... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ...

Senin, 17 Juni 2013

[Cerpen Duet] Hipofisis Cinta Sepihak

Andai aku bisa, memutar kembali..
            Aku memejamkan mata. Memaksa oksigen masuk dengan cepat untuk memenuhi rongga paru-paru, dahiku mengkerut seperti merasakan sesuatu yang salah. Dan ketika oksigen terurai tergantikan karbondioksida. Mataku terbuka, Aku menyadari. Aku memang tidak punya hati.
***
            Aku melirik jam dinding. “Tentu saja sekarang waktunya” pikirku. Sudah jadi kebiasaan satu hari di setiap pekan, 2 hari sebelum hari Minggu, tepat di pukul 4 sore, kegiatan ini kulakukan, kegiatan yang tanpa sengaja telah menjadi kebiasaan semenjak aku menyakiti perasaannya, dan semenjak aku sadar telah menyakitinya, semenjak itu pula aku berpura-pura untuk tidak menyakitinya. Mungkin inilah bentuk rasa bersalahku, menghubunginya seminggu sekali, bertukar cerita. Panggilan tersambung.

            “Halo Wi, lagi apa?” aku memulai pembicaraan.
“Lagi pakai baju nih, habis mandi. Situ lagi apa?”
Apa? Pakai baju? Habis mandi? Aku mengkerutkan dahi.“Jadi masih pakai handuk dong? Terus cara megang ponselnya gimana??” aku terkekeh. Itu yang aku suka dari kamu selalu apa adanya.
“Omes banget, ponselnya ya di letakin di atas meja,terus dispeaker dong. Eh, gimana kabarnya di sana? Aman sehat sentosa kan? Kangen gak sama aku? Hehehe”
“Oh, masuk akal! Hehehe... alhamdulillah semua baik, sehat sentosa? Emang kamu Menteri Kesehatan? Kangen? Siapa? Aku? Lumayan lah..” Iya, Menteri Kesehatan hati aku. Setengah mampus aku kangen.
Aku tidak bisa menyembunyikan rasa rinduku. Itu wajar.


            Pembicaraan lewat telepon berlanjut. Sesekali ketika sudah tidak tahu apa yang akan dibicarakan, angin lewat seolah hanya untuk mentertawakan aku, “dasar pecundang!” mungkin kata-kata inilah yang akan disampaikan angin jika dia bisa berbicara. Untungnya, angin hanya berlalu tanpa berkata-kata. Mampir hanya untuk menyejukkan.

            Ngobrol sama Dwi enggak pernah ngebosenin. Selalu saja ada bahasan up to date. Dari naiknya harga bbm hingga korupsi, yang penting jangan ngomongin artis saja. Dwi tahu aku enggak suka gosip. Dan aku menyesal, kenapa tidak dari tujuh tahun yang lalu aku mulai mendekati Dwi, kenapa aku hanya berani berinteraksi dengannya lewat jaringan tanpa kabel. Padahal kami tinggal satu kota, jarak rumah yang hanya beberapa depa. Tiga tahun satu sekolah. Dan ketika disekolah, tak banyak yang bisa di bicarakan, ketika berpapasan hanya menegur sapa atau terkadang pura-pura tidak melihatnya. Aku benci mempunyai sifat alam. Gengsi!

                        “Kamu pasti nggak inget udah berapa lama kita temenan?” Lagi-lagi, kalau sudah buntu gak tahu mau ngomong apa, Dwi selalu mengutarakan pertanyaan ini.
“Emang udah berapa lama? Penting banget ya buat dihitung?” 7 tahun kan? Tentu aku ingat.
“Tuh kan, lupa lagi. Mesti berapa kali aku jelasin ke kamu, ha? Tiap kali kita teleponan kan aku selalu cerita kronologinya gimana. Irul mah yang diingetin Lila melulu deh” suara kesal Dwi terdengar di ujung telepon  .
“Halo, halo haduh gak kedengeran nih, Kamu masih di situ kan Wi, masih sibuk pakai baju?” Aku selalu ngerasa bersalah tiap kali ngomongin ‘kita’.
“Tuh kan, ngeles lagi!”
“Hahahaa, jangan ngambek gitu dong. Maaf deh, maaf.... lagi persiapan ospek nih, kamu apa kabar disana? Aku lupa nanya kabar. Kapan pengumuman  tes perguruan tingginya?” jangan ngomongin itu mulu dong.
“Iya deh, yang udah jadi Mahasiswa. Doain ya Rul, Sabtu ini pengumuman. Aku gak tahu deh mau kuliah dimana lagi kalo yang ini gak lulus juga” Nada Dwi terdengar lirih ketika sampai ditelingaku. Andai kamu ada disini.

“Kamu sih pakek acara pindah segala. Kemarin ada tawaran jalur undangan di kampus aku, malah gak mau, salah sendiri” Nadaku sengaja ku beratkan, agar terdengar kesal.

“Ya gimana, aku maunya disini, hehehe”
 “Haha dasar, aku doain deh semoga diterima”
“Aamiin, aamiin.. kabar Lila gimana Rul?”
“Baik, eh gimana cowo-cowo disana? Gak ada yang manis kayak aku ya? Hahahaa” sekenanya ku alihkan pembicaraan agar Dwi tidak  membahas Lila. Jangan bahas Lila, please!
“Pede banget. Preet.. yang manis banyak, tapi yang kayak kamu gak ada”
Kami terdiam untuk beberapa saat, hanya desakan angin yang terdengar di ponselku, sedang tertawa remeh kepadaku.
I know, I know  why there is nothing like me. Kamu mau tahu kenapa?”
“Kenapa?” Dwi mulai terpancing.
“Karena cowok-cowok disana nggak ada yang bodoh kayak aku, cowok bodoh yang udah menyia-nyiakan tulusnya cinta kamu” perlahan namun pasti ku eja kalimat itu.
Terdengar tarikan nafas yang berat dari ujung telepon. “Kamu nggak bodoh kok Rul, cuma sedikit kurang peka saja. Dan aku nggak pernah menyesal  suka sama  kamu, perasaan seperti ini bukan untuk disesalkan. Nggak sama sekali, meski aku tahu.. kamu nggak akan mungkin mencintai aku” ucapannya terdengar mantap, diiringi tarikan nafas yang kurasa kian berat.
Hatiku sakit. Sakit sekali mendengar ucapan Dwi.  
“Tapi Wi, kenapa kamu memilih aku untuk mendapatkan cintamu itu?” setengah membentak ku utarakan pertanyaan yang sedari dulu memenuhi kerongkongan, namun tak pernah berani ku katakan.
Disertai hembusan nafas yang panjang, lirih kudengar “Nggak Rul.. aku nggak pernah memilih pada siapa akan ku jatuhkan cinta ini, apalagi memilihmu, karena bagiku..cinta bukanlah pilihan.. yaa meski terasa pahit mencintai kamu, aku gak menyesal kok, ku anggap cinta ini sebagai perfect destiny”.
Bagai tersengat jutaan lebah aku mendengar ucapan Dwi.
Andai aku bisa memutar kembali, waktu yang tlah berlalu, tuk kembali bersama.. sebentar saja.. Aku memejamkan mata. Lila muncul di pikiranku.
Aku hanya ingin takdir lebih dulu menyadarkan aku akan cintamu, bukan cintanya, Lila, kekasihku.
Aku masih terdiam, membisu, lidah seolah layu, tak mampu mengeluarkan kata demi kata yang mengambang bebas di permukaan otak kanan ku. Apa yang harus aku ucapkan? Menyalahkan diri untuk yang kesekian kali? Lalu memutuskan Lila secara sepihak dan mencoba menyambut cinta Dwi? Cinta dari ‘sahabat dewasa’ ku yang sudah ku kagumi jauh sebelum bertemu dengan Lila. Lirih ku dengar ia melanjutkan kalimatnya..
”Aku nggak ngerti apa itu Patologi, Parasitologi, apalagi Farmakologi” Dwi terdiam untuk beberapa saat dan melanjutkan ucapannya. “Rul, aku benci mengatakan ini, sesaknya luar biasa! Ntahlah, nyatanya kau lah Kodomain dari Fungsi hati ini”.
Darahku berdesir, Hati makin bergetar hebat, tenggorokanku tercekat sekat-sekat duri yang tajam saat mendengar rangkaian tutur yang indah dari Dwi. Itu bukan hanya sekedar indah, tapi juga menggundahkan, hati.
“Halo, Rul.. Halo” lengkingan suara Dwi menarikku dari dimensi waktu yang membawaku flashback ke masa itu, masa dimana kami masih bersama (walau tidak berpacaran), saling mengisi (walau tidak melengkapi), saling mengerti (dan memahami), saling berbagi (walau hanya lewat jaringan tanpa kabel (hati)), saling membully, hingga akhirnya dia jatuh hati.. tanpa kusadari.
Ribuan kata yang telah terangkai dalam otak pun kini tertahan di kerongkongan yang akhirnya buat ku membisu dengan bibir rapat terkunci.
 Ingin sekali ku utarakan maksud hati ku. Aku malu kepada Dwi, kenapa harus dia yang mengucapkan cinta terlebih dahulu? Dimana kodrat kaumku yang mewajibkan untuk memulai duluan? “Maaf Dwi” ku ubah secepat kilat perkataanku. Aku tahu ini takkan mudah untuk perempuan yang idealis seperti Dwi, buat perempuan yang tidak pernah menitipkan cinta lewat jarak.
            “Irul percaya cinta tak harus memiliki? Kata siapa. Bullshit! Aku gak percaya, kamu mau nitipin cinta sama jarak? Jarak itu cuma bahan keluhan pasangan jarak jauh. Itu artinya sama saja dengan mengeluh.” Ingatanku terhenti di ucapan Dwi seminggu yang lalu lewat telepon.
Aku membuyarkan lamunan. Ku seret ingatan untuk sampai ke detik ini. Dan barusan aku cuma bisa bilang maaf? Kemana fungsi hipofisis otakku? Ke arah mana hormon cinta yang aku perlukan saat ini? Apa dia berhenti bekerja hanya karena dijodohkan dengan induk semang yang kurang peka ini? Mampus! Sepetinya aku menderita hipofremia. Sudah tidak diragukan lagi. Aku pengidap keterbelakangan mental. Keterbelakangan mental cinta. Lila kembali muncul di pikiranku.
 Dengan lirih, sedih, perih, samar kuucapkan kata itu. Aku tahu kata itu terdengar sangat perih di telinga Dwi. Ya, sayangnya hanya kata itu yang mampu menerobos kerongkongan, satu-satunya kata yang mampu mewakili ribuan kata yang tertahan.
“Ma-af” setengah tertahan ku eja kembali kata itu. Aku tidak tahu apakah Dwi bisa mendengarnya dengan jelas.
****
Percakapan ini kian memaksimalkan penyesalanku. Belum ada tanda-tanda dari Dwi untuk merespon ucapanku.
Kuputuskan untuk segera mengakhiri percakapan kaku ini.
Percakapan yang kian meruntuhkan rapuhnya hatiku.
Percakapan yang hanya sisakan sebait kata ‘m-a-a-f’.
Percakapan yang hanya membawaku luruh kedalam pengharapan semu.
Dan ketika aku akan mengakhiri..
“Kamu itu seharusnya tahu apa yang harus kamu lakukan. Bukan meminta maaf, cintaku  tidak pernah untuk meminta maaf. Amor cuerdo, no es amor. Cinta yang waras itu , bukanlah cinta. Seluruh sel tubuhmu pasti tahu kapan cinta itu datang. Pasti! Tapi saat kedatangannya  kamu sengaja mengelak. Padahal kedatangannya kamu tunggu-tunggu, karena apa? Karena kamu tidak ingin menjadi gila.” Dwi kembali mengutarakan isi hatinya.
Perlu beberapa tambahan waktu untuk mengeja dan mengerti kalimat yang diucapkan Dwi. Dan ketika aku tiba digerbang pengertian, kadar glukosa ku menurun secara abnormal, aku gemetar, berkeringat dingin, berhalusinasi. Kepalaku sakit bukan main. Kebingunganku menjadi. Halusinasi sampai di puncak, dan akhirnya aku bertindak aneh, aku kejang-kejang dan koma. Oh maaf, mungkin ini sedikit berlebihan.
            “Wi, lalu apakah aku harus berterima-kasih? Ma-a” Aku sengaja tidak meneruskan kata yang dibenci Dwi. “Kamu tahu tingkat semu antara hubungan percintaan dan pertemanan? Hubungan yang sulit untuk di akreditasikan. Hubungan yang sulit untuk dipersatukan, derajatnya lebih tinggi dari sekedar berteman, dan jaraknya hanya nol koma nol nol nol nol satu milimeter dari percintaan. Aku mau kita seperti itu. Bukan karena kita tidak bisa memiliki. Tapi karena kepemilikan belum jadi milik kita ”
            “Hubungan apa itu?” Dwi memotong ucapanku.
            “Persahabatan. Karena itulah hubungan yang paling maksimal diantara satu orang yang idealis dan untuk lawannya yang kurang peka”  Bukan maksud aku, membawa dirimu masuk terlalu jauh kedalam kisah cinta yang tak mungkin terjadi.
            “Aku akan menyukai hubungan itu.” Dwi diam sejenak. “Hai sahabat maksimalku, sudah dulu ya. Salam buat dia yang sudah kamu miliki” Dwi memutuskan sambungan teleponku.
            Tentu saja aku bergidik mendengar potongan ucapan terakhirnya, Aku tidak bisa, andai saja aku bisa...
Andai aku bisa, memutar kembali..
Waktu yang tlah berjalan
Tuk kembali bersama
Di dirimu, selamanya
***
Bukan maksud aku, membawa dirimu
Masuk terlalu jauh, ke dalam kisah cinta
Yang tak mungkin terjadi

Dan aku tak punya hati
Untuk menyakiti dirimu
Dan aku tak punya hati tuk mencintai
Dirimu yang selalu mencintai diriku.
Walau kau tahu diriku masih bersamanya.
***


*Cerita Pendek Duet ini ditulis oleh Nina &  Putri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar