... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ...

Kamis, 09 Mei 2013

[Cerpen Duet] Love Hurt




“Rintiknya mengabarkan keberadaan senja yang seolah menghilang oleh sang hujan. Aku tak perlu bersusah payah mengejar sang senja atau memutar waktu agar bertemu dengannya. Sebab, senja tetaplah senja, yang akan memberikan warna yang berbeda setiap hari berganti. Begitu pula kamu, cinta.”

Hosu Gongwon.. Ilsan Lake Park - 2013

Sumber : Google
Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Tak banyak yang berubah. Danau yang nampak jernih, pepohonan hijau, serta bunga yang mekar segar di pertengahan musim semi. Menawarkan berjuta pesona yang membuat banyak wisatawan asing sengaja datang untuk melihat keindahannya.
Lama aku menunggu untuk bisa duduk di sini. Sekadar untuk bercerita pada keindahan yang ditawarkan alam semesta. Bagiku, tempat ini tidak hanya sekedar memberikan keindahan, tapi juga menyimpan kenangan termanis dalam hidup yang tidak pernah tergantikan oleh apapun. Kenangan tiga tahun yang lalu, saat aku dan Hyun Bin masih bersama. Bagaimana tidak, aku dan Hyun Bin sudah terbiasa bersama melewati senja di tempat ini hingga sang hujan pun ikut menjadi kenangan termanis.
Han Hyun Bin.. Sahabat masa kecil, teman terbaik, sekaligus ... cinta sejatiku.
Tanpa sadar aku tertawa, miris. Seperti pepatah yang mengatakan kau tidak akan sadar arti penting seseorang sampai kau kehilangannya, begitulah yang aku rasakan tentang Hyun Bin. Setelah bertahun-tahun akhirnya aku menyadari, hatiku tak akan pernah bisa terlepas dari bayangannya.  
Hyun Bin mengisi sepenuhnya kenangan masa kecilku. Sejak dulu aku sudah terbiasa menghabiskan waktu, meminta perlindungan kepadanya. Masih tertanam dalam ingatanku  pertemuan pertama kami. Senja itu seperti biasa eomma dan appa mengajakku berkeliling taman. Saat itu usiaku masih 8 tahun. Aku yang terlalu gembira karena baru saja mendapatkan hadiah sepeda dari appa, memutuskan untuk memisahkan diri dan bersepeda ke tempat yang agak jauh. Mungkin aku terlalu bersemangat sehingga tidak menyadari kalau sebuah batu yang cukup besar menghalangi jalan. Sepedaku pun tersandung batu dan aku tidak bisa mengendalikannya sampai kemudian terjatuh. Tiba-tiba datang sosok anak laki-laki yang sepertinya juga berusia sama denganku berlari, membantuku berdiri. Ah, senyumnya masih selalu kuingat. Aku tidak tahu bagaimana kami bisa berjalan bersama sampai aku menemukan eomma dan appa.
Tiga hari setelah kejadian itu, eomma mengajakku ke rumahnya untuk berterimakasih secara khusus atas pertolongannya. Saat itulah aku tahu kalau rumahnya berada tak jauh dari rumahku. Sekolah kami pun sama. Hanya saja berbeda kelas. Kami pun menjadi akrab dan  memutuskan untuk pergi sekolah bersama-sama. Persahabatan kami dimulai. Sampai akhirnya kami memutuskan mengubah kata persahabatan menjadi cinta tepat setelah kelulusan SMA.
Tiga tahun yang lalu, taman danau di kota Goyang ini seolah menjadi saksi bisu pernyataan cinta kami. Aku masih ingat, hujan turun saat itu, tapi Hyun Bin langsung menarikku meninggalkan perayaan kelulusan kami di sebuah cafe dan  mengajakku ke tepi Danau Ilsan. Tak peduli guyuran hujan, disaksikan hamparan bunga di belakang kami, kami pun mengikrarkan cinta. Hari itu kebahagiaanku semakin berlipat-lipat sehingga tak aku pedulikan gerutuan eomma dan appa yang melihatku pulang dalam keadaan basah kuyup.
Sebulan kemudian kami harus terpisah karena Hyun Bin melanjutkan kuliah di luar negeri dan aku memutuskan menetap di kota tercinta ini. Sulit memang menjalankan sebuah hubungan sementara kami terpisahkan oleh jarak. Meski kerap rasa takut kehilangan menggerogoti pikiranku, tapi komunikasi dan rasa saling percaya selalu kami utamakan. Aku tidak pernah bosan mendengar kata-kata rindu yang dilontarkannya dari kejauhan. Entah karena hubungan kami sudah menjadi sebuah kebutuhan atau memang didasarkan karena rasa cinta, baik aku maupun Hyun Bin menikmati keadaan ini.
Seiring dengan berjalannya waktu, saat aku disibukkan dengan berbagai kegiatan kuliah dan kepenulisan di kampus, aku dihadapkan pada sisi berbeda dari Hyun Bin yang tidak pernah aku ketahui sebelumnya. Dia menjadi lebih posesif. Awalnya aku memaklumi karena hubungan kami dibatasi jarak. Seperti halnya diriku, dia pun pasti merasa kesepian dan khawatir. Namun semakin lama, frekuensi pertengkaran kami semakin meningkat. Sering  kami bertengkar hanya karena aku terlambat membalas pesan singkat, atau lupa untuk mengabari sehari saja. Lima bulan dari waktu kami berpacaran, pernah terlintas untuk mundur saja. Aku muak dengan sifat Hyun Bin yang semakin hari seolah menjadi satpam yang selalu ingin tahu keberadaanku dan membatasi kegiatanku. Ya, terlintas mengakhiri hubungan ini namun selalu urung karena ucapannya yang manis itu.
Dia begitu karena menyayangiku, kucoba mensugesti diri. Aku harus bersabar. Akan kucoba untuk memahaminya lebih dalam.
Setahun lamanya tak berjumpa sampai akhirnya kami bisa saling bertatapan lagi. Aku sangat senang menerima kabar bahwa Hyun Bin akan pulang untuk menghabiskan masa liburan kenaikan tingkat. Hari itu, masih di musim semi yang basah yang selalu menyuguhkan keromantisannya, kami bertemu kembali. Hyun Bin mengajakku bertemu di tempat kami mengikat janji. Tanpa berpikir dua kali aku langsung mengiyakan tawarannya. Akan kubawa sepucuk cinta dan segenggam rindu, akan kuluapkan padanya dan pada sang senja di tepi Danau Ilsan.
“Apa yang kau rindu dariku, Ga Eul?” tanya Hyun Bin. Kami duduk berdampingan di rerumputan basah, menatap jauh ke cakrawala.
Aku tersenyum sambil menundukkan wajah. “Semuanya,” jawabku. “Kau mempunyai senyum yang tak bisa kudapat dari lelaki manapun. Kau memiliki sinar mata yang tak bisa kutatap dari lelaki manapun begitu juga dengan tingkahmu yang terkadang membuatku seolah memiliki satpam saja. Ada banyak hal yang membuatku selalu merindumu.”
Oh, ya? Tapi kita akan terpisah lagi untuk waktu yang lama. Akankah rasamu padaku tak akan berubah?”
Wajah itu seolah mengisyaratkan perpisahan yang  tertunda. Dadaku tiba-tiba bergetar tak tenang. Semoga itu hanya pikirku saja.
Aku menyentuh tangannya. “Pertanyaan macam apa itu? Bukankah hari ini kita akhirnya bisa bertemu?”
Hujan seketika turun, tanpa gerimis yang menghantar kedatangannya. Percakapan di antara kami pun semakin serius. Aku mengabarinya tentang rindu yang tak terbatas, tentang cinta yang semakin bersemai. Genggaman tangan yang tak ingin kulepas lagi.
Namun hari itu, seolah Hyun Bin memberikan kesempatan pada sang hujan untuk menghapus semua harapanku. Bersama petir yang tiba-tiba hadir. Seolah cahayanya merekam jelas pertemuan kami.
“Aku tidak ingin lagi menyiksa diri dengan mencemaskanmu,” bisiknya perlahan, mencoba untuk mengurangi rasa sakit yang bisa ditimbulkan saat kata demi kata yang terucap darinya perlahan merobek hatiku. “Aku juga tidak ingin membuatmu merasa terkekang dengan semua kekonyolan yang pasti membuatmu tidak nyaman.”
“Apa maksudmu? Tidak, Hyun Bin a, aku..
“Aku bertemu wanita lain!” tukas Hyun Bin mematahkan kalimatku. “Dia.. mampu menenangkanku saat aku hampir gila karena mencemaskanmu.”
Itu bukan lagi merobek hatiku. Tapi menghancurkannya!
Setelah menjadi wanita paling kasihan karena membendung rindu sendiri. Akhirnya aku benar-benar menjadi wanita paling menyedihkan. Ya, dicampakkan begitu saja sebelum sempat mengurai semua rindu yang terasa menyesakkan dadaku setahun terakhir ini bukankah sangat menyedihkan?
Aku pun menjadi takut melangkah lagi. Takut melangkahkan kaki ke setiap sudut kota yang menyisakan jejak kenangan antara aku dan Hyun Bin. Aku jadi membenci hujan yang turun bersamaan dengan sang senja. Aku juga jadi muak dengan tatapan lelaki manapun, karena yang terbayang di mataku ketika melihat semua itu adalah sosok Hyun Bin yang perlahan menghilang dari peredaran bumiku. Menyakitkan.
Sampai kemudian aku bertemu Jun Soo, teman dunia mayaku. Dia hadir membawa tujuh warna pelangi yang kukira sempat hilang dari duniaku. Perlahan mengubah hidupku bahkan sejak pertama kali kami berkenalan. Dulu, aku selalu ingin menghentikan sang waktuku ketika mengingat Hyun Bin. Sebab sakitnya melebihi duri yang sempat kupijak di taman Danau Ilsan senja itu.
Duniaku perlahan kembali berputar. Jun Soo seolah memberi warna di kehidupanku yang menyedihkan. Membuatku kembali hidup. Aku pun menyadari perpisahan dengan Hyun Bin mungkin yang terbaik. Tak akan akan ada lagi cemas, takut, atau kepedihan karena kerinduan yang tak terurai. Saat aku terpenjara dalam kenangan masa laluku, Jun Soo hadir seperti lilin kecil memberi terang dalam hidup lalu menghangatkan setiap kata yang membuatku nyaman menghabiskan waktu bercerita dengannya. Aku dan Jun Soo memang baru saling kenal, tapi perkenalan ini seolah membuka lebar kesempatan untukku bisa melupakan masa lalu.
Tiga bulan setelah perkenalan melalui dunia maya. Aku memutuskan untuk berlibur ke Seoul. Jun Soo tinggal dan kuliah di sana. Di ibu kota Korea Selatan itu, aku sering mendengar cerita dari Jun Soo tentang sebuah kedai kopi yang sangat menarik untuk dikunjungi. Hakrim Dabang, kedai kopi yang sudah ada sejak tahun 1956 dan konon banyak dikunjungi oleh para sastrawan, seniman, dan artis di negeri ini. Jun Soo merekomendasikan tempat ini begitu tahu aku sangat menyukai dunia sastra dan penulisan. Dia pun berjanji untuk mengajakku ke sana seandainya nanti kami bertemu.
“Kalau kau lihat buku tamunya, waah, kau akan bisa melihat tulisan para sastrawan terkenaal!" begitu ujarnya saat kami berbicara tentang Hakrim.

 Aku pikir, karena kami sama-sama menyukai kopi maka kedai kopilah yang akan membuat hubungan kami cepat akrab. Aku juga tak perlu menyembunyikan kisah masa laluku bersama Hyun Bin, karena jauh sebelum Jun Soo menyapaku melalui jejaring sosial dia sudah membaca semua kisahku dan Hyun Bin melalui tulisanku di blog pribadiku. Itu yang  Jun Soo katakan saat kami chating malam itu.
Seoul terletak tidak begitu jauh dari Goyang. Hanya berjarak 20 menit melalui Seoul Ring Express.  Perjalanan kali ini kurasakan sedikit berbeda, karena yang ingin kutemui bukan saja sekedar suasana Seoul, tapi seseorang yang berada di sana. Hujan turun membiaskan titik embun di jendela bus. Entah mengapa, setelah sering terlibat percakapan dengan jun Soo,  kecintaanku pada hujan perlahan kembali lagi. Aku mulai tak membenci suara rintiknya. Bahkan mulai jatuh hati pada petir yang memancarkan cahaya.
Ah, Jun Soo. Meski tak kutahu sosokmu, namun kau mampu mengubah masa kelamku menjadi penuh bunga.
Setelah 20  menit perjalanan,  akhirnya aku sampai di Nambu Station. Kuambil ponselku lalu kutekan nomor kontak Jun Soo.
Yoboseo? Han Jun So ssi? Aku sudah tiba di Terminal Nambu. Kamu sudah di sinikah?” suaraku.
“Oh, aku segera menuju kesana. Kamu tunggu saja. Duduk dulu atau ngemil disana, ya.”
Percakapan pun terhenti, aku duduk di antara keramaian orang yang bernasib sama denganku. Menunggu orang yang menjemput. Kuperbaiki syal yang masih menggantung di leher, mataku fokus pada handphone meski sebenarnya pikiranku tertuju pada bagaimana kesan pertama dia mengenalku. Aku begitu gugup menanti pertemuan pertama kami saat itu.
Lima belas menit lamanya aku duduk namun orang yang kutunggu tak kunjung datang. Perasaan gugup semakin menjadi-jadi seiring dengan dentang waktu yang berputar.
Tiba-tiba sebuah suara di sebelah mengagetkan lamunanku.
“Eh, Maaf. Chu Ga Eul ssi?”
Kuamati sosok tinggi tegap berambut agak gondrong yang sebenarnya sejak tadi sudah duduk di sampingku.
Ne.  Saya Chu Ga Eul. Kamu.. Han.. Jun Soo ssi?”
 Mata berbingkai itu langsung ikut tersenyum bersama tarikan bibirnya yang melebar.
Ne, aku Jun Soo. Dari tadi aku duduk di sebelahmu tapi kamu sepertinya lebih fokus sama handphonemu.”
Wajahku memanas, pasti warnanya pun memerah karena malu.
“Oh, Mianhe, Jun Soo ssi. Aku pikir tadi kamu cowok iseng yang sengaja duduk deket-deket aku untuk cari-cari kesempatan.”
Kami tertawa bersama. Sungguh, aku merasa malu karena sudah berlaku konyol pada pertemuan pertama kami waktu itu.
Jun Soo membawaku mengelilingi Seoul. Sesuai janjinya, kami pun mampir di Hakrim Dabang. Suasana tradisional langsung menyambut kami. Aku terkagum-kagum melihat interior yang terbuat dari kayu. Kami duduk di sofa antik yang nampak matching dengan suasana sekitarnya. Di dinding depanku, berjejer foto-foto hitam putih beberapa tokoh dunia. Dekorasi benda-benda antik berjejer dengan rapi di rak kayu sebelah tangga kayu di bagian kanan kedai. Belum lagi sebuah rak yang dipenuhi piringan hitam menghiasi salah satu sudut. Aku rasanya bisa mengendus aroma kelembaban rumah tua di tempat itu.
Setelah seharian mengelilingi Seoul, kami pun menghabiskan senja dengan ditemani secangkir esspresso dan sepiring kecil cheesee cake. Aku kembali terpesona pada tampilan keduanya. Esspresso kental yang nampak hitam mengepul, berdampingan dengan cheesee cake seputih salju dengan sedikit hiasan ungu dari toping selai blueberry. Benar-benar hidangan yang pas di tengah cuaca yang mulai hujan di luar sana.
Hingga larut malam kami berbincang. Sepanjang percakapan, hatiku semakin bergetar melihat sorot mata Jun Soo saat menatapku. Aku seperti mengenal sorot mata itu. Entah di mana, dan aku tidak begitu memedulikannya saat itu. Percakapan kami cukup membuatku menyimpan rasa penasaranku akan sorot mata yang sama itu.
Di salah satu sudut kota Seoul inilah akhirnya aku kembali merasakan hal yang sama  seperti tiga tahun yang lalu saat bersama Hyun Bin. Ya, aku merasakan getaran dan detak jantung yang lebih kencang saat berdekatan dengannya.
Jun Soo, apakah kamu tahu? Sorot matamu mengingatkanku pada cara Hyun Bin memandangku..
Saat itu kami berbicara banyak hal. Sampai akhirnya, nama Hyun Bin hadir dalam percakapan, mengingatkanku kembali pada rasa sakit di dadaku. Jun Soo berbicara seolah menyiratkan bahwa orang yang seharusnya aku tunggu bukanlah Hyun Bin, tapi dirinya.
Hatiku bergejolak. Tenggelam bersama kenangan masa lalu dan masa depan yang tiba-tiba hadir bersamaan di hadapanku.
Dalam bayangan Hyun Bin, kusambut uluran tangan Jun Soo yang menawarkan masa depan padaku. Sesaat aku sempat lupa sudah berapa lama aku menutup pintu hati dari lelaki lain. Semua karena Jun Soo.
Aku sadar, meski di sampingku sudah ada sosok lain, namun bayangan Hyun Bin tak pernah bisa benar-benar kulepas. Banyak hal yang ada pada diri Jun Soo yang mengingatkanku pada Hyun Bin. Aku tidak bisa menghilangkan semua itu meski sudah berusaha. Kini aku hanya bisa pasrah, menggantungkan cintaku pada takdir. Berharap waktu berputar cepat dan sampai pada jawaban yang kucari.
Melewati tiga musim, semuanya baik-baik saja. Kami kerap menghabiskan senja bersama. Menghitung daun yang gugur, menghangatkan kebekuan salju, menyapa kuncup bunga, bermain bersama hujan. Kali ini jarak tidak lagi menjadi penghalang perjalanan cintaku. Tinggal satu ganjalan. Sosok Hyun Bin. Sudah saatnya aku melepaskan diri. Jun Soo terlalu baik untuk sekedar dijadikan bayangan.
Aku masih di kampus saat pesan dari Jun Soo masuk di mendungnya siang tiga bulan yang lalu.
Eulya, besok aku kita bertemu di Hakrim  jam 4 sore, ya.
Kuketik jawabanku. Oke ^^
Hakrim Dabang di senja yang kembali basah.
Secangkir Cappucino baru saja disajikan di depanku, aku melirik ke pelayannya dan mengucapkan terima kasih. Kulanjutkan membolak-balik majalah yang memang tersedia di kedai kopi  itu sambil sesekali melirik ke arah pintu, menunggu kedatangan Jun Soo. Waktu berjalan perlahan, cappucino dalam cangkir sudah mulai dingin meski masih tersisa setengahnya. Perlahan aku mengangkat cangkir dengan niat untuk menghabiskannya sebelum jadi benar-benar dingin. Tanganku tertahan ketika mataku secara sekilas melihat Jun Soo celingukan di pintu masuk. Tiba-tiba jantungku berdetak tidak seperti biasa, berpacu lebih cepat seperti ingin segera melompat dan mendekat. Sementara hatiku memiliki keinginan yang lain, menahan kakiku untuk melangkah dan membiarkan mataku untuk memandangnya lebih lama lagi dari sini. Memandang sepuas hati tanpa harus mengucapkan sepatah kata.
Dia menoleh ke dalam kedai, mencari-cari tanda kehadiranku. Tangannya mengeluarkan handphone dari dalam tas. Jari-jarinya menekan dan kemudian mendekatkan handphonenya ke telinga.
Handphone di dalam tas bergetar. Di layar handphone tertulis namanya.
Yoboseo…”
“ Eulya,  kamu dimana?”
Arah jam sembilan, kujawab sambil melambaikan tangan ke arahnya.
Ah, aku melihatmu.”
Kulihat Jun Soo langsung bergegas menuju tempat dudukku.
Maaf, aku terlambat,” senyumnya begitu tiba di depanku.
Mataku menatap ke wajahnya. Jantung ini kembali berdetak tidak beraturan. Mata itu. Mata indah yang dulu pernah kudapat dari sosok Hyun Bin.
Tidak apa. Tempat ini terlalu bagus untuk merasa bosan.”
Kami saling menatap. Jun Soo seolah menyiapkan diri untuk berbicara padaku.
“Boleh aku bertanya sesuatu?” tanya Jun soo kemudian. “Tapi kuharap, kau tidak marah karenanya.”
Kini debaran di dadaku berubah tidak tenang. Saat itu seperti de ja vu. Senja yang sama. Hujan yang sama. Semoga bukan perpisahan yang sama.
“Bertanyalah,” kucoba untuk menepis semua pikiran buruk.
Sejenak Jun So hanya menatapku lekat-lekat.
“Eulya, apakah hal yang membuatmu jatuh hati pada Hyun Bin?” ucap Jun Soo.
Aku kaget mendengar pertanyaannya.
“Kenapa kau tanyakan itu?”
“Karena selama tiga musim ini, aku hanya melihat Hyun Bin di matamu.”
Jawaban yang telak menohok hati.
Aku bergeming. Berusaha menatap matanya. Kusadari aku harus jujur sekarang. Jujur pada Jun Soo, jujur pada diriku.
“Kalian punya sorot mata yang sama. Punya senyum yang sama.”
Sorot matanya melembut, membuatku terpesona sekaligus khawatir.
“Kenangan apa yang membuatmu sulit melupakan dia??”
Mataku mulai memanas.
“Senja.”
“Seperti saat ini?”
Aku mengangguk.
“Lalu apa lagi?”
“Hujan, dedaunan gugur, salju, semuanya!” akhirnya aku benar-benar terisak.
Hyun Bin menemaniku lebih dari setengah umurku, Jun Soo. Tolong pahamilah..
Kalimat itu hanya bergaung dalam pikiranku.
“Maafkan aku, Eulya. Aku tidak bermaksud membuatmu mengingat masa lalumu. Aku hanya ingin tahu kenapa Hyun Bin mampu menyihir hatimu hingga membeku seperti ini.”
“Kau sudah menghangatkannya lagi, Han Jun Soo,” aku mencoba meraih hatinya.
“Bukan sepenuhnya aku,” gelengnya lembut. “Di matamu tak pernah ada aku.”
Aku menangis. “Maafkan aku. Tapi aku sungguh akan mencoba.”
Kembali Jun Soo tersenyum. “Aku menyayangimu, Cha Ga Eul. Aku inginkan kebahagianmu.”
“Kebahagiaanku bukan Hyun Bin! Dia mencampakkanku!”
“Dia inginkan kebahagianmu.”
Kutatap matanya. Aku sadar, ini memang sebuah akhir.
Senja itu, Jun Soo menutup perjalanan kami yang mungkin memang semu semata justru di saat aku ingin menjadikannya nyata.
Semua salahku, yang masih terbelenggu masa lalu.
Setibanya kembali di rumah, aku langsung membuka folder diary yang kutulis beberapa tahun lalu setelah kepergian Hyun Bin.
Aku ingin mengenali kembali kata hatiku yang ternyata sudah kunafikkan.

Dedaunan gugur, 2009 - Hosu Gongwon
Tak seharusnya aku membenci musim yang menjadi namaku. Tapi sungguh, aku benci menghadapinya! Aku benci untuk duduk di sini lagi dan menulis setiap kata dengan namamu. Aku ingin berhenti memintamu menghampiri air mata, rindu dan kasih sayang ini. Tapi namamu tetap menduduki menjadi raja, lagi dan lagi...
 
 Dedaunan masih gugur. Nomu Bogoshipda...
            Tulisan ini akan berteriak seandainya dia punya mulut untuk membuatmu peka akan setiap tetesan air mata kerinduan. Aku bukan tak ingin kau menyadari, hanya saja kuingin kepekaanmu akan rindu yang kau torehkan di setiap sudut kota ini. Aku semakin merindui kenangan tanpa kehadiranmu, sekaligus begitu membencinya.           

Kesepian yang membeku – kau tetap tak ada.
Senyap yang membuatku mengingatmu telah kuubah menjadi keramaian yang kosong. Layaknya berada di keramaian yang suguhannya terlihat seolah aku melupakan tiadanya dirimu. Hanya mampu berteriak melalui rindu. Egoku jauh lebih menjadi utama ketika berhadapan dengan rindumu.  

Love Hurt – Salju masih membeku
            Jika aku rindu pertemuan itu, mengapa aku tak mencoba menemuimu saja lalu kusandarkan kepalaku di bahumu, Sayang? Aku bisa saja melakukannya kapan pun aku mau, tapi bagiku itu percuma saja karena mencintaimu bukan lagi hakku, menemuimu hanya menambah luka yang menyadarkanku bahwa kita tak mungkin menjadi satu. Maka aku biarkan kenangan memelukku erat.

Hyun Bin, Kopi, dan Hujan
Kafe cappucino di sudut kota. Kita pernah bahagia.
“Sayang, lihatlah ke ujung sudut jendela itu rintiknya menari mengalun bersama cinta yang sedang kita semai.suaramu melenakan saat itu.
“Sayang, jangan melupakanku jika jarak memaksa kita untuk tak bertemu,” katamu, pada segelas kopi yang sedang kuseduh.
Hyun Bin, aku masih ingat. Tapi tidak denganmu!

Kota, Benci dan Kita - Sakura tak lagi ada.
            Sengaja aku menunggu di kota penuh cinta ini, kota impian, kota yang pernah kau titipkan sesosok kekasih yang selalu menantikan kepulanganmu. Mukaku memerah, air mata ini kembali memberi sinyal tanda hatiku tak mampu membendungnya lagi. Maafkan aku hatiku, telah membawamu pada luka yang salah.

Benci - Kau sudah menjadikanku fatamorgana!
            Kau selalu hadir layaknya tak pernah bersalah pada hati yang tak bertuan ini. Puing-puing ini telah meredam memori tentang kita. Kau hadir mengetuknya berulang-ulang sehingga membuat nafasku berhembuskan kepalsuan pada sosok yang kusayang. Ya, aku membencimu, aku benci caramu memperlakukan hatiku. Selamat tinggal, selamat tinggal itulah ucapan yang ingin kuteriakkan di hadapanmu. Agar aku bisa memutar duniaku yang kau tinggalkan. Agar bisa tulus bersamanya.
Sayangnya, aku tak mampu.
Air mataku menetes. Jun Soo benar. Selalu tentang Hyun Bin.

 Kita - Tak ada lagi?
Nafasku memang telah berhembus kebencian, seolah kau bukan raga yang kukenal. Kau telah mati terkubur bersama ketidakpedulianmu akan bentuk puing hatiku .
Aku dan kamu bukan lagi kita, itu saja sudah cukup mengingatkanku bahwa kamu hanya kenangan yang mencoba hidup dan menetap di hatiku.
            Pintu ini telah terkunci. Entah berapa lama penghuninya memperbaiki ruangan yang terlanjur pecah berkeping-keping dan tak peduli berapa kali kau mengetuk. Aku harap waktu menjawab semua dengan nada yang pelan namun memberi bahagianya.
Kututup diari. Pipiku sudah basah. Aku muak menjadi diriku yang sudah memanjakan ego sendiri dan menyakiti laki-laki seperti Jun Soo.
Hyun Bin memang tak pernah pergi dari hatiku. Dialah yang terkunci dalam di hatiku. Membuat puingnya tak pernah usai tertata.
Lamunanku terhenti.
Kuhempaskan nafas pelan. Danau Ilsan nampak berkabut di awal musim gugur ini. Hari Sabtu bagiku tidak beda dengan hari lain. Gerimis baru saja berhenti, walau mendung masih terlihat di langit tapi sepertinya hujan tidak akan turun. Angin yang bertiup pelan menambah dinginnya udara. Sore yang indah sebenarnya. Aku sangat berharap keputusanku untuk datang ke tempat ini dapat memberiku sebuah ketetapan hati atas langkah yang akan kuambil untuk menata hatiku.
“Ga Eulya?” sebuah suara membuatku tersentak. Nafasku seolah terhenti.
Hyun Bin?
Sosok itu masih sama seperti terakhir kali aku melihatnya.
“Ah, akhirnya aku menemukanmu juga,” senyumnya terlihat lega.
“Kau mencariku?” aku melihatnya, takjub. Apakah ini jawabanmu, wahai sang waktu?
“Ne,” angguknya. “Aku tadi ke rumahmu. Ahjumma mengatakan kau ada di danau.”
Matanya menatap ke wajahku. Jantung ini kembali berdetak tidak beraturan. Mata itu. Mata yang sampai saat ini masih tetap menjadi mata yang terindah yang pernah aku lihat.
“Ada apa?”
 “Emhhmm, ini,” Hyun Bin menyodorkan sebuah kotak berpita padaku.
Keningku mengernyit, “Apa ini?”
Hyun Bin tersenyum penuh rahasia. “Untukmu. Tapi kau buka di rumahmu saja ya?”
“Apa isinya?”
“Surat.”
“Surat?”
“Yang kutulis. Untukmu.”
Aku menatapnya kian tak mengerti.
“Aku ada di sini. Mengapa harus surat?”
Sesaat kulihat senyumnya sedikit kelabu. “Karena aku tidak bisa berkata-kata tanpa merusak kebahagianmu. Kudengar kau sudah bahagia. Aku senang.”
Ucapannya semakin tidak aku mengerti.
“Hyun Bin a..”
“Apa kau benar-benar bahagia?”
Sesaat lidahku kelu. Chu Ga Eul, ayolah! Waktu sudah memberimu kesempatan! Hatiku berteriak tak sabar, ingin segera keluar dari ketidakpastian yang semakin menyiksa.
“Aku....”
“Hyun Bin a!” sebuah suara di belakang Hyun Bin membuat kalimatku terhenti. Kami sama-sama menoleh. Sesosok gadis cantik nampak berdiri agak jauh dari kami. Menatap Hyun Bin dengan tak sabar.
“Sebentar, Hyo Ri!” Hyun Bin kembali menatapku.
“Ga Eulya?”
Kupaksakan mengukir segaris senyum. Semoga bentuknya tidak seabstrak hatiku yang semakin rapuh.
“Aku bahagia.”
Hatiku menangis. Bahkan sampai aku kembali terlindung di balik dinding kamarku. Maafkan aku, hatiku. Luka ternyata abadi bersamamu.
Kubuka kotak yang tadi diberikan Hyun Bin. 

Manhattan-Autumn
Secangkir kopi terasa lebih pekat untuk mengingatmu, kamu yang dulu kujaga dan kurindukan. Sorot mata memintaku untuk menjauhimu, aku tergeletak pada dunia yang berbeda sejak kita tak bersama. Meski aku pergi, kuminta kau jangan pergi dari situ, mawar unguku, tetaplah menungguku.

Manhattan - Winter
Sungguh aku rindu. Aku menyesal sudah begitu padamu. Kini rindu ini menghukumku begitu kejam. Sengaja aku mengirim surat, menanyakan kabar dan keadaanmu yang kudengar sayup-sayup dari kejauhan. Kali ini aku menulis bersama salju.Tapi kau tak pernah menjawab suratku. Apa kau telah membenciku, Eulya ?

Manhattan - Timeless point
Lampu jalan dengan rintik hujan, seromantis itukah kisah kita dulu Ga Eul? Aku dengar kau berkenalan dengan seorang lelaki? Aku memberontak. Aku tak rela! Tapi aku sadar, aku yang memulai. Kupikir lebih baik aku diam sejenak.
Eulya, berulang kali aku mengirimimu email tapi kau tak pernah membalasnya. Ada yang ingin kutanyakan. Ga Eul, apakah hatimu juga sakit saat kukatakan sudah ada perempuan lain ketika perpisahan kita ketika itu?
Tuhan sudah benar-benar membalaskannya untukmu, Ga Eul.

Goyang City-Gyonggi do - di musim dengan namamu di setiap hembusan udaranya.
Kembali ke kota ini, membuat aku tak bisa menahan tarikan nafas ketika setiap sudut kota mengingatkanku padamu. Aku akhirnya sadar, kau di sini lebih merasa sakit karena terlalu banyak kenangan yang harus kamu ingat sendiri, Eulya. Kini aku memang kembali, tapi bukan untuk bersamamu. Kota ini membuatku sadar, yang sudah kuberikan padamu hanyalah rasa sakit. Aku tak mau keegoisanku kelak kembali menyakitimu.
Kau sudah buktikan bisa menjalani hari tanpaku. Karena kau adalah wanita kuat yang kukenal. Terlebih sudah ada laki-laki baik bersamamu di sana.
Aku relakan kamu bersamanya. Bahagia ya, Chu Ga Eul. Jika rela, doakan aku agar bisa bahagia sepertimu, walau tidak bersamamu.
Senja memang mengantarkan jawaban yang kutunggu. Tapi tetap saja, bukan ini yang aku inginkan.
You will never comeback to me and you can’t do it
Please stop doing so, you comfort me like this
If I can’t see you again, I really wanna forget
All about you that hold me

Whenever a wanna lsugh, you make me cry
You keep me for doing even one thing i want
Whenever I miss you, you break me down like this
Even thought I want to forget, I can’t do it

--- From the Beginning Till The End –winter Sonata Original Sound Track---
Sung by Ryu


 *Cerita Pendek ini ditulis oleh Sonya dan Happy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar