Sumber : Google |
Astaghfirullah
… apa yang terjadi
dengan anakku? Mama mengusap dada kaget dan mencari pegangan agar tetap
bisa berdiri karena ia terlalu lelah bekerja pagi tadi.
Sudah dua tahun ia menjadi single parent untuk
satu anaknya. Suaminya meninggal karena penyakit gagal ginjal yang semakin hari
semakin parah kaerna tak punya cukup uang untuk biaya operasi. Jika mengingat
itu, hatinya selalu teriris, sedih.
“Mama sudah janjikan hari ini mau ke sekolah
untuk ambil rapor Fitri! Semua orang tua teman-teman Fitri datang, kecuali mama
Fitri sendiri…. Mama sudah nggak peduli lagi ya, sama Fitri?!!” serbu Fitri
keluar dari kamarnya.
“Astaghfirullah.
Iya, Mama lupa, Nak. Sungguh bukan sengaja Fitri, banyak masalah hari ini di toko.”
Suara mama bergetar, penuh penyesalan.
“Lupaa??! Oh, iya, Mama memang selalu lupa semua tentang
Fitri. Sejak papa meninggal, Mama memang enggak pernah ke sekolah untuk ambil
rapor Fitri. Bahkan bulan lalu Mama juga lupa hari ulang tahun Fitri, kan?!”
bentak Fitri menahan tangis.
Mamanya menahan tangis, sungguh menyesal. Ia benar-benar
lupa, hari ini toko kelontong sederhana yang ia dirikan 5 bulan lalu
benar-benar kacau. Banyak utang pelanggan yang belum lunas. Belum lagi koperasi
tempat ia meminjam uang untuk modal mendirikan toko, juga menagih uang angsuran
bulanannya. Sejak awal ia tahu ini tidak mudah, membesarkan anak sambil mencari
nafkah seorang diri.
“Kamu mau kemana, Fit??” tanya mama melihat anaknya
keluar kamar sudah rapi dan membawa tas mungil miliknya
“Fitri mau pergi, Ma. Fitri pusing—” jawab Fitri
sekenanya sambil berlalu.
“Kamu belum makan, Fit. Makan dulu, Nak!” teriak mama
karena melihat anaknya sudah keluar rumah.
Kali ini mama benar-benar menitikkan air mata. Sungguh ia
sayang sekali kepada Fitri. Semua yang ia kerjakan semata-mata hanya agar Fitri
tidak hidup susah seperti ia dulu.
Mama menghela napas berat. Suamiku … aku sangat merindukanmu. Sungguh ….
**
Di bangku taman yang bersebelahan dengan kompleks
perumahannya, Fitri memandang kosong ke arah danau yang berada tepat di depannya.
Sore ini ia sedang tak tahu mau ke mana setelah pergi dari rumah tadi. Ia hanya
tahu, sekarang dia butuh sendiri.
Hatinya sedang beradu tentang pertengkaran dengan mamanya
tadi. Ada sedikit penyesalan, terbukti dari tetesan air matanya sekarang. Fitri
tahu bahwa tadi ia tidak benar-benar ingin marah kepada mamanya. Namun, ia
sedang sangat kesal karena mamanya tidak datang ke sekolahnya pagi tadi.
Hanya saja, Fitri masih enggan untuk mengakui bahwa
membentak mamanya adalah suatu kesalahan. Ia masih mencari-cari kesalahan
mamanya untuk membenarkan sikapnya tadi. Cepat-cepat ia hapus air matanya.
Tiba-tiba Fitri merasa tidak ingin sendirian di sini. Ia
memutuskan untuk pergi ke rumah sahabatnya, Siska. Sebab, jika berlama-lama di sini
sendiri, Fitri takut ia tak punya kekuatan untuk berlama-lama di luar rumah.
Baru beberapa langkah Fitri berjalan terdengar suara yang
tak asing memanggil namanya dari
kejauhan. Saat berbalik, dia menemukan Siska berjalan ke arahnya.
“Hei, sedang apa di sini? Lalu sekarang mau ke mana lagi?” serbu Siska dengan semangat.
Fitri sedikit lega mendapati sahabatnya ada di hadapannya
sekarang. “Aku baru mau ke rumahmu, Sis.”
“Iyakah? Untung kita bertemu di sini, Fit. Siang tadi
setelah bagi rapor, aku langsung keliling menjualkan kue dagangan emakku, Fit.
Hehe—” Siska tersenyum. Wajahnya sama sekali tak memperlihatkan kelelahan. Padahal
jelas sekali keringat di keningnya menjadi saksi betapa lelahnya berjualan
keliling pada siang terik tadi.
“ Habis Sis, kuenya?”
tanya Fitri tulus.
Siska langsung sumringah. “Alhamdulillah banget, Fit. Hanya tersisa dua kue. Ini ambillah, kita
makan bersama.” Siska memperlihatkan keranjang kuenya dan menyodorkan untuk aku
ambil satu kuenya.
“Terima kasih untuk ini. Enak, Sis—” Fitri tersenyum
sambil mengunyah kue pemberian Siska.
“Ayo, kita duduk dulu di sini. Sudah lama rasanya aku tidak
ke taman ini.”
Fitri mengikuti Siska duduk di bangku taman. Mereka lalu
saling bercerita tentang apa saja.
Siska beberapa kali memperhatikan raut wajah Fitri yang
berbeda dari biasanya. Fitri yang selalu riang dan ceria, yang selalu cerewet
tentang danau yang penuh sampah berserakan di mana-mana. Siska sangat mengenal
sahabat di sampingnya ini. Fitri terlihat murung dan tak bersemangat.
“Kamu kenapa, Fit? Wajahmu dari tadi terlihat murung.ayolah,
cerita padaku. Siapa tahu aku bisa membantumu—”
Fitri sedikit terkejut. “Kenapa kamu tiba-tiba bertanya
begitu?” Aku gak apa-apa, kok.” Fitri berusaha berkilah.
“Ih, jangan bohong deh. Aku tahu dari wajahmu yang murung
itu. Ayo cepat cerita ….,” paksa Siska dengan senyum khasnya.
Fitri tersenyum dengan cara membujuk sahabatnya. “Huh,
aku memang tak bisa berbohong sama kamu, Sis—”
“Iya, dong. Nah, sekarang monggo cerita. Aku siap jadi pendengarmu yang baik.” Siska sedikit
mengerling pada sahabatnya itu.
Raut wajah Fitri kembali murung. Dia menarik napas
panjang lalu mengembuskannya pelan lalu berkata, “Mamaku, Sis ….”
“Iya?” Siska masih menanti dengan penuh perhatian.
“Tadi siang aku marah padanya. Kamu tahulah karena apa ….
Mama gak bisa datang ke sekolah untuk mengambil raporku. Dia bilang lupa karena
sibuk. Semester lalu juga begitu—” Fitri berhenti sejenak, menerawang. “Aku
sedih, Sis. Aku merasa mama sudah gak perhatian lagi ssama aku.”
Siska menyentuh tangan Fitri lembut. “Mamamu sudah minta
maaf?” tanyanya pelan.
Fitri mengangguk. “Sudah, tapi aku masih kesal. Aku gak
bisa menerima alasannya begitu saja, Sis. Aku hanya ingin mama tahu kalau aku
anak yang pintar di sekolah. Semester ini nilaiku bagus-bagus. Aku ingin mama
bangga padaku, tapi—”
“Fitri, alasan lupa itu sebenarnya tidak sepele, lho.
Mungkin saja di toko sedang banyak orang sehingga mamamu tidak sempat lagi
memikirkan jadwal lainnya. Aku yakin mamamu sangat sayang padamu, Fit ….”
“Tapi mama terlalu mementingkan pekerjaannya, Sis. Bahkan
bulan lalu pun mama tidak ingat hari ulang tahunku. Aku kesepian, Sis—” kali
ini bulir air mata Fitri akhirnya luluh.
Siska berusaha menenangkan sahabatnya. “Mamamu kerja juga
untuk kamu, anak semata wayangnya. Tidak mudah, lho, Fit. Harus kerja cari uang
dan mengurus rumah tangga sendirian. Apalagi anak bandel kayak kamu.” Siska
mengerling sambil tersenyum.
Fitri menggeleng pelan. “Entahlah, Sis. Aku masih berat
untuk memaafkan mamaku—”
“Husshh. Enggak boleh ngomong gitu, Fit. Beliau itu
mamamu. Sekarang aku mau tanya sama kamu—” Siska menggantung kalimatnya. Dia
tersenyum tipis ke Fitri. “Kamu pernah jatuh cinta, enggak?”
Fitri sedikit
terkejut. “Kok tiba-tiba bertanya seperti itu, Sis? Mmm…, pernah. Memangnya
kenapa?”
Siska tersenyum simpul. “Cinta pertamamu siapa?”
Fitri makin bingung. Kenapa Siska tiba-tiba membahas
cinta pertamanya? Dia tampak memikirkan satu nama. “Mmm, Aryo, mungkin. Ada apa
memangnya?”
“Jawab aja duluuuu—” Siska berkata gemas. “Sekarang Aryo
gimana kabarnya?”
“Aryo ... dia udah enggak ada kabar, Sis. Terakhir aku
komunikasi, ya, pas kami putus itu.” Fitri mengingat kejadian lalu.
Siska menaikkan sebelah alisnya. “Yakin Aryo cinta
pertamamu?”
“Iyalah, Sis. Aku kan belum pernah pacaran selain sama
Aryo,” jawab Fitri meyakinkan.
“Kamu cinta sama mamamu, enggak, Fit?”
“Iyalah. Aku sayang sama mama. Itu sudah jelas, Sis.”
Kening Fitri mengerut, tambah bingung.
“Sejak kapan, Fit?” Kali ini wajah Siska terlihat serius.
Fitri menatap ke manik mata sahabatnya, mencari maksud
dari pertanyaan-pertanyaan beruntun itu. “Hmm … sejak aku masih kecil, Siska.
Dia kan mamaku, sampai kapan pun aku akan mencintainya.”
Siska menjentikkan jarinya mantap. “Nah! That’s the point! Kamu tahu itu, Fit,
terus kenapa tadi kamu masih berpikir ketika kutanya siapa cinta pertamamu?
Malah kamu jawab si Aryo yang sekarang kabarnya enggak jelas.”
“Mmm—”
Siska menyentuh pundak Fitri. “Begini lho, Fit. Sebelum
kita mengenal siapapun dan sebelum kita merasakan kasih sayang siapapun, yang
pertama kita rasakan cinta dan kasihnya adalah ibu kita. Lewat tiap sentuhan
yang dia berikan—”
Fitri mengangguk pelan. mengiyakan dalam hati apa yang
dikatakan Siska.
“Maaf, Fit, aku benar-benar enggak berniat menggurui kamu
…. Aku hanya enggak mau nanti kamu menyesal. Kamu harus ingat, cinta yang
paling utama di antara cinta sesame manusia, cinta yang harus didahulukan dari
segala bentuk cinta kepada siapapun … adalah cinta ibu.
“Dari ibulah kita mngenal cinta—” Siska menarik napas
panjang sebelum melanjutkan, “Fitri sayang, jika dengan lawan jenis kita mengenal
cinta pada pandangan pertama, maka dengan ibu kita tahu cinta pada sentuhan
pertama. Jangan sekali-sekali kita mengecilkan nilai dari cinta tersebut.”
Air mata Fitri mengalir. Matanya sendu. Tampak bahwa dia
sangat menyesal.
“Jangan terlalu mudah marah atau kesal kepada ibu kita,
apalagi sampai menyakiti hatinya. Pahami beliau, Fit. Sama seperti dia yang
selalu sabar menghadapi kita, anaknya.” Mata Siska ikut berkaca. Dia pun
mengingat ibunya di rumah.
“Astaghfirullah—” Fitri sesenggukan. Dia sadar caranya
salah. Dia hanya ingin meluapkan kemarahannya, tapi tidak benar-benar marah
pada mamanya. Dia sadar, mamanya pasti sudah sangat sakit hati atas sikapnya.
Kata-kata Siska memang sepenuhnya benar. Fitri merasa
sangat bersalah pada mamanya. Hatinya sakit mendapati bahwa dia sudah sejahat
itu pada mamanya, cinta pertama dan cinta abadinya.
“Aku jahat banget, ya, Sis?”
Siska menggeleng keras. “Enggak, Fit. Kamu enggak jahat.
Hanya saja tadi kamu belum memahami saja.” Siska memeluk pundak Fitri yang
dibalas pelukan juga oleh sahabatnya itu.
Siska melepaskan pelukan dan memberi senyum lembutnya
pada Fitri. “Terkadang seorang ibu atau anak tidak mengerti cara memperlihatkan
kasih sayangnya terhadap satu sama lain, tapi ketulusan dari segala hal yang
mereka lakukan untuk orang terkasihnya, seharusnya mereka tahu bahwa terdapat
kasih sayang dan cinta yang teramat sangat di belakang semua itu.”
“Aku menyesal, Sis. Sungguh. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan
sekarang, bahkan aku tak punya cukup keberanian untuk kembali pulang ke rumah,”
isak Fitri.
Siska menggenggam tangan Fitri. “Fitri, dengarkan aku …
yang harus kamu lakukan sekarang adalah meminta maaf. Tunjukkan bahwa kamu menyayangi
mamamu. Kamu sudah menyesalinya, ‘kan? Itu cukup, Fitri. Tidak ada orang tua
yang membenci anaknya.”
Fitri mengangguk mantap. Dia pun percaya mamanya yang
lembut itu tak akan marah padanya. Fitri mencintai mamanya, sangat. Beruntung
dia bertemu Siska yang cepat-cepat menyadarkannya. Ingin rasanya sekarang Fitri
memeluk mamanya erat dan meminta maaf atas kesalahan-kesalahannya.
“Terima kasih, Siska. Kamu baik sekali. Bukan memarahi
aku yang kelewatan ini, malah membantu aku membuka mata lebar-lebar bahwa aku
seharusnya menyayangi mamaku. Bukan malah memarahinya.” Fitri tersenyum penuh
terima kasih pada Siska.
Siska mengangguk. “Ini gunanya teman, Fit. Saling
mengingatkan.” Siska tersenyum lembut. “Yaudah, sana kamu pulang dan minta maaf
sama mamamu—”
“Iya, Sis. Kalau begitu aku pulang dulu. Kamu juga
pulang. Makasih kue dan nasihatnya.Assalamu’alaikum—”
“Wa’alaikumsalam. Sampaikan salamku untuk mamamu.”
Fitri menaikkan sebelah ibu jarinya.
**
Cerita Pendek ini ditulis oleh Yani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar