Sumber : Google |
Senja
berwarna jingga bercahaya terang di atas air. Aku melihatnya dengan penuh kagum
dan haru biru. Pemandangan indah seperti ini jarang kunikmati, apalagi saat
bersama dengannya, Rani, temanku sejak kami di Taman Kanak-kanak. Dia tinggal
di wilayah yang tidak jauh dariku, kami selalu satu sekolah hingga sekarang, di
masa kuliah semester lima.
“Anton!”
suara yang lembut memanggil. Suara seorang wanita. Aku menoleh. Sosok gadis bertubuh
ramping, dengan rambut panjang lurus dan hitam legam menghampiriku dengan
senyum lebar manisnya. Namanya Rani Ernasari, teman kecilku. Manis, cantik,
ramah dan pintar.
“Ngapain
sih? Dipanggil-panggil kok enggakk nyahut sih?” Rani ngedumel. Dia duduk di sampingku.
“Lagi
lihat langit di senja hari. Lihat deh. Cantik ya.” Jawabku, memandangi langit
senja bercahaya jingga di atas air yang cantik itu dengan kagum.
“Yah,
aku kalah sama langit senjanya.” Rani kembali ngedumel. Aku terkekeh geli.
“Ada
apa sih? Kok jadi ngomel-ngomel sendiri sih?”
Rani
mengulum bibirnya, “Hmmm…”
Aku
tahu, Rani pasti sedang bete karena
sesuatu. Ngomel-ngomel tanpa sebab, itu tanda dia sedang bete atau kesal. Tapi Rani diam selama beberapa detik.
“Hayo
kenapa sih?”
“Tugas
kuliahku nih.” Rani menghela nafas dengan berat. “Pak Khae ngasih tugas buat
proposal wirausaha. Aku kan enggakk bisa, Ton.”
“Kenapa
enggakk bisa?”
“Ya,
kan enggakk pernah wirausaha. Terus tugasnya kelompok, dan kita belum nemuin ide
yang pas untuk kita nih. Jadinya aku bĂȘte, karena yang lain juga belum ngasih
ide.” Rani menjelaskan, dengan ekspresi cemberutnya.
“Nah,
idemu apa?”
Rani
tersentak kaget, lalu dia diam selama beberapa detik dan memutarkan kedua bola
matanya yang indah ke kanan dan ke kiri.
“Usaha
jaket. Gimana? Tapi kan banyak saingan. Iya kan?”
“Nah,
tinggal kamu buat perbedaannya.”
“Misalnya?”
tanya Rani padaku.
“Ya,
desainnya. Atau bahannya. Bisa kamu buat secara spesifik dan khusus yang belum
ada atau yang belum banyak dijual. Iya kan?” aku memberikan ide. Rani
menganggukkan kepalanya.
“Iya.
Bener juga kamu.” Lalu dia tersenyum girang. “Terus kelompokmu buat proposal
apa, Ton?”
“Kedai
Kopi.” Aku memberinya cengiran lebar.
“Kedainya
diapain?”
“Kedai
Kopi kecil dengan interior penuh dengan kayu yang diplitur, ada foto, gambar
tentang kopi dan permainan yang bisa dimainkan sama pelanggan. Dan aku mau ajak
beberapa kedai kopi yang sudah terkenal untuk kerja sama. Seperti jadi pemasok
kopi-kopinya.” Jelasku dengan antusias.
“Emangnya
kedai kopi yang udah terkenal itu mau bantuin?”
“Enggakk
ada yang enggak mungkin.” Aku menyentuh pundak Rani, memberinya semangat. “Kalau
mau usaha pasti bisa kok. Cari yang mau. Oke?” Rani tersenyum merekah dengan
cantik.
“Kamu
itu selalu yakin ya.”
“Yep.
Haruslah.” Aku merapikan rambut pendekku dan bergaya sok keren di depan Rani
lalu memberikannya cengiran lebar. “Kalau enggak yakin, gimana wirausahanya
lancar? Jadi, keyakinan itu perlu. Wajib malahan.”
Aku
dan Rani kembali menikmati pemandangan langit senja yang cantik di depan kami.
Duduk santai di pinggiran pantai. Aku dan Rani sedang menghabiskan seharian
penuh dengan bersantai dan jalan-jalan ke pantai di hari libur kuliah.
“Eh,
makan es cendol yuk. Mau enggak, Ton?” ajak Rani. Kedua matanya memandangi es
cendol dengan penuh kekaguman. Sepertinya Rani sangat ingin es cendol.
“Boleh.
Yuk.”
***
Di
semester ini pula diriku semakin mendekat kepada Rani, kami ada beberapa mata
kuliah yang sekelas. Walaupun kami tidak berada di mata kuliah atau kelas yang
sama, aku dan Rani selalu berusaha untuk bertemu walau hanya untuk makan siang
atau sekedar janjian untuk pulang bersama.
Di
luar kebiasaan kami berangkat dan pulang secara berbarengan. Aku sudah sangat
dekat dengan ibu Rani, sudah suatu kebiasaan pula kalau aku main ke rumah Rani sampai
malam. Malam ini sangat romantis ditemani cahaya rembulan dan gemerlap bintang yang
terlihat dari dalam rumah Rani. Lewat jendela ruang tamunya, angin malam mulai
masuk lewat pintu rumah yang sengaja aku buka, dia pun menggodaku untuk memakai
kembali jaketku, kucoba menghangatkan badan dengan ngobrol bersama Rani. Obrolan
kecil yang bisa membuat kami tertawa lebar, selebar tawa anak-anak kecil ketika
melihat tayangan Spongebob, malam ini
begitu indah sampai aku tidak mau meninggalkannya lagi.
“Jadi
kamu salah takaran kopinya tadi?” Rani terkejut, saat aku menceritakan
peristiwa tadi siang. “Terus gimana rasa kopinya?”
“Rasa
kopinya sih tetap sama. Pahit dan asem. Masalahnya kopinya jadi terlalu cair.
Kan harusnya lebih pekat dan kental.” Sepertinya rasa malu siang tadi masih
tersisa saat aku menceritakannya ke Rani. Rani jadi tertawa.
“Terus
pelanggannya gimana?”
“Ya
aku dikritik sama pelanggannya. Soalnya pelanggan tahu banget kopi aslinya
gimana., jadi aku buat lagi.” jawabku, masih malu sendiri.
“Dan
kamu minum sendiri dong itu kopi yang salah takaran?”
“Harus.
Tanggung jawab itu namanya.”
Dan
Rani terkekeh geli. Bagiku, minum kopi yang salah takaran bukan masalah, tetapi
yang bikin malu ya dikritik oleh pelanggan. Padahal jelas aku tahu bagaimana
takaran dan aturan membuat kopinya.
“Lucu
juga ya, kamu pakai salah takaran buat pelanggan lagi. Pasti malu banget tuh.”
Rani kembali tertawa geli. “Fokus dong makanya. Fokus.”
“Aku
fokus kok.” Aku masih memperhatikan Rani yang tertawa geli karena peristiwa
siang tadi. Tawa gelinya sedikit menghiburku, atas rasa malu yang kurasakan.
“Kamu
ini, Ran, kok malah ngetawain aku sih.” gerutuku.
“Lucu,
Ton. Kamu kan orangnya selalu tepat dan fokus. Kalau ngopi di sini juga kamu
cerewet soal takaran kopi dan air panasnya. Jadi aku kebayang gimana malumu
yang dikritik sama pelanggan itu. Hehehe.” Rani memberikan cengiran lebarnya.
“Nah,
soal itu kamu emang deh yang paling tahu.” Aku menutup wajahku dengan bantal.
Bukan karena malu, tapi karena senang mendapati Rani begitu tahu bagaimana
diriku yang paling tidak suka melakukan kesalahan setiap membuat kopi. Ada rasa
senang dan gembira, lalu berbunga-bunga dalam diriku.
“Tenang
saja, semoga ini yang pertama dan terakhir kalinya aku salah takaran. Besok-besok
enggak akan deh. Harus dihapalin di luar kepala dan fokus.” ucapku, dengan
mantap. Aku meyakinkan Rani. Rani mengacungkan jempol kanannya.
“Udah
sana makan dulu.” ucap Rani, setelah berhenti tertawa.
Aku
meletakkan bantal di sofa, “Oh ya si Mama udah masak ya. Makan ah, laper nih.”
“Ya
sudah makanlah. Baru pulang. Oke?”
“Oke,
Ibu Rani.” Aku memberikan kode jempol berdiri ke Rani.
***
Aku
pun pulang dengan keadaan masih memendam tawa dalam diriku karena peristiwa
tadi siang dan karena tawa Rani yang begitu geli. Sampai di rumah aku langsung
menemui ibu di istananya, biasanya kami akan bercerita bersama saling
menginspirasi. Dan aku selalu menjadi gelas kosong ketika berbicara dengan ibu,
beliau adalah poci raksasa yang tak pernah kehabisan isi. Sebanyak apapun gelas
kosong yang aku berikan, beliau selalu mengisinya dengan cukup, dan tak pernah
kelebihan sama sekali.
“Udah
pulang, Nak?” sapa Ibu, begitu aku mengetuk pintu dan masuk ke istananya. Ibu
menyapaku dengan senyum lembutnya. Wajah tua yang masih cantik itu tidak pernah
pudar tersenyum.
“Iya,
baru saja. Ibu belum tidur?”
“Belum.”
Lalu ibu memberikan tanda padaku untuk duduk di sampingnya. “Gimana hari ini?”
Aku
memberikan senyuman lebar. “Hari ini ada peristiwa lucu Bu.”
“Peristiwa
lucu? Apa itu, Nak?” Ibu mengelus lembut puncak kepalaku.
“Aku
tadi salah buat kopi untuk pelanggan, Bu.” Lalu aku memberikan cengiran kepada
Ibu. “Enggak tahu kenapa, takarannya salah. Aku meleng mungkin.”
“Terus
kamu dimarahin sama pelanggan?”
“Iya,
Bu. Tapi enggak dimarahin yang sampai buat aku malu di depan umum sih. Ditegur
secara baik-baik kok.” jawabku, dengan sikap biasa saja.
“Oh.
Baguslah. Ibu kira sampai kamu dimarah-marahin gitu. Terus lucunya di mana,
Nak?” aku melihat ekspresi ibu yang bingung. Aku jadi terkekeh sendiri.
“Tadi
mampir ke rumah Rani, nah di situ lucunya, Bu. Si Rani malah ngetawain aku.”
Aku jadi teringat tawa Rani dan tertawa sendirian. Lalu Ibu juga ikut tertawa.
“Jadi
yang bikin ceritamu lucu ya kamu diketawain sama si Rani tho?” Ibu sambil mengelus lembut rambutku. “Nak, baguslah kalau itu
bisa membuatmu senang.”
“Lha
aku senang, Bu. Habisnya, si Rani ketawanya geli, Bu. Padahal waktu di kafe aku
enggak malu. Tapi diketawain sama Rani aku jadi malu.” Aku menutup wajahku
dengan kedua tanganku. Menggelengkan kepalaku. Rasa malunya masih terasa,
bahkan di depan Ibu.
Lalu
Ibu tertawa geli, “Kamu ini, Nak, sampai segitu senangnya yah. Kamu malu ya
sama Rani? Tapi enggak apa-apa, itu tandanya Rani tahu kalau kamu itu enggak mungkin
bisa ngelakuin kesalahan.”
“Iya,
Bu. Aku juga enggak tahu kenapa itu pakai salah takaran segala. He he he.” Aku
masih merasa malu. Ditambah dengan ucapan Ibu. Ada rasa senang dan
berbunga-bunga. Ah lupakan masalah waktu, obrolan dengan ibu selalu membuatku
lupa waktu, dan ibulah yang selalu mengingatkanku akan jam tidurku.
“Kenapa
tak kau katakan pada Rani tentang perasaanmu, Nak?” tiba-tiba Ibu berucap
demikian, membuatku menengok dengan kaget. Tapi Ibu memberikan senyuman lembut
tuanya itu.
“Ibu
tahu?”
“Bagaimana
Ibu tidak tahu, senyummu, matamu, kata-katamu, adalah tentang Rani. Matamu
lurus dan terarah padanya. Selalu bercahaya terang jika namanya disebut. Dan
suaramu, lembut dan pelan memanggil namanya.” Ibu masih mengelus lembut puncak
kepalaku. Aku hanya menikmati situasi ini, saat Ibu berkata apa yang
diketahuinya tanpa aku ucapkan.
“Seandainya
aku bisa mengatakannya, Bu.”
“Mengapa
tidak bisa?”
“Karena
dia adalah sahabat tercinta. Teman kecil yang mengenalku lebih baik selain Ibu,
dan sosok yang kucintai sekaligus. Tidak ada yang ingin kurusak. Memilikinya mungkin
anugerah, tapi mencintainya seperti ini adalah saat yang tidak bisa tergantikan.
Momen yang tidak terlupakan dan perasaan yang tidak bisa diucapkan namun tersimpan
dengan baik dalam hatiku.” ucapku, jujur dan mantap.
Ibu
masih sibuk mengelus lembut rambutku, “Kalau begitu raihlah dia dalam doamu.
Sebutkan namanya. Ucapkan namanya dan doakan dia. Senantiasa, dia akan menjadi
milikmu. Karena cinta anugerah Ilahi, maka biarlah Allah yang menuntunnya.”
“Selalu,
Bu. Bahkan kebahagiaannya juga kudoakan, jika itu tidak bersamaku.”
Ibu
menyanyikan alunan lagu jawa yang lembut dan merdu. Lagu pengantar tidur yang
walau mungkin aku tidak tahu apa artinya.
“Sudah
sana kamu tidur. Kasihan pulang malam, pasti capek kan.” Ibu sedikit memijat
bahuku. Sambil mengelus bahuku juga. Sentuhan hangat Ibu memang lembut sekali.
“Iya,
Bu. Nanti kalau Ibu sudah selesai memijat bahuku.” Dan aku terlena dengan
pijatan Ibu yang menyenangkan dan menenangkan. Rasa capek pun lenyap.
***
Pagi
sekali aku bangunnya hari ini, ternyata matahari udah mengintipku dari jendela
yang tirainya sudah dibuka oleh Ibu.
“Ibu..
ibu di mana dikau,” pencarian pertamaku di hari ini, kulihat catatan kecil di
depan televisi kalau ibu pulang ke rumah kakek, di Bogor, pasti beberapa malam
aku akan kesepian di rumah karena tidak adanya seorang ratu istana. Sarapan
ternyata sudah disiapkan oleh koki nomor satu di istana ini, dan sudah masuk ke
dalam perutku semuanya.
Kembali
kujemput Rani dari rumahnya, berharap kebahagiaan kemarin malam kembali terjadi
di hari ini, kuliah hari ini akan terasa singkat selain pelajarannya yang
paling enak dan waktunya yang paling singkat, juga dosennya yang begitu dekat
dengan kami.
Kuliah
selesai, kantin sudah melambai-lambai memanggil kami dari kejauhan, perutku pun
sudah mulai minta diisi lagi. Apalagi nafsu makanku yang sangat besar akhir-akhir
ini, entah karena apa. Namun di sini aku mulai merasa masalah dalam tubuhku
semakin membesar. Masalah yang selalu kusembunyikan dari siapapun, bahkan ke
ibuku, dan sahabat tercintaku Rani. Entah salah makan makan atau apa, tubuhku
semakin lemas dan dada mulai terasa sesak. Namun tetap aku pakai topeng ketampanan
untuk menutupi itu semua dari Rani.
“Anton,
kamu enggak apa-apa kan?” wajah Rani terlihat panik. Aku sedang bersiap melahap
mie ayam lalu menoleh dan melihat ekspresinya itu.
“Iya.
Emang kenapa, Ran?”
Kedua
mata Rani yang indah masih memandangiku tajam dan lurus, “Kamu kok pucat banget
ya. Serius kamu baik-baik aja?”
Sebenarnya
aku merasa lelah dan pusing. Belakangan ini aku sering mengalami sakit di
bagian tulang, persendian, dan juga kesulitan bernafas. Aku belum sempat
memeriksa ke dokter, karena awalnya kukira aku hanya demam biasa saja, tetapi
ini sudah seminggu berlalu.
“Iya
aku baik-baik saja kok, Ran. Kenapa sih?” Aku memasang ekspresi biasa-biasa
saja. Rani masih memperhatikanku.
“Pucat
banget. Kamu kurang istirahat sih. Kalau kerja di kafe udah selesai langsung
pulang aja ya.” Rani memberikan nasihat. Aku menganggukkan kepalaku sambil
mengunyah mie ayam.
“Uhuk..
uhuk…” batukku, di tengah proses mengunyah. Wajah Rani langsung panik dan
berhenti makan. Rani langsung menepuk-nepuk punggungku.
“Enggak
apa-apa kan, Ton?”
“Iya
enggak apa-apa kok. Cuma keselek aja.” dalihku sambil meneguk air mineral.
“Masa
sih? Batuknya serius banget itu. Kamu yakin lagi enggak sakit?”
Lalu
aku memandangi Rani, “Iya aku baik-baik saja, Rani. Jangan khawatir gitu sih.
Yuk, lanjut makan. Abis itu kita pulang.” Lalu dengan sikap santai aku melahap
mie ayamku lagi. Aku melirik Rani sekilas, dia masih memperhatikanku dengan
seksama.
Selesai
makan siang di kantin, karena kami tidak ada kuliah lagi, maka aku dan Rani
langsung bersiap untuk pulang. Tetapi aku biasanya selalu lanjut kerja di kedai
kopi, tapi karena aku sudah berencana untuk periksa ke dokter, maka sebelum aku
kerja aku mengantar Rani ke rumahnya dan baru ke rumah sakit.
Aku
langsung jalan ke dokter langgananku untuk periksa kesehatanku, seingatku dulu
aku menderita leukemia ringan, bayangan yang selalu menemaniku adalah penyakit
leukemia menjadi semakin berat dan aku harus segera operasi. Hal ini kurahasiakan
karena aku tidak mau membuat keluargaku cemas, tetapi sepertinya aku memang
harus bilang ke ibu.
***
Aku
masih tidur-tiduran di kasur sambil memikirkan hasil pemeriksaan tadi siang.
Pikiranku bercabang. Kuliah, pekerjaan sambilan di kedai kopi, dan penyakitku.
Hasil pemeriksaan mengatakan penyakit leukemiaku sudah masuk stadium tiga dan lebih
baik segera dioperasi sebelum semakin berbahaya. Sedangkan aku masih memikirkan
biaya rumah sakit dan operasi.
Terlintas olehku, untuk menyatakan
cinta ke Rani. Mengatakan apa yang aku rasakan terhadap dirinya. Bukan hanya
sebagai sahabat dan teman di masa kecil, tetapi Rani adalah sosok istimewa di
dalam hati. Mewarnai duniaku dengan tawa candanya, menyirami hatiku dengan
lembut perhatiannya, dan membuat jantungku bertalu-talu dengan hadirnya di
sisiku.
Keraguan menyelimuti diriku.
Memenuhi pikiranku dengan bimbang dan pikiran, akankah Rani menerima isi
hatiku? Akankah semuanya baik-baik saja jika sudah kukatakan kepadanya?
Ataukah, lebih baik kusimpan semua ini sendirian?
“Anton!” teriak Rani, memanggilku
dengan kasar. Wajahnya terlihat kesal.
“Iya?”
“Kamu tuh ya, suka banget bengong
sambil lihatin aku. Kenapa sih?” suara merdu Rani berubah sewot dan cerewet.
“Eh, masa sih?”
Rani memperhatikanku. Kedua mata
kami bertemu. Lalu kedua mata indahnya terbelalak, seakan dia baru saja melihat
sesuatu. Aku memang sedang memandanginya dengan kagum dan penuh cinta. Oh,
tidak! Rani melihat pandangan hangat dan penuh cintaku ini.
“Kok kamu lihatin aku begitu sih?”
suara Rani berubah memelan. Sikapnya mulai canggung.
“Kan udah biasa aku lihatin kamu
seperti ini, tho?” aku berdalih.
“Enggak, ada yang beda.”
Aku diam dan memandang lurus kepada
Rani.
“Ada sesuatu yang ingin aku bilang
ke kamu, Ran.” ucapku, akhirnya. Kami duduk berhadapan di kursi taman dekat
gedung fakultas kami. Di bawah rindangnya pohon, dedaunan hijau yang
berjatuhan, udara sejuk yang sepoi, aku rasa ini saat yang tepat untuk
mengatakannya.
“Ada apa ya, Ton?”
“Hmm,” seruku bergumam pelan, “Ada
sesuatu yang selama ini jauh kurasakan. Ada sesuatu yang hinggap begitu dalam
dan memenuhi relung yang kurasakan. Sesuatu yang hangat, lembut dan berwarna.
Sesuatu itu, hadir dengan sendirinya tanpa diundang. Bahkan tidak perlu sebuah
pintu atau jendela. Dia masuk seperti hembusan angin yang menyusup lewat sela-sela
relung hati ini. Sesuatu yang kau anggap suatu perasaan. Perasaan terdalam – “
“Anton lagi bahas apaan sih?” Rani
memotong ucapanku, dia mengalihkan wajahnya ke arah lain. Rani sedang
menghindari pembicaraan ini, ya itu yang kulihat.
“Aku sedang membahas hati ini. Kamu
harus tahu, karena hati ini terisi penuh dengan rasa yang tercipta bersamamu,
Rani.” jawabku dengan begitu lembut. Rani kembali memandangiku.
Pandangannya kasar. Tidak selembut
biasanya. Matanya membesar dan sinis. Sesuatu membuatnya tidak suka, ya ucapanku
tadi.
“Anton, kamu – “
“Ada rasa di dalam hatiku untukmu,
Ran. Entah sejak kapan. Tapi… rasa itu ada dan selalu bertambah dan berkembang.
Semua karena kamu.” jawabku, memotong pembicaraan Rani.
Rani diam selama beberapa waktu. Dia
mengulum bibir bawahnya.
“Kita sahabat. Dan selamanya
sahabat. Tidak bisa lebih. Aku tercipta bukan untuk menjadi penghias dan
pewarna dalam dirimu. Aku hanya sebagian orang yang kamu anggap penting dalam
hidupmu. Tapi, bukan aku permaisuri hatimu. Bukan aku yang berhak atas cinta
sejatimu. Kita sahabat.” jawab Rani, dengan nada dingin yang tegas. Lalu
meninggalkanku.
***
Aku
terbatuk-batuk di pagi hari. Batuknya begitu kuat dan berdahak. Bahkan sampai
membangunkan Ibu dari tidurnya. Ibu menghampiriku dengan wajahnya yang kaget
dan panik. Belum pernah dia mendengar anaknya terbatuk-batuk seperti ini. Dan
mengeluarkan darah.
Aku terbaring lemah tidak berdaya.
Tidak ada daya menggerakkan tubuh ini. Hanya bisa membuka kedua mata dan
melihat sekitar. Di rumah sakit? Tidak ada ingatan yang terlintas bagaimana aku
bisa berada di ruang inap. Ibu sedang duduk di samping kasur sambil tersenyum
padaku. Senyum lembut ramahnya itu selalu menghangatkanku.
“Sudah bangun, Nak?” tanya Ibu
begitu lembut. Sambil mengelus lembut kepala dan merapikan rambutku, “Mau
minum?”
“Boleh, Bu.” jawabku, dengan suara
parau. Aku berusaha membangkitkan kepalaku untuk meneguk air mineral yang ibu
arahkan kepadaku. “Bagaimana aku bisa di rumah sakit, Bu?”
“Kamu ini,” tegur Ibu dengan nada
kesal yang dilembutkan. “Punya penyakit parah kok enggak bilang Ibu. Tadi di
rumah lihat kamu muntah darah Ibu panik banget. Untung saja, Mas Ridwan
tetangga depan rumah belum berangkat kerja dan mau antar kamu ke rumah sakit.”
Aku tersenyum meringis, ucapan Ibu
memang benar. Seharusnya aku bilang ke Ibu tentang penyakitku, tetapi aku tidak
ingin membebaninya. Apapun yang terjadi, dia tetap Ibuku, kan? Itulah yang
harusnya aku lakukan, mengatakan penyakitku walau itu akan membuatnya sedih.
Wajah lembut Ibu yang sudah tua, terlihat
sedih tetapi masih diusahakannya tersenyum lebar padaku. Aku bisa melihat
matanya sayu dan sembab karena menangis. Jelas, anak semata wayangnya mengidap
penyakit serius tanpa diketahui sebelumnya. Kaget, panik, cemas dan takut, kurasa
itu yang dirasakan Ibuku.
Aku menyentuh tangan kiri Ibuku, kugenggam
dengan erat dan kucium. “Maaf ya, Bu. Harusnya aku bilang mengenai penyakitku.
Maafkan aku.” Lalu meneteslah air mataku di punggung tangan Ibuku. Dengan
lembut dan tanpa kata, Ibu mengelus lembut puncak kepalaku, menyanyikan lagu
jawa dengan merdu, pelan dan lembut.
“Istirahatlah, Nak.” Dan Ibu
menciumi puncak kepalaku, sambil masih
menggenggam erat tanganku. Aku terlelap dengan begitu nyenyaknya.
***
Pagi
ini aku sudah melakukan semua yang diperintahkan dokter, sarapan, minum obat
dan istirahat. Aku juga disarankan oleh dokter untuk mulai melakukan kemoterapi,
meminum semua obat dan persiapan operasi sumsum tulang belakang. Aku dan Ibu
hanya bisa berekspresi datar dengan memanjatkan doa di dalam hati, membasahi
bibir ini dengan doa dan zikir. Cobaan kali ini begitu besar dan dahsyat.
Ternyata, mengikuti proses kemoterapi.
Kemoterapi adalah perawatan dengan menggunakan obat-obat untuk membunuh sel-sel
leukemia. Kemoterapi dapat dilakukan dengan beberapa cara, melalui mulut, dengan
suntik langsung ke dalam suatu vena, dan melalui tabung lentur kecil yang
disebut kateter. Kemoterapi dilakukan secara beberapa periode perawatan, yaitu periode
perawatan, periode pemulihan dan periode perawatan lainnya. Bahkan, untuk
suntikannya, aku harus menerima suntikan dari dalam tulang belakang, yang
kuketahui proses tersebut cukup menyakitkan.
Tapi, demi Ibu dan kesembuhan, aku
akan melakukan apapun. Dokter bilang penyakit leukemiaku belumlah parah. Tetapi
tetap harus waspada dan mengikuti alur pengobatannya. Kalau bisa hingga ke
tahap operasi sumsum tulang belakang. Saat ini dokter masih mengusahakan donor
sumsum tulang belakang yang cocok denganku.
Selama beberapa hari di rumah sakit,
mengikuti proses penyembuhan dan pengobatan, aku tidak berkomunikasi dengan
Rani. Bukannya aku tidak mau, tetapi kesempatan itu yang tidak ada. Aku sibuk
mengikuti proses kemoterapi dan istirahat. Bahkan, Rani juga tidak
menghubungiku. Apa yang kutakutkan, terjadi juga. Aku tidak ingin pengakuan
cintaku merusak persahabatankku, karena Rani begitu berharga untuk dilepaskan.
Dia senyumku, dia obatku, dia duniaku dan dialah aku.
Pikiranku
juga melayang ke Rani. Wajah Rani yang cantik, senyum manis Rani dan suara Rani
yang lembut itu memenuhi pikiranku. Bukan aku sedang berpikir yang tidak-tidak,
tetapi aku berpikir, jika aku tidak sehat dan sembuh, bagaimana aku bisa mengungkapkan
apa yang kurasakan ke Rani. Tidak mungkin aku membiarkan penyakit ini untuk
menghalangi niatku menyatakan cinta kepada Rani.
Bulan di langit selalu bersama
bintang
Hanya satu bintang yang kupilih
Untuk menemaniku selamanya, dia
adalah kau
Beribu planet di antariksa
Beribu daerah di dunia
Beribu orang di Indonesia
Maukah engkau menjadi pendampingku
untuk selamanya
Kutulis
puisi di selembar kertas putih yang berhiaskan bunga-bunga. Kertas yang wangi.
Aku ingin menyampaikan cintaku pada Rani sebaik mungkin, seperti dirinya.
Sewangi, secantik dan seindah isi suratnya juga.
Aku
sudah memasukkan kertas ini ke dalam amplop dan menyiapkan setangkai bunga
mawar putih, lalu kuberikan kepada Ibuku. Dengan mata yang nanar Ibu tersenyum
lebar padaku. Ibu mengambil suratnya dan akan memberikannya kepada Rani.
“Semoga
Nak Rani mau menerima surat ini ya.” ucap Ibu, dengan penuh harap. Senyum lebar
cantiknya itu begitu menyemangatiku, walau aku tidak bisa memastikan kepada Ibu
bahwa Rani akan benar-benar menerima suratnya.
“Kalau
dia tidak menerima suratnya, katakan saja, Bu. Aku titip salam.” ucapku, sambil
tersenyum sebelum Ibu menutup pintu kamar ruang inapku.
Aku
lalu kembali membaringkan tubuhku. Mengistirahatkan pikiran dan badanku.
Kemoterapi ini memang cukup menyita intensitas besar dari tubuhku. Oleh karena
itu, dokter mengingatkanku bahwa aku tidak boleh terlalu capek. Aku hanya
menghabiskan waktu dengan menonton dan tidur, lalu kembali bangun, makan, minum
obat dan tidur lagi. Begitu seterusnya.
***
Seminggu
berlalu. Aku kembali masuk rumah sakit untuk mengikuti kegiatan kemoterapi.
Kegiatan ini sengaja kupilih dilakukan di rumah sakit, karena lebih
memudahkanku dan tidak harus merepotkan dokter. Lagipula, penanganannya juga
bisa langsung segera dilakukan jika terjadi kondisi yang tidak terduga.
Aku masih membaringkan tubuhku
setelah kemoterapi siang tadi. Menghibur rasa sakit dengan menonton tayangan
televisi. Ibu sedang membereskan barang-barang dan lalu beristirahat di sofa.
Saat aku sedang sibuk menonton tayangan televisi, saat itulah kulihat sosok
cantiknya berdiri di dekat pintu.
Wajah cantiknya terlihat terkejut,
mulut tipisnya terbuka lebar dan ditutupnya dengan kedua tangannya. Air mata
siap membasahi pipi halusnya. Rani, dia sedang sedih melihatku yang terbaring
lemah di kasur dengan penyakit leukemiaku. Untuk menghiburnya, kuberikan senyum
lebar termanisku.
“Ya ampun Anton…” ucapnya, dengan
suara bergetar lirih. Dia menghampiriku. Memperhatikan tubuhku yang tak berdaya
di kasur. Masih kaget. “Kamu benar-benar sakit leukimia?”
“Iya.” jawabku, tersenyum.
“Kenapa enggak bilang sih?”
Aku memandanginya lurus, “Aku enggak
akan jawab lupa, atau malas atau enggak mau bilang karena takut kamu khawatir.
Jawabanku adalah, karena setiap ada di dekat kamu aku enggak pernah ngerasa
sakit.”
Dan air mata Rani tumpah. Matanya
sekarang berlinang air mata, dan terharu. Rani bahkan tidak bisa berkata
apa-apa.
“Kamu ini segitu cintanya sama aku?”
tanya Rani, disela isak tangis harunya.
“Iya. Cinta banget.”
“Kenapa?”
“Karena kamu duniaku, kamu obatku
dan kamu adalah untukku.”
Rani kembali menangis, “Aku enggak
sespesial itu, Ton.”
“Kamu saja yang enggak tahu. Kamu
selalu ada di saat aku butuh seseorang. Kamu selalu tahu seperti apa diriku. Dan
begitupun aku ke kamu.” jawabku, sambil menyentuh tangan Rani. Dan Rani
memandangiku dengan pandangan yang berbeda.
“Aku menghindari kamu selama
beberapa minggu ini bukan karena aku enggak suka atau enggak ada rasa sama
kamu.” ucapnya, “Justru, aku juga merasakan hal yang sama. Pertama kali kamu
bilang perasaan kamu waktu itu, aku terharu. Tapi aku enggak mau merusak
hubungan yang sudah kita jaga baik-baik ini.”
“Rani, kenapa harus begitu? Kalau
ternyata kita memiliki rasa yang sama, bukankah itu adalah sesuatu yang baik?”
“Bagaimana jika hubungan cinta itu
berakhir? Dan merusak persahabatan kita? Bagaimana?” suara Rani sedikit
meninggi.
Aku mendekap tangan kirinya, “Cinta
itu tidak menyerah. Jangan menyerah. Kalau kita sama-sama yakin bisa
melaluinya, maka kita bisa melaluinya. Kalau memang harus berakhir, ya jangan
menyerah juga untuk memulai hubungan yang baru. Selamanya aku tidak akan
meninggalkanmu.”
Kembali Rani menangis. Suara
tangisnya lebih jelas daripada sebelumnya. Dia menggenggam erat tanganku sambil
menangis. Sentuhan hangatnya begitu kurindukan. Lalu aku mengelus lembut
rambutnya.
“Temani aku ya di sini, mau?”
Rani mengangkat kepalanya, berusaha
tersenyum, menyeka air matanya. “Iya. Aku datang untuk menjenguk kamu kok. Dan
menemani kamu, sampai kamu sembuh.”
Dan
sepanjang hari Rani memang menemaniku. Dia juga membantu Ibu untuk merawatku,
seperti menyiapkan makanan dari rumah sakit, kadang-kadang Rani menyuapiku.
Atau seperti mengambilkan air minum untukku. Menemaniku menonton dan menggantikan
Ibu untuk menginap malam ini di rumah sakit.
Tidak
hanya satu hari, tetapi setiap hari setelah selesai kuliah. Rani selalu datang
menjenguk dan menemaniku baik selama kemoterapi hingga waktu malam tiba. Aku
selalu meminta Rani menginap, karena hari sudah malam aku tidak tega membiarkan
dia pulang sendirian. Rani kadang kala juga merapikan rambutku, bajuku dan selimutku.
Dia benar-benar merawatku dengan baik. Ibu saja sampai terkesan dan kagum
dengan perbuatan Rani ini. Semoga Rani menjadi calon istri yang dipandang oleh Ibuku
cocok untukku.
Selama
hampir beberapa bulan kami menunggu kabar mengenai operasi sumsum tulang
belakang, akhirnya waktu itu tiba. Butuh waktu tiga bulan, sembari aku
menyelesaikan ketertinggalanku terhadap perkuliahan, akhirnya aku akan operasi
sumsum tulang belakang.
Dokter
bilang, operasi sumsum tulang belakang ini termasuk yang tercepat, karena tidak
terlalu sulit juga untuk menemukan sumsum tulang belakang yang cocok denganku.
Untung saja, kakak dari Ibuku yang tinggal di Malang memiliki banyak kecocokan,
sehingga waktu operasi bisa segera dilakukan.
“Kamu
akan menungguku, kan?” tanyaku sebelum aku masuk ke ruang operasi. Rani
berjalan di sampingku.
“Iya.
Sampai kamu buka mata, dan melihat aku, aku akan ada di sini.” Jawaban Rani
begitu menenangkanku. “Aku juga akan jaga Ibu kok.”
“Alhamdulillah.
Tenang aku sekarang.” ucapku, dengan syukur yang luar biasa. Ternyata, di balik
musibah penyakit ini Allah memberikan suatu kebahagiaan luar biasa yang tidak
kuduga. Dengan tidak menyerah dalam mengejar cinta Rani, aku bisa meraih cinta
itu di saat diriku tidak sesehat sebelumnya. Jangan menyerah itu memang benar,
akan berbuah manis pada akhirnya.
“Tunggu
aku ya, Rani.” ucapku, sebelum pintu operasi tertutup dan aku siap-siap
menjalankan operasi sumsum tulang belakang.
Cinta
itu tidak menyerah, jika kamu merasa yakin maka berusahalah. Raih dan gapai,
sampai keyakinanmu menembus puncak tertinggi…
*Cerita Pendek ini ditulis oleh Dania Sunshine dan Irvan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar