Kamu tahu aku suka sama kamu
Aku tahu kamu suka sama aku
Tapi kita berdua sama-sama tahu
Waktu kita telah habis
Terlambat …
Kau terlalu takut menyatakan
Dan aku terlalu takut menanyakan
Karena tak selamanya kita membutuhkan
Sebuah jawaban …
Tari memandangi handphonenya yang menampakkan layar notes berisi
puisi yang dibuatnya. Lalu ia mengalihkan pandangannya menatap air
mancur yang menari-nari di kolam depan Perpustakaan Nasional. Banyak
sekali yang dipikirkannya. Banyak pula yang disesalinya. Tak terasa satu
jam telah berlalu. Tari menghela napas panjang. Seolah-olah dengan cara
itu masalahnya akan selesai dan dunia akan lebih baik padanya.
Tiba-tiba handphonenya berbunyi dan menampilkan satu nama.
Cakra.
“Halo, Assalammu’alaikum.” Persis dering kedua Tari mengangkat teleponnya.
“Walaikumsalam. Kamu dimana Ri?”
Suara yang selalu menghantui pikiranku.
“Di Perpustakaan Nasional. Kenapa?” jawab Tari seraya menata hatinya yang dag dig dug.
“Habis ini ada acara lagi gak? Ada yang mau kubicarakan. Bisa?”
“Hmm.. bisa. Kebetulan hari ini gak ada rencana ke tempat lain.”
“Ok. Tunggu di sana yaa. I’m on the way. See you there.”
“Ok.”
Apa yang ingin dibicarakannya? Aneh sekali dia, jauh-jauh dari Tangerang hanya menemuiku untuk bicara.
Akhirnya Tari masuk ke dalam Perpustakaan Nasional yang agak ramai di hari Sabtu demi menunggu Cakra.
***
Di ruang baca fiksi Tari membolak-balik buku di hadapannya. Namun
pikirannya melayang ke delapan tahun sebelumnya. Saat ia dan Cakra
pertama kali berkenalan.
“Semua harus kenal depan, belakang dan kanan kirinya. Saya beri
waktu satu menit. Dimulai dari sekarang.” Tari bersungut-sungut
mendengarnya. Ia sebal sekali dengan tradisi OSPEK SMAnya ini.
Menurutnya ini semua tidaklah penting.
“Hai.. namamu siapa? Aku Cakra.” Seorang laki-laki di samping kirinya mengulurkan tangan.
“Tari.” tukasnya sambil mengulurkan tangan.
Dan ternyata mereka satu kelas.
Entah siapa yang memulai atau bagaimana -Tari tidak ingat-
tiba-tiba saja Tari dan Cakra menjadi sangat akrab. Dan mereka selalu
satu kelas dari kelas satu sampai kelas tiga. Walaupun mereka tidak
pernah duduk satu bangku. Dimana ada Tari, di situ pasti ada Cakra dan
begitu pula sebaliknya. Sampai teman-teman sekelas mereka mencurigai
bahwa mereka berpacaran. Namun hal itu tak digubris oleh Tari dan Cakra.
Dan lama kelamaan gossip itu pun hilang dengan sendirinya.
Saat kelas tiga SMA awal semester, Tari memutuskan menggunakan
hijab dan Cakra mendukungnya. Persahabatan mereka tetap sama. Cakra
sering sekali mengajak Tari untuk ikut touring motor dengannya. Walau
terkadang Tari risih karena ia satu-satunya wanita di kelompok touring
tersebut. Tapi Tari tak bisa menolak permintaan Cakra dan dalam hatinya
ia sangat senang sekali bepergian bersama Cakra. Karena Cakra sangat
bertanggung jawab dan sudah dikenal baik oleh keluarganya. Semua terasa
baik-baik saja. Saat itu.
Waktu kelulusan tiba. Tari dan Cakra pun terpisah. Karena
perbedaan universitas yang mereka pilih. Tari memilih Universitas Negeri
Jakarta di Rawamangun sedangkan Cakra memilih Universitas Bina
Nusantara di Kebon Jeruk. Timur dan Barat. Walaupun terpisah jarak dan
berkurangnya waktu bertemu, namun mereka tetap berhubungan baik. Hingga
tahun kedua kuliah mereka, Cakra bertemu seorang wanita yang memikat
hatinya. Dewi namanya. Dia lebih tua dua tahun dari Cakra. Setiap hari
Cakra selalu membicarakan tentang Dewi di SMS dan percakapan telepon,
hingga Tari pun merasa sangat mengenal Dewi. Awalnya Tari senang melihat
Cakra jatuh cinta. Tapi kian lama, hatinya terusik. Cakra semakin
menjauh dan asik dengan Dewi. Melupakan Tari, sahabatnya. Lama-lama
frekuensi percakapan telepon dan SMS antara mereka berdua pun berkurang.
Dan saat acara reuni SMA, mereka pun tidak saling menyapa. Seperti
orang tidak kenal saja. Hingga membuat teman-teman terutama teman
touring Cakra bingung.
“Tari,lo berantem sama Cakra?” Tanya Ridwan, teman sekelas Tari dan Cakra yang sering ikut touring.
“Hah? Enggak. Kenapa memangnya?”
“Kok kalian diem-dieman? Biasanya kan dateng bareng, pulang bareng. Udah kaya amplop sama perangko. Lengket. Hehehe”
“Gak selamanya seperti itu lah Wan. Cakra sudah punya pacar, masa iya aku gangguin terus.” Jawab Tari sembari tersenyum tipis.
Dan hingga acara berakhir, mereka berdua sama sekali tidak saling
berbicara. Terasa ada lubang di hatinya, tapi Tari tak mengerti mengapa
hatinya sakit. Tari merasa kehilangan Cakra.
***
Cakra memacu mobilnya dengan kencang. Lalu lintas Tangerang ke
Jakarta lumayan lancar. Sembari mengemudi, pikirannya kembali ke tiga
tahun silam. Saat ia berkenalan dengan Dewi.
Dewi adalah wanita dewasa dan pemberani yang pernah dikenal
Cakra. Cakra mengenalnya dari Indra, teman kuliahnya yang tinggal di
Karawang. Tidak sengaja bertemu dengan Dewi, ketika Cakra dan
teman-temannya touring motor ke rumah Indra di Karawang. Dewi adalah
tetangga Indra. Wajahnya manis dengan rambut ikal sebahu. Lebih tua dua
tahun dari Cakra. Sudah bekerja sebagai Sales Promotion Girl di Jakarta.
Kebetulan saat itu Dewi sedang liburan di rumah orangtuanya di
Karawang. Dan Dewi melihat kedatangan Indra dan teman-temannya.
“Indra!” panggil Dewi.
“Eh Dewi. Apa kabar? Lagi pulang?”
“Iya. Kangen Karawang. Sama siapa aja nih Ndra? Kenalin dong.” Kata Dewi seraya melihat Cakra.
“Oh iya.. ini teman-teman kuliah gw Dew. Kenalin ini Cakra sama Deri.”
“Hai.. aku Dewi” sapa Dewi sembari menjulurkan tangannya pada Cakra.
“Cakra.” Jawab Cakra tersenyum tipis.
“Gw Deri.” Ujar Deri seraya menjulurkan tangannya pada Dewi.
“Dewi.” Balas Dewi seraya tersenyum.
“Rencana sampai kapan di Karawang Ndra?” Tanya Dewi.
“Besok pagi balik ke Jakarta Dew. Ada kuliah hari Senin pagi.”
“Ooh.. malam mingguan di sini dong yaa. Hehe”
“Iya Dew.” Balas Indra tersenyum.
“Ya sudah, aku balik dulu yaa. Have fun yaa.”
“Iyaa..” Jawab Indra, Cakra dan Deri sembari tersenyum.
“Dewi itu tetangga gw. Dulu sebelum Dewi kerja di Jakarta, gw
sering main bareng dia. Cewek paling asik di sini. Walau tuaan dia
daripada gw, tapi jiwanya muda. Cantik lagi. Hahaa” Jelas Indra sembari
tertawa.
“Dasar lo! Gak boleh liat cewek cakep dikit.” Ujar Cakra menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ah elo sok alim Cak. Kenal sama Dewi, pasti lo bakal suka. Terus lupa dah sama HTS-an lo si Tari.”
“Sembarangan kalo ngomong. Tari itu sahabat gw. Bukan Hubungan Tanpa Status.” Jawab Cakra sembari menoyor kepala Indra.
“Ah.. lo berdua sama-sama bego atau muna. Jelas-jelas saling suka.”
“Udah deh, jangan jelekin gw sama Tari.”
“Oke..oke.. Maaf bos.”
Keesokan harinya, saat Cakra, Indra dan Deri bersiap untuk pulang ke Jakarta, Dewi datang menghampiri mereka.
“Halo Indra, Cakra, Deri..” sapa Dewi.
“Hai.” Jawab Cakra, Indra dan Deri bersamaan.
“Mau balik ke Jakarta ya? Ehm.. aku boleh nebeng gak?”
“Gw sih gak masalah Dew. Tapi gak tau si Cakra noh. Mau gak dia
boncengin lo. Soalnya gw udah boncengin Deri. Gimana Cak?” ujar Indra
seraya memandang Cakra, meminta persetujuan.
Cakra terkesiap dan nampak agak bingung. Karena ia tak terbiasa
memboncengi wanita selain Tari dan ibunya. Rasanya aneh. Namun pada
akhirnya, dia menganggukkan kepalanya tanda setuju. Sepanjang perjalanan
Dewi mendekap pinggang Cakra dengan erat. Dan tak berhenti berbicara.
Memang benar kata Indra, Dewi adalah orang yang asyik. Dan Cakra pun
senang berbicara dengannya. Setibanya di Jakarta, Dewi meminta nomor
handphone Cakra. Dan hubungan itu terus berlanjut bahkan semakin dekat.
Dewi sering mengajaknya jalan di akhir pekan. Hingga Cakra sering
membatalkan janjinya dengan Tari. Bersama Dewi, ia merasa dimanja dan
diperlakukan sebagai seseorang yang khusus. Dan tiap berkomunikasi
dengan Tari pun, Cakra tak luput membahas tentang kedekatannya dengan
Dewi. Dua bulan berkenalan kemudian Dewi “menembak” Cakra.
Cakra kaget mendengar pengakuan Dewi, tapi hatinya pun terasa
senang. Karena pada dasarnya Cakra sulit mengungkapkan perasaannya
terhadap wanita. Dia terlalu pemalu dan hanya dapat menunjukkan melalui
sikapnya saja. Dia pun menerima Dewi. Dan resmilah mereka berpacaran.
Tari tahu mereka berpacaran, namun tak tahu bahwa Dewilah yang
“menembak” Cakra.
Sudah dua bulan Cakra dan Dewi berpacaran. Hari ini mereka
berkencan di Kafe Strawberry Blok M. Dewi ingin sekali mencoba kafe yang
memiliki kue dan minuman serba strawberry ini. Suasana kafe tersebut
agak ramai di hari Sabtu.
“Di lantai dua aja yuk, Beb.” Ujar Cakra sembari menggandeng tangan Dewi.
Dewi mengangguk.
Setelah memesan, mereka bermain permainan balok pintar yang disediakan kafe tersebut.
“Hahaa..kamu kalah lagi beb.” Ujar Cakra.
“Iyaa..kamu jago banget sih beb.” Jawab Dewi sembari tersenyum manis.
“Iyaa dong. Cakra gitu looh. Tari juga sering kalah kalau main
balok ini sama aku beb. Dia sering gak mau main permainan ini, tapi
selalu aku paksa. Hahaha..”
Mendengar nama Tari disebut, wajah Dewi langsung berubah masam
dan cemberut. Cakra heran melihat wajah Dewi yang tiba-tiba cemberut.
“Kamu kenapa beb? Kok cemberut?” tanya Cakra.
“Kamu tuh nyebelin. Bisa gak sehari aja gak usah ngomongin atau nyebut nama Tari?” jawab Dewi kesal.
“Tari kan sahabat aku beb. Masak kamu cemburu sih.” ujar Cakra sembari tersenyum.
“Aku tahu. Tapi aku gak suka. Setiap kita lagi jalan kenapa kamu
selalu ingatnya Tari terus. Padahal kamu kan lagi sama aku, bukan Tari.”
“Soalnya aku kan sering jalan sama Tari dulunya beb. Jadi yaa, tiap tempat yang pernah kita datangi aku ingat dia beb.”
“Oh gitu. Okee.. sekarang gini aja ya Cak. Kamu pilih jalan sama aku atau sama Tari?”
“Loh kok gitu beb?”
“Udah cepet putusin. Kalau kamu pilih aku, kamu harus putusin
semua hubungan kamu sama Tari. Aku gak mau dengar kamu sebut-sebut nama
dia lagi. Buktiin kalau kamu serius sama aku!”
Cakra berpikir sejenak, dirinya tak suka pertengkaran maka ia pun menjawab “Oke.. aku pilih kamu beb.”
Dewi pun tersenyum lebar.
Cakra ikut tersenyum dan tak menyadari keputusan yang akan membuatnya menyesal nanti.
Diiinn…!! Diin…!!
Cakra tersentak dari lamunannya. Lampu lalu lintas telah hijau.
Semoga aku tidak membuatnya menunggu lama.
***
Tari melihat jam di handphonenya. Sudah 45 menit berselang dan Cakra
belum juga tiba. Tari sudah tak bersemangat membaca atau melihat-lihat
majalah di depannya. Ia pun beranjak dari sofa putih dan menghampiri
rak-rak buku. Ia menyentuh setiap punggung buku dengan penuh cinta dan
menghirup udara yang menguar dari buku-buku tersebut. Sementara
pikirannya kembali melayang ke satu tahun terakhir.
Semenjak putus hubungan dengan Cakra, Tari sempat menjalin
hubungan dengan teman kuliahnya Dira. Namun hanya bertahan tiga bulan.
Tari memutuskannya secara baik-baik dan sampai saat ini mereka masih
berhubungan baik. Bahkan sesungguhnya Dira beberapa kali mengajaknya
balikan lagi. Namun Tari selalu menolaknya secara halus dan tegas. Tari
merasa hatinya telah kosong. Tari menyadari bahwa jauh di lubuk hatinya,
ia merindukan Cakra. Bahkan ada benih cinta yang bersemai di hatinya.
Terlambat memang. Ia baru menyadari setelah kehilangan, bahwa Cakra
adalah cinta pertamanya. Dua setengah tahun ia benar-benar tak
berhubungan lagi dengan Cakra. Cakra tak pernah datang ke acara yang
diadakan teman-teman SMAnya. Nomor handphonenya pun sudah tak aktif.
Seakan ia menghilang ditelan bumi. Tari tak tahu apa yang sedang
dilakukan Cakra.
Hingga Agustus lalu, ia dihubungi untuk menjadi panitia reuni
akbar lima tahunan SMAnya. Di sanalah Tari bertemu kembali dengan
Cakra. Mereka berdua ditunjuk sebagai Penanggung Jawab HPD (Humas,
Publikasi dan Dokumentasi). Tari ingin menegurnya, namun ia malu.
Bagaimanapun modern tampilan Tari, sesungguhnya ia dibesarkan dengan
adat Indonesia yang ketimuran. Pikiran Tari masih konservatif. Ia
berpendapat bahwa haruslah lelaki yang memulai terlebih dahulu. Jadi dia
diam saja ketika bertemu dengan Cakra dan malah menyibukkan diri dengan
kesana-kemari. Pada hari H pelaksanaan reuni akbar, barulah percakapan
itu terjadi. Cakra menegurnya lagi. Bukan main senangnya hati Tari. Saat
acara selesai, Cakra mengantarkannya pulang dengan mobil dikarenakan
Tari mendapat tugas menyampaikan baju yang dikumpulkan teman-temannya
untuk baksos korban kebakaran di Bendungan Hilir. Dan rumah Tari di
Tanah Abanglah yang paling dekat dengan lokasinya.
Sepanjang perjalanan, mereka tak banyak bicara. Suasana terasa
kikuk. Ketika sampai di rumah Tari, Cakra tidak mampir bertemu orangtua
Tari seperti yang dahulu biasa dilakukannya. Dia langsung pulang. Tak
berapa lama Blackberry Tari berbunyi. Cakra Fikriyansyah tertulis ingin
menjadi teman BBMnya. Sejak itulah mereka berkomunikasi lagi melalui
BBM. Saling memberikan komentar mengenai Display Picture dan Personal
Message. Juga meramaikan grup BBM SMAnya. Sebulan kemudian Cakra
memasang fotonya di Kawah Putih Bandung. Tari begitu kagum melihat latar
pemandangannya yang indah. Saat itu ia sedang penat akan pekerjaannya
dan baru selesai sidang skripsi. Ia membutuhkan refreshing untuk
menyegarkan pikirannya. Ia pun mengomentari Display Picture Cakra dan
mengatakan bahwa ia ingin sekali pergi refreshing ke sana. Dan tiba-tiba
saja Cakra mengajaknya pergi ke Kawah Putih. Tari langsung mengiyakan
dan seminggu kemudian mereka berangkat. Mereka berangkat di hari Kamis.
Tari libur mengajar dan Cakra pun libur kuliah. Lalu lintas
Jakarta-Bandung tidak terlalu padat. Mereka berwisata ke Kawah Putih,
bukit bintang Ciumbeuluit dan taman Secret Garden mall Paris Van Java.
Berdua saja. Sepanjang perjalanan mereka menikmati kembali kedekatan
yang dulu hilang. Tak habis bahan obrolan tentang masa lalu, masa kini
dan masa depan. Seakan-akan selama ini mereka tetap berhubungan baik.
Cakra bahkan memberitahu Tari tentang Dewi yang melarangnya berhubungan
dengan Tari selama dua setengah tahun terakhir. Begitu pula tentang Dewi
yang “menembaknya” dan Dewi pula yang merasa bosan hingga pada akhirnya
memutuskan Cakra. Mereka juga membicarakan hubungan Tari dan Dira yang
begitu singkat. Tari merasakan ruang kosong di hatinya terisi kembali.
Ia sangat senang bisa berbicara dan berhubungan lagi dengan Cakra. Tapi
ia hanya diam tersenyum. Memendam rasa itu semakin dalam.
Cakra memarkir mobilnya di IRTI Monas. Dan bergegas menyeberang
menuju Perpustakaan Nasional. Dari pusat informasi Cakra telah
melihatnya. Gadis manis berkerudung ungu yang tengah berdiri melamun di
ruang baca fiksi. Itulah Tari. Cakra menghampirinya dan Tari tampak
masih asyik dengan lamunannya. Sepertinya gadis itu tak menyadari
kehadiran Cakra.
“Ehm..bengong aja!” ujar Cakra saat berdiri di samping Tari.
Gadis itu mengerjapkan matanya. Kaget. Lalu berkata, “Eh, sudah sampai kamu. Gak bilang-bilang.”
“Hehe.. kejutan! Kita ke Monas yuk, bicara di sana aja. Lagian aku parkir mobilnya di sana.”
“Ooh..oke. aku ambil tasku dulu di loker ya.”
Mereka berjalan bersisian dan saling mengomentari pemandangan yang
mereka lewati. Sepuluh menit kemudian mereka sudah ada di Monas. Cakra
mengajak Tari untuk naik ke puncak Monas. Untunglah antriannya tidak
terlalu panjang seperti hari-hari libur besar. Sembari mengantri, mereka
membicarakan kenangan-kenangan mereka di Monas. Bermain basket di
lapangan Monas, touring bersama-sama dari sekolah mereka di Cengkareng
ke Museum Fatahillah Kota, lalu naik ke puncak Monas yang sepi di hari
kerja. Menyenangkan mengingat masa lalu. Dunia serasa milik berdua. Dan
mereka berdua adalah raja dan ratu.
Setengah jam kemudian mereka telah ada di puncak Monas. Dari sana
terlihat kota Jakarta yang padat dan terlihat kecil dari ketinggian.
Juga terlihat Taman Monas yang membentuk pola pepohonan, yang jika
dilihat dari bawah tak jelas bentuknya.
Tiba-tiba Cakra bertanya pada Tari, “Dari puncak Monas ini, di mana letak rumahmu, Ri?”
Tari tersenyum dan menunjuk suatu arah sembari berkata, “Di sana. Di
balik blok A Tanah Abang yang berwarna hijau menyerupai bangunan di
Baghdad. Hehehe “
“Berarti di sanalah selama ini hatiku berada, Ri” ujar Cakra.
“Hah? Maksudnya apa Ca?” Tari mengerutkan keningnya. Bingung.
“Karena kamu tinggal di sana. Berarti hatiku tertinggal di sana Ri.
Bukankah sudah ku bilang di BBM, kalau aku sudah lama jatuh cinta
padamu. Hanya saja aku tak menyadarinya selama ini. Aku mencintaimu
Tari.” Cakra mengatakan itu sembari memandang tajam tepat ke mata Tari.
Posisi mereka berhadapan, dan Cakra merasakan bahwa tubuh Tari menegang.
Tari tak menyangka Cakra akan menyatakan perasaannya langsung seperti
ini. Ia sungguh kaget, hingga tak sadar menahan napasnya. Yaa.. Cakra
memang pernah berkata bahwa ia jatuh cinta pada Tari melalui BBM. Tapi
ia mengira itu hanyalah lelucon antara mereka berdua. Karena memang
mereka sedang berbincang ringan awalnya. Tari teringat pada petikan BBM
itu.
Cakra : gmn ngajar hari ini? Lancar?
Tari : Alhamdulillah lancar. Malah aku digombalin muridku si Yudi. Hahaha.. lucu anak itu.
Cakra : digombalin gmn?
Tari : tadi kan aku ngajar IPA kelas 9 ttg sistem ekskresi. Terus
salah satunya organ hati yang mengeluarkan cairan empedu. Aku tanya ke
Yudi, apa fungsi hati? Eh dia jawab, mengeluarkan cinta, Miss. Hahaha
Cakra : wah kreatif! Gurunya cantik siih..jadi gak tahan deh muridnya untuk ngegombalin.
Tari : haha.. bisa aja. Berarti kamu harus hati-hati juga. Nanti
kamu pengen gombalin aku juga lagi. atau jatuh cinta karena aku cantik
:P
Cakra : haha…kalau itu mah udah dari dulu.
Tari : hah? Apanya yang dari dulu?
Cakra : jatuh cinta sama kamunya. :)
“Ri.. boleh kutahu bagaimana perasaanmu padaku?” suara Cakra membuyarkan lamunan Tari.
“Hmm… kamu ingat gak Ca, apa yang aku katakan ketika kita di Bandung?”
“Iya. Aku ingat. Kamu bilang kalau di umur kamu yang baru saja 23
tahun ini, kamu sudah lelah dan tak mau lagi mencari pacar. Kamu bilang
kamu mau mencari imam, pendamping, suami.” Ujar Cakra tersenyum.
“Nah.. kamu ingat. Berarti kamu tahu jawabannya. Jika kamu menyatakan
perasaanmu hanya untuk hubungan jangka pendek atau berpacaran.. aku
cuma bisa bilang maaf. Aku tak bisa. Aku sungguh lelah dengan hubungan
macam itu. Aku mau serius. Dan jika serius, kamu datangi orangtuaku.
Pinta aku melalui mereka. Inilah batas waktuku.” Ujar Tari tersenyum
tipis sembari memalingkan mukanya ke arah langit.
Dalam hatinya ia merasakan pedih. Ingin menangis. Karena ia tahu,
kebanyakan pria jarang mau berkomitmen serius di usia muda seperti ini.
Walau ia mencintai Cakra, ia tidak mau lagi menerima perasaannya hanya
untuk sebentar. Ia menginginkan sesuatu yang kuat. Pernikahan. Ia ingin
memiliki Cakra secara sah. Tapi ia tidak yakin Cakra mau menikahinya.
Mungkin inilah akhir cinta pertamanya, indah namun tidak untuk dimiliki.
“Aku tahu konsekuensi yang kamu maksud Ri. Dan aku sudah
mempersiapkannya. Aku memang belum lulus dan pekerjaanku belum mapan.
Tapi aku serius denganmu. Aku sudah membicarakan ini dengan orangtuaku.
Dan mereka sudah mengenalmu dengan baik. Mereka setuju. Aku hanya
tinggal menunggu pernyataan darimu.” Ujar Cakra seraya merogoh kantung
celananya dan mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah. Dan ia membuka
kotak itu, yang berisi cincin emas dan berkata, “Will you marry me,
Mentari?”
Tari mendekap mulutnya yang kaget. Sungguh ia tak menyangka Cakra
akan memintanya di tempat umum seperti ini. Ia sungguh senang, hingga
air matanya mengalir tanpa sadar.
Cakra kaget melihat Tari menangis. Ia bertanya, “Kenapa Tari? Kenapa
kamu menangis? Maafkan aku kalau kau tak suka dengan cara ini. Tidak
apa-apa… kau tak usah menjawabnya saat ini. Sungguh aku minta maaf.”
Tari menggelengkan kepalanya keras-keras. Dan ia memeluk tubuh Cakra.
Menangis di dadanya. Cakra yang kebingungan hanya bisa menenangkan Tari
dalam dekapannya. Setelah tangisnya reda, Tari pun berkata dengan
lirih, “Aku mau menikah denganmu Cakra Fikriyansyah. Aku juga
mencintaimu, sudah lama.”
Cakra tersenyum lebar mendengarnya.
“Sekarang kita harus segera pulang ke rumahmu. Aku akan bicara dengan
orangtuamu. Terima kasih, Tari.” Ujar Cakra sembari memegang erat
tangan Tari. Seakan ia tak mau melepasnya lagi. Selamanya.
Sayup-sayup terdengar lantunan lagu perahu kertas dari HP seorang gadis remaja.
Perahu kertas mengingatkanku
Betapa ajaib hidup ini
Mencari-cari tambatan hati
Kau sahabatku sendiri..
Ku bahagia, kau telah terlahir di dunia
Dan kau ada.. di antara milyaran manusia
Dan ku bisa, dengan radarku..
Menemukanmuu…
(Maudy Ayunda – Ost. Perahu Kertas)
*Cerita Pendek ini ditulis oleh metamorfillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar