... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ...

Senin, 17 Juni 2013

[Cerpen] Sejumput cinta di batas waktu

Kamu tahu aku suka sama kamu
Aku tahu kamu suka sama aku
Tapi kita berdua sama-sama tahu
Waktu kita telah habis
Terlambat …
Kau terlalu takut menyatakan
Dan aku terlalu takut menanyakan
Karena tak selamanya kita membutuhkan
Sebuah jawaban …

Tari memandangi handphonenya yang menampakkan layar notes berisi puisi yang dibuatnya. Lalu ia mengalihkan pandangannya menatap air mancur yang menari-nari di kolam depan Perpustakaan Nasional. Banyak sekali yang dipikirkannya. Banyak pula yang disesalinya. Tak terasa satu jam telah berlalu. Tari menghela napas panjang. Seolah-olah dengan cara itu masalahnya akan selesai dan dunia akan lebih baik padanya. Tiba-tiba handphonenya berbunyi dan menampilkan satu nama.

Cakra.

“Halo, Assalammu’alaikum.” Persis dering kedua Tari mengangkat teleponnya.
“Walaikumsalam. Kamu dimana Ri?”
Suara yang selalu menghantui pikiranku.
“Di Perpustakaan Nasional. Kenapa?” jawab Tari seraya menata hatinya yang dag dig dug.
“Habis ini ada acara lagi gak? Ada yang mau kubicarakan. Bisa?”
“Hmm.. bisa. Kebetulan hari ini gak ada rencana ke tempat lain.”
“Ok. Tunggu di sana yaa. I’m on the way. See you there.”
“Ok.”

Apa yang ingin dibicarakannya? Aneh sekali dia, jauh-jauh dari Tangerang hanya menemuiku untuk bicara.
Akhirnya Tari masuk ke dalam Perpustakaan Nasional yang agak ramai di hari Sabtu demi menunggu Cakra.

***

Di ruang baca fiksi Tari membolak-balik buku di hadapannya. Namun pikirannya melayang ke delapan tahun sebelumnya. Saat ia dan Cakra pertama kali berkenalan.

“Semua harus kenal depan, belakang dan kanan kirinya. Saya beri waktu satu menit. Dimulai dari sekarang.” Tari bersungut-sungut mendengarnya. Ia sebal sekali dengan tradisi OSPEK SMAnya ini. Menurutnya ini semua tidaklah penting.
“Hai.. namamu siapa? Aku Cakra.” Seorang laki-laki di samping kirinya mengulurkan tangan.
“Tari.” tukasnya sambil mengulurkan tangan.
Dan ternyata mereka satu kelas.
Entah siapa yang memulai atau bagaimana -Tari tidak ingat- tiba-tiba saja Tari dan Cakra menjadi sangat akrab. Dan mereka selalu satu kelas dari kelas satu sampai kelas tiga. Walaupun mereka tidak pernah duduk satu bangku. Dimana ada Tari, di situ pasti ada Cakra dan begitu pula sebaliknya. Sampai teman-teman sekelas mereka mencurigai bahwa mereka berpacaran. Namun hal itu tak digubris oleh Tari dan Cakra. Dan lama kelamaan gossip itu pun hilang dengan sendirinya.
Saat kelas tiga SMA awal semester, Tari memutuskan menggunakan hijab dan Cakra mendukungnya. Persahabatan mereka tetap sama. Cakra sering sekali mengajak Tari untuk ikut touring motor dengannya. Walau terkadang Tari risih karena ia satu-satunya wanita di kelompok touring tersebut. Tapi Tari tak bisa menolak permintaan Cakra dan dalam hatinya ia sangat senang sekali bepergian bersama Cakra. Karena Cakra sangat bertanggung jawab dan sudah dikenal baik oleh keluarganya. Semua terasa baik-baik saja. Saat itu.

Waktu kelulusan tiba. Tari dan Cakra pun terpisah. Karena perbedaan universitas yang mereka pilih. Tari memilih Universitas Negeri Jakarta di Rawamangun sedangkan Cakra memilih Universitas Bina Nusantara di Kebon Jeruk. Timur dan Barat. Walaupun terpisah jarak dan berkurangnya waktu bertemu, namun mereka tetap berhubungan baik. Hingga tahun kedua kuliah mereka, Cakra bertemu seorang wanita yang memikat hatinya. Dewi namanya. Dia lebih tua dua tahun dari Cakra. Setiap hari Cakra selalu membicarakan tentang Dewi di SMS dan percakapan telepon, hingga Tari pun merasa sangat mengenal Dewi. Awalnya Tari senang melihat Cakra jatuh cinta. Tapi kian lama, hatinya terusik. Cakra semakin menjauh dan asik dengan Dewi. Melupakan Tari, sahabatnya. Lama-lama frekuensi percakapan telepon dan SMS antara mereka berdua pun berkurang. Dan saat acara reuni SMA, mereka pun tidak saling menyapa. Seperti orang tidak kenal saja. Hingga membuat teman-teman terutama teman touring Cakra bingung.
“Tari,lo berantem sama Cakra?” Tanya Ridwan, teman sekelas Tari dan Cakra yang sering ikut touring.
“Hah? Enggak. Kenapa memangnya?”
“Kok kalian diem-dieman? Biasanya kan dateng bareng, pulang bareng. Udah kaya amplop sama perangko. Lengket. Hehehe”
“Gak selamanya seperti itu lah Wan. Cakra sudah punya pacar, masa iya aku gangguin terus.” Jawab Tari sembari tersenyum tipis.
Dan hingga acara berakhir, mereka berdua sama sekali tidak saling berbicara. Terasa ada lubang di hatinya, tapi Tari tak mengerti mengapa hatinya sakit. Tari merasa kehilangan Cakra.
***
Cakra memacu mobilnya dengan kencang. Lalu lintas Tangerang ke Jakarta lumayan lancar. Sembari mengemudi, pikirannya kembali ke tiga tahun silam. Saat ia berkenalan dengan Dewi.

Dewi adalah wanita dewasa dan pemberani yang pernah dikenal Cakra. Cakra mengenalnya dari Indra, teman kuliahnya yang tinggal di Karawang. Tidak sengaja bertemu dengan Dewi, ketika Cakra dan teman-temannya touring motor ke rumah Indra di Karawang. Dewi adalah tetangga Indra. Wajahnya manis dengan rambut ikal sebahu. Lebih tua dua tahun dari Cakra. Sudah bekerja sebagai Sales Promotion Girl di Jakarta. Kebetulan saat itu Dewi sedang liburan di rumah orangtuanya di Karawang. Dan Dewi melihat kedatangan Indra dan teman-temannya.
“Indra!” panggil Dewi.
“Eh Dewi. Apa kabar? Lagi pulang?”
“Iya. Kangen Karawang. Sama siapa aja nih Ndra? Kenalin dong.” Kata Dewi seraya melihat Cakra.
“Oh iya.. ini teman-teman kuliah gw Dew. Kenalin ini Cakra sama Deri.”
“Hai.. aku Dewi” sapa Dewi sembari menjulurkan tangannya pada Cakra.
“Cakra.” Jawab Cakra tersenyum tipis.
“Gw Deri.” Ujar Deri seraya menjulurkan tangannya pada Dewi.
“Dewi.” Balas Dewi seraya tersenyum.
“Rencana sampai kapan di Karawang Ndra?” Tanya Dewi.
“Besok pagi balik ke Jakarta Dew. Ada kuliah hari Senin pagi.”
“Ooh.. malam mingguan di sini dong yaa. Hehe”
“Iya Dew.” Balas Indra tersenyum.
“Ya sudah, aku balik dulu yaa. Have fun yaa.”
“Iyaa..” Jawab Indra, Cakra dan Deri sembari tersenyum.
“Dewi itu tetangga gw. Dulu sebelum Dewi kerja di Jakarta, gw sering main bareng dia. Cewek paling asik di sini. Walau tuaan dia daripada gw, tapi jiwanya muda. Cantik lagi. Hahaa” Jelas Indra sembari tertawa.
“Dasar lo! Gak boleh liat cewek cakep dikit.” Ujar Cakra menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ah elo sok alim Cak. Kenal sama Dewi, pasti lo bakal suka. Terus lupa dah sama HTS-an lo si Tari.”
“Sembarangan kalo ngomong. Tari itu sahabat gw. Bukan Hubungan Tanpa Status.” Jawab Cakra sembari menoyor kepala Indra.
“Ah.. lo berdua sama-sama bego atau muna. Jelas-jelas saling suka.”
“Udah deh, jangan jelekin gw sama Tari.”
“Oke..oke.. Maaf bos.”

Keesokan harinya, saat Cakra, Indra dan Deri bersiap untuk pulang ke Jakarta, Dewi datang menghampiri mereka.
“Halo Indra, Cakra, Deri..” sapa Dewi.
“Hai.” Jawab Cakra, Indra dan Deri bersamaan.
“Mau balik ke Jakarta ya? Ehm.. aku boleh nebeng gak?”
“Gw sih gak masalah Dew. Tapi gak tau si Cakra noh. Mau gak dia boncengin lo. Soalnya gw udah boncengin Deri. Gimana Cak?” ujar Indra seraya memandang Cakra, meminta persetujuan.
Cakra terkesiap dan nampak agak bingung. Karena ia tak terbiasa memboncengi wanita selain Tari dan ibunya. Rasanya aneh. Namun pada akhirnya, dia menganggukkan kepalanya tanda setuju. Sepanjang perjalanan Dewi mendekap pinggang Cakra dengan erat. Dan tak berhenti berbicara. Memang benar kata Indra, Dewi adalah orang yang asyik. Dan Cakra pun senang berbicara dengannya. Setibanya di Jakarta, Dewi meminta nomor handphone Cakra. Dan hubungan itu terus berlanjut bahkan semakin dekat.

Dewi sering mengajaknya jalan di akhir pekan. Hingga Cakra sering membatalkan janjinya dengan Tari. Bersama Dewi, ia merasa dimanja dan diperlakukan sebagai seseorang yang khusus. Dan tiap berkomunikasi dengan Tari pun, Cakra tak luput membahas tentang kedekatannya dengan Dewi. Dua bulan berkenalan kemudian Dewi “menembak” Cakra.
Cakra kaget mendengar pengakuan Dewi, tapi hatinya pun terasa senang. Karena pada dasarnya Cakra sulit mengungkapkan perasaannya terhadap wanita. Dia terlalu pemalu dan hanya dapat menunjukkan melalui sikapnya saja. Dia pun menerima Dewi. Dan resmilah mereka berpacaran. Tari tahu mereka berpacaran, namun tak tahu bahwa Dewilah yang “menembak” Cakra.

Sudah dua bulan Cakra dan Dewi berpacaran. Hari ini mereka berkencan di Kafe Strawberry Blok M. Dewi ingin sekali mencoba kafe yang memiliki kue dan minuman serba strawberry ini.  Suasana kafe tersebut agak ramai di hari Sabtu.
“Di lantai dua aja yuk, Beb.” Ujar Cakra sembari menggandeng tangan Dewi.
Dewi mengangguk.
Setelah memesan, mereka bermain permainan balok pintar yang disediakan kafe tersebut.
“Hahaa..kamu kalah lagi beb.” Ujar Cakra.
“Iyaa..kamu jago banget sih beb.” Jawab Dewi sembari tersenyum manis.
“Iyaa dong. Cakra gitu looh. Tari juga sering kalah kalau main balok ini sama aku beb. Dia sering gak mau main permainan ini, tapi selalu aku paksa. Hahaha..”
Mendengar nama Tari disebut, wajah Dewi langsung berubah masam dan cemberut. Cakra heran melihat wajah Dewi yang tiba-tiba cemberut.
“Kamu kenapa beb? Kok cemberut?” tanya Cakra.
“Kamu tuh nyebelin. Bisa gak sehari aja gak usah ngomongin atau nyebut nama Tari?” jawab Dewi kesal.
“Tari kan sahabat aku beb. Masak kamu cemburu sih.” ujar Cakra sembari tersenyum.
“Aku tahu. Tapi aku gak suka. Setiap kita lagi jalan kenapa kamu selalu ingatnya Tari terus. Padahal kamu kan lagi sama aku, bukan Tari.”
“Soalnya aku kan sering jalan sama Tari dulunya beb. Jadi yaa, tiap tempat yang pernah kita datangi aku ingat dia beb.”
“Oh gitu. Okee.. sekarang gini aja ya Cak. Kamu pilih jalan sama aku atau sama Tari?”
“Loh kok gitu beb?”
“Udah cepet putusin. Kalau kamu pilih aku, kamu harus putusin semua hubungan kamu sama Tari. Aku gak mau dengar kamu sebut-sebut nama dia lagi. Buktiin kalau kamu serius sama aku!”
Cakra berpikir sejenak, dirinya tak suka pertengkaran maka ia pun menjawab “Oke.. aku pilih kamu beb.”
Dewi pun tersenyum lebar.
Cakra ikut tersenyum dan tak menyadari keputusan yang akan membuatnya menyesal nanti.

Diiinn…!! Diin…!!
Cakra tersentak dari lamunannya. Lampu lalu lintas telah hijau.

Semoga aku tidak membuatnya menunggu lama.
***
Tari melihat jam di handphonenya. Sudah 45 menit berselang dan Cakra belum juga tiba. Tari sudah tak bersemangat membaca atau melihat-lihat majalah di depannya. Ia pun beranjak dari sofa putih dan menghampiri rak-rak buku. Ia menyentuh setiap punggung buku dengan penuh cinta dan menghirup udara yang menguar dari buku-buku tersebut. Sementara  pikirannya kembali melayang ke satu tahun terakhir.

Semenjak putus hubungan dengan Cakra, Tari sempat menjalin hubungan dengan teman kuliahnya Dira. Namun hanya bertahan tiga bulan. Tari memutuskannya secara baik-baik dan sampai saat ini mereka masih berhubungan baik. Bahkan sesungguhnya Dira beberapa kali mengajaknya balikan lagi. Namun Tari selalu menolaknya secara halus dan tegas. Tari merasa hatinya telah kosong. Tari menyadari bahwa jauh di lubuk hatinya, ia merindukan Cakra. Bahkan ada benih cinta yang bersemai di hatinya. Terlambat memang. Ia baru menyadari setelah kehilangan, bahwa Cakra adalah cinta pertamanya. Dua setengah tahun ia benar-benar tak berhubungan lagi dengan Cakra. Cakra tak pernah datang ke acara yang diadakan teman-teman SMAnya. Nomor handphonenya pun sudah tak aktif. Seakan ia menghilang ditelan bumi. Tari tak tahu apa yang sedang dilakukan Cakra.
Hingga Agustus lalu, ia dihubungi untuk menjadi panitia reuni akbar lima tahunan SMAnya. Di sanalah Tari bertemu kembali dengan Cakra.  Mereka berdua ditunjuk sebagai Penanggung Jawab HPD (Humas, Publikasi dan Dokumentasi). Tari ingin menegurnya, namun ia malu. Bagaimanapun modern tampilan Tari, sesungguhnya ia dibesarkan dengan adat Indonesia yang ketimuran. Pikiran Tari masih konservatif. Ia berpendapat bahwa haruslah lelaki yang memulai terlebih dahulu. Jadi dia diam saja ketika bertemu dengan Cakra dan malah menyibukkan diri dengan kesana-kemari. Pada hari H pelaksanaan reuni akbar, barulah percakapan itu terjadi. Cakra menegurnya lagi. Bukan main senangnya hati Tari. Saat acara selesai, Cakra mengantarkannya pulang dengan mobil dikarenakan Tari mendapat tugas menyampaikan baju yang dikumpulkan teman-temannya untuk baksos korban kebakaran di Bendungan Hilir. Dan rumah Tari di Tanah Abanglah yang paling dekat dengan lokasinya.

Sepanjang perjalanan, mereka tak banyak bicara. Suasana terasa kikuk. Ketika sampai di rumah Tari, Cakra tidak mampir bertemu orangtua Tari seperti yang dahulu biasa dilakukannya. Dia langsung pulang. Tak berapa lama Blackberry Tari berbunyi. Cakra Fikriyansyah tertulis ingin menjadi teman BBMnya. Sejak itulah mereka berkomunikasi lagi melalui BBM. Saling memberikan komentar mengenai Display Picture dan Personal Message. Juga meramaikan grup BBM SMAnya. Sebulan kemudian Cakra memasang fotonya di Kawah Putih Bandung. Tari begitu kagum melihat latar pemandangannya yang indah. Saat itu ia sedang penat akan pekerjaannya dan baru selesai sidang skripsi. Ia membutuhkan refreshing untuk menyegarkan pikirannya. Ia pun mengomentari Display Picture Cakra dan mengatakan bahwa ia ingin sekali pergi refreshing ke sana. Dan tiba-tiba saja Cakra mengajaknya pergi ke Kawah Putih. Tari langsung mengiyakan dan seminggu kemudian mereka berangkat. Mereka berangkat di hari Kamis. Tari libur mengajar dan Cakra pun libur kuliah. Lalu lintas Jakarta-Bandung tidak terlalu padat. Mereka berwisata ke Kawah Putih, bukit bintang Ciumbeuluit dan taman Secret Garden mall Paris Van Java. Berdua saja. Sepanjang perjalanan mereka menikmati kembali kedekatan yang dulu hilang. Tak habis bahan obrolan tentang masa lalu, masa kini dan masa depan. Seakan-akan selama ini mereka tetap berhubungan baik. Cakra bahkan memberitahu Tari tentang Dewi yang melarangnya berhubungan dengan Tari selama dua setengah tahun terakhir. Begitu pula tentang Dewi yang “menembaknya” dan Dewi pula yang merasa bosan hingga pada akhirnya memutuskan Cakra. Mereka juga membicarakan hubungan Tari dan Dira yang begitu singkat. Tari merasakan ruang kosong di hatinya terisi kembali. Ia sangat senang bisa berbicara dan berhubungan lagi dengan Cakra. Tapi ia hanya diam tersenyum. Memendam rasa itu semakin dalam.


Cakra memarkir mobilnya di IRTI Monas. Dan bergegas menyeberang menuju Perpustakaan Nasional. Dari pusat informasi Cakra telah melihatnya. Gadis manis berkerudung ungu yang tengah berdiri melamun di ruang baca fiksi. Itulah Tari. Cakra menghampirinya dan Tari tampak masih asyik dengan lamunannya. Sepertinya gadis itu tak menyadari kehadiran Cakra.
“Ehm..bengong aja!” ujar Cakra saat berdiri di samping Tari.
Gadis itu mengerjapkan matanya. Kaget. Lalu berkata, “Eh, sudah sampai kamu. Gak bilang-bilang.”
“Hehe.. kejutan! Kita ke Monas yuk, bicara di sana aja. Lagian aku parkir mobilnya di sana.”
“Ooh..oke. aku ambil tasku dulu di loker ya.”

Mereka berjalan bersisian dan saling mengomentari pemandangan yang mereka lewati. Sepuluh menit kemudian mereka sudah ada di Monas. Cakra mengajak Tari untuk naik ke puncak Monas. Untunglah antriannya tidak terlalu panjang seperti hari-hari libur besar. Sembari mengantri, mereka membicarakan kenangan-kenangan mereka di Monas. Bermain basket di lapangan Monas, touring bersama-sama dari sekolah mereka di Cengkareng  ke Museum Fatahillah Kota, lalu naik ke puncak Monas yang sepi di hari kerja. Menyenangkan mengingat masa lalu. Dunia serasa milik berdua. Dan mereka berdua adalah raja dan ratu.

Setengah jam kemudian mereka telah ada di puncak Monas. Dari sana terlihat kota Jakarta yang padat dan terlihat kecil dari ketinggian. Juga terlihat Taman Monas yang membentuk pola pepohonan, yang jika dilihat dari bawah tak jelas bentuknya.

Tiba-tiba Cakra bertanya pada Tari, “Dari puncak Monas ini, di mana letak rumahmu, Ri?”
Tari tersenyum dan menunjuk suatu arah sembari berkata, “Di sana. Di balik blok A Tanah Abang yang berwarna hijau menyerupai bangunan di Baghdad. Hehehe “
“Berarti di sanalah selama ini hatiku berada, Ri” ujar Cakra.
“Hah? Maksudnya apa Ca?” Tari mengerutkan keningnya. Bingung.

“Karena kamu tinggal di sana. Berarti hatiku tertinggal di sana Ri. Bukankah sudah ku bilang di BBM, kalau aku sudah lama jatuh cinta padamu. Hanya saja aku tak menyadarinya selama ini. Aku mencintaimu Tari.” Cakra mengatakan itu sembari memandang tajam tepat ke mata Tari. Posisi mereka berhadapan, dan Cakra merasakan bahwa tubuh Tari menegang.


Tari tak menyangka Cakra akan menyatakan perasaannya langsung seperti ini. Ia sungguh kaget, hingga tak sadar menahan napasnya. Yaa.. Cakra memang pernah berkata bahwa ia jatuh cinta pada Tari melalui BBM. Tapi ia mengira itu hanyalah lelucon antara mereka berdua. Karena memang mereka sedang berbincang ringan awalnya. Tari teringat pada petikan BBM itu.

Cakra : gmn ngajar hari ini? Lancar?
Tari : Alhamdulillah lancar. Malah aku digombalin muridku si Yudi. Hahaha.. lucu anak itu.
Cakra : digombalin gmn?
Tari : tadi kan aku ngajar IPA kelas 9 ttg sistem ekskresi. Terus salah satunya organ hati yang mengeluarkan cairan empedu. Aku tanya ke Yudi, apa fungsi hati? Eh dia jawab, mengeluarkan cinta, Miss. Hahaha
Cakra : wah kreatif! Gurunya cantik siih..jadi gak tahan deh muridnya untuk ngegombalin.
Tari : haha.. bisa aja. Berarti kamu harus hati-hati juga. Nanti kamu pengen gombalin aku juga lagi. atau jatuh cinta karena aku cantik :P
Cakra : haha…kalau itu mah udah dari dulu.
Tari : hah? Apanya yang dari dulu?
Cakra : jatuh cinta sama kamunya. :)

“Ri.. boleh kutahu bagaimana perasaanmu padaku?” suara Cakra membuyarkan lamunan Tari.
“Hmm… kamu ingat gak Ca, apa yang aku katakan ketika kita di Bandung?”
“Iya. Aku ingat. Kamu bilang kalau di umur kamu yang baru saja 23 tahun ini, kamu sudah lelah dan tak mau lagi mencari pacar. Kamu bilang kamu mau mencari imam, pendamping, suami.” Ujar Cakra tersenyum.
“Nah.. kamu ingat. Berarti kamu tahu jawabannya. Jika kamu menyatakan perasaanmu hanya untuk hubungan jangka pendek atau berpacaran.. aku cuma bisa bilang maaf. Aku tak bisa. Aku sungguh lelah dengan hubungan macam itu. Aku mau serius. Dan jika serius, kamu datangi orangtuaku. Pinta aku melalui mereka. Inilah batas waktuku.” Ujar Tari tersenyum tipis sembari memalingkan mukanya ke arah langit.
Dalam hatinya ia merasakan pedih. Ingin menangis. Karena ia tahu, kebanyakan pria jarang mau berkomitmen serius di usia muda seperti ini. Walau ia mencintai Cakra, ia tidak mau lagi menerima perasaannya hanya untuk sebentar. Ia menginginkan sesuatu yang kuat. Pernikahan. Ia ingin memiliki Cakra secara sah. Tapi ia tidak yakin Cakra mau menikahinya. Mungkin inilah akhir cinta pertamanya, indah namun tidak untuk dimiliki.

“Aku tahu konsekuensi yang kamu maksud Ri. Dan aku sudah mempersiapkannya. Aku memang belum lulus dan pekerjaanku belum mapan. Tapi aku serius denganmu. Aku sudah membicarakan ini dengan orangtuaku. Dan mereka sudah mengenalmu dengan baik. Mereka setuju. Aku hanya tinggal menunggu pernyataan darimu.” Ujar Cakra seraya merogoh kantung celananya dan mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah. Dan ia membuka kotak itu, yang berisi cincin emas dan berkata, “Will you marry me, Mentari?”

Tari mendekap mulutnya yang kaget. Sungguh ia tak menyangka Cakra akan memintanya di tempat umum seperti ini. Ia sungguh senang, hingga air matanya mengalir tanpa sadar.
Cakra kaget melihat Tari menangis. Ia bertanya, “Kenapa Tari? Kenapa kamu menangis? Maafkan aku kalau kau tak suka dengan cara ini. Tidak apa-apa… kau tak usah menjawabnya saat ini. Sungguh aku minta maaf.”
Tari menggelengkan kepalanya keras-keras. Dan ia memeluk tubuh Cakra. Menangis di dadanya. Cakra yang kebingungan hanya bisa menenangkan Tari dalam dekapannya. Setelah tangisnya reda, Tari pun berkata dengan lirih, “Aku mau menikah denganmu Cakra Fikriyansyah. Aku juga mencintaimu, sudah lama.”
Cakra tersenyum lebar mendengarnya.
“Sekarang kita harus segera pulang ke rumahmu. Aku akan bicara dengan orangtuamu. Terima kasih, Tari.” Ujar Cakra sembari memegang erat tangan Tari. Seakan ia tak mau melepasnya lagi. Selamanya.

Sayup-sayup terdengar lantunan lagu perahu kertas dari HP seorang gadis remaja.

Perahu kertas mengingatkanku
Betapa ajaib hidup ini
Mencari-cari tambatan hati
Kau sahabatku sendiri..
Ku bahagia, kau telah terlahir di dunia
Dan kau ada.. di antara milyaran manusia
Dan ku bisa, dengan radarku..
Menemukanmuu…
(Maudy Ayunda – Ost. Perahu Kertas)


*Cerita Pendek ini ditulis oleh metamorfillah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar