... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ...

Kamis, 09 Mei 2013

[Cerpen] Everlasting Love



Sumber : Google
Fitrii benci Mamaa!!” teriakan Fitri bergema di kamar mungil ujung rumah sedehana kawasan Pondok Permai itu.
Astaghfirullah apa yang terjadi dengan anakku? Mama mengusap dada kaget dan mencari pegangan agar tetap bisa berdiri karena ia terlalu lelah bekerja pagi tadi.
Sudah dua tahun ia menjadi single parent untuk satu anaknya. Suaminya meninggal karena penyakit gagal ginjal yang semakin hari semakin parah kaerna tak punya cukup uang untuk biaya operasi. Jika mengingat itu, hatinya selalu teriris, sedih.
“Mama sudah janjikan hari ini mau ke sekolah untuk ambil rapor Fitri! Semua orang tua teman-teman Fitri datang, kecuali mama Fitri sendiri…. Mama sudah nggak peduli lagi ya, sama Fitri?!!” serbu Fitri keluar dari kamarnya.
Astaghfirullah. Iya, Mama lupa, Nak. Sungguh bukan sengaja Fitri, banyak masalah hari ini di toko.” Suara mama bergetar, penuh penyesalan.
“Lupaa??! Oh, iya, Mama memang selalu lupa semua tentang Fitri. Sejak papa meninggal, Mama memang enggak pernah ke sekolah untuk ambil rapor Fitri. Bahkan bulan lalu Mama juga lupa hari ulang tahun Fitri, kan?!” bentak Fitri menahan tangis.
Mamanya menahan tangis, sungguh menyesal. Ia benar-benar lupa, hari ini toko kelontong sederhana yang ia dirikan 5 bulan lalu benar-benar kacau. Banyak utang pelanggan yang belum lunas. Belum lagi koperasi tempat ia meminjam uang untuk modal mendirikan toko, juga menagih uang angsuran bulanannya. Sejak awal ia tahu ini tidak mudah, membesarkan anak sambil mencari nafkah seorang diri.
“Kamu mau kemana, Fit??” tanya mama melihat anaknya keluar kamar sudah rapi dan membawa tas mungil miliknya
“Fitri mau pergi, Ma. Fitri pusing—” jawab Fitri sekenanya sambil berlalu.
“Kamu belum makan, Fit. Makan dulu, Nak!” teriak mama karena melihat anaknya sudah keluar rumah.
Kali ini mama benar-benar menitikkan air mata. Sungguh ia sayang sekali kepada Fitri. Semua yang ia kerjakan semata-mata hanya agar Fitri tidak hidup susah seperti ia dulu.
Mama menghela napas berat. Suamiku … aku sangat merindukanmu. Sungguh ….
**

Di bangku taman yang bersebelahan dengan kompleks perumahannya, Fitri memandang kosong ke arah danau yang berada tepat di depannya. Sore ini ia sedang tak tahu mau ke mana setelah pergi dari rumah tadi. Ia hanya tahu, sekarang dia butuh sendiri.
Hatinya sedang beradu tentang pertengkaran dengan mamanya tadi. Ada sedikit penyesalan, terbukti dari tetesan air matanya sekarang. Fitri tahu bahwa tadi ia tidak benar-benar ingin marah kepada mamanya. Namun, ia sedang sangat kesal karena mamanya tidak datang ke sekolahnya pagi tadi.
Hanya saja, Fitri masih enggan untuk mengakui bahwa membentak mamanya adalah suatu kesalahan. Ia masih mencari-cari kesalahan mamanya untuk membenarkan sikapnya tadi. Cepat-cepat ia hapus air matanya.
Tiba-tiba Fitri merasa tidak ingin sendirian di sini. Ia memutuskan untuk pergi ke rumah sahabatnya, Siska. Sebab, jika berlama-lama di sini sendiri, Fitri takut ia tak punya kekuatan untuk berlama-lama di luar rumah.
Baru beberapa langkah Fitri berjalan terdengar suara yang tak asing  memanggil namanya dari kejauhan. Saat berbalik, dia menemukan Siska berjalan ke arahnya.
Hei, sedang apa di sini? Lalu sekarang mau ke mana lagi?serbu Siska dengan semangat.
Fitri sedikit lega mendapati sahabatnya ada di hadapannya sekarang. “Aku baru mau ke rumahmu, Sis.”
“Iyakah? Untung kita bertemu di sini, Fit. Siang tadi setelah bagi rapor, aku langsung keliling menjualkan kue dagangan emakku, Fit. Hehe—” Siska tersenyum. Wajahnya sama sekali tak memperlihatkan kelelahan. Padahal jelas sekali keringat di keningnya menjadi saksi betapa lelahnya berjualan keliling pada siang terik tadi.
Habis Sis, kuenya?” tanya Fitri tulus.
Siska langsung sumringah. “Alhamdulillah banget, Fit. Hanya tersisa dua kue. Ini ambillah, kita makan bersama.” Siska memperlihatkan keranjang kuenya dan menyodorkan untuk aku ambil satu kuenya.
“Terima kasih untuk ini. Enak, Sis—” Fitri tersenyum sambil mengunyah kue pemberian Siska.
Ayo, kita duduk dulu di sini. Sudah lama rasanya aku tidak ke taman ini.
Fitri mengikuti Siska duduk di bangku taman. Mereka lalu saling bercerita tentang apa saja.
Siska beberapa kali memperhatikan raut wajah Fitri yang berbeda dari biasanya. Fitri yang selalu riang dan ceria, yang selalu cerewet tentang danau yang penuh sampah berserakan di mana-mana. Siska sangat mengenal sahabat di sampingnya ini. Fitri terlihat murung dan tak bersemangat.
“Kamu kenapa, Fit? Wajahmu dari tadi terlihat murung.ayolah, cerita padaku. Siapa tahu aku bisa membantumu—”
Fitri sedikit terkejut. “Kenapa kamu tiba-tiba bertanya begitu?” Aku gak apa-apa, kok.” Fitri berusaha berkilah.
Ih, jangan bohong deh. Aku tahu dari wajahmu yang murung itu. Ayo cepat cerita ….,” paksa Siska dengan senyum khasnya.
Fitri tersenyum dengan cara membujuk sahabatnya. “Huh, aku memang tak bisa berbohong sama kamu, Sis—”
“Iya, dong. Nah, sekarang monggo cerita. Aku siap jadi pendengarmu yang baik.” Siska sedikit mengerling pada sahabatnya itu.
Raut wajah Fitri kembali murung. Dia menarik napas panjang lalu mengembuskannya pelan lalu berkata, “Mamaku, Sis ….”
“Iya?” Siska masih menanti dengan penuh perhatian.
“Tadi siang aku marah padanya. Kamu tahulah karena apa …. Mama gak bisa datang ke sekolah untuk mengambil raporku. Dia bilang lupa karena sibuk. Semester lalu juga begitu—” Fitri berhenti sejenak, menerawang. “Aku sedih, Sis. Aku merasa mama sudah gak perhatian lagi ssama aku.”
Siska menyentuh tangan Fitri lembut. “Mamamu sudah minta maaf?” tanyanya pelan.
Fitri mengangguk. “Sudah, tapi aku masih kesal. Aku gak bisa menerima alasannya begitu saja, Sis. Aku hanya ingin mama tahu kalau aku anak yang pintar di sekolah. Semester ini nilaiku bagus-bagus. Aku ingin mama bangga padaku, tapi—”
“Fitri, alasan lupa itu sebenarnya tidak sepele, lho. Mungkin saja di toko sedang banyak orang sehingga mamamu tidak sempat lagi memikirkan jadwal lainnya. Aku yakin mamamu sangat sayang padamu, Fit ….”
“Tapi mama terlalu mementingkan pekerjaannya, Sis. Bahkan bulan lalu pun mama tidak ingat hari ulang tahunku. Aku kesepian, Sis—” kali ini bulir air mata Fitri akhirnya luluh.
Siska berusaha menenangkan sahabatnya. “Mamamu kerja juga untuk kamu, anak semata wayangnya. Tidak mudah, lho, Fit. Harus kerja cari uang dan mengurus rumah tangga sendirian. Apalagi anak bandel kayak kamu.” Siska mengerling sambil tersenyum.
Fitri menggeleng pelan. “Entahlah, Sis. Aku masih berat untuk memaafkan mamaku—”
“Husshh. Enggak boleh ngomong gitu, Fit. Beliau itu mamamu. Sekarang aku mau tanya sama kamu—” Siska menggantung kalimatnya. Dia tersenyum tipis ke Fitri. “Kamu pernah jatuh cinta, enggak?”
 Fitri sedikit terkejut. “Kok tiba-tiba bertanya seperti itu, Sis? Mmm…, pernah. Memangnya kenapa?”
Siska tersenyum simpul. “Cinta pertamamu siapa?”
Fitri makin bingung. Kenapa Siska tiba-tiba membahas cinta pertamanya? Dia tampak memikirkan satu nama. “Mmm, Aryo, mungkin. Ada apa memangnya?”
“Jawab aja duluuuu—” Siska berkata gemas. “Sekarang Aryo gimana kabarnya?”
“Aryo ... dia udah enggak ada kabar, Sis. Terakhir aku komunikasi, ya, pas kami putus itu.” Fitri mengingat kejadian lalu.
Siska menaikkan sebelah alisnya. “Yakin Aryo cinta pertamamu?”
“Iyalah, Sis. Aku kan belum pernah pacaran selain sama Aryo,” jawab Fitri meyakinkan.
“Kamu cinta sama mamamu, enggak, Fit?”
“Iyalah. Aku sayang sama mama. Itu sudah jelas, Sis.” Kening Fitri mengerut, tambah bingung.
“Sejak kapan, Fit?” Kali ini wajah Siska terlihat serius.
Fitri menatap ke manik mata sahabatnya, mencari maksud dari pertanyaan-pertanyaan beruntun itu. “Hmm … sejak aku masih kecil, Siska. Dia kan mamaku, sampai kapan pun aku akan mencintainya.”
Siska menjentikkan jarinya mantap. “Nah! That’s the point! Kamu tahu itu, Fit, terus kenapa tadi kamu masih berpikir ketika kutanya siapa cinta pertamamu? Malah kamu jawab si Aryo yang sekarang kabarnya enggak jelas.”
“Mmm—”
Siska menyentuh pundak Fitri. “Begini lho, Fit. Sebelum kita mengenal siapapun dan sebelum kita merasakan kasih sayang siapapun, yang pertama kita rasakan cinta dan kasihnya adalah ibu kita. Lewat tiap sentuhan yang dia berikan—”
Fitri mengangguk pelan. mengiyakan dalam hati apa yang dikatakan Siska.
“Maaf, Fit, aku benar-benar enggak berniat menggurui kamu …. Aku hanya enggak mau nanti kamu menyesal. Kamu harus ingat, cinta yang paling utama di antara cinta sesame manusia, cinta yang harus didahulukan dari segala bentuk cinta kepada siapapun … adalah cinta ibu.
“Dari ibulah kita mngenal cinta—” Siska menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “Fitri sayang, jika dengan lawan jenis kita mengenal cinta pada pandangan pertama, maka dengan ibu kita tahu cinta pada sentuhan pertama. Jangan sekali-sekali kita mengecilkan nilai dari cinta tersebut.”
Air mata Fitri mengalir. Matanya sendu. Tampak bahwa dia sangat menyesal.
“Jangan terlalu mudah marah atau kesal kepada ibu kita, apalagi sampai menyakiti hatinya. Pahami beliau, Fit. Sama seperti dia yang selalu sabar menghadapi kita, anaknya.” Mata Siska ikut berkaca. Dia pun mengingat ibunya di rumah.
“Astaghfirullah—” Fitri sesenggukan. Dia sadar caranya salah. Dia hanya ingin meluapkan kemarahannya, tapi tidak benar-benar marah pada mamanya. Dia sadar, mamanya pasti sudah sangat sakit hati atas sikapnya.
Kata-kata Siska memang sepenuhnya benar. Fitri merasa sangat bersalah pada mamanya. Hatinya sakit mendapati bahwa dia sudah sejahat itu pada mamanya, cinta pertama dan cinta abadinya.
“Aku jahat banget, ya, Sis?”
Siska menggeleng keras. “Enggak, Fit. Kamu enggak jahat. Hanya saja tadi kamu belum memahami saja.” Siska memeluk pundak Fitri yang dibalas pelukan juga oleh sahabatnya itu.
Siska melepaskan pelukan dan memberi senyum lembutnya pada Fitri. “Terkadang seorang ibu atau anak tidak mengerti cara memperlihatkan kasih sayangnya terhadap satu sama lain, tapi ketulusan dari segala hal yang mereka lakukan untuk orang terkasihnya, seharusnya mereka tahu bahwa terdapat kasih sayang dan cinta yang teramat sangat di belakang semua itu.”
Aku menyesal, Sis. Sungguh. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang, bahkan aku tak punya cukup keberanian untuk kembali pulang ke rumah,” isak Fitri.
Siska menggenggam tangan Fitri. “Fitri, dengarkan aku … yang harus kamu lakukan sekarang adalah meminta maaf. Tunjukkan bahwa kamu menyayangi mamamu. Kamu sudah menyesalinya, ‘kan? Itu cukup, Fitri. Tidak ada orang tua yang membenci anaknya.”
Fitri mengangguk mantap. Dia pun percaya mamanya yang lembut itu tak akan marah padanya. Fitri mencintai mamanya, sangat. Beruntung dia bertemu Siska yang cepat-cepat menyadarkannya. Ingin rasanya sekarang Fitri memeluk mamanya erat dan meminta maaf atas kesalahan-kesalahannya.
“Terima kasih, Siska. Kamu baik sekali. Bukan memarahi aku yang kelewatan ini, malah membantu aku membuka mata lebar-lebar bahwa aku seharusnya menyayangi mamaku. Bukan malah memarahinya.” Fitri tersenyum penuh terima kasih pada Siska.
Siska mengangguk. “Ini gunanya teman, Fit. Saling mengingatkan.” Siska tersenyum lembut. “Yaudah, sana kamu pulang dan minta maaf sama mamamu—”
“Iya, Sis. Kalau begitu aku pulang dulu. Kamu juga pulang. Makasih kue dan nasihatnya.Assalamu’alaikum—”
“Wa’alaikumsalam. Sampaikan salamku untuk mamamu.”
Fitri menaikkan sebelah ibu jarinya.
**
Cerita Pendek ini ditulis oleh Yani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar