Adzan Maghrib berkumandang di sebuah
masjid kecil yang terletak di bawah jembatan besi. Adzan memanggil
seluruh umat muslim untuk berbondong-bondong menuju masjid kecil itu
dengan menuruni tangga kayu yang tinggi dari atas jembatan. Tanpa air
PDAM yang mengaliri kampung, mereka tak khawatir dimana mereka akan
bersuci. Dengan penuh semangat, mereka berlari menuju sebuah sungai
kecil di belakang masjid untuk berwudhu.
Lihatlah anak-anak itu! Mereka hidup dengan kesederhanaan tanpa kemewahan apapun, bebas dan tanpa beban. Sepertinya, mereka telah sedikit melupakan tragedi banjir tahun 2009 lalu yang menghilangkan nyawa sebagian dari keluarga mereka. Tapi ternyata, tidak semua anak mampu melampauinya. Dia Supian, ia kehilangan ayah yang sangat ia cintai. Kini ia hanya tinggal dengan ibunya yang sedang sakit dan kedua adiknya yang masih balita.
Setiap sepulang sekolah, ia pergi ke lahan untuk menjaga padinya yang sedang berbuah dari serangan tikus-tikus lapar. Ia tak pernah mengeluh dan menjalaninya dengan senang hati. Terkadang ia pergi dengan ibu dan kedua adiknya. Tetapi, jika penyakit ibunya sedang kambuh, ia hanya bersama dengan kedua adiknya sambil membawa buku pelajaran. Tak ada sesiapa lagi yang bisa ia andalkan untuk menjadi tulang punggung keluarga.
Supian tak terlihat seperti pelajar Sekolah Menengah Pertama di kota yang hanya sibuk merengek dengan kedua orang tuanya meminta gadget baru untuk ia pamerkan kepada teman-temannya. Ia tidak memiliki baju yang putih bersih seperti milik mereka. Kulitnya juga tidak putih dan terlihat terawat. Matanya hitam bulat dan penuh dengan kobaran semangat. Ia dan teman-temannya tidak memiliki gadget super canggih itu, tapi yang mereka miliki hanya tekad menjadi orang yang sukses dan “tenaga Samson” untuk memanggul padi dari atas gunung ketika panen tiba dan mengantarnya ke kecamatan dengan berjalan kaki mendorong gerobak atau menaikkannya di atas sepeda kumbangnya.
Siang itu, matahari sangat menyengat, aku yang sedang mencari angin dingin melihat Supian sedang melamun dan menatap kosong ke arah laut yang tak berujung di sebuah kursi di bawah pohon kelapa. Aku mendekatinya dan duduk di sebelahnya.
“Apa yang sedang kau pikirkan, Dik?” tanyaku sambil menatapnya.
“Aku ingin hidup seperti sekumpulan balon di atas langit kak,” jawabnya datar sambil terus menatap lurus ke depan.
“Memangnya apa yang kau pikirkan tentang sekumpulan balon itu, Dik?” tanyaku menyelidik.
“Mereka enak sekali ya Kak, bisa terbang bebas tanpa beban. Aku ingin seperti mereka Kak, terbang mengelilingi dunia ini tanpa ada beban yang harus kutanggung.” Jawabnya sambil terus menatap ke arah laut biru.
Aku masih bertanya-tanya dalam hati maksud dari pernyataan anak berusia belasan tahun itu.
“Maukah kau menceritakan sesuatu?” tanyaku penasaran dan mencuri pandang ke arahnya.
“Aku lelah dengan semua ini Kak, aku lelah dengan beban berat yang aku tanggung. Aku takut Ibu meninggalkanku, aku takut aku tak bisa menghidupi kedua adikku yang masih kecil. Siapa yang harus aku andalkan? Ayah saja pergi entah kemana, dia masih hidup atau mati, akupun tak tahu.” Jawabnya dengan raut muka sedih.
Gulungan ombak datang menyentuh bibir pantai dengan ganas dan menimbulkan suara debur ombak yang kencang. Supian masih memandang ke arah laut dengan tatapan kosong. Akupun masih menerka-nerka apa yang sebenarnya Supian pikirkan. Mungkinkah hanya tentang kekhawatirannya terhadap ibu dan kedua adiknya? Atau tentang ketidak mampuannya? Usianya belum sanggup untuk menanggung beban berat itu.
“Aku ingin seperti Kakak.”
Aku tercekat mendengar ucapan Supian. Aku tak pernah berpikir tentang siapa aku dan bagaimana aku? Aku bukanlah seseorang yang istimewa yang mempunyai sesuatu untuk dibanggakan.
“Aku ingin seperti Kakak, pergi bebas kemana saja, bebas tanpa beban. Aku lihat Kakak sangat menikmati profesi Kakak sebagai seorang sukarelawan. Apa Kakak pernah merasa terbebani?” tanyanya sambil melihat ke arahku.
“Mengapa kau bertanya seperti itu? Tentu saja tidak Dik, aku menikmatinya. Aku senang bisa menjadi saksi kisah-kisah luar biasa di berbagai belahan dunia mana saja yang pernah aku datangi. Termasuk kisahmu dengan kedua adik dan ibumu.” Jawabku sambil tersenyum menatapnya.
Tak pernah terbayangkan bahwa aku akan mengabdikan hidupku untuk menyembuhkan trauma anak-anak yang terkena bencana. Aku tak pernah memimpikannya, tapi keinginan itu muncul sepeninggal ayah, ibu dan kakak perempuanku pada tragedi tsunami Aceh beberapa tahun lalu. Sulit untuk menyembuhkan trauma itu, terlebih lagi aku tak pernah menemukan jasad mereka. Dimanapun mereka saat ini, aku mohon agar Engkau menjaga mereka untukku, Tuhan.
Tak berapa lama setelah kejadian memilukan itu, adik dari almarhumah Ibu menemuiku dan mengajakku ke ibu kota. Aku dirawat olehnya seperti seorang anak kandung, karena mereka tidak memiliki anak setelah menikah selama dua puluh tahun. Mereka membiayai sekolah dan segala keperluanku, hingga aku bisa menjadi sarjana.
Awalnya, mereka tak mengizinkanku untuk pergi menjadi seorang relawan. Sepertinya mereka paham sekali bagaimana membuatku bahagia. Dengan berat hati, mereka melepasku untuk mengemban tugas yang mulia ini. Sepanjang perjalananku, aku tak pernah melupakan nasehat-nasehat mereka, aku tak ingin mengecewakan mereka karena merekalah ayah-ibuku. Sesekali aku menghubungi mereka melalui telepon genggamku untuk menanyakan kabar mereka.
“Apa rasanya menjadi sukarelawan Kak? Apakah tidak sulit? Bukankah kehidupan di kota besar lebih enak dan lebih menjanjikan daripada di kampung terpencil seperti ini?” tanya Supian memecahkan lamunanku tentang sosok keluarga baruku.
“Ini namanya pengabdian Dik, Kakak tak pernah merasakan kebebasan yang benar-benar bebas, tanpa beban. Kakak bahagia bisa membantu mereka dan bisa menjadi bagian dari mereka. Kakak bahkan turut merasakan penderitaan mereka.” Jawabku sambil tersenyum lebar dan melihat ke arah Supian yang sedang mengernyitkan dahi.
“Terima kasih sudah membantuku melalui cobaan ini, Kak. Setelah dari sini, kemana kakak akan pergi?” Kata Supian dengan wajah penuh tanya.
“Aku ingin pulang Dik. Agaknya aku lelah merasakan kebebasan sebagai balon yang terbang sendiri tanpa teman. Aku ingin mengajak ayah dan ibuku terbang bersamaku, bersama-sama seperti sekumpulan balon yang pernah kau lihat itu. Aku ingin bebas terbang tanpa batas dengan keluarga baruku.”
Sekelompok kelomang berjalan menyusuri tepi pantai. Tampaknya mereka sedang hijrah menuju tempat yang lebih lembab dan terlindung dari kejaran mangsa dan tangan jahil anak-anak sekitar yang memburunya untuk dijadikan mainan. Anganku masih tertuju pada sosok ayah, ibu, kakak, dan keluarga baruku. Aku begitu merindukan mereka. Masih terus terpikir dengan pertanyaan Supian, kemana aku setelah ini?
“Kak Supian, ibu kak, ibu….” Teriak seorang anak kecil berambut keriting sambil menggandeng adiknya berlari menghampiri kami.
“Ibu tidak bisa bernafas Kak.” Kata gadis itu panic.
Tanpa ba-bi-bu, Supian berlari menuju rumahnya meninggalkan kedua adiknya dan aku yang masih diam dan tak tahu harus berbuat apa. Kemudian, telepon genggamku berdering, tampaknya pesan dari Ibu. Aku tekan tombol keluar dan bergegas mengejar Supian.
Aku tak kuasa menahan air mata melihat Supian memeluk erat jenazah ibunya dan menciuminya dengan penuh cinta. Begitupun kedua adiknya yang terus menangis sendu di sebelah jenazah ibunya dan memanggil-manggil ibunya.
***
“Supian, maukah kau pergi bersama Kakak? Kakak ingin merawat dan menyekolahkanmu dan kedua adikmu jka kau tidak keberatan.” Tanyaku pada Supian yang masih tertunduk pilu mengenang kepergian ibunya.
“Baiklah, tidak apa-apa jika kau tak bisa memberikan jawabannya sekarang. Kakak akan menunggu jawaban darimu.” Kataku sambil menepuk bahunya.
Aku teringat dengan pesan di telepon genggamku dua hari lalu yang tidak sempat aku buka. Aku keluarkan dari saku celanaku dan aku buka pesan itu satu per-satu. Aku terkejut dan menangis sejadi-jadinya, menyesali tingkahku yang mengabaikan pesan tersebut.
“Nak, maukah kau pulang? Ayah sakit, ia ingin bertemu denganmu.”
“Nak, pulanglah. Ibu membutuhkanmu, Ibu tak memiliki teman lagi selain dirimu
nak. Ayah telah pergi dipanggil oleh-Nya.”
Segera aku mencari nama Ibu di kontakku dan menekan tombol telepon. Terdengar beberapa kali dering dan tak ada yang menjawabt. Aku ulangi beberapa kali, dan kudengar suara ibu yang bindeng menyalamiku.
“Bu, maafkan Sarah bu. Sarah akan pulang secepatnya.” Kataku sambil sesegukan membayangkan beban yang sedang Ibu dera saat ini.
Aku tak mendengar suara ibu menjawabnya, yang kudengar hanya suara tangisannya dan menutup teleponnya. Aku memutuskan pulang keesokan harinya untuk menemui Ibu bersama dengan Supian dan kedua adiknya.
Ibu terlihat sedang duduk di atas kursi roda dan saangat bahagia menyambut kedatangku di ambang pintu. Aku berlari, memeluknya dan bersimpuh di kakinya. Aku tak pernah melihat kebahagiaannya semenjak aku tinggalkan tempo hari. Wajahnya semakin tua dan keriput. Aku menyesal tak bisa menemaninya ketika ia membutuhkanku. Kemudian, matanya tertuju pada sosok Supian dan kedua adiknya, ia begitu bahagia.
Aku belajar banyak hal dari sekumpulan balon dan sosok Supian kecil yang dewasa. Akhirnya aku berpikir bahwa, sekumpulan balon itu tak pernah hidup bebas. Ketika mereka terbang, mereka akan selalu menemui rintangan dan bisa jadi memecahkan satu balon dan balon lainnya. Di kehidupan selanjutnya, mereka akan dikumpulkan dengan jenis balon lain dan dengan warna berbeda lalu diterbangkan lagi. Sama halnya dengan kehidupan ini, tak pernah bebas tanpa rintangan. Karena, rintangan itu akan selalu ada dan bisa jadi mengambil sesuatu yang kita cintai, entah itu barang, orang tua atau apapun. Lalu menggantinya dengan sesuatu yang baru atau bahkan keluarga baru. Sama seperti kisahku dan Supian.
***
-ndyahforentina-
Berau, 2 Agustus 2013
Lihatlah anak-anak itu! Mereka hidup dengan kesederhanaan tanpa kemewahan apapun, bebas dan tanpa beban. Sepertinya, mereka telah sedikit melupakan tragedi banjir tahun 2009 lalu yang menghilangkan nyawa sebagian dari keluarga mereka. Tapi ternyata, tidak semua anak mampu melampauinya. Dia Supian, ia kehilangan ayah yang sangat ia cintai. Kini ia hanya tinggal dengan ibunya yang sedang sakit dan kedua adiknya yang masih balita.
Setiap sepulang sekolah, ia pergi ke lahan untuk menjaga padinya yang sedang berbuah dari serangan tikus-tikus lapar. Ia tak pernah mengeluh dan menjalaninya dengan senang hati. Terkadang ia pergi dengan ibu dan kedua adiknya. Tetapi, jika penyakit ibunya sedang kambuh, ia hanya bersama dengan kedua adiknya sambil membawa buku pelajaran. Tak ada sesiapa lagi yang bisa ia andalkan untuk menjadi tulang punggung keluarga.
Supian tak terlihat seperti pelajar Sekolah Menengah Pertama di kota yang hanya sibuk merengek dengan kedua orang tuanya meminta gadget baru untuk ia pamerkan kepada teman-temannya. Ia tidak memiliki baju yang putih bersih seperti milik mereka. Kulitnya juga tidak putih dan terlihat terawat. Matanya hitam bulat dan penuh dengan kobaran semangat. Ia dan teman-temannya tidak memiliki gadget super canggih itu, tapi yang mereka miliki hanya tekad menjadi orang yang sukses dan “tenaga Samson” untuk memanggul padi dari atas gunung ketika panen tiba dan mengantarnya ke kecamatan dengan berjalan kaki mendorong gerobak atau menaikkannya di atas sepeda kumbangnya.
Siang itu, matahari sangat menyengat, aku yang sedang mencari angin dingin melihat Supian sedang melamun dan menatap kosong ke arah laut yang tak berujung di sebuah kursi di bawah pohon kelapa. Aku mendekatinya dan duduk di sebelahnya.
“Apa yang sedang kau pikirkan, Dik?” tanyaku sambil menatapnya.
“Aku ingin hidup seperti sekumpulan balon di atas langit kak,” jawabnya datar sambil terus menatap lurus ke depan.
“Memangnya apa yang kau pikirkan tentang sekumpulan balon itu, Dik?” tanyaku menyelidik.
“Mereka enak sekali ya Kak, bisa terbang bebas tanpa beban. Aku ingin seperti mereka Kak, terbang mengelilingi dunia ini tanpa ada beban yang harus kutanggung.” Jawabnya sambil terus menatap ke arah laut biru.
Aku masih bertanya-tanya dalam hati maksud dari pernyataan anak berusia belasan tahun itu.
“Maukah kau menceritakan sesuatu?” tanyaku penasaran dan mencuri pandang ke arahnya.
“Aku lelah dengan semua ini Kak, aku lelah dengan beban berat yang aku tanggung. Aku takut Ibu meninggalkanku, aku takut aku tak bisa menghidupi kedua adikku yang masih kecil. Siapa yang harus aku andalkan? Ayah saja pergi entah kemana, dia masih hidup atau mati, akupun tak tahu.” Jawabnya dengan raut muka sedih.
Gulungan ombak datang menyentuh bibir pantai dengan ganas dan menimbulkan suara debur ombak yang kencang. Supian masih memandang ke arah laut dengan tatapan kosong. Akupun masih menerka-nerka apa yang sebenarnya Supian pikirkan. Mungkinkah hanya tentang kekhawatirannya terhadap ibu dan kedua adiknya? Atau tentang ketidak mampuannya? Usianya belum sanggup untuk menanggung beban berat itu.
“Aku ingin seperti Kakak.”
Aku tercekat mendengar ucapan Supian. Aku tak pernah berpikir tentang siapa aku dan bagaimana aku? Aku bukanlah seseorang yang istimewa yang mempunyai sesuatu untuk dibanggakan.
“Aku ingin seperti Kakak, pergi bebas kemana saja, bebas tanpa beban. Aku lihat Kakak sangat menikmati profesi Kakak sebagai seorang sukarelawan. Apa Kakak pernah merasa terbebani?” tanyanya sambil melihat ke arahku.
“Mengapa kau bertanya seperti itu? Tentu saja tidak Dik, aku menikmatinya. Aku senang bisa menjadi saksi kisah-kisah luar biasa di berbagai belahan dunia mana saja yang pernah aku datangi. Termasuk kisahmu dengan kedua adik dan ibumu.” Jawabku sambil tersenyum menatapnya.
Tak pernah terbayangkan bahwa aku akan mengabdikan hidupku untuk menyembuhkan trauma anak-anak yang terkena bencana. Aku tak pernah memimpikannya, tapi keinginan itu muncul sepeninggal ayah, ibu dan kakak perempuanku pada tragedi tsunami Aceh beberapa tahun lalu. Sulit untuk menyembuhkan trauma itu, terlebih lagi aku tak pernah menemukan jasad mereka. Dimanapun mereka saat ini, aku mohon agar Engkau menjaga mereka untukku, Tuhan.
Tak berapa lama setelah kejadian memilukan itu, adik dari almarhumah Ibu menemuiku dan mengajakku ke ibu kota. Aku dirawat olehnya seperti seorang anak kandung, karena mereka tidak memiliki anak setelah menikah selama dua puluh tahun. Mereka membiayai sekolah dan segala keperluanku, hingga aku bisa menjadi sarjana.
Awalnya, mereka tak mengizinkanku untuk pergi menjadi seorang relawan. Sepertinya mereka paham sekali bagaimana membuatku bahagia. Dengan berat hati, mereka melepasku untuk mengemban tugas yang mulia ini. Sepanjang perjalananku, aku tak pernah melupakan nasehat-nasehat mereka, aku tak ingin mengecewakan mereka karena merekalah ayah-ibuku. Sesekali aku menghubungi mereka melalui telepon genggamku untuk menanyakan kabar mereka.
“Apa rasanya menjadi sukarelawan Kak? Apakah tidak sulit? Bukankah kehidupan di kota besar lebih enak dan lebih menjanjikan daripada di kampung terpencil seperti ini?” tanya Supian memecahkan lamunanku tentang sosok keluarga baruku.
“Ini namanya pengabdian Dik, Kakak tak pernah merasakan kebebasan yang benar-benar bebas, tanpa beban. Kakak bahagia bisa membantu mereka dan bisa menjadi bagian dari mereka. Kakak bahkan turut merasakan penderitaan mereka.” Jawabku sambil tersenyum lebar dan melihat ke arah Supian yang sedang mengernyitkan dahi.
“Terima kasih sudah membantuku melalui cobaan ini, Kak. Setelah dari sini, kemana kakak akan pergi?” Kata Supian dengan wajah penuh tanya.
“Aku ingin pulang Dik. Agaknya aku lelah merasakan kebebasan sebagai balon yang terbang sendiri tanpa teman. Aku ingin mengajak ayah dan ibuku terbang bersamaku, bersama-sama seperti sekumpulan balon yang pernah kau lihat itu. Aku ingin bebas terbang tanpa batas dengan keluarga baruku.”
Sekelompok kelomang berjalan menyusuri tepi pantai. Tampaknya mereka sedang hijrah menuju tempat yang lebih lembab dan terlindung dari kejaran mangsa dan tangan jahil anak-anak sekitar yang memburunya untuk dijadikan mainan. Anganku masih tertuju pada sosok ayah, ibu, kakak, dan keluarga baruku. Aku begitu merindukan mereka. Masih terus terpikir dengan pertanyaan Supian, kemana aku setelah ini?
“Kak Supian, ibu kak, ibu….” Teriak seorang anak kecil berambut keriting sambil menggandeng adiknya berlari menghampiri kami.
“Ibu tidak bisa bernafas Kak.” Kata gadis itu panic.
Tanpa ba-bi-bu, Supian berlari menuju rumahnya meninggalkan kedua adiknya dan aku yang masih diam dan tak tahu harus berbuat apa. Kemudian, telepon genggamku berdering, tampaknya pesan dari Ibu. Aku tekan tombol keluar dan bergegas mengejar Supian.
Aku tak kuasa menahan air mata melihat Supian memeluk erat jenazah ibunya dan menciuminya dengan penuh cinta. Begitupun kedua adiknya yang terus menangis sendu di sebelah jenazah ibunya dan memanggil-manggil ibunya.
***
“Supian, maukah kau pergi bersama Kakak? Kakak ingin merawat dan menyekolahkanmu dan kedua adikmu jka kau tidak keberatan.” Tanyaku pada Supian yang masih tertunduk pilu mengenang kepergian ibunya.
“Baiklah, tidak apa-apa jika kau tak bisa memberikan jawabannya sekarang. Kakak akan menunggu jawaban darimu.” Kataku sambil menepuk bahunya.
Aku teringat dengan pesan di telepon genggamku dua hari lalu yang tidak sempat aku buka. Aku keluarkan dari saku celanaku dan aku buka pesan itu satu per-satu. Aku terkejut dan menangis sejadi-jadinya, menyesali tingkahku yang mengabaikan pesan tersebut.
“Nak, maukah kau pulang? Ayah sakit, ia ingin bertemu denganmu.”
“Nak, pulanglah. Ibu membutuhkanmu, Ibu tak memiliki teman lagi selain dirimu
nak. Ayah telah pergi dipanggil oleh-Nya.”
Segera aku mencari nama Ibu di kontakku dan menekan tombol telepon. Terdengar beberapa kali dering dan tak ada yang menjawabt. Aku ulangi beberapa kali, dan kudengar suara ibu yang bindeng menyalamiku.
“Bu, maafkan Sarah bu. Sarah akan pulang secepatnya.” Kataku sambil sesegukan membayangkan beban yang sedang Ibu dera saat ini.
Aku tak mendengar suara ibu menjawabnya, yang kudengar hanya suara tangisannya dan menutup teleponnya. Aku memutuskan pulang keesokan harinya untuk menemui Ibu bersama dengan Supian dan kedua adiknya.
Ibu terlihat sedang duduk di atas kursi roda dan saangat bahagia menyambut kedatangku di ambang pintu. Aku berlari, memeluknya dan bersimpuh di kakinya. Aku tak pernah melihat kebahagiaannya semenjak aku tinggalkan tempo hari. Wajahnya semakin tua dan keriput. Aku menyesal tak bisa menemaninya ketika ia membutuhkanku. Kemudian, matanya tertuju pada sosok Supian dan kedua adiknya, ia begitu bahagia.
Aku belajar banyak hal dari sekumpulan balon dan sosok Supian kecil yang dewasa. Akhirnya aku berpikir bahwa, sekumpulan balon itu tak pernah hidup bebas. Ketika mereka terbang, mereka akan selalu menemui rintangan dan bisa jadi memecahkan satu balon dan balon lainnya. Di kehidupan selanjutnya, mereka akan dikumpulkan dengan jenis balon lain dan dengan warna berbeda lalu diterbangkan lagi. Sama halnya dengan kehidupan ini, tak pernah bebas tanpa rintangan. Karena, rintangan itu akan selalu ada dan bisa jadi mengambil sesuatu yang kita cintai, entah itu barang, orang tua atau apapun. Lalu menggantinya dengan sesuatu yang baru atau bahkan keluarga baru. Sama seperti kisahku dan Supian.
***
-ndyahforentina-
Berau, 2 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar