... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ...

Kamis, 09 Mei 2013

[Cerpen Duet] Cinta Tidak Menyerah


Sumber : Google

Senja berwarna jingga bercahaya terang di atas air. Aku melihatnya dengan penuh kagum dan haru biru. Pemandangan indah seperti ini jarang kunikmati, apalagi saat bersama dengannya, Rani, temanku sejak kami di Taman Kanak-kanak. Dia tinggal di wilayah yang tidak jauh dariku, kami selalu satu sekolah hingga sekarang, di masa kuliah semester lima.
“Anton!” suara yang lembut memanggil. Suara seorang wanita. Aku menoleh. Sosok gadis bertubuh ramping, dengan rambut panjang lurus dan hitam legam menghampiriku dengan senyum lebar manisnya. Namanya Rani Ernasari, teman kecilku. Manis, cantik, ramah dan pintar.
“Ngapain sih? Dipanggil-panggil kok enggakk nyahut sih?” Rani ngedumel. Dia duduk di sampingku.
“Lagi lihat langit di senja hari. Lihat deh. Cantik ya.” Jawabku, memandangi langit senja bercahaya jingga di atas air yang cantik itu dengan kagum.
“Yah, aku kalah sama langit senjanya.” Rani kembali ngedumel. Aku terkekeh geli.
“Ada apa sih? Kok jadi ngomel-ngomel sendiri sih?”
Rani mengulum bibirnya, “Hmmm…”
Aku tahu, Rani pasti sedang bete karena sesuatu. Ngomel-ngomel tanpa sebab, itu tanda dia sedang bete atau kesal. Tapi Rani diam selama beberapa detik.
“Hayo kenapa sih?”
“Tugas kuliahku nih.” Rani menghela nafas dengan berat. “Pak Khae ngasih tugas buat proposal wirausaha. Aku kan enggakk bisa, Ton.”
“Kenapa enggakk bisa?”
“Ya, kan enggakk pernah wirausaha. Terus tugasnya kelompok, dan kita belum nemuin ide yang pas untuk kita nih. Jadinya aku bĂȘte, karena yang lain juga belum ngasih ide.” Rani menjelaskan, dengan ekspresi cemberutnya.
“Nah, idemu apa?”
Rani tersentak kaget, lalu dia diam selama beberapa detik dan memutarkan kedua bola matanya yang indah ke kanan dan ke kiri.
“Usaha jaket. Gimana? Tapi kan banyak saingan. Iya kan?”
“Nah, tinggal kamu buat perbedaannya.”
“Misalnya?” tanya Rani padaku.
“Ya, desainnya. Atau bahannya. Bisa kamu buat secara spesifik dan khusus yang belum ada atau yang belum banyak dijual. Iya kan?” aku memberikan ide. Rani menganggukkan kepalanya.
“Iya. Bener juga kamu.” Lalu dia tersenyum girang. “Terus kelompokmu buat proposal apa, Ton?”
“Kedai Kopi.” Aku memberinya cengiran lebar.
“Kedainya diapain?”
“Kedai Kopi kecil dengan interior penuh dengan kayu yang diplitur, ada foto, gambar tentang kopi dan permainan yang bisa dimainkan sama pelanggan. Dan aku mau ajak beberapa kedai kopi yang sudah terkenal untuk kerja sama. Seperti jadi pemasok kopi-kopinya.” Jelasku dengan antusias.
“Emangnya kedai kopi yang udah terkenal itu mau bantuin?”
“Enggakk ada yang enggak mungkin.” Aku menyentuh pundak Rani, memberinya semangat. “Kalau mau usaha pasti bisa kok. Cari yang mau. Oke?” Rani tersenyum merekah dengan cantik.
“Kamu itu selalu yakin ya.”
“Yep. Haruslah.” Aku merapikan rambut pendekku dan bergaya sok keren di depan Rani lalu memberikannya cengiran lebar. “Kalau enggak yakin, gimana wirausahanya lancar? Jadi, keyakinan itu perlu. Wajib malahan.”
Aku dan Rani kembali menikmati pemandangan langit senja yang cantik di depan kami. Duduk santai di pinggiran pantai. Aku dan Rani sedang menghabiskan seharian penuh dengan bersantai dan jalan-jalan ke pantai di hari libur kuliah.
“Eh, makan es cendol yuk. Mau enggak, Ton?” ajak Rani. Kedua matanya memandangi es cendol dengan penuh kekaguman. Sepertinya Rani sangat ingin es cendol.
“Boleh. Yuk.”
***

Di semester ini pula diriku semakin mendekat kepada Rani, kami ada beberapa mata kuliah yang sekelas. Walaupun kami tidak berada di mata kuliah atau kelas yang sama, aku dan Rani selalu berusaha untuk bertemu walau hanya untuk makan siang atau sekedar janjian untuk pulang bersama.
Di luar kebiasaan kami berangkat dan pulang secara berbarengan. Aku sudah sangat dekat dengan ibu Rani, sudah suatu kebiasaan pula kalau aku main ke rumah Rani sampai malam. Malam ini sangat romantis ditemani cahaya rembulan dan gemerlap bintang yang terlihat dari dalam rumah Rani. Lewat jendela ruang tamunya, angin malam mulai masuk lewat pintu rumah yang sengaja aku buka, dia pun menggodaku untuk memakai kembali jaketku, kucoba menghangatkan badan dengan ngobrol bersama Rani. Obrolan kecil yang bisa membuat kami tertawa lebar, selebar tawa anak-anak kecil ketika melihat tayangan Spongebob, malam ini begitu indah sampai aku tidak mau meninggalkannya lagi.
“Jadi kamu salah takaran kopinya tadi?” Rani terkejut, saat aku menceritakan peristiwa tadi siang. “Terus gimana rasa kopinya?”
“Rasa kopinya sih tetap sama. Pahit dan asem. Masalahnya kopinya jadi terlalu cair. Kan harusnya lebih pekat dan kental.” Sepertinya rasa malu siang tadi masih tersisa saat aku menceritakannya ke Rani. Rani jadi tertawa.
“Terus pelanggannya gimana?”
“Ya aku dikritik sama pelanggannya. Soalnya pelanggan tahu banget kopi aslinya gimana., jadi aku buat lagi.” jawabku, masih malu sendiri.
“Dan kamu minum sendiri dong itu kopi yang salah takaran?”
“Harus. Tanggung jawab itu namanya.”
Dan Rani terkekeh geli. Bagiku, minum kopi yang salah takaran bukan masalah, tetapi yang bikin malu ya dikritik oleh pelanggan. Padahal jelas aku tahu bagaimana takaran dan aturan membuat kopinya.
“Lucu juga ya, kamu pakai salah takaran buat pelanggan lagi. Pasti malu banget tuh.” Rani kembali tertawa geli. “Fokus dong makanya. Fokus.”
“Aku fokus kok.” Aku masih memperhatikan Rani yang tertawa geli karena peristiwa siang tadi. Tawa gelinya sedikit menghiburku, atas rasa malu yang kurasakan.
“Kamu ini, Ran, kok malah ngetawain aku sih.” gerutuku.
“Lucu, Ton. Kamu kan orangnya selalu tepat dan fokus. Kalau ngopi di sini juga kamu cerewet soal takaran kopi dan air panasnya. Jadi aku kebayang gimana malumu yang dikritik sama pelanggan itu. Hehehe.” Rani memberikan cengiran lebarnya.
“Nah, soal itu kamu emang deh yang paling tahu.” Aku menutup wajahku dengan bantal. Bukan karena malu, tapi karena senang mendapati Rani begitu tahu bagaimana diriku yang paling tidak suka melakukan kesalahan setiap membuat kopi. Ada rasa senang dan gembira, lalu berbunga-bunga dalam diriku.
“Tenang saja, semoga ini yang pertama dan terakhir kalinya aku salah takaran. Besok-besok enggak akan deh. Harus dihapalin di luar kepala dan fokus.” ucapku, dengan mantap. Aku meyakinkan Rani. Rani mengacungkan jempol kanannya.
“Udah sana makan dulu.” ucap Rani, setelah berhenti tertawa.
Aku meletakkan bantal di sofa, “Oh ya si Mama udah masak ya. Makan ah, laper nih.”
“Ya sudah makanlah. Baru pulang. Oke?”
“Oke, Ibu Rani.” Aku memberikan kode jempol berdiri ke Rani.
***
Aku pun pulang dengan keadaan masih memendam tawa dalam diriku karena peristiwa tadi siang dan karena tawa Rani yang begitu geli. Sampai di rumah aku langsung menemui ibu di istananya, biasanya kami akan bercerita bersama saling menginspirasi. Dan aku selalu menjadi gelas kosong ketika berbicara dengan ibu, beliau adalah poci raksasa yang tak pernah kehabisan isi. Sebanyak apapun gelas kosong yang aku berikan, beliau selalu mengisinya dengan cukup, dan tak pernah kelebihan sama sekali.
“Udah pulang, Nak?” sapa Ibu, begitu aku mengetuk pintu dan masuk ke istananya. Ibu menyapaku dengan senyum lembutnya. Wajah tua yang masih cantik itu tidak pernah pudar tersenyum.
“Iya, baru saja. Ibu belum tidur?”
“Belum.” Lalu ibu memberikan tanda padaku untuk duduk di sampingnya. “Gimana hari ini?”
Aku memberikan senyuman lebar. “Hari ini ada peristiwa lucu Bu.”
“Peristiwa lucu? Apa itu, Nak?” Ibu mengelus lembut puncak kepalaku.
“Aku tadi salah buat kopi untuk pelanggan, Bu.” Lalu aku memberikan cengiran kepada Ibu. “Enggak tahu kenapa, takarannya salah. Aku meleng mungkin.”
“Terus kamu dimarahin sama pelanggan?”
“Iya, Bu. Tapi enggak dimarahin yang sampai buat aku malu di depan umum sih. Ditegur secara baik-baik kok.” jawabku, dengan sikap biasa saja.
“Oh. Baguslah. Ibu kira sampai kamu dimarah-marahin gitu. Terus lucunya di mana, Nak?” aku melihat ekspresi ibu yang bingung. Aku jadi terkekeh sendiri.
“Tadi mampir ke rumah Rani, nah di situ lucunya, Bu. Si Rani malah ngetawain aku.” Aku jadi teringat tawa Rani dan tertawa sendirian. Lalu Ibu juga ikut tertawa.
“Jadi yang bikin ceritamu lucu ya kamu diketawain sama si Rani tho?” Ibu sambil mengelus lembut rambutku. “Nak, baguslah kalau itu bisa membuatmu senang.”
“Lha aku senang, Bu. Habisnya, si Rani ketawanya geli, Bu. Padahal waktu di kafe aku enggak malu. Tapi diketawain sama Rani aku jadi malu.” Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku. Menggelengkan kepalaku. Rasa malunya masih terasa, bahkan di depan Ibu.
Lalu Ibu tertawa geli, “Kamu ini, Nak, sampai segitu senangnya yah. Kamu malu ya sama Rani? Tapi enggak apa-apa, itu tandanya Rani tahu kalau kamu itu enggak mungkin bisa ngelakuin kesalahan.”
“Iya, Bu. Aku juga enggak tahu kenapa itu pakai salah takaran segala. He he he.” Aku masih merasa malu. Ditambah dengan ucapan Ibu. Ada rasa senang dan berbunga-bunga. Ah lupakan masalah waktu, obrolan dengan ibu selalu membuatku lupa waktu, dan ibulah yang selalu mengingatkanku akan jam tidurku.
“Kenapa tak kau katakan pada Rani tentang perasaanmu, Nak?” tiba-tiba Ibu berucap demikian, membuatku menengok dengan kaget. Tapi Ibu memberikan senyuman lembut tuanya itu.
“Ibu tahu?”
“Bagaimana Ibu tidak tahu, senyummu, matamu, kata-katamu, adalah tentang Rani. Matamu lurus dan terarah padanya. Selalu bercahaya terang jika namanya disebut. Dan suaramu, lembut dan pelan memanggil namanya.” Ibu masih mengelus lembut puncak kepalaku. Aku hanya menikmati situasi ini, saat Ibu berkata apa yang diketahuinya tanpa aku ucapkan.
“Seandainya aku bisa mengatakannya, Bu.”
“Mengapa tidak bisa?”
“Karena dia adalah sahabat tercinta. Teman kecil yang mengenalku lebih baik selain Ibu, dan sosok yang kucintai sekaligus. Tidak ada yang ingin kurusak. Memilikinya mungkin anugerah, tapi mencintainya seperti ini adalah saat yang tidak bisa tergantikan. Momen yang tidak terlupakan dan perasaan yang tidak bisa diucapkan namun tersimpan dengan baik dalam hatiku.” ucapku, jujur dan mantap.
Ibu masih sibuk mengelus lembut rambutku, “Kalau begitu raihlah dia dalam doamu. Sebutkan namanya. Ucapkan namanya dan doakan dia. Senantiasa, dia akan menjadi milikmu. Karena cinta anugerah Ilahi, maka biarlah Allah yang menuntunnya.”
“Selalu, Bu. Bahkan kebahagiaannya juga kudoakan, jika itu tidak bersamaku.”
Ibu menyanyikan alunan lagu jawa yang lembut dan merdu. Lagu pengantar tidur yang walau mungkin aku tidak tahu apa artinya.
“Sudah sana kamu tidur. Kasihan pulang malam, pasti capek kan.” Ibu sedikit memijat bahuku. Sambil mengelus bahuku juga. Sentuhan hangat Ibu memang lembut sekali.
“Iya, Bu. Nanti kalau Ibu sudah selesai memijat bahuku.” Dan aku terlena dengan pijatan Ibu yang menyenangkan dan menenangkan. Rasa capek pun lenyap.
***
Pagi sekali aku bangunnya hari ini, ternyata matahari udah mengintipku dari jendela yang tirainya sudah dibuka oleh Ibu.
“Ibu.. ibu di mana dikau,” pencarian pertamaku di hari ini, kulihat catatan kecil di depan televisi kalau ibu pulang ke rumah kakek, di Bogor, pasti beberapa malam aku akan kesepian di rumah karena tidak adanya seorang ratu istana. Sarapan ternyata sudah disiapkan oleh koki nomor satu di istana ini, dan sudah masuk ke dalam perutku semuanya.
Kembali kujemput Rani dari rumahnya, berharap kebahagiaan kemarin malam kembali terjadi di hari ini, kuliah hari ini akan terasa singkat selain pelajarannya yang paling enak dan waktunya yang paling singkat, juga dosennya yang begitu dekat dengan kami.
Kuliah selesai, kantin sudah melambai-lambai memanggil kami dari kejauhan, perutku pun sudah mulai minta diisi lagi. Apalagi nafsu makanku yang sangat besar akhir-akhir ini, entah karena apa. Namun di sini aku mulai merasa masalah dalam tubuhku semakin membesar. Masalah yang selalu kusembunyikan dari siapapun, bahkan ke ibuku, dan sahabat tercintaku Rani. Entah salah makan makan atau apa, tubuhku semakin lemas dan dada mulai terasa sesak. Namun tetap aku pakai topeng ketampanan untuk menutupi itu semua dari Rani.
“Anton, kamu enggak apa-apa kan?” wajah Rani terlihat panik. Aku sedang bersiap melahap mie ayam lalu menoleh dan melihat ekspresinya itu.
“Iya. Emang kenapa, Ran?”
Kedua mata Rani yang indah masih memandangiku tajam dan lurus, “Kamu kok pucat banget ya. Serius kamu baik-baik aja?”
Sebenarnya aku merasa lelah dan pusing. Belakangan ini aku sering mengalami sakit di bagian tulang, persendian, dan juga kesulitan bernafas. Aku belum sempat memeriksa ke dokter, karena awalnya kukira aku hanya demam biasa saja, tetapi ini sudah seminggu berlalu.
“Iya aku baik-baik saja kok, Ran. Kenapa sih?” Aku memasang ekspresi biasa-biasa saja. Rani masih memperhatikanku.
“Pucat banget. Kamu kurang istirahat sih. Kalau kerja di kafe udah selesai langsung pulang aja ya.” Rani memberikan nasihat. Aku menganggukkan kepalaku sambil mengunyah mie ayam.
“Uhuk.. uhuk…” batukku, di tengah proses mengunyah. Wajah Rani langsung panik dan berhenti makan. Rani langsung menepuk-nepuk punggungku.
“Enggak apa-apa kan, Ton?”
“Iya enggak apa-apa kok. Cuma keselek aja.” dalihku sambil meneguk air mineral.
“Masa sih? Batuknya serius banget itu. Kamu yakin lagi enggak sakit?”
Lalu aku memandangi Rani, “Iya aku baik-baik saja, Rani. Jangan khawatir gitu sih. Yuk, lanjut makan. Abis itu kita pulang.” Lalu dengan sikap santai aku melahap mie ayamku lagi. Aku melirik Rani sekilas, dia masih memperhatikanku dengan seksama.
Selesai makan siang di kantin, karena kami tidak ada kuliah lagi, maka aku dan Rani langsung bersiap untuk pulang. Tetapi aku biasanya selalu lanjut kerja di kedai kopi, tapi karena aku sudah berencana untuk periksa ke dokter, maka sebelum aku kerja aku mengantar Rani ke rumahnya dan baru ke rumah sakit.
Aku langsung jalan ke dokter langgananku untuk periksa kesehatanku, seingatku dulu aku menderita leukemia ringan, bayangan yang selalu menemaniku adalah penyakit leukemia menjadi semakin berat dan aku harus segera operasi. Hal ini kurahasiakan karena aku tidak mau membuat keluargaku cemas, tetapi sepertinya aku memang harus bilang ke ibu.
***
Aku masih tidur-tiduran di kasur sambil memikirkan hasil pemeriksaan tadi siang. Pikiranku bercabang. Kuliah, pekerjaan sambilan di kedai kopi, dan penyakitku. Hasil pemeriksaan mengatakan penyakit leukemiaku sudah masuk stadium tiga dan lebih baik segera dioperasi sebelum semakin berbahaya. Sedangkan aku masih memikirkan biaya rumah sakit dan operasi.
            Terlintas olehku, untuk menyatakan cinta ke Rani. Mengatakan apa yang aku rasakan terhadap dirinya. Bukan hanya sebagai sahabat dan teman di masa kecil, tetapi Rani adalah sosok istimewa di dalam hati. Mewarnai duniaku dengan tawa candanya, menyirami hatiku dengan lembut perhatiannya, dan membuat jantungku bertalu-talu dengan hadirnya di sisiku.
            Keraguan menyelimuti diriku. Memenuhi pikiranku dengan bimbang dan pikiran, akankah Rani menerima isi hatiku? Akankah semuanya baik-baik saja jika sudah kukatakan kepadanya? Ataukah, lebih baik kusimpan semua ini sendirian?
            “Anton!” teriak Rani, memanggilku dengan kasar. Wajahnya terlihat kesal.
            “Iya?”
            “Kamu tuh ya, suka banget bengong sambil lihatin aku. Kenapa sih?” suara merdu Rani berubah sewot dan cerewet.
            “Eh, masa sih?”
            Rani memperhatikanku. Kedua mata kami bertemu. Lalu kedua mata indahnya terbelalak, seakan dia baru saja melihat sesuatu. Aku memang sedang memandanginya dengan kagum dan penuh cinta. Oh, tidak! Rani melihat pandangan hangat dan penuh cintaku ini.
            “Kok kamu lihatin aku begitu sih?” suara Rani berubah memelan. Sikapnya mulai canggung.
            “Kan udah biasa aku lihatin kamu seperti ini, tho?” aku berdalih.
            “Enggak, ada yang beda.”
            Aku diam dan memandang lurus kepada Rani.
            “Ada sesuatu yang ingin aku bilang ke kamu, Ran.” ucapku, akhirnya. Kami duduk berhadapan di kursi taman dekat gedung fakultas kami. Di bawah rindangnya pohon, dedaunan hijau yang berjatuhan, udara sejuk yang sepoi, aku rasa ini saat yang tepat untuk mengatakannya.
            “Ada apa ya, Ton?”
            “Hmm,” seruku bergumam pelan, “Ada sesuatu yang selama ini jauh kurasakan. Ada sesuatu yang hinggap begitu dalam dan memenuhi relung yang kurasakan. Sesuatu yang hangat, lembut dan berwarna. Sesuatu itu, hadir dengan sendirinya tanpa diundang. Bahkan tidak perlu sebuah pintu atau jendela. Dia masuk seperti hembusan angin yang menyusup lewat sela-sela relung hati ini. Sesuatu yang kau anggap suatu perasaan. Perasaan terdalam – “
            “Anton lagi bahas apaan sih?” Rani memotong ucapanku, dia mengalihkan wajahnya ke arah lain. Rani sedang menghindari pembicaraan ini, ya itu yang kulihat.
            “Aku sedang membahas hati ini. Kamu harus tahu, karena hati ini terisi penuh dengan rasa yang tercipta bersamamu, Rani.” jawabku dengan begitu lembut. Rani kembali memandangiku.
            Pandangannya kasar. Tidak selembut biasanya. Matanya membesar dan sinis. Sesuatu membuatnya tidak suka, ya ucapanku tadi.
            “Anton, kamu – “
            “Ada rasa di dalam hatiku untukmu, Ran. Entah sejak kapan. Tapi… rasa itu ada dan selalu bertambah dan berkembang. Semua karena kamu.” jawabku, memotong pembicaraan Rani.
            Rani diam selama beberapa waktu. Dia mengulum bibir bawahnya.
            “Kita sahabat. Dan selamanya sahabat. Tidak bisa lebih. Aku tercipta bukan untuk menjadi penghias dan pewarna dalam dirimu. Aku hanya sebagian orang yang kamu anggap penting dalam hidupmu. Tapi, bukan aku permaisuri hatimu. Bukan aku yang berhak atas cinta sejatimu. Kita sahabat.” jawab Rani, dengan nada dingin yang tegas. Lalu meninggalkanku.
***
Aku terbatuk-batuk di pagi hari. Batuknya begitu kuat dan berdahak. Bahkan sampai membangunkan Ibu dari tidurnya. Ibu menghampiriku dengan wajahnya yang kaget dan panik. Belum pernah dia mendengar anaknya terbatuk-batuk seperti ini. Dan mengeluarkan darah.
            Aku terbaring lemah tidak berdaya. Tidak ada daya menggerakkan tubuh ini. Hanya bisa membuka kedua mata dan melihat sekitar. Di rumah sakit? Tidak ada ingatan yang terlintas bagaimana aku bisa berada di ruang inap. Ibu sedang duduk di samping kasur sambil tersenyum padaku. Senyum lembut ramahnya itu selalu menghangatkanku.
            “Sudah bangun, Nak?” tanya Ibu begitu lembut. Sambil mengelus lembut kepala dan merapikan rambutku, “Mau minum?”
            “Boleh, Bu.” jawabku, dengan suara parau. Aku berusaha membangkitkan kepalaku untuk meneguk air mineral yang ibu arahkan kepadaku. “Bagaimana aku bisa di rumah sakit, Bu?”
            “Kamu ini,” tegur Ibu dengan nada kesal yang dilembutkan. “Punya penyakit parah kok enggak bilang Ibu. Tadi di rumah lihat kamu muntah darah Ibu panik banget. Untung saja, Mas Ridwan tetangga depan rumah belum berangkat kerja dan mau antar kamu ke rumah sakit.”
            Aku tersenyum meringis, ucapan Ibu memang benar. Seharusnya aku bilang ke Ibu tentang penyakitku, tetapi aku tidak ingin membebaninya. Apapun yang terjadi, dia tetap Ibuku, kan? Itulah yang harusnya aku lakukan, mengatakan penyakitku walau itu akan membuatnya sedih.
            Wajah lembut Ibu yang sudah tua, terlihat sedih tetapi masih diusahakannya tersenyum lebar padaku. Aku bisa melihat matanya sayu dan sembab karena menangis. Jelas, anak semata wayangnya mengidap penyakit serius tanpa diketahui sebelumnya. Kaget, panik, cemas dan takut, kurasa itu yang dirasakan Ibuku.
            Aku menyentuh tangan kiri Ibuku, kugenggam dengan erat dan kucium. “Maaf ya, Bu. Harusnya aku bilang mengenai penyakitku. Maafkan aku.” Lalu meneteslah air mataku di punggung tangan Ibuku. Dengan lembut dan tanpa kata, Ibu mengelus lembut puncak kepalaku, menyanyikan lagu jawa dengan merdu, pelan dan lembut.
            “Istirahatlah, Nak.” Dan Ibu menciumi puncak kepalaku, sambil masih  menggenggam erat tanganku. Aku terlelap dengan begitu nyenyaknya.
***
Pagi ini aku sudah melakukan semua yang diperintahkan dokter, sarapan, minum obat dan istirahat. Aku juga disarankan oleh dokter untuk mulai melakukan kemoterapi, meminum semua obat dan persiapan operasi sumsum tulang belakang. Aku dan Ibu hanya bisa berekspresi datar dengan memanjatkan doa di dalam hati, membasahi bibir ini dengan doa dan zikir. Cobaan kali ini begitu besar dan dahsyat.
            Ternyata, mengikuti proses kemoterapi. Kemoterapi adalah perawatan dengan menggunakan obat-obat untuk membunuh sel-sel leukemia. Kemoterapi dapat dilakukan dengan beberapa cara, melalui mulut, dengan suntik langsung ke dalam suatu vena, dan melalui tabung lentur kecil yang disebut kateter. Kemoterapi dilakukan secara beberapa periode perawatan, yaitu periode perawatan, periode pemulihan dan periode perawatan lainnya. Bahkan, untuk suntikannya, aku harus menerima suntikan dari dalam tulang belakang, yang kuketahui proses tersebut cukup menyakitkan.
            Tapi, demi Ibu dan kesembuhan, aku akan melakukan apapun. Dokter bilang penyakit leukemiaku belumlah parah. Tetapi tetap harus waspada dan mengikuti alur pengobatannya. Kalau bisa hingga ke tahap operasi sumsum tulang belakang. Saat ini dokter masih mengusahakan donor sumsum tulang belakang yang cocok denganku.
            Selama beberapa hari di rumah sakit, mengikuti proses penyembuhan dan pengobatan, aku tidak berkomunikasi dengan Rani. Bukannya aku tidak mau, tetapi kesempatan itu yang tidak ada. Aku sibuk mengikuti proses kemoterapi dan istirahat. Bahkan, Rani juga tidak menghubungiku. Apa yang kutakutkan, terjadi juga. Aku tidak ingin pengakuan cintaku merusak persahabatankku, karena Rani begitu berharga untuk dilepaskan. Dia senyumku, dia obatku, dia duniaku dan dialah aku.
Pikiranku juga melayang ke Rani. Wajah Rani yang cantik, senyum manis Rani dan suara Rani yang lembut itu memenuhi pikiranku. Bukan aku sedang berpikir yang tidak-tidak, tetapi aku berpikir, jika aku tidak sehat dan sembuh, bagaimana aku bisa mengungkapkan apa yang kurasakan ke Rani. Tidak mungkin aku membiarkan penyakit ini untuk menghalangi niatku menyatakan cinta kepada Rani.

Bulan di langit selalu bersama bintang
Hanya satu bintang yang kupilih
Untuk menemaniku selamanya, dia adalah kau
Beribu planet di antariksa
Beribu daerah di dunia
Beribu orang di Indonesia
Maukah engkau menjadi pendampingku untuk selamanya

Kutulis puisi di selembar kertas putih yang berhiaskan bunga-bunga. Kertas yang wangi. Aku ingin menyampaikan cintaku pada Rani sebaik mungkin, seperti dirinya. Sewangi, secantik dan seindah isi suratnya juga.
Aku sudah memasukkan kertas ini ke dalam amplop dan menyiapkan setangkai bunga mawar putih, lalu kuberikan kepada Ibuku. Dengan mata yang nanar Ibu tersenyum lebar padaku. Ibu mengambil suratnya dan akan memberikannya kepada Rani.
“Semoga Nak Rani mau menerima surat ini ya.” ucap Ibu, dengan penuh harap. Senyum lebar cantiknya itu begitu menyemangatiku, walau aku tidak bisa memastikan kepada Ibu bahwa Rani akan benar-benar menerima suratnya.
“Kalau dia tidak menerima suratnya, katakan saja, Bu. Aku titip salam.” ucapku, sambil tersenyum sebelum Ibu menutup pintu kamar ruang inapku.
Aku lalu kembali membaringkan tubuhku. Mengistirahatkan pikiran dan badanku. Kemoterapi ini memang cukup menyita intensitas besar dari tubuhku. Oleh karena itu, dokter mengingatkanku bahwa aku tidak boleh terlalu capek. Aku hanya menghabiskan waktu dengan menonton dan tidur, lalu kembali bangun, makan, minum obat dan tidur lagi. Begitu seterusnya.
***
Seminggu berlalu. Aku kembali masuk rumah sakit untuk mengikuti kegiatan kemoterapi. Kegiatan ini sengaja kupilih dilakukan di rumah sakit, karena lebih memudahkanku dan tidak harus merepotkan dokter. Lagipula, penanganannya juga bisa langsung segera dilakukan jika terjadi kondisi yang tidak terduga.
            Aku masih membaringkan tubuhku setelah kemoterapi siang tadi. Menghibur rasa sakit dengan menonton tayangan televisi. Ibu sedang membereskan barang-barang dan lalu beristirahat di sofa. Saat aku sedang sibuk menonton tayangan televisi, saat itulah kulihat sosok cantiknya berdiri di dekat pintu.
            Wajah cantiknya terlihat terkejut, mulut tipisnya terbuka lebar dan ditutupnya dengan kedua tangannya. Air mata siap membasahi pipi halusnya. Rani, dia sedang sedih melihatku yang terbaring lemah di kasur dengan penyakit leukemiaku. Untuk menghiburnya, kuberikan senyum lebar termanisku.
            “Ya ampun Anton…” ucapnya, dengan suara bergetar lirih. Dia menghampiriku. Memperhatikan tubuhku yang tak berdaya di kasur. Masih kaget. “Kamu benar-benar sakit leukimia?”
            “Iya.” jawabku, tersenyum.
            “Kenapa enggak bilang sih?”
            Aku memandanginya lurus, “Aku enggak akan jawab lupa, atau malas atau enggak mau bilang karena takut kamu khawatir. Jawabanku adalah, karena setiap ada di dekat kamu aku enggak pernah ngerasa sakit.”
            Dan air mata Rani tumpah. Matanya sekarang berlinang air mata, dan terharu. Rani bahkan tidak bisa berkata apa-apa.
            “Kamu ini segitu cintanya sama aku?” tanya Rani, disela isak tangis harunya.
            “Iya. Cinta banget.”
            “Kenapa?”
            “Karena kamu duniaku, kamu obatku dan kamu adalah untukku.”
            Rani kembali menangis, “Aku enggak sespesial itu, Ton.”
            “Kamu saja yang enggak tahu. Kamu selalu ada di saat aku butuh seseorang. Kamu selalu tahu seperti apa diriku. Dan begitupun aku ke kamu.” jawabku, sambil menyentuh tangan Rani. Dan Rani memandangiku dengan pandangan yang berbeda.
            “Aku menghindari kamu selama beberapa minggu ini bukan karena aku enggak suka atau enggak ada rasa sama kamu.” ucapnya, “Justru, aku juga merasakan hal yang sama. Pertama kali kamu bilang perasaan kamu waktu itu, aku terharu. Tapi aku enggak mau merusak hubungan yang sudah kita jaga baik-baik ini.”
            “Rani, kenapa harus begitu? Kalau ternyata kita memiliki rasa yang sama, bukankah itu adalah sesuatu yang baik?”
            “Bagaimana jika hubungan cinta itu berakhir? Dan merusak persahabatan kita? Bagaimana?” suara Rani sedikit meninggi.
            Aku mendekap tangan kirinya, “Cinta itu tidak menyerah. Jangan menyerah. Kalau kita sama-sama yakin bisa melaluinya, maka kita bisa melaluinya. Kalau memang harus berakhir, ya jangan menyerah juga untuk memulai hubungan yang baru. Selamanya aku tidak akan meninggalkanmu.”
            Kembali Rani menangis. Suara tangisnya lebih jelas daripada sebelumnya. Dia menggenggam erat tanganku sambil menangis. Sentuhan hangatnya begitu kurindukan. Lalu aku mengelus lembut rambutnya.
            “Temani aku ya di sini, mau?”
            Rani mengangkat kepalanya, berusaha tersenyum, menyeka air matanya. “Iya. Aku datang untuk menjenguk kamu kok. Dan menemani kamu, sampai kamu sembuh.”
Dan sepanjang hari Rani memang menemaniku. Dia juga membantu Ibu untuk merawatku, seperti menyiapkan makanan dari rumah sakit, kadang-kadang Rani menyuapiku. Atau seperti mengambilkan air minum untukku. Menemaniku menonton dan menggantikan Ibu untuk menginap malam ini di rumah sakit.
Tidak hanya satu hari, tetapi setiap hari setelah selesai kuliah. Rani selalu datang menjenguk dan menemaniku baik selama kemoterapi hingga waktu malam tiba. Aku selalu meminta Rani menginap, karena hari sudah malam aku tidak tega membiarkan dia pulang sendirian. Rani kadang kala juga merapikan rambutku, bajuku dan selimutku. Dia benar-benar merawatku dengan baik. Ibu saja sampai terkesan dan kagum dengan perbuatan Rani ini. Semoga Rani menjadi calon istri yang dipandang oleh Ibuku cocok untukku.
Selama hampir beberapa bulan kami menunggu kabar mengenai operasi sumsum tulang belakang, akhirnya waktu itu tiba. Butuh waktu tiga bulan, sembari aku menyelesaikan ketertinggalanku terhadap perkuliahan, akhirnya aku akan operasi sumsum tulang belakang.
Dokter bilang, operasi sumsum tulang belakang ini termasuk yang tercepat, karena tidak terlalu sulit juga untuk menemukan sumsum tulang belakang yang cocok denganku. Untung saja, kakak dari Ibuku yang tinggal di Malang memiliki banyak kecocokan, sehingga waktu operasi bisa segera dilakukan.
“Kamu akan menungguku, kan?” tanyaku sebelum aku masuk ke ruang operasi. Rani berjalan di sampingku.
“Iya. Sampai kamu buka mata, dan melihat aku, aku akan ada di sini.” Jawaban Rani begitu menenangkanku. “Aku juga akan jaga Ibu kok.”
“Alhamdulillah. Tenang aku sekarang.” ucapku, dengan syukur yang luar biasa. Ternyata, di balik musibah penyakit ini Allah memberikan suatu kebahagiaan luar biasa yang tidak kuduga. Dengan tidak menyerah dalam mengejar cinta Rani, aku bisa meraih cinta itu di saat diriku tidak sesehat sebelumnya. Jangan menyerah itu memang benar, akan berbuah manis pada akhirnya.
“Tunggu aku ya, Rani.” ucapku, sebelum pintu operasi tertutup dan aku siap-siap menjalankan operasi sumsum tulang belakang.
Cinta itu tidak menyerah, jika kamu merasa yakin maka berusahalah. Raih dan gapai, sampai keyakinanmu menembus puncak tertinggi…


*Cerita Pendek ini ditulis oleh Dania Sunshine dan Irvan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar