah. Kita akan membuat lahan ini penuh dengan berbagai jenis bunga, terutama mawar putih!” serunya mantap dengan mata berbinar.
**
Begitulah hingga akhirnya aku dan Abi menjadi mitra kerja. Aku diajari cara merawat tanaman. Aku tambah mencintai mawar putih yang ditanam Abi dekat gazebo. Kini, di lahan luas ini tumbuh bermacam-macam bunga. Abi sangat telaten mengurusnya. Lelaki itu pun sudah keluar dari pekerjaannya mengurus kebun orang lain dan kini fokus dengan usaha yang sudah dirintis enam bulan ini.
Sebab niat tanpa diimbangi usaha sama sia-sianya dengan membuang garam di lautan.
-Selesai-

Cerita pendek ini ditulis oleh Irvan Fauzi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar