Sumber : Google |
“Palingan
juga acara buang uang seperti biasanya,” ucap Mama setelah ibu RT pulang.
Seperti biasa, Mama akan berkomentar demikian—dengan ekspresi mencibir.
“Bukannya
kayak pasar malam ya, Ma?”
“Itu
‘kan cuma acara kumpul-kumpul gitu, terus makan-makan, gosip. Biasalah ibu-ibu
di sini kan hobi yang seperti itu.” Mama menggerutu sendiri.
Aku
meletakan surat edaran tersebut. “Ada stan-stan, tuh. Berarti kan ada
jualannya. Enggak kayak kumpul-kumpul dan makan-makan waktu lebaran. Menurut
aku sih, Ma. Aku mau datang, ah. Mau lihat.”
Mama
mengerucutkan bibirnya. “Ya sudah, kalau mau datang.”
“Kan
belum pernah ada acara seperti ini, Ma. Adanya cuma pasar malam. Tapi itu juga
enggak sepanjang jalan komplek. Bagus, kan? Jadi enggak banyak kendaraan
berkeliaran seharian. Kayak car free day
gitu, bebas kendaraan,” ocehku.
Aku
membayangkan acara nanti akan bebas kendaraan. Sepanjang jalanan hanya ada stan-stan
yang menjual macam-macam dan semua warga memenuhi pinggir jalan. Sepertinya
seru.
Mama
melahap makan siangnya lagi tanpa berkomentar.
**
Aku
memang tertarik untuk datang ke Festival Warga. Selain ini adalah acara baru
yang belum pernah diadakan di lingkungan tempat tinggalku, juga ada banyak hal
lainnya. Bertemu dan berbincang dengan tetangga, melihat-lihat apa saja yang
dijual dan tentunya dengan niat membeli, dan mungkin bisa bertemu dengan cinta
pertamaku.
Cinta pertama? Aduh, kalau ingat tentang dua
kata itu pasti aku akan langsung gugup. Cinta pertamaku adalah tetanggaku dan
teman TK-ku. Sedangkan aku—mungkin—akan bertemu dengan dia pada perayaan
festival yang diselenggarakan sepanjang komplek perumahan kami.
Rumahnya
tidak berdampingan dengan rumahku. Rumahnya berada di pinggir jalan yang berseberangan
dengan gang rumahku. Kami berada di lingkungan perumahan yang sama, satu RT, satu
RW, satu kecamatan, dan satu kelurahan. Ditambah lagi, orang tua kami yang
saling kenal, walau bukan termasuk golongan hubungan akrab dan dekat.
Namanya
Aulia Agung—Aku memanggil cowok itu ‘Aul’. Tubuhnya tinggi dan besar, dengan
kulit berwarna kuning langsat. Rambutnya pendek dan hitam. Ada tahi lalat di
area pipinya. Bibirnya merah dan tipis.
Bisa
dibilang, aku tidak mengenal Aul secara baik. Walau kami bertetangga, walau dia
adalah cinta pertamaku, tetap saja aku tidak mengenal dia secara pribadi.
Ceritanya juga sederhana, dia teman se-TK dan kami selalu berangkat bersama.
Sejak itu kami memang dekat dan aku sering duduk di sampingnya. Tapi, semakin
kami beranjak dewasa, kami malah tidak dekat dan seperti tidak kenal.
Mulai
pagi ini hingga nanti malam, festival akan diadakan sehari penuh. Festival ini
diadakan untuk merayakan Hari Proklamasi Indonesia, 17 Agustus 2012. Ini
pertama kalinya di lingkungan perumahanku mengadakan acara ini. Akan ada banyak
stan makanan, jilbab, pakaian, dan dagangan lainnya. Acara ini bukan pula
sukarela, jadi dibuat seperti pasar malam. Hanya saja diadakan seharian penuh
dan ditambah hiburan lagu-lagu dan karaoke bersama bagi siapa saja yang mau
bernyanyi.
Aku
tidak mungkin tidak datang, ‘kan? Karena pestanya di depan gangku, jadi
otomatis aku akan datang dan melihatnya. Walau ibuku atau siapapun di rumahku
tidak tertarik datang, tapi aku mau datang karena ini pertama kalinya dan
menurutku ini seru.
Aku
sedang melihat-lihat stan yang menjual aksesori wanita yang lucu. Harganya juga
tidak mahal dan dibuat dari bahan yang mudah. Ada manik-manik dan tali berbahan
rajutan yang halus. Gelangnya dibuat kepang dan di bagian tengahnya ada bandul
hiasan Menara Eiffel kecil.
Ada
berbagai warna dan model serta bahan yang digunakan pada pernak-pernik ini. Membuatku
tertarik untuk melihat-lihat, memilih, dan membelinya. Pilihanku jatuh pada
gelang dengan bahan tali rajutan yang dikepang berwarna biru dan hijau dengan
bandul miniatur Menara Eiffel dan satu lagi gelang.
Saat
aku sedang melihat-lihat ke stan lainnya, saat itulah aku melihat Aul. Yes, Aul atau cinta pertamaku atau
tetanggaku itu. Aulia yang bahkan mamaku memberikan nama itu di nama tengah
adikku–oke, Aulia begitu kuat dalam diriku, ‘kan?–yang bahkan jadi bahan
lelucon bagi si mama. Tapi itu bukan masalah bagiku, itu hanya nama, kan? Tapi
sekarang, orangnya berdiri tidak jauh dari tempatku berdiri.
Aulia
sedang bercengkerama dengan beberapa anak muda yang tidak kukenal–padahal
tetangga juga, parah. Mereka sesekali tertawa, lalu berbicara dan kembali lagi
tertawa. Begitu yang aku lihat. Sebenarnya aku sedang kikuk, bingung, dan salah
tingkah. Belum pernah mengobrol sejak–ya, sejak bertahun-tahun lamanya itu.
Lalu sekarang, berada dalam situasi yang mengharuskan aku dan dia setidaknya
bertegur sapa.
Aku
tidak tahu, apakah dia masih ingat denganku? Atau dia sudah lupa? Entahlah. Aku
hanya bisa melihat dia dengan kikuk dan ekspresi yang entah bagaimana
terlihatnya. Aul memandangku sekilas, tapi cukup membuatku berdiri mematung dan
salah tingkah. Aku memilih berjalan cepat ke penjual es teh.
Aku
membuang pandangan memesan satu gelas es teh manis. Sambil menunggu, aku
memainkan rambut hitam panjangku dengan gaya yang sok centil. Merapikan kardigan
coklat susu yang kupakai, walau sebenarnya tidak terlalu berantakan, sih.
Sungguh aku sangat canggung.
“Dhila,
ya?” Ada suatu suara yang menyapaku. Suaranya tidak lantang. Suara bass khas
pria yang asing bagiku. Aku menoleh dan mendapati dia berdiri di hadapanku. “Eh,
Aul?” sapaku balik dengan canggung.
Aku
tidak berharap dia menghampiri dan menyapaku dengan senyum simpul yang bisa
membuatku semakin kikuk. Aduh, aku bisa
meleleh, enggak, lihat senyum manisnya ini?
Aul
mengangguk kecil. “Apa kabar?” tanyanya dengan sikap ramah dan mata menatap
lurus padaku.
“Kabar
baik. Aul apa kabar?” Aku balas bertanya. Masih dengan kikuk.
“Kabar
baik juga.” Dia memberikan cengiran. “Udah lama, ya, enggak ngobrol?”
Sejak kapan pula kita
suka ngobrol? keluhku dalam hati. Lalu aku membalas
dengan cengiran. “Iya, nih. Udah lama banget …. Sibuk apa sekarang?”
Aul
menggaruk-garuk rambutnya—yang menurutku tidak gatal. “Sibuk kerja di IT. Dhila
sibuk apa?”
“Oh.
Aku sibuk nulis aja.”
“Penulis,
ya?”
“Bukan,
Aul. Hmm—” Aku mengulum bibirku. “Ya, penulis juga sih, tapi masih awam dan
enggak terkenal.”
“Ya,
enggak apa-apa. Bagus dong. Lagi ada proyek, ya?” Aulia terlihat mulai
menguasai perbincangan. Sementara aku masih canggung.
“Ya,
lagi ada beberapa project dan deadline-nya mepet semua ini.” Aku
nyengir dan kembali meminum es tehku.
Aul
sudah terlihat begitu dewasa secara fisik dan penampilan. Dalam balutan kaos
abu-abu lengan pendek dan berkerah V ditutupi dengan kemeja kotak-kotak hitam
putih yang lengannya digulung, lalu celana jeans yang bentuknya lurus serta
sepatu kets berwarna hitam merah dengan.
Aku
melihatnya dengan begitu kagum. Entah akan terlihat seperti apa pandanganku ini
olehnya, tetapi aku senang melihat dia yang ramah dan santai ini. Kembali
mengobrol dengannya seperti mengingat cinta pertama yang lebih bisa disebut
cinta monyet itu.
Apa
yang terjadi saat kecil itu belum bisa dibilang cinta, ‘kan? Bayangkan saja,
usia TK sudah mulai tertarik dengan lawan jenis? Kalau zaman sekarang, sih,
sebutannya ganjen, genit, centil, atau apalah. Tapi bagiku, itulah pertama
kalinya aku mulai merasakan sesuatu pada lawan jenis yang tidak bisa
diungkapkan dengan kata-kata. Hanya bisa dirasakan.
“The Boy Next Door.” Itulah sebutanku
baginya. Memang dia tidak tinggal di samping tempat tinggalku, tetapi dia tetap
tetangga dan bagiku dia seperti itu. Matanya selalu sama seperti dulu, jernih
dan berbinar.
Dia
tampak antusias dengan hobi menulisku. “Hebat, nih. Sudah sejauh mana
progresnya? Ada berapa project?”
Aul
mendesakku dengan pertanyaan yang sebenarnya membuatku tidak nyaman. Karena aku
belum melakukan banyak hal, yang kulakukan adalah permulaan. “Biasa aja kok,
Aul.” Aku tersenyum tipis.
“Ada
beberapa, dua atau tiga cerpen dan mini novel. Satu project sama beberapa penulis muda lain di berbagai kota.” Aku
menjelaskan dengan singkat.
“Wah,
serius? Hebat! Kerja sama penulis muda lainnya? Kok bisa?” tanyanya antusias.
Nah,
aku malah jadi bingung menjawabnya. “Hmm … Ya, ‘kan kenalan sama mereka. Lewat twitter dan komunitas gitu. Lalu
tercetuslah ide ini. Kalau yang lomba, dari twitter juga.” Lalu aku memberikan
cengiran.
Aulia
tertawa renyah. “Oh, baguslah. Hebat, ya, bisa ngelakuin hal itu. Tapi emang
suka nulis, Dhila?”
“Iya.
Suka dan senang menulis.”
“Wuih! Baru tahu. Wajar juga, sih.” Aulia
memalingkan pandangannya pada hal lain yang tidak aku ketahui, lalu memandangi
aku lagi. “Dulu ‘kan belum bisa nulis. Palingan gambar-gambaran, kan?”
Ya,
dulu aku senang sekali menggambar. Itu sudah seperti bakat alami, padahal tidak
tahu bagaimana gambar yang indah itu seperti apa. Pokoknya aku suka
mencorat-coret kertas dengan pensil warna.
“Iya
sih. Tapi kan pas SD udah bisa nulis, dong.” Aku mulai merasa nyaman (lagi)
mengobrol dengannya.
Aulia
tertawa geli. “Iya. Pasti pas SD nih suka nulisnya.”
“Iyalah.
Kan udah belajar nulis.” Aku menimpali. Agak terlihat aneh sepertinya daripada
dibilang akrab, kan?
Lalu
aku dan Aul sama-sama mengalihkan pandangan. Aku melihat ibu-ibu yang sedang
asyik karaokean di atas panggung. Ada pula beberapa anak muda yang berkumpul
sambil mengobrol dan makan sesuatu. Suasananya benar-benar akrab dan bersahabat
sekali.
Tidak
ada kendaraan yang lewat, seperti mobil dan sepeda motor. Yang ada hanya
orang-orang yang berlalu lalang dan beberapa orang yang bersepeda. Sepanjang
jalan penuh dengan stan-stan dan orang-orang, ramai dan memusingkan bagiku,
sebenarnya.
Ramai
dan bersahabat, suasana festival di lingkungan perumahan yang jarang sekali
terjadi. Lingkungan perumahanku terkenal tidak saling kenal dengan tetangga,
tidak suka berbaur, dan agak tertutup. Walau kenyataannya begitu, tetapi aku
masih kenal satu blok tetanggaku. Beberapa dari mereka datang ke acara ini.
Kegiatan
yang menyenangkan, benar-benar membuat tetangga yang tidak saling kenal menjadi
kenal. Bertegur sapa dan mengobrol dengan tetangga lama atau baru, dan tentunya
kembali bertemu dengan cinta pertama.
Ternyata,
ada cinta pertama yang terselip dalam suasana ramai dan bersahabat ini. Ajaibnya,
cinta pertama itu tetap terasa hangat dalam keramaian. Aku tersenyum dalam
hati.
“Terus,
kerjaan Aul gimana?” Aku kembali membuka pembicaraan.
Aulia
kembali memandangiku setelah sebelumnya mengobrol dari jarak jauh dengan
seseorang yang tidak kukenal.
“Ya,
namanya juga kerjaan kantor. Banyak kerjaan dan klien. Jadi, ya, ribet dan penat.” Aul menjelaskan.
Wajahnya berhadapan dengan wajahku. Semoga saja aku tidak tersipu malu atau
pipi merona merah muda dipandangi olehnya.
“Ya,
baguslah kalau gitu. Kerjaannya lancar karena masih sibuk dan dikasih tanggung
jawab lebih, deh.” Aku menimpali
“Iya,
sih.” Aul nyengir. “Kabar orang tua gimana, Dhila?”
“Baik,
Alhamdulillah. Mereka ada di rumah,”
jawabku dengan senyum. “Orang tuamu? Kakak kamu?”
“Sehat
semua, Alhamdulillah. Masih inget aja
sama kakak aku.”
“Ingat,
dong. Dulu kan suka pergi ke TK bareng juga. Hihihi.” Aku malu saat
mengatakannya, pasti terlihat jelas pandangan dan ekspresi merona bahagiaku.
Cinta
pertama itu memang tidak terlupakan, ya? Bagiku, iya. Karena dia orang pertama
yang menyentuh relung hati tanpa seizin kita. Karena dia yang pertama kali membuat
kita kenal arti naksir, suka, dan cinta. Walau itu mungkin berarti cinta
monyet.
Cinta
pertama pula yang mengajarkan cara kita arti lawan jenis dan belajar memahami
perasaan. Mau itu cinta monyet atau cinta pada usia yang belum seharusnya jatuh
cinta, tapi saat itulah kita belajar menyukai, tertarik, dan perhatian pada
orang lain selain keluarga kita.
Cinta
pertama tidak akan pernah hilang. Enggak percaya? Sebagian besar orang, baik
perempuan atau laki-laki masih ingat sama cinta pertamanya. Coba sebut saja
cinta pertama, beberapa akan menjawabnya dengan semangat dan antusias. Sebab,
cinta pertama yang mengajarkan mereka—juga aku—seperti apa menyukai seseorang.
“Aku
kok jarang lihat mama kamu?” Aul kembali mengajak berbicara.
Aku
masih sibuk menghabiskan es teh manisku.“Iya, di rumah aja. Ngurus cucu,” jawabku
jujur atau kelewat jujur mungkin ya.
“Oh!
Kakakmu udah nikah semua?” Aul kaget, kedua matanya terbelalak lebar.
“Yang
pertama. Yang kedua belum,” sahutku dengan cepat.
“Udah
jadi tante, ya—” kelakar Aul.
“Ya,
gitu deh.”
Lalu
kami berdua tertawa bersama. Aku cukup senang bisa berbicara lagi dengannya
setelah sekin lama tak berbincang dengan cinta pertamaku ini. Dengan tetangga
satu komplekku. The boy next door.
“Kamu
juga di rumah terus, ya?” Aul menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan.
Aku
mengangguk. “Iya, paling keluar ke sekolah atau jalan sama keluarga atau temen.
Lagian, mau ngapain coba, aku gak kenal tetangga di luar blok,” jawabku polos.
“Ya,
kenalan, dong.”
“Iya,
makanya aku datang hari ke acara ini, biar bisa kenalan. Eh, tetep aja ketemu
dan ngobrolnya sama yang udah kenal. Sama kamu lagi, kan?” Kemudian aku
menyesalikata-kataku barusan. Halah!
“Mau
aku kenalin?” tawarnya.
Tawaran
Aul tidak menarik bagiku. Toh, walau dikenalkan mungkin aku dan tetangga yang
lainnya tetap tidak akan saling tegur sapa. Kalau tetangga samping kanan-kiri
depan rumah satu komplek, sih, aku sudah kenal dan kalau bertemu tegur sapa.
Tetapi tetangga di luar komplek ‘kan tidak semuanya aku kenal.
“Enggak
usah deh,” tolakku enggan.
“Ya,
biar kamu kenal sama mereka juga. Enggak beda jauh, kok, usianya. Malah ada
yang lebih muda.” Aulia tetap saja menawarkanku tanpa paksaan. Aku tahu tujuannya
baik, tapi aku selalu ingin menghindari
topik seperti ini.
Memang
tujuan acara festival ini bukan sekadar festival yang mengeluarkan atau
menghabiskan uang begitu saja. Diharapkan bisa berbaur dan mengenal tetangga
yang lain. Tetapi karena beberapa sudah kenal dan yang belum kukenal juga
kebanyakan orang-orang yang sudah lebih tua dari aku, jadi kupikir lebih baik
tidak usah. Walau yang ingin dikenalkan oleh Aul adalah sekumpulan remaja
komplek rumahku ini.
Para
remaja komplek ini memang asing secara wajah dan sosok-sosok mereka. Aku memang
tidak kenal dan tidak mengenalkan diri, tidak pula berbaur. Boleh dibilang, di
komplek ini aku kuper alias kurang
pergaulan. Aku memang jarang keluar dan bertemu dengan tetangga dari dulu.
“Enggak
usah deh. Lebih baik enggak. Masih mau keliling. Banyak stan yang belum aku
liat.” Aku melihat ekspresi Aulia yang sedikit kecewa.
“Ya,
sudah. Enggak apa kok.” Lalu dia tersenyum simpul. “Mau ke mana emangnya?”
Aku
kembali menyapukan pandanganku ke sekitar stan-stan. “Banyak. Stan makanan
belum semua aku datangi. Belum lagi yang jilbab dan pakaian. Banyak deh.” Aku
nyengir.
Aulia
juga ikut nyengir. “Oh, mau pakai jilbab, ya? Bagus, deh. Ya udah kalau gitu,
selamat keliling, ya.”
“Iya.”
Aku membalasnya dengan senyum simpul. Lalu bersiap meninggalkan Aulia.
“Eh,
Dhila—” Aulia menghentikan langkahku. “Boleh minta nomor ponselmu?”
Kaget
dan bingung, tapi ada sedikit senang di hatiku. “Boleh.”
Aulia
mengeluarkan ponselnya dan bersiap menyimpan nomorku. Aku menyebutkannya dan Aulia
mengetikkan. “Boleh, ‘kan, kapan-kapan aku sms kamu?”
Aku
mengangguk sambil tersenyum tipis. “Boleh, kok.”
Setelah
itu kami berpisah.
Ya,
cinta pertamaku masih tetap Aulia. Bahkan nama itu tidak akan pernah lepas
dariku. Nama dan sosok Aul tetap akan kuat dalam diriku, sebagai cinta pertama,
dan ‘the boy next door’-ku. Cinta
pertama tidak akan mudah dilupakan kenangannya sepanjang masa.
Lalu
aku kembali melanjutkan kegiatanku berkeliling stan dan melihat sambil tersipu
malu dan senyum sendiri. Kisah cinta pertama itu memang tidak terlupakan dan
tidak akan terganti.
Bertemu
dengan cinta pertamaku sejak beberapa tahun lalu, aku seperti merasakan
perasaan itu lagi. Perasaan jatuh cinta, lagi.
Selesai
*Cerita Pendek ini ditulis
oleh Dania Sunshine
Tidak ada komentar:
Posting Komentar