Gambar untuk ide cerita |
Ku langkahkan kaki ini dengan santai, sembari ku hirup udara di sekelilingku.
Sudah banyak yang berubah sejak dua tahun lalu..
Kaki
ini semakin kuat menapaki pasir yang mulai berganti dengan batu karang.
Suara orang – orang mulai berganti dengan desir angin yang semakin
kencang berhempus menerpaku. Setelah dua tahun bukan hal mudah bagiku
untuk kembali ke tempat ini. Butuh kekuatan dan yang aku tahu hari ini
adalah waktu yang tepat untuk kembali menjejakkan kaki disini, pucuk
pantai penuh kenangan ini.
“Hai, selamat bertemu lagi”, sapaku pada tempat ini yang tentu tanpa jawaban.
Dua
tahun bukanlah waktu yang sebentar. Seiring dengan kenanganku dengan
tempat ini. Disini aku mengenalnya dan disini juga aku melepasnya sesaat
sebelum aku memutuskan untuk meninggalkan kota ini.
Aku duduk di dataran yang menghadap ke pantai.
Sudah
berubah, ramai sekali di bawah sana. Terlalu riuh dan aku tak terlalu
suka dengan keriuhan itu, berbeda denganmu yang mungkin akan sangat
menikmati keriuhan itu.
Nama itu kembali hadir. Tentu saja, karena tempat ini hanya milik aku dan dia. Aku dan kamu, Flo dan Riko.
“ Hai, kapan sampai disini?”. Sapa seseorang sambil menepuk pundakku.
“ Hah? Kamu? Eh, baru saja”. Aku tak dapat menyembunyikan kekagetan ini.
Dia.
Riko. Dia yang baru saja aku hadirkan dalam pikiranku. Tiba – tiba saja
ia ada disini, baru saja duduk di sampingku. Tak banyak yang berubah
dengan dirinya, hanya sedikit lebih kurus dan berjenggot. Ah, ia tampak
lebih bersinar namun sedikit pucat. Sejuk, masih sama seperti dulu
ketika aku menatapnya.
“ Apakabar? ah sepertinya kamu baik – baik saja, aku senang melihatnya”. Tanyanya kepadaku
“ Kabar baik. Kamu gimana?”
“ Selalu baik. Kenapa tiba – tiba kesini dan enggak kasih tau aku?”
“ Aku…aku hanya ingin datang seperti dulu. Kamu sejak kapan disini?”
“ Sudah daritadi sebelum kamu datang”. Jawabnya sambil tersenyum dan kembali melempar pandangannya ke arah pantai.
Aku
hanyut dalam kesunyian ini. Kami kembali terdiam. Mungkin terlalu
banyak yang ingin dikatakan namun tak dapat ku ungkapkan tapi dengan
melihatnya ku rasa semua sudah terjawab.
“ Ku dengar kamu sudah lulus sekarang? Selamat ya, wah traktir boleh nih kayanya. Eh kita turun ke pantai yuk“.
“
Iya, sudah 2 bulan yang lalu. Kamu makan mulu yang dipikirin”. ucapku
sambil berdiri dan membersihkan celana dari pasir yang menempel.
Kekakuan
yang tadi hadir sedikit menguap ketika kami berjalan menuju pantai,
menuju pusat keriuhan yang 2 tahun lalu belum aku temui.
“ Kamu masih jadi fotografer kaya dulu?”. tanyaku padanya
“ Masih, tapi enggak sesering dulu. Modelnya ga ada yang kaya kamu. Hahaha”
“
eeerrrr, gombal. Enggak ada model kaya aku yang bisa ditinggalin gitu
aja ya?”. Celutukku tiba – tiba sedikit merasa bersalah dengan ucapanku
tentang masa lalu
“ Maaf. Aku tak pernah meninggalkanmu, aku hanya membiarkanmu pergi untuk mimpimu”.
Aku
kembali terkejut dengan ucapannya, dia berbicara tentang aku dan
mimpiku? Padahal dulu aku berani memulai bermimpi dan bebas bermimpi
saat bersamanya.
“ Enggak ada yang perlu dimaafin. Sudah cukup banyak tanya tanpa jawab selama dua tahun ini”. Ungkapku
Kaki
mulai menapaki pasir pantai, keriuhan dari orang – orang sudah mulai
terdengar di telingaku. Pantai yang dulu sepi sekarang sudah ramai,
sangat ramai menurutku. Kapal nelayan dan perahu boot hilir mudik,
wisatawan yang berenang atau berjemur, anak – anak yang bermain pasir.
Nampak perekonomian warga yang mulai membaik.
“ Aku merindukanmu “.
Aku
mendengar ia mengatakan sesuatu. Aku merindukanmu? Ucapan dia yang
bercampur dengan teriakan orang di pantai ditambah dengan hempusan angin
kencang membuatku tak yakin dengan apa yang aku dengar barusan.
“ Apa?”. Kali ini aku benar – benar bertanya sembari menatapnya.
“
Ya, aku merindukanmu. Seperti apa yang aku bilang, aku tak benar –
benar pergi. Aku selalu ada untukmu meski aku tak selalu di dekatmu”.
“ Kalau kaya gitu,kenapa kamu harus mutusin hubungan kita dulu?”
“
Ada banyak rasa yang sudah kita ciptakan, ada banyak cerita yang sudah
kita lalui, tapi aku rasa mimpimu ga bisa berhenti sampai situ saja”.
“ I have a big dream with you. Kalau kamu dulu mutusin aku cuma karena mimpiku, omong kosong”. Ucapku sedikit keras.
“
Flo, kalau jodoh meskipun sudah berpisah pasti akan dipertemukan
kembali. Kalaupun kita tak bisa bersama sekarang, percayalah aku
menunggumu nanti disana”. Sembari menggenggam tanganku.
Aku tak mampu berkata – kata, terbawa oleh pikiranku sendiri. Hingga aku tersadar oleh dering ponsel milikku.
Dara Memanggil
Dara? Tumben..
“ Assalamu’alaikum. Hallo”.
“ Iya, aku masih ingat, Kamu adiknya Riko kan. Ada apa?”.
“ HAH? Apa? Kamu ga salah ngomong? Ini dia sama aku di pantai”. Sambil ku alihkan pandanganku ke arah Riko tadi berdiri.
“ Riko.. Riko.. RIKO…”
Riko tak lagi menggenggamku, tak ada lagi disampingku.
Aku terduduk. Diam diantara keriuhan pantai ini, namun sama riuhnya dengan pikiran dan perasaanku.
“ Kak Riko baru saja meninggal kak. Jenazahnya baru
mau di bawa ke rumah dari rumah sakit. Kak Riko kena Lupus sejak 2 tahun yang
lalu, sampai akhirnya komplikasi kak. Aku pikir aku harus ngabarin kakak,
karena hanya foto kakak yang selalu dibawa sama Kak Riko selama dia sakit”.
“Riko……..”. rintihku dengan mata yang mulai menghangat
“Apakah
pertemuan ini tadi merupakan salam perpisahan di tanggal kita pertama
kali bertemu? Tanggal yang selalu kita sepakati untuk selalu hadir
disini. Setelah aku lewatkan 2 kali tanggal itu, baru aku kembali dan
kamu malah pergi?”.
Tak mampu lagi aku bertanya, tak akan ada lagi jawaban yang aku dapatkan.
Kalau
jodoh meskipun sudah berpisah pasti akan dipertemukan kembali. Kalau
kita tak bersama sekarang, percayalah aku menunggumu nanti disana
“ Terimakasih
sudah mengunjungiku. Bahkan kamu tidak lupa untuk hadir hari ini.
Maafkan aku yang hanya menyalahkanmu dan tak pernah ada di sampingmu
bahkan saat kamu sakit”.
Aku berdiri sambil menghapus
tetesan air mata yang entah sejak kapan sudah membajiri wajahku. Rasanya
terlihat konyol aku menangis diantara sekian banyak orang yang sedang
tertawa bahagia. Memang selalu ada tangis setiap perpisahan, jadi wajar
kalau aku menangis.
Ku langkahkan kaki ini
meninggalkan bibir pantai menuju rumahmu. Menjauhi keriuhan yang selalu
kau sukai bersama kenangan tentang kita
di pantai ini. Aku tidak gembira namun aku hadirkan senyum untukmu Riko. Kalau
Tidak ada komentar:
Posting Komentar