Kepadamu, lelaki pertama….
Aku menuliskan ini di salah satu sudut cafe favoritku, ditemani secangkir Macchiato Coffee dengan senja dan hujan rintik-rintik di luar sana. Aku menuliskan ini sambil menerka-nerka bagaimana ekspresi wajahmu saat membaca ini. Aku menuliskannya sambil tersenyum, pada jingga yang basah. Aku tersenyum pada jejak bibir di cangkir kopiku.
Kau tahu? Di luar sana hujan menuntaskan rindu tanah akan dingin pelukan tiap tetes airnya. Senja menuntaskan rindu pelangi pada jingga dalam tataran tujuh warnanya yang sebelumnya tidak pernah lengkap. Tapi, sampai surat ini kaubaca, rinduku tak akan pernah tuntas. Aku menabungnya, sampai pada saat pertemuan kita.
Akan kuceritakan kau tentang apa yang kusuka dan tidak kusukai selama ini. Tapi sebelumnya, aku ingin bertanya padamu ... Apakah di tempatmu sekarang juga sedang hujan? Sebab, aku ingin kau merasakan apa yang aku rasakan saat menulis surat ini untukmu ...
Namaku Senja. Tanpa embel-embel di depan atau di belakang kata itu. Entahlah, kata ibu, dari remaja dia adalah penikmat senja. Makanya aku diberi nama Senja. Hanya satu kata. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, senja diartikan sebagai waktu (hari) setengah gelap sesudah matahari terbenam. Bisa dibilang, perantara sore menuju malam.
Di luar tempatku menuliskan ini, hujan masih rintik-rintik. Dinding café yang terbuat dari kaca masih berembun, memperlihatkan jalan samar-samar. Aku menyukai hujan saat hari memasuki senja. Selain jingga, kau juga akan menemukan enam warna langit. Merah-Jingga-Kuning-Hijau-Biru-Nila-Ungu, dengan latar jingga keemasan di langit sana. Indah bukan?
Semua karena kamu, aku begitu mengagumi senja dan hujan. Semua karena seseorang yang kini memegang surat yang kutulis saat hujan senja hari ini. Semua karenamu, yang sejak kecil selalu kubayangkan, datang saat senja dan tersenyum di depanku. Semua karenamu, cinta pertamaku.
Kepada kamu, cinta pertamaku…
Kepada kamu, lelaki yang sampai saat surat ini kutulis masih belum juga kutemui. Rindu yang sejak kecil kutabung, masih aman untukmu. Rindu yang sampai saatnya tiba memang hany akutujukan untukmu.
Di luar, hujan sudah reda. Saatnya untuk mengakhiri suratku padamu. Hari ini tanggal 25 November 2009, tepat saat umurku 18 tahun. Aku sedang menerka, saat umur berapakah nanti aku bertemu denganmu?Padamu, aku titipkan rasa lewat surat. Kutulis di waktu senja, jeda favoritku. Kutulis dengan bau hujan dan sisa-sisa kopi di sekelilingnya. Semoga kau suka.
Kepadamu, cinta pertama …. Sampai ketemu saat takdir memang membawamu bertemu padaku. Sampai bertemu saat hujan dan senja. Sampaikan pada hatimu, aku rindu.
Sepucuk surat dengan rindu yang setia ditabung,
Senja
—yang menjadikanmu cinta pertamanya.
*
Aryo melipat kembali surat berwarna jingga itu. Surat yang dia temukan tadi pagi, sengaja dijepit di balik dudukan kursi, di café milik kakaknya ini. Dia tak sengaja menemukan surat yang dilipat kecil-kecil ini saat membantu mengatur kursi sebelum café baca ini mau buka pagi tadi. Hari ini tanggal 24 Februari 2013, saat senja. Ada jeda sekitar dua tahun sejak surat itu ditulis sampai Aryo menemukannya.
“Jadi, kau dan suratmu sudah memutuskan sahabatmu sejak SMP ini sebagai cinta pertamamu?” Aryo menyesap secangkir macchiato coffee-nya.
Di depan Aryo, Senja tersenyum manis. Wajahnya merona, persis seperti senja di luar sana.
***
* FF ini ditulis oleh Dhilayaumil—Makassar, 24 Februari 2013
(FF 500 kata, termasuk judul)
Aku menuliskan ini di salah satu sudut cafe favoritku, ditemani secangkir Macchiato Coffee dengan senja dan hujan rintik-rintik di luar sana. Aku menuliskan ini sambil menerka-nerka bagaimana ekspresi wajahmu saat membaca ini. Aku menuliskannya sambil tersenyum, pada jingga yang basah. Aku tersenyum pada jejak bibir di cangkir kopiku.
Kau tahu? Di luar sana hujan menuntaskan rindu tanah akan dingin pelukan tiap tetes airnya. Senja menuntaskan rindu pelangi pada jingga dalam tataran tujuh warnanya yang sebelumnya tidak pernah lengkap. Tapi, sampai surat ini kaubaca, rinduku tak akan pernah tuntas. Aku menabungnya, sampai pada saat pertemuan kita.
Akan kuceritakan kau tentang apa yang kusuka dan tidak kusukai selama ini. Tapi sebelumnya, aku ingin bertanya padamu ... Apakah di tempatmu sekarang juga sedang hujan? Sebab, aku ingin kau merasakan apa yang aku rasakan saat menulis surat ini untukmu ...
Namaku Senja. Tanpa embel-embel di depan atau di belakang kata itu. Entahlah, kata ibu, dari remaja dia adalah penikmat senja. Makanya aku diberi nama Senja. Hanya satu kata. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, senja diartikan sebagai waktu (hari) setengah gelap sesudah matahari terbenam. Bisa dibilang, perantara sore menuju malam.
Di luar tempatku menuliskan ini, hujan masih rintik-rintik. Dinding café yang terbuat dari kaca masih berembun, memperlihatkan jalan samar-samar. Aku menyukai hujan saat hari memasuki senja. Selain jingga, kau juga akan menemukan enam warna langit. Merah-Jingga-Kuning-Hijau-Biru-Nila-Ungu, dengan latar jingga keemasan di langit sana. Indah bukan?
Semua karena kamu, aku begitu mengagumi senja dan hujan. Semua karena seseorang yang kini memegang surat yang kutulis saat hujan senja hari ini. Semua karenamu, yang sejak kecil selalu kubayangkan, datang saat senja dan tersenyum di depanku. Semua karenamu, cinta pertamaku.
Kepada kamu, cinta pertamaku…
Kepada kamu, lelaki yang sampai saat surat ini kutulis masih belum juga kutemui. Rindu yang sejak kecil kutabung, masih aman untukmu. Rindu yang sampai saatnya tiba memang hany akutujukan untukmu.
Di luar, hujan sudah reda. Saatnya untuk mengakhiri suratku padamu. Hari ini tanggal 25 November 2009, tepat saat umurku 18 tahun. Aku sedang menerka, saat umur berapakah nanti aku bertemu denganmu?Padamu, aku titipkan rasa lewat surat. Kutulis di waktu senja, jeda favoritku. Kutulis dengan bau hujan dan sisa-sisa kopi di sekelilingnya. Semoga kau suka.
Kepadamu, cinta pertama …. Sampai ketemu saat takdir memang membawamu bertemu padaku. Sampai bertemu saat hujan dan senja. Sampaikan pada hatimu, aku rindu.
Sepucuk surat dengan rindu yang setia ditabung,
Senja
—yang menjadikanmu cinta pertamanya.
*
Aryo melipat kembali surat berwarna jingga itu. Surat yang dia temukan tadi pagi, sengaja dijepit di balik dudukan kursi, di café milik kakaknya ini. Dia tak sengaja menemukan surat yang dilipat kecil-kecil ini saat membantu mengatur kursi sebelum café baca ini mau buka pagi tadi. Hari ini tanggal 24 Februari 2013, saat senja. Ada jeda sekitar dua tahun sejak surat itu ditulis sampai Aryo menemukannya.
“Jadi, kau dan suratmu sudah memutuskan sahabatmu sejak SMP ini sebagai cinta pertamamu?” Aryo menyesap secangkir macchiato coffee-nya.
Di depan Aryo, Senja tersenyum manis. Wajahnya merona, persis seperti senja di luar sana.
***
* FF ini ditulis oleh Dhilayaumil—Makassar, 24 Februari 2013
(FF 500 kata, termasuk judul)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar