-Rinai-
“Cinta itu sekuat kematian ....
kau tak akan pernah tahu sampai saatnya tiba.”
Aku
memandang lekat pada nisan dingin di hadapanku. Aku tahu sebentar lagi butiran
kristal akan jatuh dari pelupuk mataku. Selalu begini, tiap aku ke tempat ini.
Tiap aku memandang lekat pada nisan kaku ini. Tiap aku berbincang lewat kata
atau doa pada sebaris nama yang terukir di situ.
Arwan Bagaskara
Perlahan,
air mataku turun saat nama itu kueja terus dalam hati. Sosok yang sampai
sekarang masih begitu lekat dalam ingatanku. Lelaki yang enam bulan lalu masih
bisa kulihat senyumnya. Lelaki yang berani melamarku dan menjadikanku
tunangannya. Lelaki yang jasadnya sudah bersatu dengan tanah itu … dia
Bagas-ku. Aku rindu dia.
Cukup
lama aku bercerita lewat isak tentang hari-hariku seminggu belakangan ini, pada
sosok Bagas yang masih bisa kurekam lewat kenangan, sampai tiba-tiba sebuah
tangan menyentuh pundakku dari samping. Aku tidak kaget lagi, sebab kutahu
tangan milik siapa itu.
Sumber : Google |
Aku
menoleh pada lelaki yang sedang berjongkok di sampingku sambil mengangguk
kecil. Dia selalu tahu kapan waktunya aku harus berhenti terisak di depan
makam. Aku lalu menutup mata, berdoa untuk Bagas. Aku tahu dia di sampingku
juga melakukan hal yang sama.
“Kita
pulang sekarang?” Dia bertanya yang kubalas dengan anggukan.
Kami
berjalan meninggalkan kompleks pemakaman umum.
-Ibnu-
“Doa adalah cara terbaik untuk memeluk dirimu
dan orang lain. Jadi, mari saling berpelukan lewat doa-doa, Sayang.”
Lagi-lagi
dia menangis. Bola mata indahnya tertutup kabut lagi di makam tadi. Selalu
begitu. Sejak kematian Bagas, tunangannya, enam bulan lalu. Aku tahu tidak
mudah bagi Rinai menghadapi kenyataan bahwa calon suaminya begitu cepat pergi
meninggalkannya, dengan cara yang tak diduga-duga.
Aku
masih ingat senyum ceria Rinai saat memberitahuku soal Bagas yang akan segera
melamarnya, satu setengah tahun yang lalu. Aku masih ingat bagaimana sahabatku
dari SD ini dengan antusias menceritakan rencana-rencana masa depannya dengan
lelaki yang sudah tiga tahun dipacarinya itu.
Lalu,
tiba-tiba keceriaan itu berubah jadi mendung yang menggantung di pelupuk
matanya, enam bulan lalu. Seperti senyum ceria Rinai, aku pun masih sangat
ingat bagaimana hancurnya dia saat menemukan tubuh Bagas sudah tak bernyawa di
kamar rumah sakit. Sebuah kecelakaan mobil di jalan raya, satu dari dua korban
tewas adalah Bagas.
Saat
itu, untuk pertama kalinya sejak aku mengenalnya saat SD, aku lihat Rinai
begitu terpuruk dan rapuh. Aku merasakan kehancuran yang sama. Rinai, sahabat
karibku seperti kehilangan setengah hidupnya. Aku lebih hancur lagi saat
mendapati diriku tak bisa apa-apa selain selalu ada di sampingnya dan
mengawasinya.
Aku
tak bisa mengembalikan senyum cerianya. Aku tak bisa membuatnya tertawa riang.
Aku tak bisa mengembalikan Rinai yang selalu tersenyum pada semua orang. Aku
menyadari bahwa sebagai sahabat, aku tak bisa berbuat apa-apa untuknya. Aku
hanya bisa selalu berdiri di sampingnya dalam diam. Itu saja.
“Ibnu?”
Panggilan
kecil dari Rinai memaksaku kembali dari ‘jalan-jalan’ku ke beberapa waktu yang
lalu. Kami sudah sampai di parkiran kompleks pemakaman umum. Aku menatap Rinai
yang matanya masih sembab.
“Kita
pulang sekarang?” tanyaku.
Rinai
menatapku sebentar dengan mata sendunya. Sungguh aku tak sanggup melihat
kesedihan di mata beningnya. “Jangan pulang sekarang deh, Nu. Kalau Ibu lihat
mataku bengkak lagi, nanti dia ikutan sedih. Kita ke mana aja dulu, deh.”
“Kamu masuk dulu,
deh. Nanti di jalan aku pikirkan ke mana kita selanjutnya.” Aku tersenyum
lembut pada perempuan 22 tahun di hadapanku.
Rinai mengangguk sambil membuka pintu mobil. Kami
berjalan menyusuri jalanan sore Makassar yang cukup padat. Di mobil, Rinai
hanya diam. Larut pada pikirannya. Entah tentang apa. Mungkin—atau
pasti—tentang Bagas.
Maka kuputuskan membawa Rinai ke tempat itu.
**
-Rinai-
Pukul lima sore. Pantai Losari Makassar. Lagi-lagi Ibnu
selalu tahu apa yang aku butuhkan tanpa sepatah katapun yang aku ucapkan.
Sahabatku dari kecil ini memang paling mengerti aku.
Meski umur kami hanya terpaut setahun, aku yakin Ibnu selalu bisa diandalkan.
Sejak aku SD sampai sekarang kuliah, dia tak pernah meninggalkanku. Saat aku
terpuruk karena Bagas meninggal, dia selalu ada. Ibnu memang sahabat terbaikku.
Aku melihat Ibnu mulai mengeluarkan kamera andalannya
dari dalam tas, benda yang setia dia bawa ke manapun dia pergi. Di depan kami,
kanvas Tuhan membentang dengan sangat megah. Langit jingga sore hari. Sebentar
lagi bola emas raksasa di sana akan tenggelam. Senja.
Pantai, tempat favorit Ibnu, sejak kecil. Aku tahu, sebab
dari dulu aku selalu ikut setiap dia pergi ke pantai-pantai indah di Makassar.
Ibnu membawaku ke sini, ke tempat yang tak ada kenangan aku dengan Bagas. Bagas
punya ketakutan terhadap laut, jadi tak mungkin dia membawaku ke laut atau
pantai. Ibnu membawaku ke sini, ke tempat favoritnya yang juga aku suka.
“Sebenarnya aku ingin memotret gadis hujan ini dengan
latar senja Makassar. Tapi ..., aku tak pernah memakai gadis bermata bengkak
sebagai model fotoku,” kata Ibnu tanpa menoleh ke arahku. Tangannya masih sibuk
menjepret objek indah di depannya.
Aku terkekeh mendengar candaannya. “Walaupun mataku
bengkak, tapi aku masih kelihatan cantik tauuuu! Ayo, sini foto aku!” Aku
sedikit menarik ujung kaosnya. Dia akhirnya terbahak melihat ekspresi pura-pura
kesalku.
**
-Ibnu-
Aku diam-diam memotretnya. Gadis yang matanya sembab ini selalu saja
menarik untuk menjadi objek. Saat matanya menatap kagum pada pemandangan luar
biasa di depannya. Saat mata beningnya menatap kosong sesekali—mungkin
mengingat Bagas. Aku selalu suka apa yang dia lakukan.
Bersama
Rinai selalu nyaman yang kurasa. Kenyamanan ketiga yang kudapatkan selain rahim
dan dekapan Ibu. Aku selalu ingin menjadi penjaganya. Sejak pertama kali
kumengenalnya. Gadis penyuka hujan dengan spontanitasnya yang lugu. Gadis yang
menyembunyikan kerapuhannya dalam ketegaran akibat ujian kehidupan. Gadis ini
selalu menarik tanpa tahu dia telah menarikku.
Ada
satu momen yang kuingat. Saat ayahnya meninggal karena sakit jantung. Saat itu
ia berusia 11 tahun dan duduk di kelas 6 SD. Rinai tidak sedikit pun
mengeluarkan air matanya saat prosesi pemakaman. Bahkan gadis sekecil itu,
tampak lebih tegar dari ibu dan kakaknya. Rinai menenangkan ibunya dari isak
tangis yang meraja akibat kepergian suami tercinta. Rinai.. memahami arti
kehilangan dan ketegaran mengarungi hidup sejak usianya 11 tahun. Dan aku
memergoki ia menangis saat hujan turun. Ia menangis bersama hujan! Ia bercerita
melalui tangisnya. Rinai sahabat kecilku, cinta pertamaku hingga kini.
Ya,
aku mencintainya.
**
-Rinai-
“Ada yang pergi dan ada yang tetap
tinggal.”
Ibnu..
orang yang paling memahamiku setelah Ibu. Lelaki yang karakternya sangat kokoh,
entah mengapa hingga kini ia belum memiliki kekasih. Postur tubuhnya serupa
model, wajahnya yang kearab-araban mendukungnya untuk jadi artis. Tapi Ibnu
adalah lelaki sejati. Ia tidak tertarik untuk menjadi artis ataupun model. Ia
lebih memilih menjadi fotografer … dan sahabatku.
Ibnu
tidak pernah bercerita tentang perempuan yang ia sukai. Aku sering mengoloknya,
lelaki dengan penampilan mendekati sempurna di mataku itu sampai sekarang belum
memiliki kekasih. Apakah gadis-gadis di Makassar tak satupun bisa menarik
perhatiannya?
Aku
ingat, dia pernah mengatakan kalau ada seorang gadis yang sangat ia sayang.
Sayangnya, aku hanya tahu sebatas itu. Ibnu terlalu misterius dalam hal
perasaan, menurutku. Atau mungkin aku yang kurang peka pada sahabat terbaikku
ini? Entahlah, mungkin dulu aku terlalu larut dengan Bagas. Saat itu aku
terlalu fokus pada Bagas.
Ahhh…
Bagas … mengapa Tuhan begitu cepat mengambil lelaki yang kusayangi. Dulu, Ayah
pergi karena jantung. Beberapa bulan lalu, Bagas, tunanganku pergi juga untuk
selamanya. Aku tak mau Ibnu bernasib sama. Aku tak mau Tuhan memanggil Ibnu
dari sisiku. Aku butuh Ibnu. Aku butuh sahabatku.
**
- Ibnu -
“Izinkan aku
selalu menjaganya, Tuhan.
Aku mencintainya. Maka, kutitipkan
ia padaMu. Sebentar saja.”
Aku
mengamati Rinai dari sudut ekor mataku. Ia tampak sedang memikirkan sesuatu.
Wajahnya berubah ekspresi dan ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Lucu sekali gadis
ini.
“Rinai,”
panggilku.
“Hmmm?”
“Lusa
aku akan ke Jakarta. Aku memenangkan kontes Fotografi Landscape Indonesia dari Koran Indonesia. Hadiahnya adalah undangan
menghadiri acara Seminar Fotografi oleh Darwin, fotografer favoritku. Maaf aku
tidak memberitahukan hal tersebut padamu dari awal, karena aku pun masih
bimbang akan menerima tawaran ini atau tidak.”
Rinai
tampak terkejut. Mungkin dia kaget akan berpisah sementara denganku. Maklum,
selama enam bulan terakhir aku tak pernah alpa dari sisinya. Bahkan beberapa
acara kampus yang mengharuskanku keluar kota aku batalkan demi dia. Tapi untuk
yang satu ini aku ingin sekali ikut. Kesempatan ini buatku belum tentu akan
datang dua kali. Makanya aku berani mengutarakan maksudku ini pada Rinai.
“Tapi
kalau kau membutuhkanku tiga hari ini, aku bisa membatalkan undangannya…,”
lanjutku. Aku tak tega melihat wajah sedih gadis ini.
Rinai
menggeleng tegas. “Kamu pergi saja, Cuma dua hari, kan? Aku tahu kau sangat
mengidolakan Darwin. Tenang saja, Insya Allah aku akan baik-baik kok.” Kulihat
Rinai tersenyum menenangkan.
**
-Rinai-
“Mungkin suatu yang terlarang, tak
layak untuk kita paksa terang.
Semuanya
kini terpampang nyata. Segala rahasia. Tanpa sengaja.”
Aku
berjalan pelan memasuki kamar Ibnu. Kemarin aku ceroboh meninggalkan flashdisk-ku saat ke sini. Ibnu sedang
ke Jakarta menghadiri undangan seminar, jadi tadi aku meminta izin pada ibunya
untuk mengambil barang yang kelupaan itu. Sebenarnya satu-satunya privasi yang
tidak mau kuusik dari Ibnu adalah isi kamarnya. Tapi aku terpaksa meminta izin
pada Ibnu, sebab aku sangat membutuhkan flashdisk
tersebut.
Kamar
Ibnu tampak rapi. Ciri khas Ibnu yang teratur. Hitam dan putih. Warna
kesukaanku dan Ibnu. Karena hidup bagi kami adalah pasangan, Yin dan Yang,
senang dan sedih. Semua tercermin dalam warna hitam dan putih. Aku langsung
menemukan flashdisk-ku di atas meja.
Saat
meraih FD, tanpa sengaja aku menyenggol album foto hasil jepretan Ibnu. Aku
tergoda untuk melihatnya. Semua adalah potret tempat-tempat yang Ibnu datangi.
Namun, ada selembar foto yang membuatku tertegun. Foto yang terselip di halaman
terakhir album itu.
Fotoku.
Dalam
foto itu aku sedang menatap kosong ke depan dengan mata yang masih sembab sehabis
menangis. Aku ingat sekali, foto ini pasti diambil beberapa waktu yang lalu
saat aku dan Ibnu ke Losari sehabis menjenguk makam Bagas. Aku menatap kosong
bola emas raksasa yang siap tenggelam.
“Sebenarnya aku ingin memotret gadis hujan ini dengan latar senja Makassar.
Tapi ..., aku tak pernah memakai gadis bermata bengkak sebagai model fotoku,”
Aku
ingat waktu Ibnu bilang itu. Ahh, Ibnu ada-ada saja deh. Aku berniat meletakkan
foto itu kembali, tapi lagi-lagi aku tertegun. Bukan karena keindahan foto-foto
Ibnu yang memang sudah aku akui sejak dulu … melainkan pesan di balik fotonya!
Gadis hujanku yang
tengah bersedih, bisakah kuhapuskan kesedihanmu dengan rasa sayangku? Sebab air
matamu begitu menyakitkanku. Sebab kesedihanmu adalah luka untukku. Sahabatku,
aku mencintaimu. –Ibnu-
Benarkah
ini, Ibnu? Sahabat baikku? Mencintaiku? Tidak mungkin!
**
-Ibnu-
Ada
yang aneh dengan Rinai. Seharian ini gadis itu tak mengangkat telepon dariku.
Padahal kemarin ia terdengar baik-baik saja saat meminta izin mengambil flashdisk-nya yang tertinggal. Apakah
mungkin Rinai teringat kembali pada Bagas? Sepertinya aku harus cepat-cepat
kembali ke Makassar.
**
-Rinai-
Aku
terpaksa mematikan ponselku. Dari semalam Ibnu tak berhenti menghubungiku. Aku
tahu sejam yang lalu dia sudah tiba di Makassar. Dia mengirimkan sebaris pesan
singkat ke nomorku. Sejak sepuluh menit lalu ponselku berhenti berdering karena
kumatikan. Aku belum bisa berbicara padanya. Tepatnya, aku tak bisa bersikap
biasa lagi pada Ibnu.
Sejak
kemarin aku tak memandang Ibnu sebagai sahabat karibku saja. Tapi, kini dia
berubah jadi sosok lelaki dewasa yang memiliki perasaan padaku dan aku tahu
itu. Entah aku begitu bodoh atau kurang peka memahami sahabatku itu. Bagaimana
mungkin Ibnu mencintaiku? Aku tak pernah menyadari itu. Apalagi setelah aku
bertemu dengan Bagas, aku tambah tak pernah peka pada hati sahabatku itu. Tuhan
….
Tiba-tiba
ketukan keras di pintu kamar mengagetkanku. Aku beranjak untuk membukanya.
Ternyata Ibu yang muncul. Tapi mengapa wajahnya cemas seperti itu. “Ada apa,
Bu?”
“Ibnu
… Ibnu kecelakaan, Nak!”
**
-Rinai-
“Tuhan, bolehkah
aku jatuh cinta pada sahabatku ini?”
Sudah
seminggu Ibnu koma di rumah sakit. Sudah seminggu pula aku di sini, tak pernah
meninggalkannya. Dalam seminggu, sudah dua kali dokter melakukan operasi. Aku
tak mengerti pembahasan para dokter, yang kutahu ada yang salah di kepala Ibnu
akibat kecelakaan itu. Perkembangannya mengalami kemajuan, meskipun sampai
sekarang dia masih koma.
Aku
baru benar-benar merasa sendiri dan kesepian setelah Ibnu sakit. Aku
benar-benar kehilangan pegangan dan sandaranku selama ini. Waktu Ayah
meninggal, Ibnu yang selalu ada di sampingku, menguatkanku. Waktu aku bertemu
dan berpacaran dengan Bagas, Ibnu masih setia di dekatku saat kubutuhkan.
Sampai saat Bagas meninggal pun Ibnu masih setia jadi penjagaku, jadi
pelindung, jadi tempatku bersandar. Lalu, jika kini Ibnu terbaring lemah
seperti ini, selain berdoa dan menemaninya, aku tak tahu lagi apa yang bisa
kulakukan untuk Ibnu-ku ini…
Tuhan, sudah cukup kau
panggil Ayah dan Bagas. Tolong jangan ambil Ibnu dari sisiku. Selama ini aku
kuat ditinggalkan mereka karena ada Ibnu di sampingku. Lalu, jika Kau ambil
Ibnu, aku tak yakin bisa kuat….
Aku
memandang wajah pucat Ibnu. Selang dan peralatan rumah sakit mengelilingi tubuh
kokohnya. Sudah kesekian kalinya aku menangis di hadapan tubuh lemahnya. Kalau
Ibnu sadar, dia pasti akan sangat marah padaku. Tapi, demi apapun, aku tak
sanggup melihat Ibnu terbaring di sini.
Ibnu
yang selalu ada di saat apapun dalam hidupku. Selalu. Sejak awal kami menjadi
akrab sampai sekarang. Ibnu yang bahkan dengan menggenggam tanganku saja bisa
menularkan kekuatannya saat aku rapuh. Ibnu yang dengan senyumnya saja bisa
membuatku nyaman saat aku takut. Ibnu yang tidak banyak bicara tapi sungguh
sangat berarti tiap apa yang ia lakukan untukku.
Ya
Tuhan, mungkinkah aku sudah jatuh cinta pada sahabatku jauh sebelum aku
menyadarinya? Sebab, apapun yang kulakukan selama ini, aku tak pernah bisa jauh
dari Ibnu….
**
-Ibnu-
“Sebab, kadang kau tak mengerti bagaimana
proses ilmiah jatuh cinta itu terjadi. Maka, mengapa tak kau ikuti saja alurnya?”
Dua
bulan kemudian ….
Aku
memandang gadis berambut panjang di depanku. Wajah yang sama yang kutemukan
saat pertama kali aku sadar dari koma selama hampir dua minggu di rumah sakit.
Bedanya, matanya kini tidak dipenuhi hujan dan tidak diliputi mendung. Wajah
gadis hujanku kini dipenuhi senyum senja. Hangat dan bahagia.
Kondisiku
sudah berangsur membaik. Hanya perlu melakukan cek setiap dua minggu. Harus aku
akui kemajuanku juga berkat Rinai. Dia tak pernah meninggalkanku dari sejak aku
masuk rumah sakit sampai sekarang.
The
smile on your face
Lets
me know that you need me
There’s
a truth in your eyes
saying
you’ll never leave me
The
touch of your hand says you’ll catch me whenever I fall
You
say it best,
When
you say nothing at all
Rinai
menyanyikan penggalan lagu milik Ronan Keating tersebut sambil menatapku hangat.
Aku suka matanya. Aku suka senyumnya. Aku suka Rinai yang ceria. Aku suka Rinai
yang bahagia. Seperti ini cukup.
Aku
ingat saat aku sadar Rinai langsung memelukku dan berkata dengan suara serak di
telingaku, “Jangan pernah pergi lagi,
Ibnu. Aku membutuhkanmu. Aku sayang kamu, Ibnu. Jangan pernah pergi lagi
….” Saat itu aku hanya bisa mengangguk kecil mengiyakan permintaannya.
Permintaan
yang sama yang selalu ingin kukatakan padanya. Sebenarnya, aku yang membutuhkan
dia. Aku yang tak bisa jauh darinya. Aku yang sudah merasakan ketergantungan
padanya. Saat aku menggenggam tangannya, sebenarnya aku yang butuh kekuatan
darinya. Saat aku tersenyum padanya, aku yang butuh rasa aman darinya. Aku
butuh kekuatan agar tetap bertahan di sampingnya. Aku butuh rasa aman, tak ada
yang menggantikan tempatku di sisinya. Akulah yang membutuhkan Rinai ….
“Ibnu—”
panggil Rinai.
“Hmm….”
“Apakah
di Makassar ini sudah tak ada gadis lain selain aku yang bisa membuatmu jatuh
cinta?”
Aku
terbahak mendengar pertanyaannya. Dasar Rinai! Dia selalu ingin menggodaku
dengan pertanyaan konyol.
“Hmm—,”
Aku menggantung kalimat. “Sebenarnya seperti halnya senja, di manapun aku pergi
pasti aku akan menemukannya. Tapi bagiku, kau seperti Losari, Rinai. Senja
terbaik aku temukan di sana. Senyum termanis hanya bisa kutemukan di wajahmu!”
Aku
melihat wajahnya merona. Kena, kan?! Niatnya mau menggodaku, malah kugoda balik.
Aku tertawa kecil. Rinai masih terlihat malu-malu.
“Lalu,
Ibnu, kapan kau akan melamarku?” Rinai menatapku serius.
“Hah?!!”
—Selesai—
Penulis: metamorfillah dan dhilayaumil
*Cerpen
diangkat dari lagu “When You Say Nothing At All” milik Ronan Keating.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar