... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ...

Senin, 17 Juni 2013

[Cerpen Duet] Kisah Kita Yang Salah

“Tentang ia yang dekat namun terasa jauh. Dan tentang ia yang jauh namun terasa dekat…”

                Dibalik jendela ini aku merenung. Aku tahu ini masih terlalu pagi untuk sebuah lamunan yang sama setiap harinya. Dan suara burung-burung itu terlalu sayang untuk di abaikan. Tapi inilah kenyataannya. Aku membuka mata, membuka gorden dan kemudian duduk di sana. Meski cuaca berganti, rintik dan suara burung bergantian menghampiri, bunga mekar dan daun gugur datang bergantian seakan pasrah akan musim yang mengendalikan mereka, dan buku –teman lamunanku- yang berganti setiap aku khatam membacanya. Semuanya berganti. Hanya aku, hanya lamunanku yang tetap sama. Tak pernah berganti sedikitpun.
                Tentang ia yang dekat namun terasa jauh. Dan tentang ia yang jauh namun terasa dekat. 
                “Aku besok pulang. Kamu nggak ada janji, kan, sama Surya?”
                Pesan singkatnya. Dua kali ia mengirimkan pesan yang sama.
                “Nggak ada, Wang. Cepat pulang ya…” balasku.
                Awang. Aku mengenalnya enam tahun lalu, saat Masa Orientasi Sekolah di SMA. Saat itu ia membelaku habis-habisan ketika seorang senior memarahiku karena aku terlambat.
                “Bukankah di sekolah ini kalau terlambat dalam waktu kurang dari 5 menit masih bisa di tolerir? Sedangkan….” Ia melambatkan bicaranya, kemudian membaca papan nama yang ku gantungkan besar-besar di leher, “Sedangkan Kidung hanya terlambat 3 menit.” Katanya lantang.
                Berani sekali dia, pikirku.
                “Bahkan kamu masih harus menoleh ke arahnya untuk sekedar tahu namanya.”
                Gila. Ia sudah gila.
                “Kalian berdua. Silakan menuju lapangan, dan hormat ke bendera. Sekarang!”
                Ah. Sial!
                Tapi setidaknya aku tak menahan malu sendirian karena hukuman.
                “Namamu Awang ya? Kenapa berani sekali? Namaku…”
                “Aku tahu namamu Kidung.” Sambarnya cepat. Kemudian menjabat tanganku. Kami tertawa.
                Aku pura-pura, awalnya. Hingga sekarang aku lupa bahwa aku sedang berpura-pura. Aku tak berniat untuk menyeretnya sedalam ini. Aku hanya ingin meletakkannya sementara di tempat ini. Namun caraku salah. Justru aku yang sekarang tak ingin ia pergi, meski tempat ini telah dimiliki.
                Kring…. 
                Suara telfon itu membuyarkan lamunanku. Kupencet tombol hijau itu.
                “Selamat pagi, Kidung. Satu jam lagi aku nyampe, ya…” suara dari seberang.
                “Iya..” jawabku seadanya, singkat. Kemudian menutup telfon dan mulai bersiap diri.
***

“Susunya diminum dulu, Nduk..” sapa wanita paruh baya, kemudian meletakkan segelas susu coklat dengan seporsi  roti disebelahnya. Di meja riasku. Oh, Tuhan… “Biar kerjanya enak.” Lanjutnya.
                “Ibuk, Kidung bisa ambil sendiri kok”
                “Kamu daritadi Ibuk lihat itu sibuuuukkk terus. Jadi mungkin ndak sempet ambil susu sama sarapan kamu.”
                “Sanggup kok, Buk..”
                “Ibuk buat roti, nanti bawa sedikit buat Surya. Walaupun yang buat bukan kamu tapi yang ini juga ndak kalah enak.”
                “Ibuk bisa aja. Iya nanti Kidung bawa.”
                “Udah Ibuk siapin, di meja. Yowes, ndang diminum susunya, dimakan rotinya.”
                “Iya, Buk..”
                Aku menatap ke arahnya. Menangkap bayangannya. Menandang hingga punggungnya menghilang di balik pintu.
***
                “Hmmm. Rotinya enak. Tapi enaknya beda. Bukan kamu, kan, yang buat?”
                “Kan aku nggak bilang aku.”
                “Hahaha. Iya, Ibuk kan yang buat? Becanda Kidung, sayang…”
                Aku tersenyum.
                Aku selalu suka tawanya. Bukan tawa palsu.tapi tawa dari hati. Begitu juga cintanya. Bukan cinta palsu. Tapi cinta dari hati. Aku bisa merasakannya. Tapi kenapa aku tak demikian? Cintaku bukan hanya untuknya. Ada penyelinap lain.
                “Perlahan masuk saat hatiku lengah. Sedikit semi sedikit menyisipkan diri saat hatiku jengah. Mengendap lancing saat hatiku goyah. Tapi entah kenapa aku tak melawan, tak berpegangan. Aku malah mengijinkannya. Awang.
                “Ah!” aku tersadar sendiri,
                “Kamu kenapa, Kidung?”
                “Nggak apa-apa, kok..”
                “Yakin?”
                Aku hanya tersenyum, kemudian mengangguk mantap.
                “Okedeh.”
***
04.50 AM
                Hari ini Awang pulang.
                Aku senang.
                Senang sekali.
                Terakhir pertemuanku dengannya sekitar 8 bulan yang lalu. Ia menemaniku ke sebuah perpustakaan daerah, dan aku membelikannya sekaleng kopi instant. Itu saja. Tapi rasa-rasanya lebih berkesan daripada makan di restoran.
                Kami berbicara banyak. Bicara tentang hari itu bukan tentang aku dan dia, tentang aku dan Surya, atau tentang aku dan dia dulu. Karena bagiku dan Awang hubungan ini tak tahu akan sampai mana. Kita hanya menikmati hari ini. Bukan kemarin atau nanti.

16..28 PM
Aku menyeruput cappuccino hangat yang disajikan, tanganku terus membolak balik majalah yang sedari tadi tak kubaca. Aku bahkan tak tau judulnya. Tadi asal ambil saja untuk mengatasi kekikukkan ku. Sementara di depanku cowok berkecamata itu belum menyentuh teh panasnya sama sekali. Aku heran tumben tumbennan dia yang penggemar kopi itu memesan teh. Aku tak berani mengganggunya. Ia terlihat serius menekuni bacaanya.

45 menit berlalu.
Selama itupun tak ada percakapan diantara kami, cangkir putihku telah kosong, menyisakan sedikit warna kecoklatan di dalamnya. Namun cangkir putih di depanku masih penuh dengan warna merah pekat namun sudah tak ada kepulan asap disana. Pemiliknya masih tetap dengan posisi duduknya 45 menit lalu. Ia hanya sesekali membetulkan letak kaca matanya. Akupun mulai kesal.
“Wang….” ujarku mebuyarkan kesunyian ini.
“hmmm…. “ gumamnya tanpa menatapku.
“Kamu kenapa sih?”
“Nggak ada apa apa kok.”
“Terus kenapa dari tadi kamu cuma diem aja, nggak kayak biasanya”
“Nggak… aku cuma pengen baca aja.. mumpung lagi di kafe buku kayak gini kan.. enak suasananya buat baca”
“Lah terus ini kamu jauh jauh datang dari kotamu nemuin aku terus udah ketemu cuma diem dieman gini… Ndak  ngobrol apapun… katanya kangen udah 8 bulan nggak ketemu.. “ aku mulai bicara dengan nada kesal.
Ia menutup bukunya, meletakkan di atas meja dan kemudian menyeruput teh yang aku yakin sudah tidak ada lagi kehangatan di setiap tegukannya.
“Yowis.. kamu sekarang maunya apa barbieku..? Kan kamu sendiri yang minta ketemuan di café buku ini. Aku kira ya kamu mau baca buku”
                “Berburu  senja  yuk” ide itu terlintas begitu saja.
               “Boleh” ia sumringah.
***
Kami bergerak menuju arah utara kota, tempat dimana melihat sunset terbaik di Kotaku. Sebuah pantai kecil yang pinggirannya sudah di pondasi agar air laut tak mengikis badan jalan.  Sudah tak alami memang, namun ini menjadi tempat favorit anak muda di kotaku menunggu matahari di caplok pekatnya malam. Hanya 20 menit dengan menggunakan vespa milik Awang kami sudah sampai disana. Kami sengaja memilih spot yang agak sepi. Yah kami berdua memang kurang begitu menyukai keramaian.


Begitu turun dari motor Awang langsung memainkan Kamera DSLR-nya.Memotret senja yang hamper ditelan laut dan langit, memotret sebuah kapal motor nelayan yang pulang melaut, bahkan memotretku yang tengah asyik menatap senja. Ia beberapa kali memotretku bak model, aku sampe risih dilihat orang orang sekitar.
“Wang…. cukup cukup,, nanti memorimu penuh dengan muka mukaku saja”
“Kalau tak simpen di memori otakku nggak akan pernah penuh kok”
“ Halah,,, uwes –uwes ora usah ngegombal, ora pantes blas”
Awang  kemudian melepaskan kamera dari pegangan tangannya
“Dung, ada yang pengen aku omongin sebenarnya”
“Ya tinggal ngomong aja toh Wang. Ada apa toh, kok kayaknya serius banget”
“Dung …. Kita sudah menjalani hubungan ini 3 tahun 8 bulan lamanya. Selama ini pun hati kita fine-fine aja.. Tapi kayaknya nggak bisa begini terus terusan. Kamu harus milih antara aku atau Surya”
Deg….. aku tak pernah membayangkan ini .. Aku tak pernah siap menerima pertanyaan seperti ini…Bagiku  Surya dan Awang hadir bukan untuk dipilih…Aku cinta Surya…. Tapi sepotong hatiku pun diisi oleh Awang… Awang yang jauh namun begitu care dengan kondisiku, yang selalu mengingatkan jadwal makanku, yang selalu tahu segala masalah masalahku. Atau Surya, pria yang selalu mebuat kupu-kupu menari dalam perutku, yang selalu membuat degup jantungku seperti kuda dalam lomba pacuan saat bersamanya. Ah Tuhan… Mengapa mereka harus kau kirimkan disaat bersamaan.
“Dung… Kenapa kamu malah melamun…”
“ Eeeeee….”
Kriiiiiingggggg…
Belum sempat aku menyelesaikan kata kataku  sebuah panggilan masuk di handphoneku. Surya….. Itulah nama yang terpampang di tampilan handphone-ku. Aku tak berani mengangkat, Aku menatap Awang.
“ Siapa ? Surya ya ? angkat aja. Aku gak apa apa kok”
Aku mengangkatnya dengan sedikit keraguan
“ Ha---lloo,, i--ya Surya ada apa ?” aku sedikit terbata bata mengucapkannya.
“loh kamu kenapa sayang? Kamu ada dimana sekarang?”
“Nggak.. nggak apa apa kok.. A.,,aku di rumah sama ibuk”
“Oh… aku Cuma mau ngingetin jangan lupa shalat magrib ya.. Aku lagi di jalan nih baru pulang dari rumah Bude”
“ Kalau gitu hati hati yah.. kamu  jangan nyetir sambil nelpon”
“Iya iya sayang, Ya udah.. Salam  buat Ibuk.. Assalamualaikum”
“Walaikumsalam”
  Percakapan singkat itu pun berakhir.
“Kenapa kamu mesti bohong”  ujar Awang.
“Nggak, nggak mungkin aku bilang ke dia kalau aku sama kamu.. Aku belum siap wang”
Aku baru hendak memasukkan kembali handphone ke dalam tas, ketika Terios Silver berhenti tepat di depan kami. Surya  turun dari mobil dengan membanting pintu. Aku terbelalak kaget. Aku tak menyangka kalau jalan yang dilewati surya adalah jalan tepat kami berada.
“ Kidung…… apa apaan ini….?? Katanya kamu dirumah…terus ini sapa..??”.
Kemarahan  jelas terpancar dari wajah Surya dan nada suaranya. Namun aku hanya diam menunduk.
“ Awang, pacar Kidung” Awang memperkenalkan dirinya kepada surya.
Duarrrrrr…… ingin rasanya aku ditelan oleh bumi saat itu juga.,, Kenapa juga Awang harus menambahkan embel – embel “pacar kidung” dibelakangnya. Tapi itu bukan salah Awang, itu salahku.. Ya semua ini salahku.
Tanpa berbasa basi Surya menarikku, membukakan pintu mobil dan menyuruhku masuk. Aku hanya bisa menuruti perintah Surya dan hanya bisa melhat Awang mematung membelakangi senja..Bagi Awang yang selalu mencintai senja , ini akan menjadi salah satu senja terburuk dalam hidupnya, pikirku.. Tak terasa bulir air mataku jatuh.
***

 “ 4 tahun aku menetapkan hati. Memantapkan Nurani. Menyata-kan sebuah imaji pada satu hati. Entah, sebelah mana letak salahku, atau kekeliruan sikapku yang tak lagi membuatmu nyaman hanya pada satu lelaki…” Tatapannya kosong. Pilu. Sendu.
Sementara itu, diseberang dimana lelaki itu menatap kosong tampak seorang wanita, menunduk. Aku.
Aku dan dosaku membisu. Rasa rasanya semua kesalahan menumpuk jadi satu dikepalaku, hingga membuatku susah mendongak, menengadahkan wajah untuk melihat wajah di depanku. Mata yang tulus, mata yang tak berdosa namun harus menanggung luka. Mata yang selalu menatapku penuh rindu namun kini sendu. Mata yang selalu tampak cinta namun kini merana.
“ Aku pengen tahu, aku atau dia yang …”
“Kamu”. Belum sempat ia melanjutkan pertanyaanya aku sudah menyambarnya.
“Aku belum selesai.” Jawabnya tegas.
“ Aku pilih kamu, Surya…”
“Kidung, disini bukan tentang memilih atau dipilh. Aku bukan sesuatu yang harus kamu pilih, aku adalah sesuatu yang seharusnya kamu pertahanakan”.
“Surya….” Rengekku.
Aku meraih tangannya. Ia tak menolak, hanya.. perlahn menarik tangannya. Itu artinya ia menolak sentuhanku.
“Maaf…” Kataku pelan.
Aku melihatnya tersenyum, tapi tak melihat melihat matanya mengguratkan senyum. Getir.
“ Aku terserah kamu. Tentang kamu sama Awang itu urusan kamu. Tentang kamu sama aku? Itu terserah kamu juga.”
Aku  terdiam.
“Aku nggak mau maksa. Kalau hati kamu emang nggak buat aku, aku terima. Ikhlas. Kalau kata ibu kamu ; legowo”. Bisa bisanya ia masih tersenyum.
“Kalau aku masih pengen sama kamu, apa aku egois?” akhiirnya aku bisa bicara dengan lancar.
“ Kamu nggak egois, hanya saja  aku butuh waktu untuk itu….*

*****

5 tahun Kemudian

                “Zaskia ayo salam sama Om Awang”… ujarku sambil setengah membujuknya yang tidak mau turun dari kursinya.
                “Zaskia mau calim tapi halus ada kadonya dulu”  ujarnya dengan logat khas anak anaknya
                “Iya Zaskia.. Ini Om Awang bawain kado kok. Zaskia pasti suka deh..”
                “Makacih om..” ia kemudian menyalimi Awang dan mendaratkan ciuman di kedua pipi Awang.
                “ Surya mana ?”
                “ Oh dia lagi ke kamar kecil sebentar”
                Tak lama Surya pun datang  dan bergabung bersama mereka.
                “ Hey… Awang.. waduh makin sukses aja kayaknya nih…Makasih ya udah datang ke ulang tahun zaskia”. Sapa surya.
                “ Waduh biasa aja Sur, saya gag ada apa-apanya dibandingin kamu..Sekalin ini mau nyerahin ini untuk kalian”
                Awang memberikan sebuah undangan berwarna biru. Tertera dengan jelas namanya dan nama seorang wanita disana. Ia akan melangsungkan pernikahan tepat di hari ulang tahunnya minggu depan, yang berarti ulang tahun perkawinanku bersama Surya yang ketiga.



*Cerita Pendek Duet ini ditulis oleh Chal & Resla

Tidak ada komentar:

Posting Komentar