Isi
pesan singkat yang ditujukan Abi ke ponselku. Cukup membuatku kaget. Pesan yang
baru saja sampai ke ponselku itu dikirim setelah hampir dua tahun aku dan Abi
tak pernah saling berkomunikasi.
Aku
kembali teringat pada sosok gagah tapi sedikit egois itu. Namun, Abi sangat
baik padaku. Sewaktu SMA, Abi berpacaran dengan sahabatku yang bernama Putri.
Seorang gadis yang pandai dan cantik. Putri sering mewakili sekolah kami dalam
berbagai perlombaan. Aku sendiri bukan tipe yang cerdas dan cantik seperti
Putri. Tapi, nilaiku juga tidak apes-apes
sekali. Sebelum kelulusan SMA, kudengar Abi dan Putri putus.
Sekarang
aku dan Abi sudah menginjak umur 24 tahun. Terakhir aku dan dia
berkomunikasi—sekitar dua tahun lalu—adalah saat reuni SMA kami. Waktu itu kami
tak banyak bicara. Hanya say hello dan
bertukar nomor ponsel. Hanya itu.
Kabarku baik, Abi.
Bagaimana denganmu?
Aku
baru saja mengirimkan balasan pesan ke nomornya dengan keheranan yang masih
menggantung. Aku kira dia sudah lupa denganku, ternyata dia masih menyimpan
nomor ponselku.
Ponselku
berdering tanda sms masuk. Balasan dari Abi. Dia mengajakku ketemuan di salah
satu kafe di kota ini. Segera
kuiyakan ajakannya itu.
**
Di
luar sedang gerimis. Lagu Fix You dari
band Coldplay mengalun lembut dari
pengeras suara di dalam Kafe KOPJA (Kopi Jalanan). Aroma kopi mendominasi salah
satu kafe di kota Malang ini. Perpaduan menarik. Gerimis, aroma kopi, dan musik
tenang.
Aku
dan Abi sama-sama memesan kopi lampung, kopi favorit kami. Aromanya kuat dan
menenangkan. Aku suka menghirup aroma kopi. Semacam terapi untuk pikiran juga,
bagiku.
“Kamu
sekarang kerja di mana?” tanyaku membuka percakapan.
“Alhamdulillah,
sekarang aku mengurusi sebuah kebun milik perusahaan swasta di kampungku. Yah,
semacam tukang kebun,” jawab Abi sambil terkekeh.
Aku
kaget mendengar jawabannya. Bagaimana mungkin Abi yang cerdas—saingan Putri
dalam hal prestasi akademik—hanya menjadi tukang kebun? Bahkan aku yang dulunya
pas-pasan sekarang bisa menjadi seorang general
manager. Padahal setahuku Abi adalah seorang sarjana pertanian. Takdir
memang tetaplah menjadi sebuah rahasia. Aku tersenyum kecil untuk menutupi
kekagetanku.
“Tukang
kebun yang kumaksud juga bukan tukang kebun yang biasa mengurusi kebun-kebun kecil,
Cit. Kebunnya luas dan gajiku lumayan cukup untuk membiayai hidupku di sini.”
Abi mungkin menangkap rona kekagetanku.
“Tapi
bukankah kamu sarjana pertanian? Seharusnya bisa mendapat pekerjaan yang lebih
layak.”
Abi
tersenyum tipis sambil menatap lekat kedua bola mataku. “Tapi aku lebih suka
merawat tanaman di sini.”
Semoga
Abi tak menangkap bunyi detak jantungku atau semoga wajahku sekarang tak
berubah menjadi merah. Aku merasa aneh dengan perasaanku ini. Aku bingung
dengan seorang jawara kelas yang sekarang seorang sarjana, rela mengurusi kebun
di kampung . yah, meskipun gaji yang dia dapatkan cukup, tapi tetap saja bagiku
pekerjaan itu tidak pantas untuk dia.
Abi
kemudia menceritakan tentang pekerjaannya. Dia merawat tanaman-tanaman milik
perusahaan tersebut dengan suka cita. Katanya, dari dulu dia senang merawat
tanaman-tanaman. Baginya, tanaman itu seperti manusia. Mesti dirawat dengan
penuh kasih sayang agar tumbuhnya tidak rusak atau gagal.
Aku
masih menyimak kisahnya ketika ponselku tiba-tiba berbunyi. Ternyata ada hal
mendadak yang harus kuurus sekarang. Aku pun segera pamit dan berjanji untuk
bertemu kembali dengannya beberapa hari lagi. Abi mengiyakan.
**
Aku
melihat ke belakang rumahku. Ada lahan kosong yang cukup luas. Dulu aku
berencana membuat taman bunga di sebagian lahan yang luas ini, untuk itulah ada
satu gazebo bambu yang berdiri di tengah-tengah lahan itu. Aku biasa membaca
atau mengetik di gazebo itu. Sayangnya keinginan membuat taman itu belum
terealisasikan.
Tiba-tiba
sosok Abi melintas di benakku. Mungkin tanah ini bisa dimanfaatkan oleh Abi. Aku
bisa mendapatkan penghasilan tambahan juga dari sini. Dari pada lahan seluas
ini aku anggurkan. Aku segera memutar otak.
Aku
menghubungi rekan-rekanku para pengusaha muda, teman-teman bisnis, bahkan
sahabat-sahabatku yang mengerti soal tanaman yang cocok ditanam dan dapat menghasilkan
untung. Aku tidak begitu suka dan paham dengan tanaman, sebab aku tak pandai
merawatnya.
**
Tepat
seminggu kemudian aku bertemu lagi dengan Abi di tempat yang sama seperti
sebelumnya. Kali ini hari cerah. Sebentar lagi matahari akan tenggelam di
peraduannya. Aku mulai bercerita ke Abi tentang pekerjaanku sebagai pengusaha.
Abi mungkin tahu persis, sebab dari SMA aku sudah menunjukkan ketertarikan pada
dunia usaha.
“Bi,
sejak kapan kamu suka tanaman?” Aku mulai memancing pembicaraan.
“Sejak
SMA. Hanya saja banyak yang tidak tahu dengan hobiku merawat tanaman itu.”
Aku
mengangguk kecil. “Bi, di belakang rumah ada lahan kosong cukup luas. Hanya
terisi gazebo. Kamu bisa menyulap lahan kosong itu, enggak, supaya bisa jadi
kebun atau taman bunga? Aku rasa bisnis tanaman bisa menjanjikan, deh.” Aku
mulai memasukkan jiwa-jiwa pengusaha pada lelaki di depanku.
Abi
terlihat berpikir. “Hmm … asyik juga, sih, punya usaha sendiri. Selama ini aku
mengurusi kebun orang. Sepertinya lebih enak mengurusi kebun sendiri.”
“Nah,
deal?” Aku menyodorkan telapak tangan
kananku. Berniat menyalaminya.
Abi
mengangguk. Dia menyalamiku balik. “Oke, bisa. Kapan kita mulai?”
“Secepatnya!”
kataku mantap.
**
Aku
dan Abi sedang duduk menanti senja di gazebo belakang rumahku. Ada dua gelas kopi
terhidang di depan kami. Selama beberapa hari ini kami sama-sama melakukan
survey untuk usaha yang akan segera kami rintis bersama.
“Cit,
kamu suka bunga?” tanya Abi pelan.
Aku
mengangguk. “Iya, aku suka bunga, tapi tak pandai merawatnya—” Aku tertawa
kecil. “Aku suka mawar. Apalagi mawar putih.”
Abi
mengelus-elus dagunya. “Baiklah. Kita akan membuat lahan ini penuh dengan
berbagai jenis bunga, terutama mawar putih!” serunya mantap dengan mata
berbinar.
**
Begitulah
hingga akhirnya aku dan Abi menjadi mitra kerja. Aku diajari cara merawat
tanaman. Aku tambah mencintai mawar putih yang ditanam Abi dekat gazebo. Kini,
di lahan luas ini tumbuh bermacam-macam bunga. Abi sangat telaten mengurusnya.
Lelaki itu pun sudah keluar dari pekerjaannya mengurus kebun orang lain dan
kini fokus dengan usaha yang sudah dirintis enam bulan ini.
Sebab niat tanpa
diimbangi usaha sama sia-sianya dengan membuang garam di lautan.
-Selesai-
Cerita pendek ini
ditulis oleh Irvan Fauzi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar