“Rintiknya mengabarkan
keberadaan senja yang seolah menghilang oleh sang hujan. Aku tak perlu bersusah
payah mengejar sang senja atau memutar waktu agar bertemu dengannya. Sebab,
senja tetaplah senja, yang akan memberikan warna yang berbeda setiap hari
berganti. Begitu pula kamu, cinta.”
Hosu Gongwon.. Ilsan
Lake Park -
2013
Sumber : Google |
Kuedarkan
pandangan ke sekeliling. Tak banyak yang berubah. Danau yang nampak jernih,
pepohonan hijau, serta bunga yang mekar segar di pertengahan musim semi.
Menawarkan berjuta pesona yang membuat banyak wisatawan asing sengaja datang
untuk melihat keindahannya.
Lama
aku menunggu untuk bisa duduk di
sini.
Sekadar untuk bercerita
pada keindahan yang ditawarkan alam semesta. Bagiku, tempat ini tidak hanya
sekedar memberikan keindahan, tapi juga menyimpan kenangan termanis dalam hidup
yang tidak pernah tergantikan oleh apapun. Kenangan tiga tahun yang lalu, saat
aku dan Hyun Bin masih bersama. Bagaimana tidak, aku dan Hyun Bin sudah
terbiasa bersama melewati senja di tempat ini hingga sang hujan pun ikut
menjadi kenangan termanis.
Han Hyun Bin..
Sahabat
masa kecil, teman terbaik, sekaligus ... cinta sejatiku.
Tanpa
sadar aku tertawa, miris. Seperti pepatah yang mengatakan kau tidak akan sadar arti
penting seseorang sampai kau kehilangannya, begitulah yang aku rasakan tentang
Hyun Bin. Setelah bertahun-tahun akhirnya aku menyadari, hatiku tak akan pernah
bisa terlepas dari bayangannya.
Hyun
Bin mengisi sepenuhnya kenangan masa kecilku. Sejak dulu aku sudah terbiasa
menghabiskan waktu, meminta perlindungan kepadanya. Masih tertanam dalam
ingatanku pertemuan pertama kami. Senja
itu seperti biasa eomma dan appa mengajakku berkeliling taman. Saat
itu usiaku masih 8 tahun. Aku yang terlalu gembira karena baru saja mendapatkan
hadiah sepeda dari appa, memutuskan
untuk memisahkan diri dan bersepeda ke tempat yang agak jauh. Mungkin aku
terlalu bersemangat sehingga tidak menyadari kalau sebuah batu yang cukup besar
menghalangi jalan. Sepedaku pun tersandung batu dan aku tidak bisa mengendalikannya
sampai kemudian terjatuh. Tiba-tiba datang sosok anak laki-laki yang sepertinya
juga berusia sama denganku berlari,
membantuku berdiri. Ah, senyumnya masih selalu kuingat. Aku tidak
tahu bagaimana kami bisa berjalan bersama sampai aku menemukan eomma dan appa.
Tiga
hari setelah kejadian itu, eomma
mengajakku ke rumahnya untuk berterimakasih secara khusus atas pertolongannya.
Saat itulah aku tahu kalau rumahnya berada tak jauh dari rumahku. Sekolah kami
pun sama. Hanya saja berbeda kelas. Kami pun menjadi akrab dan memutuskan untuk pergi sekolah bersama-sama. Persahabatan kami
dimulai. Sampai akhirnya kami memutuskan
mengubah kata persahabatan menjadi cinta tepat setelah kelulusan SMA.
Tiga
tahun yang lalu, taman danau di kota Goyang ini seolah menjadi saksi bisu pernyataan
cinta kami. Aku masih ingat,
hujan
turun saat itu, tapi Hyun Bin langsung menarikku meninggalkan perayaan
kelulusan kami di sebuah cafe
dan mengajakku ke tepi Danau Ilsan. Tak
peduli guyuran hujan, disaksikan hamparan bunga di belakang kami, kami pun
mengikrarkan cinta. Hari itu kebahagiaanku semakin berlipat-lipat sehingga tak
aku pedulikan gerutuan eomma dan appa yang melihatku pulang dalam keadaan
basah kuyup.
Sebulan
kemudian kami harus terpisah karena Hyun Bin melanjutkan kuliah di luar negeri
dan aku memutuskan menetap di kota tercinta ini. Sulit memang menjalankan
sebuah hubungan sementara kami terpisahkan oleh jarak. Meski kerap rasa takut
kehilangan menggerogoti pikiranku,
tapi komunikasi dan rasa saling percaya selalu kami utamakan. Aku tidak pernah
bosan mendengar kata-kata rindu yang dilontarkannya dari kejauhan. Entah karena
hubungan kami sudah menjadi sebuah kebutuhan atau memang didasarkan karena rasa
cinta, baik aku maupun Hyun Bin menikmati keadaan ini.
Seiring
dengan berjalannya waktu, saat aku disibukkan dengan berbagai kegiatan kuliah
dan kepenulisan di kampus, aku dihadapkan pada sisi berbeda dari Hyun Bin yang
tidak pernah aku ketahui sebelumnya. Dia menjadi lebih posesif. Awalnya aku
memaklumi karena hubungan kami dibatasi jarak. Seperti halnya diriku, dia pun
pasti merasa kesepian dan khawatir. Namun semakin lama, frekuensi pertengkaran
kami semakin meningkat. Sering kami
bertengkar hanya karena aku terlambat membalas pesan singkat, atau lupa untuk
mengabari sehari saja. Lima bulan dari waktu kami berpacaran, pernah terlintas
untuk mundur saja. Aku muak dengan sifat Hyun Bin yang semakin hari seolah
menjadi satpam yang selalu ingin tahu keberadaanku dan membatasi kegiatanku.
Ya, terlintas mengakhiri hubungan ini namun selalu urung karena ucapannya yang
manis itu.
Dia begitu karena
menyayangiku, kucoba mensugesti diri. Aku harus bersabar. Akan kucoba untuk
memahaminya lebih dalam.
Setahun
lamanya tak berjumpa sampai akhirnya kami bisa saling bertatapan lagi. Aku
sangat senang menerima
kabar bahwa Hyun Bin akan pulang untuk menghabiskan masa liburan kenaikan
tingkat. Hari itu, masih di musim semi yang basah yang selalu menyuguhkan
keromantisannya, kami bertemu kembali. Hyun Bin mengajakku bertemu di tempat
kami mengikat janji. Tanpa berpikir dua kali aku langsung mengiyakan
tawarannya. Akan kubawa sepucuk cinta dan segenggam rindu, akan kuluapkan
padanya dan pada sang senja di tepi Danau Ilsan.
“Apa
yang kau rindu dariku, Ga Eul?”
tanya Hyun Bin. Kami duduk berdampingan di rerumputan basah, menatap jauh ke
cakrawala.
Aku
tersenyum sambil menundukkan wajah. “Semuanya,” jawabku. “Kau mempunyai senyum
yang tak bisa kudapat dari lelaki manapun. Kau memiliki sinar mata yang tak
bisa kutatap dari lelaki manapun begitu juga dengan tingkahmu yang terkadang
membuatku seolah memiliki satpam saja. Ada banyak hal yang membuatku selalu
merindumu.”
“Oh, ya? Tapi kita akan
terpisah lagi untuk waktu yang lama. Akankah rasamu padaku tak akan berubah?”
Wajah
itu seolah mengisyaratkan perpisahan yang
tertunda. Dadaku tiba-tiba bergetar tak tenang. Semoga itu hanya pikirku
saja.
Aku
menyentuh tangannya. “Pertanyaan macam apa itu? Bukankah hari ini kita akhirnya
bisa bertemu?”
Hujan
seketika turun, tanpa gerimis yang menghantar kedatangannya. Percakapan di antara kami pun semakin
serius. Aku mengabarinya tentang rindu yang tak terbatas, tentang cinta yang
semakin bersemai. Genggaman tangan yang tak ingin kulepas lagi.
Namun
hari itu, seolah Hyun Bin memberikan kesempatan pada sang hujan untuk menghapus
semua harapanku. Bersama petir yang tiba-tiba hadir. Seolah cahayanya merekam
jelas pertemuan kami.
“Aku
tidak ingin lagi menyiksa diri dengan mencemaskanmu,” bisiknya perlahan,
mencoba untuk mengurangi rasa sakit yang bisa ditimbulkan saat kata demi kata yang
terucap darinya perlahan merobek hatiku. “Aku juga tidak ingin membuatmu merasa
terkekang dengan semua kekonyolan yang pasti membuatmu tidak nyaman.”
“Apa
maksudmu? Tidak, Hyun Bin a, aku.. “
“Aku
bertemu wanita lain!” tukas Hyun Bin mematahkan kalimatku. “Dia.. mampu
menenangkanku saat aku hampir gila karena mencemaskanmu.”
Itu
bukan lagi merobek hatiku. Tapi menghancurkannya!
Setelah
menjadi wanita paling kasihan karena membendung rindu sendiri. Akhirnya aku
benar-benar menjadi wanita paling menyedihkan. Ya, dicampakkan begitu saja
sebelum sempat mengurai semua rindu yang terasa menyesakkan dadaku setahun
terakhir ini bukankah sangat menyedihkan?
Aku
pun menjadi takut melangkah lagi. Takut melangkahkan kaki ke setiap sudut kota yang
menyisakan jejak kenangan antara aku dan Hyun Bin. Aku jadi membenci hujan yang
turun bersamaan dengan sang senja. Aku juga jadi muak dengan tatapan lelaki
manapun, karena yang terbayang di mataku ketika melihat semua itu adalah sosok Hyun
Bin yang perlahan menghilang dari peredaran bumiku. Menyakitkan.
Sampai
kemudian aku bertemu Jun Soo, teman dunia mayaku. Dia hadir membawa tujuh warna
pelangi yang kukira sempat hilang dari duniaku. Perlahan mengubah hidupku
bahkan sejak pertama kali kami berkenalan. Dulu, aku selalu ingin menghentikan
sang waktuku ketika mengingat Hyun Bin. Sebab sakitnya melebihi duri yang sempat
kupijak di taman Danau
Ilsan senja itu.
Duniaku
perlahan kembali berputar. Jun Soo seolah memberi warna di kehidupanku yang menyedihkan.
Membuatku kembali hidup. Aku pun menyadari perpisahan dengan Hyun Bin mungkin
yang terbaik. Tak akan akan ada lagi cemas, takut, atau kepedihan karena
kerinduan yang tak terurai. Saat aku terpenjara dalam kenangan masa laluku, Jun
Soo hadir seperti lilin kecil memberi terang dalam hidup lalu menghangatkan
setiap kata yang membuatku nyaman menghabiskan waktu bercerita dengannya. Aku
dan Jun Soo memang baru saling kenal, tapi perkenalan ini seolah membuka lebar
kesempatan untukku bisa melupakan masa lalu.
Tiga
bulan setelah perkenalan melalui dunia maya. Aku memutuskan untuk berlibur ke Seoul. Jun Soo tinggal
dan kuliah di sana. Di ibu kota Korea Selatan
itu, aku sering mendengar cerita dari Jun Soo tentang sebuah kedai kopi yang sangat
menarik untuk dikunjungi. Hakrim Dabang, kedai kopi yang sudah ada sejak tahun
1956 dan konon banyak dikunjungi oleh para sastrawan, seniman, dan artis di
negeri ini. Jun Soo merekomendasikan tempat ini begitu tahu aku sangat menyukai
dunia sastra dan penulisan. Dia pun berjanji untuk mengajakku ke sana
seandainya nanti kami bertemu.
“Kalau
kau lihat buku tamunya, waah, kau akan bisa melihat tulisan para sastrawan terkenaal!"
begitu ujarnya saat kami berbicara tentang Hakrim.
Aku pikir, karena kami sama-sama menyukai kopi
maka kedai kopilah yang akan membuat hubungan kami cepat akrab. Aku juga tak
perlu menyembunyikan kisah masa laluku bersama Hyun Bin, karena jauh sebelum Jun
Soo menyapaku melalui jejaring sosial dia sudah membaca semua kisahku dan Hyun
Bin melalui tulisanku di blog pribadiku. Itu yang Jun Soo katakan saat kami chating malam itu.
Seoul
terletak tidak begitu jauh dari Goyang. Hanya berjarak 20 menit melalui Seoul
Ring Express. Perjalanan kali ini kurasakan
sedikit berbeda, karena yang ingin kutemui bukan saja sekedar suasana Seoul,
tapi seseorang yang berada di
sana.
Hujan turun membiaskan titik embun di jendela bus. Entah mengapa, setelah sering
terlibat percakapan dengan jun Soo, kecintaanku pada hujan perlahan kembali lagi.
Aku mulai tak membenci suara rintiknya. Bahkan mulai jatuh hati pada petir yang
memancarkan cahaya.
Ah, Jun Soo. Meski tak
kutahu sosokmu,
namun kau mampu mengubah masa kelamku menjadi penuh bunga.
Setelah
20 menit perjalanan, akhirnya aku sampai di Nambu Station. Kuambil
ponselku lalu kutekan nomor kontak Jun Soo.
“Yoboseo? Han Jun So ssi? Aku sudah tiba
di Terminal Nambu. Kamu sudah
di sinikah?”
suaraku.
“Oh,
aku segera menuju kesana. Kamu tunggu saja. Duduk dulu atau ngemil disana, ya.”
Percakapan
pun terhenti, aku duduk di
antara
keramaian orang yang bernasib sama denganku. Menunggu orang yang menjemput. Kuperbaiki
syal yang masih menggantung di leher, mataku fokus pada handphone
meski sebenarnya pikiranku tertuju pada bagaimana kesan pertama
dia mengenalku. Aku begitu gugup menanti pertemuan pertama kami saat itu.
Lima
belas menit lamanya aku duduk namun orang yang kutunggu tak kunjung datang.
Perasaan gugup semakin menjadi-jadi seiring dengan dentang waktu yang berputar.
Tiba-tiba
sebuah suara di sebelah mengagetkan lamunanku.
“Eh,
Maaf. Chu Ga Eul ssi?”
Kuamati
sosok tinggi tegap berambut agak gondrong yang sebenarnya sejak tadi sudah
duduk di sampingku.
“Ne.
Saya Chu Ga Eul. Kamu.. Han.. Jun Soo ssi?”
Mata berbingkai itu langsung ikut tersenyum
bersama tarikan bibirnya yang melebar.
“Ne, aku Jun Soo. Dari tadi aku duduk di sebelahmu
tapi kamu sepertinya lebih fokus sama handphonemu.”
Wajahku memanas, pasti
warnanya pun memerah karena malu.
“Oh,
Mianhe, Jun Soo ssi. Aku pikir tadi
kamu cowok iseng yang sengaja duduk deket-deket aku untuk cari-cari kesempatan.”
Kami
tertawa bersama. Sungguh, aku merasa malu karena sudah berlaku konyol pada
pertemuan pertama kami waktu itu.
Jun
Soo membawaku mengelilingi Seoul.
Sesuai
janjinya, kami pun mampir di Hakrim Dabang. Suasana tradisional
langsung menyambut kami. Aku terkagum-kagum melihat interior yang terbuat dari
kayu. Kami duduk di sofa antik yang nampak matching
dengan suasana sekitarnya. Di dinding depanku, berjejer foto-foto hitam putih
beberapa tokoh dunia. Dekorasi benda-benda antik berjejer dengan rapi di rak
kayu sebelah tangga kayu di bagian kanan kedai. Belum lagi sebuah rak yang
dipenuhi piringan hitam menghiasi salah satu sudut. Aku rasanya bisa mengendus
aroma kelembaban rumah tua di tempat itu.
Setelah
seharian mengelilingi Seoul, kami pun menghabiskan senja dengan ditemani
secangkir esspresso dan sepiring
kecil cheesee cake. Aku kembali
terpesona pada tampilan keduanya. Esspresso
kental yang nampak hitam mengepul, berdampingan dengan cheesee cake seputih salju dengan sedikit hiasan ungu dari toping selai blueberry. Benar-benar hidangan yang pas di tengah cuaca yang mulai
hujan di luar sana.
Hingga
larut malam kami berbincang.
Sepanjang
percakapan, hatiku semakin bergetar melihat sorot mata Jun Soo saat menatapku. Aku seperti mengenal
sorot mata itu. Entah di
mana,
dan aku tidak begitu memedulikannya saat itu. Percakapan kami cukup membuatku
menyimpan rasa penasaranku
akan sorot mata yang sama itu.
Di
salah satu sudut kota Seoul inilah akhirnya aku kembali merasakan hal yang sama
seperti tiga tahun yang lalu saat
bersama Hyun Bin. Ya, aku merasakan getaran dan detak jantung yang lebih
kencang saat berdekatan dengannya.
Jun Soo, apakah kamu
tahu? Sorot matamu mengingatkanku pada cara Hyun Bin memandangku..
Saat
itu kami berbicara banyak hal. Sampai akhirnya, nama Hyun Bin hadir dalam percakapan,
mengingatkanku kembali pada rasa sakit di dadaku. Jun Soo berbicara seolah
menyiratkan bahwa orang yang seharusnya aku tunggu bukanlah Hyun Bin, tapi dirinya.
Hatiku
bergejolak. Tenggelam bersama kenangan masa lalu dan masa depan yang tiba-tiba
hadir bersamaan di hadapanku.
Dalam
bayangan Hyun Bin, kusambut uluran tangan Jun Soo yang menawarkan masa depan
padaku. Sesaat aku sempat lupa sudah berapa lama aku menutup pintu hati dari
lelaki lain. Semua karena Jun Soo.
Aku
sadar, meski di sampingku
sudah ada sosok lain, namun bayangan Hyun Bin tak pernah bisa benar-benar
kulepas. Banyak hal yang ada pada diri Jun Soo yang mengingatkanku pada Hyun
Bin. Aku tidak bisa menghilangkan semua itu meski sudah berusaha. Kini aku
hanya bisa pasrah, menggantungkan cintaku pada takdir. Berharap waktu berputar
cepat dan sampai pada jawaban yang kucari.
Melewati
tiga musim, semuanya baik-baik saja. Kami kerap menghabiskan senja bersama.
Menghitung daun yang gugur, menghangatkan kebekuan salju, menyapa kuncup bunga,
bermain bersama hujan. Kali ini jarak tidak lagi menjadi penghalang perjalanan
cintaku. Tinggal satu ganjalan. Sosok Hyun Bin. Sudah saatnya aku melepaskan diri. Jun Soo terlalu baik untuk sekedar
dijadikan bayangan.
Aku
masih di kampus saat pesan dari Jun Soo masuk di mendungnya siang tiga bulan
yang lalu.
Eulya,
besok aku kita bertemu di Hakrim jam 4
sore, ya.
Kuketik
jawabanku. Oke ^^
Hakrim Dabang di senja yang kembali basah.
Secangkir
Cappucino baru saja disajikan di
depanku, aku melirik ke pelayannya dan mengucapkan terima kasih. Kulanjutkan membolak-balik majalah yang
memang tersedia di kedai kopi itu sambil sesekali melirik ke arah pintu, menunggu kedatangan Jun Soo. Waktu berjalan perlahan, cappucino
dalam cangkir sudah mulai dingin
meski masih tersisa setengahnya.
Perlahan aku mengangkat cangkir dengan niat untuk menghabiskannya sebelum jadi benar-benar dingin.
Tanganku tertahan ketika mataku secara sekilas melihat Jun Soo celingukan di pintu masuk. Tiba-tiba
jantungku berdetak tidak seperti biasa, berpacu lebih cepat seperti ingin
segera melompat dan mendekat. Sementara hatiku memiliki keinginan yang lain,
menahan kakiku untuk melangkah dan membiarkan mataku untuk memandangnya lebih
lama lagi dari sini. Memandang sepuas hati tanpa harus mengucapkan sepatah kata.
Dia
menoleh ke dalam kedai, mencari-cari tanda kehadiranku.
Tangannya mengeluarkan handphone dari
dalam tas. Jari-jarinya menekan dan kemudian mendekatkan handphonenya ke telinga.
Handphone di dalam tas bergetar. Di
layar handphone tertulis namanya.
“Yoboseo…”
“
Eulya, kamu dimana?”
“Arah jam sembilan,” kujawab sambil melambaikan tangan ke arahnya.
“Ah,
aku melihatmu.”
Kulihat Jun Soo langsung bergegas menuju
tempat dudukku.
“Maaf, aku terlambat,” senyumnya begitu
tiba di depanku.
Mataku
menatap ke wajahnya. Jantung ini kembali berdetak tidak beraturan. Mata itu.
Mata indah yang dulu pernah kudapat dari sosok Hyun Bin.
“Tidak apa. Tempat ini terlalu bagus untuk
merasa bosan.”
Kami saling menatap. Jun Soo seolah menyiapkan diri
untuk berbicara padaku.
“Boleh
aku bertanya sesuatu?” tanya Jun soo kemudian. “Tapi kuharap, kau tidak marah
karenanya.”
Kini
debaran di dadaku berubah tidak tenang. Saat itu seperti de ja vu. Senja yang sama. Hujan yang sama. Semoga bukan perpisahan
yang sama.
“Bertanyalah,”
kucoba untuk menepis semua pikiran buruk.
Sejenak
Jun So hanya menatapku lekat-lekat.
“Eulya,
apakah hal yang membuatmu jatuh hati pada Hyun Bin?” ucap Jun Soo.
Aku
kaget mendengar pertanyaannya.
“Kenapa
kau tanyakan itu?”
“Karena
selama tiga musim ini, aku hanya melihat Hyun Bin di matamu.”
Jawaban
yang telak menohok hati.
Aku
bergeming. Berusaha menatap matanya. Kusadari aku harus jujur sekarang. Jujur
pada Jun Soo, jujur pada diriku.
“Kalian
punya sorot mata yang sama. Punya senyum yang sama.”
Sorot
matanya melembut, membuatku terpesona sekaligus khawatir.
“Kenangan
apa yang membuatmu sulit melupakan dia??”
Mataku
mulai memanas.
“Senja.”
“Seperti
saat ini?”
Aku
mengangguk.
“Lalu
apa lagi?”
“Hujan,
dedaunan gugur, salju, semuanya!” akhirnya aku benar-benar terisak.
Hyun Bin menemaniku
lebih dari setengah umurku, Jun Soo. Tolong pahamilah..
Kalimat
itu hanya bergaung dalam pikiranku.
“Maafkan
aku, Eulya. Aku tidak bermaksud
membuatmu mengingat masa lalumu. Aku hanya ingin tahu kenapa Hyun Bin mampu
menyihir hatimu hingga membeku seperti ini.”
“Kau
sudah menghangatkannya lagi, Han Jun Soo,” aku mencoba meraih hatinya.
“Bukan
sepenuhnya aku,” gelengnya lembut. “Di matamu tak pernah ada aku.”
Aku
menangis. “Maafkan aku. Tapi aku sungguh akan mencoba.”
Kembali
Jun Soo tersenyum. “Aku menyayangimu, Cha Ga Eul. Aku inginkan kebahagianmu.”
“Kebahagiaanku
bukan Hyun Bin! Dia mencampakkanku!”
“Dia
inginkan kebahagianmu.”
Kutatap
matanya. Aku sadar, ini memang sebuah akhir.
Senja itu, Jun Soo menutup
perjalanan kami yang mungkin memang semu semata justru di saat aku ingin
menjadikannya nyata.
Semua salahku, yang
masih terbelenggu masa lalu.
Setibanya
kembali di rumah, aku langsung
membuka folder
diary yang kutulis beberapa tahun lalu setelah kepergian Hyun Bin.
Aku ingin mengenali
kembali kata hatiku yang ternyata sudah kunafikkan.
Dedaunan gugur, 2009 - Hosu Gongwon
Tak seharusnya aku
membenci musim yang menjadi namaku. Tapi sungguh, aku benci menghadapinya! Aku
benci untuk duduk di sini
lagi dan menulis setiap kata dengan namamu. Aku ingin berhenti memintamu
menghampiri air mata, rindu dan kasih sayang ini. Tapi namamu tetap menduduki
menjadi raja, lagi dan lagi...
Dedaunan
masih gugur. Nomu Bogoshipda...
Tulisan
ini akan berteriak seandainya dia punya mulut untuk membuatmu peka akan setiap
tetesan air mata kerinduan. Aku bukan tak ingin kau menyadari, hanya saja
kuingin kepekaanmu akan rindu yang kau torehkan di setiap sudut kota ini. Aku semakin
merindui kenangan tanpa kehadiranmu, sekaligus begitu membencinya.
Kesepian
yang membeku – kau tetap tak ada.
Senyap yang membuatku
mengingatmu telah kuubah menjadi keramaian yang kosong. Layaknya berada di keramaian
yang suguhannya terlihat seolah aku melupakan tiadanya dirimu.
Hanya
mampu berteriak melalui rindu. Egoku jauh lebih menjadi utama ketika berhadapan
dengan rindumu.
Love
Hurt – Salju masih membeku
Jika aku rindu pertemuan itu,
mengapa
aku tak mencoba menemuimu saja lalu kusandarkan kepalaku di
bahumu, Sayang?
Aku bisa saja melakukannya kapan pun
aku mau, tapi bagiku itu percuma saja karena mencintaimu bukan lagi hakku,
menemuimu hanya menambah luka yang menyadarkanku bahwa kita tak mungkin menjadi
satu. Maka aku biarkan kenangan memelukku erat.
Hyun Bin, Kopi, dan
Hujan
Kafe cappucino di sudut
kota. Kita pernah bahagia.
“Sayang, lihatlah ke ujung
sudut jendela itu rintiknya menari mengalun bersama cinta yang sedang kita
semai.”
suaramu melenakan saat
itu.
“Sayang, jangan melupakanku
jika jarak memaksa kita untuk tak bertemu,” katamu, pada segelas
kopi yang sedang kuseduh.
Hyun Bin, aku masih
ingat. Tapi tidak denganmu!
Kota,
Benci dan Kita
- Sakura tak lagi ada.
Sengaja aku menunggu di
kota penuh cinta ini,
kota impian, kota yang pernah kau titipkan sesosok kekasih yang
selalu menantikan kepulanganmu. Mukaku
memerah, air mata ini kembali memberi sinyal tanda hatiku tak mampu
membendungnya lagi. Maafkan aku hatiku, telah membawamu pada luka yang salah.
Benci - Kau sudah menjadikanku
fatamorgana!
Kau
selalu hadir layaknya tak pernah bersalah pada hati yang tak bertuan ini.
Puing-puing ini telah meredam memori tentang kita. Kau hadir mengetuknya
berulang-ulang sehingga membuat nafasku berhembuskan kepalsuan pada sosok yang
kusayang. Ya, aku membencimu, aku benci caramu memperlakukan
hatiku. Selamat tinggal, selamat
tinggal itulah ucapan yang ingin kuteriakkan di hadapanmu. Agar aku
bisa memutar duniaku yang kau tinggalkan. Agar bisa tulus bersamanya.
Sayangnya, aku tak
mampu.
Air
mataku menetes. Jun Soo benar. Selalu tentang Hyun Bin.
Kita - Tak ada lagi?
Nafasku memang telah
berhembus kebencian, seolah kau bukan raga yang kukenal. Kau telah mati
terkubur bersama ketidakpedulianmu akan bentuk puing hatiku .
Aku dan kamu bukan lagi
kita, itu saja sudah cukup mengingatkanku bahwa kamu hanya kenangan yang
mencoba hidup dan menetap di hatiku.
Pintu ini telah terkunci. Entah berapa lama penghuninya
memperbaiki ruangan yang terlanjur pecah berkeping-keping dan tak peduli berapa
kali kau mengetuk. Aku harap waktu menjawab semua dengan nada yang pelan namun
memberi bahagianya.
Kututup
diari. Pipiku sudah basah. Aku muak
menjadi diriku yang sudah memanjakan ego sendiri dan menyakiti
laki-laki seperti Jun Soo.
Hyun
Bin memang tak pernah pergi dari hatiku. Dialah yang terkunci dalam di hatiku.
Membuat puingnya tak pernah usai tertata.
Lamunanku
terhenti.
Kuhempaskan
nafas pelan. Danau Ilsan nampak berkabut di awal musim gugur ini. Hari Sabtu
bagiku tidak beda dengan hari lain. Gerimis baru saja berhenti, walau mendung
masih terlihat di langit tapi sepertinya hujan tidak akan turun. Angin yang
bertiup pelan menambah dinginnya udara. Sore yang indah sebenarnya. Aku sangat berharap
keputusanku untuk datang ke tempat ini dapat memberiku sebuah ketetapan hati
atas langkah yang akan kuambil untuk menata hatiku.
“Ga
Eulya?” sebuah suara membuatku tersentak. Nafasku seolah terhenti.
Hyun Bin?
Sosok
itu masih sama seperti terakhir kali aku melihatnya.
“Ah,
akhirnya aku menemukanmu juga,” senyumnya terlihat lega.
“Kau
mencariku?” aku melihatnya, takjub. Apakah
ini jawabanmu, wahai sang waktu?
“Ne,”
angguknya. “Aku tadi ke rumahmu. Ahjumma
mengatakan kau ada di danau.”
Matanya
menatap ke wajahku. Jantung ini kembali berdetak tidak beraturan. Mata itu.
Mata yang sampai saat ini masih tetap menjadi mata yang terindah yang pernah
aku lihat.
“Ada
apa?”
“Emhhmm, ini,” Hyun Bin menyodorkan sebuah
kotak berpita padaku.
Keningku
mengernyit, “Apa ini?”
Hyun
Bin tersenyum penuh rahasia. “Untukmu. Tapi kau buka di rumahmu saja ya?”
“Apa
isinya?”
“Surat.”
“Surat?”
“Yang
kutulis. Untukmu.”
Aku
menatapnya kian tak mengerti.
“Aku
ada di sini. Mengapa harus surat?”
Sesaat
kulihat senyumnya sedikit kelabu. “Karena aku tidak bisa berkata-kata tanpa
merusak kebahagianmu. Kudengar kau sudah bahagia. Aku senang.”
Ucapannya
semakin tidak aku mengerti.
“Hyun
Bin a..”
“Apa
kau benar-benar bahagia?”
Sesaat
lidahku kelu. Chu Ga Eul, ayolah! Waktu
sudah memberimu kesempatan! Hatiku berteriak tak sabar, ingin segera keluar
dari ketidakpastian yang semakin menyiksa.
“Aku....”
“Hyun
Bin a!” sebuah suara di belakang
Hyun Bin membuat kalimatku terhenti. Kami sama-sama menoleh. Sesosok gadis
cantik nampak berdiri agak jauh dari kami. Menatap Hyun Bin dengan tak sabar.
“Sebentar,
Hyo Ri!” Hyun Bin kembali menatapku.
“Ga
Eulya?”
Kupaksakan
mengukir segaris senyum. Semoga bentuknya tidak seabstrak hatiku yang semakin
rapuh.
“Aku
bahagia.”
Hatiku
menangis. Bahkan sampai aku kembali terlindung di balik dinding kamarku.
Maafkan aku, hatiku. Luka ternyata abadi bersamamu.
Kubuka
kotak yang tadi diberikan Hyun Bin.
Manhattan-Autumn
Secangkir kopi terasa
lebih pekat untuk mengingatmu, kamu yang dulu kujaga dan kurindukan. Sorot mata
memintaku untuk menjauhimu, aku tergeletak pada dunia yang berbeda sejak kita
tak bersama. Meski aku pergi, kuminta kau jangan pergi dari situ, mawar unguku,
tetaplah menungguku.
Manhattan - Winter
Sungguh aku rindu. Aku
menyesal sudah begitu padamu. Kini rindu ini menghukumku begitu kejam. Sengaja
aku mengirim surat, menanyakan kabar dan keadaanmu yang kudengar sayup-sayup
dari kejauhan. Kali ini aku menulis bersama salju.Tapi kau tak pernah menjawab
suratku. Apa kau telah membenciku, Eulya ?
Manhattan - Timeless point
Lampu jalan dengan
rintik hujan, seromantis itukah kisah kita dulu Ga Eul?
Aku
dengar kau berkenalan dengan seorang lelaki? Aku
memberontak. Aku
tak rela! Tapi aku sadar, aku yang memulai. Kupikir lebih baik
aku diam sejenak.
Eulya, berulang kali
aku mengirimimu email tapi kau tak pernah membalasnya. Ada yang ingin
kutanyakan. Ga Eul, apakah hatimu juga sakit saat kukatakan sudah ada perempuan
lain ketika perpisahan kita ketika itu?
Tuhan sudah benar-benar
membalaskannya untukmu, Ga Eul.
Goyang
City-Gyonggi do
-
di musim dengan namamu di setiap hembusan udaranya.
Kembali ke kota ini,
membuat aku tak bisa menahan tarikan nafas ketika setiap sudut kota
mengingatkanku padamu. Aku akhirnya sadar, kau di
sini
lebih merasa sakit karena terlalu banyak kenangan yang harus kamu ingat
sendiri, Eulya. Kini aku memang kembali, tapi bukan untuk bersamamu.
Kota
ini membuatku sadar, yang sudah kuberikan padamu hanyalah rasa sakit. Aku tak
mau keegoisanku kelak kembali menyakitimu.
Kau sudah buktikan bisa
menjalani hari tanpaku. Karena
kau adalah wanita kuat yang kukenal. Terlebih sudah ada laki-laki baik
bersamamu di sana.
Aku
relakan kamu bersamanya. Bahagia ya, Chu Ga Eul. Jika rela, doakan aku agar
bisa bahagia sepertimu, walau tidak bersamamu.
Senja
memang mengantarkan jawaban yang kutunggu. Tapi tetap saja, bukan ini yang aku
inginkan.
You will never comeback to me and you can’t do it
Please stop doing so, you comfort me like this
If I can’t see you again, I really wanna forget
All about you that hold me
Whenever a wanna lsugh, you make me cry
You keep me for doing even one thing i want
Whenever I miss you, you break me down like this
Even thought I want to forget, I can’t do it
--- From the Beginning Till The End –winter Sonata
Original Sound Track---
Sung by Ryu
*Cerita Pendek ini ditulis oleh Sonya dan Happy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar