... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ...

Kamis, 09 Mei 2013

[Cerpen] The Boy Next Door



Sumber : Google
“Festival Warga?” tanyaku saat membaca surat edaran dari Ibu RT yang bertamu di rumahku. Aku mengintip dari ruang makan, Mama sedang berbincang dengan ibu RT di runag tamu
“Palingan juga acara buang uang seperti biasanya,” ucap Mama setelah ibu RT pulang. Seperti biasa, Mama akan berkomentar demikian—dengan ekspresi mencibir.
“Bukannya kayak pasar malam ya, Ma?”
“Itu ‘kan cuma acara kumpul-kumpul gitu, terus makan-makan, gosip. Biasalah ibu-ibu di sini kan hobi yang seperti itu.” Mama menggerutu sendiri.
Aku meletakan surat edaran tersebut. “Ada stan-stan, tuh. Berarti kan ada jualannya. Enggak kayak kumpul-kumpul dan makan-makan waktu lebaran. Menurut aku sih, Ma. Aku mau datang, ah. Mau lihat.”
Mama mengerucutkan bibirnya. “Ya sudah, kalau mau datang.”
“Kan belum pernah ada acara seperti ini, Ma. Adanya cuma pasar malam. Tapi itu juga enggak sepanjang jalan komplek. Bagus, kan? Jadi enggak banyak kendaraan berkeliaran seharian. Kayak car free day gitu, bebas kendaraan,” ocehku.
Aku membayangkan acara nanti akan bebas kendaraan. Sepanjang jalanan hanya ada stan-stan yang menjual macam-macam dan semua warga memenuhi pinggir jalan. Sepertinya seru.
Mama melahap makan siangnya lagi tanpa berkomentar.
**
Aku memang tertarik untuk datang ke Festival Warga. Selain ini adalah acara baru yang belum pernah diadakan di lingkungan tempat tinggalku, juga ada banyak hal lainnya. Bertemu dan berbincang dengan tetangga, melihat-lihat apa saja yang dijual dan tentunya dengan niat membeli, dan mungkin bisa bertemu dengan cinta pertamaku.
Cinta pertama? Aduh, kalau ingat tentang dua kata itu pasti aku akan langsung gugup. Cinta pertamaku adalah tetanggaku dan teman TK-ku. Sedangkan aku—mungkin—akan bertemu dengan dia pada perayaan festival yang diselenggarakan sepanjang komplek perumahan kami.
Rumahnya tidak berdampingan dengan rumahku. Rumahnya berada di pinggir jalan yang berseberangan dengan gang rumahku. Kami berada di lingkungan perumahan yang sama, satu RT, satu RW, satu kecamatan, dan satu kelurahan. Ditambah lagi, orang tua kami yang saling kenal, walau bukan termasuk golongan hubungan akrab dan dekat.
Namanya Aulia Agung—Aku memanggil cowok itu ‘Aul’. Tubuhnya tinggi dan besar, dengan kulit berwarna kuning langsat. Rambutnya pendek dan hitam. Ada tahi lalat di area pipinya. Bibirnya merah dan tipis.
Bisa dibilang, aku tidak mengenal Aul secara baik. Walau kami bertetangga, walau dia adalah cinta pertamaku, tetap saja aku tidak mengenal dia secara pribadi. Ceritanya juga sederhana, dia teman se-TK dan kami selalu berangkat bersama. Sejak itu kami memang dekat dan aku sering duduk di sampingnya. Tapi, semakin kami beranjak dewasa, kami malah tidak dekat dan seperti tidak kenal.
Mulai pagi ini hingga nanti malam, festival akan diadakan sehari penuh. Festival ini diadakan untuk merayakan Hari Proklamasi Indonesia, 17 Agustus 2012. Ini pertama kalinya di lingkungan perumahanku mengadakan acara ini. Akan ada banyak stan makanan, jilbab, pakaian, dan dagangan lainnya. Acara ini bukan pula sukarela, jadi dibuat seperti pasar malam. Hanya saja diadakan seharian penuh dan ditambah hiburan lagu-lagu dan karaoke bersama bagi siapa saja yang mau bernyanyi.
Aku tidak mungkin tidak datang, ‘kan? Karena pestanya di depan gangku, jadi otomatis aku akan datang dan melihatnya. Walau ibuku atau siapapun di rumahku tidak tertarik datang, tapi aku mau datang karena ini pertama kalinya dan menurutku ini seru.
**
Aku sedang melihat-lihat stan yang menjual aksesori wanita yang lucu. Harganya juga tidak mahal dan dibuat dari bahan yang mudah. Ada manik-manik dan tali berbahan rajutan yang halus. Gelangnya dibuat kepang dan di bagian tengahnya ada bandul hiasan Menara Eiffel kecil.
Ada berbagai warna dan model serta bahan yang digunakan pada pernak-pernik ini. Membuatku tertarik untuk melihat-lihat, memilih, dan membelinya. Pilihanku jatuh pada gelang dengan bahan tali rajutan yang dikepang berwarna biru dan hijau dengan bandul miniatur Menara Eiffel dan satu lagi gelang.
Saat aku sedang melihat-lihat ke stan lainnya, saat itulah aku melihat Aul. Yes, Aul atau cinta pertamaku atau tetanggaku itu. Aulia yang bahkan mamaku memberikan nama itu di nama tengah adikku–oke, Aulia begitu kuat dalam diriku, ‘kan?–yang bahkan jadi bahan lelucon bagi si mama. Tapi itu bukan masalah bagiku, itu hanya nama, kan? Tapi sekarang, orangnya berdiri tidak jauh dari tempatku berdiri.
Aulia sedang bercengkerama dengan beberapa anak muda yang tidak kukenal–padahal tetangga juga, parah. Mereka sesekali tertawa, lalu berbicara dan kembali lagi tertawa. Begitu yang aku lihat. Sebenarnya aku sedang kikuk, bingung, dan salah tingkah. Belum pernah mengobrol sejak–ya, sejak bertahun-tahun lamanya itu. Lalu sekarang, berada dalam situasi yang mengharuskan aku dan dia setidaknya bertegur sapa.
Aku tidak tahu, apakah dia masih ingat denganku? Atau dia sudah lupa? Entahlah. Aku hanya bisa melihat dia dengan kikuk dan ekspresi yang entah bagaimana terlihatnya. Aul memandangku sekilas, tapi cukup membuatku berdiri mematung dan salah tingkah. Aku memilih berjalan cepat ke penjual es teh.
Aku membuang pandangan memesan satu gelas es teh manis. Sambil menunggu, aku memainkan rambut hitam panjangku dengan gaya yang sok centil. Merapikan kardigan coklat susu yang kupakai, walau sebenarnya tidak terlalu berantakan, sih. Sungguh aku sangat canggung.
“Dhila, ya?” Ada suatu suara yang menyapaku. Suaranya tidak lantang. Suara bass khas pria yang asing bagiku. Aku menoleh dan mendapati dia berdiri di hadapanku. “Eh, Aul?” sapaku balik dengan canggung.
Aku tidak berharap dia menghampiri dan menyapaku dengan senyum simpul yang bisa membuatku semakin kikuk. Aduh, aku bisa meleleh, enggak, lihat senyum manisnya ini?
Aul mengangguk kecil. “Apa kabar?” tanyanya dengan sikap ramah dan mata menatap lurus padaku.
“Kabar baik. Aul apa kabar?” Aku balas bertanya. Masih dengan kikuk.
“Kabar baik juga.” Dia memberikan cengiran. “Udah lama, ya, enggak ngobrol?”
Sejak kapan pula kita suka ngobrol? keluhku dalam hati. Lalu aku membalas dengan cengiran. “Iya, nih. Udah lama banget …. Sibuk apa sekarang?”
Aul menggaruk-garuk rambutnya—yang menurutku tidak gatal. “Sibuk kerja di IT. Dhila sibuk apa?”
“Oh. Aku sibuk nulis aja.”
“Penulis, ya?”
“Bukan, Aul. Hmm—” Aku mengulum bibirku. “Ya, penulis juga sih, tapi masih awam dan enggak terkenal.”
“Ya, enggak apa-apa. Bagus dong. Lagi ada proyek, ya?” Aulia terlihat mulai menguasai perbincangan. Sementara aku masih canggung.
“Ya, lagi ada beberapa project dan deadline-nya mepet semua ini.” Aku nyengir dan kembali meminum es tehku.
Aul sudah terlihat begitu dewasa secara fisik dan penampilan. Dalam balutan kaos abu-abu lengan pendek dan berkerah V ditutupi dengan kemeja kotak-kotak hitam putih yang lengannya digulung, lalu celana jeans yang bentuknya lurus serta sepatu kets berwarna hitam merah dengan.
Aku melihatnya dengan begitu kagum. Entah akan terlihat seperti apa pandanganku ini olehnya, tetapi aku senang melihat dia yang ramah dan santai ini. Kembali mengobrol dengannya seperti mengingat cinta pertama yang lebih bisa disebut cinta monyet itu.
Apa yang terjadi saat kecil itu belum bisa dibilang cinta, ‘kan? Bayangkan saja, usia TK sudah mulai tertarik dengan lawan jenis? Kalau zaman sekarang, sih, sebutannya ganjen, genit, centil, atau apalah. Tapi bagiku, itulah pertama kalinya aku mulai merasakan sesuatu pada lawan jenis yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Hanya bisa dirasakan.
The Boy Next Door.” Itulah sebutanku baginya. Memang dia tidak tinggal di samping tempat tinggalku, tetapi dia tetap tetangga dan bagiku dia seperti itu. Matanya selalu sama seperti dulu, jernih dan berbinar.
Dia tampak antusias dengan hobi menulisku. “Hebat, nih. Sudah sejauh mana progresnya? Ada berapa project?”
Aul mendesakku dengan pertanyaan yang sebenarnya membuatku tidak nyaman. Karena aku belum melakukan banyak hal, yang kulakukan adalah permulaan. “Biasa aja kok, Aul.” Aku tersenyum tipis.
“Ada beberapa, dua atau tiga cerpen dan mini novel. Satu project sama beberapa penulis muda lain di berbagai kota.” Aku menjelaskan dengan singkat.
“Wah, serius? Hebat! Kerja sama penulis muda lainnya? Kok bisa?” tanyanya antusias.
Nah, aku malah jadi bingung menjawabnya. “Hmm … Ya, ‘kan kenalan sama mereka. Lewat twitter dan komunitas gitu. Lalu tercetuslah ide ini. Kalau yang lomba, dari twitter juga.” Lalu aku memberikan cengiran.
Aulia tertawa renyah. “Oh, baguslah. Hebat, ya, bisa ngelakuin hal itu. Tapi emang suka nulis, Dhila?”
“Iya. Suka dan senang menulis.”
Wuih! Baru tahu. Wajar juga, sih.” Aulia memalingkan pandangannya pada hal lain yang tidak aku ketahui, lalu memandangi aku lagi. “Dulu ‘kan belum bisa nulis. Palingan gambar-gambaran, kan?”
Ya, dulu aku senang sekali menggambar. Itu sudah seperti bakat alami, padahal tidak tahu bagaimana gambar yang indah itu seperti apa. Pokoknya aku suka mencorat-coret kertas dengan pensil warna.
“Iya sih. Tapi kan pas SD udah bisa nulis, dong.” Aku mulai merasa nyaman (lagi) mengobrol dengannya.
Aulia tertawa geli. “Iya. Pasti pas SD nih suka nulisnya.”
“Iyalah. Kan udah belajar nulis.” Aku menimpali. Agak terlihat aneh sepertinya daripada dibilang akrab, kan?
Lalu aku dan Aul sama-sama mengalihkan pandangan. Aku melihat ibu-ibu yang sedang asyik karaokean di atas panggung. Ada pula beberapa anak muda yang berkumpul sambil mengobrol dan makan sesuatu. Suasananya benar-benar akrab dan bersahabat sekali.
Tidak ada kendaraan yang lewat, seperti mobil dan sepeda motor. Yang ada hanya orang-orang yang berlalu lalang dan beberapa orang yang bersepeda. Sepanjang jalan penuh dengan stan-stan dan orang-orang, ramai dan memusingkan bagiku, sebenarnya.
Ramai dan bersahabat, suasana festival di lingkungan perumahan yang jarang sekali terjadi. Lingkungan perumahanku terkenal tidak saling kenal dengan tetangga, tidak suka berbaur, dan agak tertutup. Walau kenyataannya begitu, tetapi aku masih kenal satu blok tetanggaku. Beberapa dari mereka datang ke acara ini.
Kegiatan yang menyenangkan, benar-benar membuat tetangga yang tidak saling kenal menjadi kenal. Bertegur sapa dan mengobrol dengan tetangga lama atau baru, dan tentunya kembali bertemu dengan cinta pertama.
Ternyata, ada cinta pertama yang terselip dalam suasana ramai dan bersahabat ini. Ajaibnya, cinta pertama itu tetap terasa hangat dalam keramaian. Aku tersenyum dalam hati.
“Terus, kerjaan Aul gimana?” Aku kembali membuka pembicaraan.
Aulia kembali memandangiku setelah sebelumnya mengobrol dari jarak jauh dengan seseorang yang tidak kukenal.
“Ya, namanya juga kerjaan kantor. Banyak kerjaan dan klien.  Jadi, ya, ribet dan penat.” Aul menjelaskan. Wajahnya berhadapan dengan wajahku. Semoga saja aku tidak tersipu malu atau pipi merona merah muda dipandangi olehnya.
“Ya, baguslah kalau gitu. Kerjaannya lancar karena masih sibuk dan dikasih tanggung jawab lebih, deh.” Aku menimpali
“Iya, sih.” Aul nyengir. “Kabar orang tua gimana, Dhila?”
“Baik, Alhamdulillah. Mereka ada di rumah,” jawabku dengan senyum. “Orang tuamu? Kakak kamu?”
“Sehat semua, Alhamdulillah. Masih inget aja sama kakak aku.”
“Ingat, dong. Dulu kan suka pergi ke TK bareng juga. Hihihi.” Aku malu saat mengatakannya, pasti terlihat jelas pandangan dan ekspresi merona bahagiaku.
Cinta pertama itu memang tidak terlupakan, ya? Bagiku, iya. Karena dia orang pertama yang menyentuh relung hati tanpa seizin kita. Karena dia yang pertama kali membuat kita kenal arti naksir, suka, dan cinta. Walau itu mungkin berarti cinta monyet.
Cinta pertama pula yang mengajarkan cara kita arti lawan jenis dan belajar memahami perasaan. Mau itu cinta monyet atau cinta pada usia yang belum seharusnya jatuh cinta, tapi saat itulah kita belajar menyukai, tertarik, dan perhatian pada orang lain selain keluarga kita.
Cinta pertama tidak akan pernah hilang. Enggak percaya? Sebagian besar orang, baik perempuan atau laki-laki masih ingat sama cinta pertamanya. Coba sebut saja cinta pertama, beberapa akan menjawabnya dengan semangat dan antusias. Sebab, cinta pertama yang mengajarkan mereka—juga aku—seperti apa menyukai seseorang.
“Aku kok jarang lihat mama kamu?” Aul kembali mengajak berbicara.
Aku masih sibuk menghabiskan es teh manisku.“Iya, di rumah aja. Ngurus cucu,” jawabku jujur atau kelewat jujur mungkin ya.
“Oh! Kakakmu udah nikah semua?” Aul kaget, kedua matanya terbelalak lebar.
“Yang pertama. Yang kedua belum,” sahutku dengan cepat.
“Udah jadi tante, ya—” kelakar Aul.
“Ya, gitu deh.”
Lalu kami berdua tertawa bersama. Aku cukup senang bisa berbicara lagi dengannya setelah sekin lama tak berbincang dengan cinta pertamaku ini. Dengan tetangga satu komplekku. The boy next door.
“Kamu juga di rumah terus, ya?” Aul menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan.
Aku mengangguk. “Iya, paling keluar ke sekolah atau jalan sama keluarga atau temen. Lagian, mau ngapain coba, aku gak kenal tetangga di luar blok,” jawabku polos.
“Ya, kenalan, dong.”
“Iya, makanya aku datang hari ke acara ini, biar bisa kenalan. Eh, tetep aja ketemu dan ngobrolnya sama yang udah kenal. Sama kamu lagi, kan?” Kemudian aku menyesalikata-kataku barusan. Halah!
“Mau aku kenalin?” tawarnya.
Tawaran Aul tidak menarik bagiku. Toh, walau dikenalkan mungkin aku dan tetangga yang lainnya tetap tidak akan saling tegur sapa. Kalau tetangga samping kanan-kiri depan rumah satu komplek, sih, aku sudah kenal dan kalau bertemu tegur sapa. Tetapi tetangga di luar komplek ‘kan tidak semuanya aku kenal.
“Enggak usah deh,” tolakku enggan.
“Ya, biar kamu kenal sama mereka juga. Enggak beda jauh, kok, usianya. Malah ada yang lebih muda.” Aulia tetap saja menawarkanku tanpa paksaan. Aku tahu tujuannya baik, tapi aku selalu ingin  menghindari topik seperti ini.
Memang tujuan acara festival ini bukan sekadar festival yang mengeluarkan atau menghabiskan uang begitu saja. Diharapkan bisa berbaur dan mengenal tetangga yang lain. Tetapi karena beberapa sudah kenal dan yang belum kukenal juga kebanyakan orang-orang yang sudah lebih tua dari aku, jadi kupikir lebih baik tidak usah. Walau yang ingin dikenalkan oleh Aul adalah sekumpulan remaja komplek rumahku ini.
Para remaja komplek ini memang asing secara wajah dan sosok-sosok mereka. Aku memang tidak kenal dan tidak mengenalkan diri, tidak pula berbaur. Boleh dibilang, di komplek ini aku kuper alias kurang pergaulan. Aku memang jarang keluar dan bertemu dengan tetangga dari dulu.
“Enggak usah deh. Lebih baik enggak. Masih mau keliling. Banyak stan yang belum aku liat.” Aku melihat ekspresi Aulia yang sedikit kecewa.
“Ya, sudah. Enggak apa kok.” Lalu dia tersenyum simpul. “Mau ke mana emangnya?”
Aku kembali menyapukan pandanganku ke sekitar stan-stan. “Banyak. Stan makanan belum semua aku datangi. Belum lagi yang jilbab dan pakaian. Banyak deh.” Aku nyengir.
Aulia juga ikut nyengir. “Oh, mau pakai jilbab, ya? Bagus, deh. Ya udah kalau gitu, selamat keliling, ya.”
“Iya.” Aku membalasnya dengan senyum simpul. Lalu bersiap meninggalkan Aulia.
“Eh, Dhila—” Aulia menghentikan langkahku. “Boleh minta nomor ponselmu?”
Kaget dan bingung, tapi ada sedikit senang di hatiku. “Boleh.”
Aulia mengeluarkan ponselnya dan bersiap menyimpan nomorku. Aku menyebutkannya dan Aulia mengetikkan. “Boleh, ‘kan, kapan-kapan aku sms kamu?”
Aku mengangguk sambil tersenyum tipis. “Boleh, kok.”
Setelah itu kami berpisah.
Ya, cinta pertamaku masih tetap Aulia. Bahkan nama itu tidak akan pernah lepas dariku. Nama dan sosok Aul tetap akan kuat dalam diriku, sebagai cinta pertama, dan ‘the boy next door’-ku. Cinta pertama tidak akan mudah dilupakan kenangannya sepanjang masa.
Lalu aku kembali melanjutkan kegiatanku berkeliling stan dan melihat sambil tersipu malu dan senyum sendiri. Kisah cinta pertama itu memang tidak terlupakan dan tidak akan terganti.
Bertemu dengan cinta pertamaku sejak beberapa tahun lalu, aku seperti merasakan perasaan itu lagi. Perasaan jatuh cinta, lagi.
Selesai
*Cerita Pendek ini ditulis oleh Dania Sunshine

Tidak ada komentar:

Posting Komentar