Aku sudah hampir lupa, berapa jumlah
senja dan hujan yang sudah terlewati di kafe ini. Aku bahkan sulit
mengingat kapan terakhir kali aku ke sini. Jarum pendek jam di tangan
kiriku menunjuk ke bagian kosong diantara angka empat dan lima,
sedangkan jarum panjangnya ke angka sembilan. Aku meleset tiga menit dari jadwal biasa,
ungkapku dalam hati. Dihadapanku telah tersedia menu yang sudah menjadi
favorit keluargaku, terutama Ayah dan Ibu. Secangkir kopi, segelas
susu, dan strawberry cake’s love kesukaan Ibuku. Beberapa saat
setelah menyeduh kopi, aku menatap surat yang baru saja dikirim dari
rumah, aku pun tersenyum. Sebuah senyum terukir di bibirku, sebelum
akhirnya aku tersadar dan mencoba bersikap biasa. Dan aku mulai
menggenggam sebuah kotak kecil yang mengingatkanku pada kisah masa kecil
di sini. Ternyata aku sudah melewati banyak kenangan di kafe ini, dulu.
Di suatu titik di masa lalu, tepat di tanggal yang sama, aku ikut merayakan hari pernikahan Ayah dan Ibu. Dan di sinilah kami. Duduk di sudut kafe, sementara sejumlah orang di sekitar kami sibuk dengan pembicaraan mereka masing-masing. Ada juga yang tatapannya penuh tanda tanya. Beberapa orang yang lewat di belakang kami untuk sekedar memesan kue atau kopi saja. Lalu berlalu. Aku masih ingat, saat Ibu dan Ayah bercanda lalu aku menatap mereka pekat dan dalam. Seru. Tetapi aku lebih banyak tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Usiaku dulu masih terlalu kecil untuk paham. Ya, terkadang mereka tertawa lepas, lalu saling berteriak. Tidak lama kemudian mereka kembali menyeduh kopi dan makan beberapa buah strawberry. Jadi orang dewasa itu enak tetapi sepertinya terlalu rumit untuk dijalani, bisikku dalam hati.
Aku pernah bertanya pada Ayah, “mengapa kita harus mengunjungi kafe ini setiap tahunnya ? Lalu, memesan strawberry cake’s love sambil menyeduh kopi dan aku diberi segelas susu.”
Ayah hanya menjawab sederhana, “karena di kafe ini tempat pertama kali Ibu menemukan Ayahmu dulu. Kami adalah pecinta strawberry, menyukai kopi, dan sering berkunjung ke kafe ini menghabiskan senja.”
Saat Ayah mengatakan itu, ada senyum yang tersipu disudut bibirnya. Aku mulai paham, betapa berartinya kafe ini untuk mereka. Meskipun sudah tiga tahun kami mengunjungi kafe ini tanpa Ibu lagi. Ya, hanya lima kali aku merayakan pesta pernikahan Ayah dan Ibu. Setelah selanjutnya, Ibu telah lebih dulu pergi ke rumahNya.
Aku kembali menatap pekat kotak kecil itu, mengingat setiap rekaman kenangan di kursi kafe ini. Ibu pergi terlalu cepat, dia meninggalkan seorang lelaki yang masih sangat membutuhkan pundaknya untuk bersandar. Di hari terakhirnya, Ibu mengajak Ayah untuk mengunjungi kafe ini, berdua saja tanpa aku. Aku tidak tahu pasti apa yang mereka lakukan di sini hari itu. Ya, aku hanya tahu bahwa mereka pergi ke kafe ini bukan di hari biasanya.
Sepulang dari kafe, Ibu membawakanku satu keranjang strawberry. Aku tersenyum bahagia sambil mengambil beberapa buah strawberry lalu memakannya. Kami bertiga duduk di teras rumah. Hari itu adalah terakhir kalinya Ibu menghidangkan kopi buat Ayah, segelas susu untukku, dan sepiring strawberry cake’s love kesukaan Ibu. Ya, hari di mana terakhir kalinya kulihat senja tampak cerah.
“Halo, mbak Adisa.” Sapaan dari salah satu pelayan di kafe ini langsung membuatku tersadar.
Sebelum merah wajahku disadari oleh pelayan ini, aku berkata, “Eem, yeah, halo juga, mbak. Yah, seperti biasa, saya di sini mau mengantarkan strawberry cake’s love nya lagi , yah, seperti biasa.” Aku tertawa rendah untuk menutupi kegugupanku yang meluap. Untuk lebih menutupinya, aku pun mengangguk saja.
Strawberry cake’s love, nama khusus untuk kue yang selalu dimakan Ayah dan Ibu di kafe ini. Mereka yang memberi nama pada kue itu. Aku ingat Ayah pernah juga mengatakan padaku, bahwa Ibu seorang wanita yang sangat pintar dan berbakat. Semasa kuliah, Ibu adalah mahasiswa sastra yang pintar. Beberapa kali memenangkan lomba menulis cerpen dan mengikuti lomba menulis lainnya. Ibu juga sangat suka dengan strawberry, hampir setiap bulan Ibu akan mengunjungi kebun strawberry milik keluarga Ayah. Dulu. Ibu bermimpi, suatu hari nanti bisa membuat kue dengan bahan khusus strawberry untuk orang yang dicintainya. Itulah mimpi Ibu yang belum tersampaikan. Ah, Ibuku memang wanita yang sangat istimewa untuk Ayah.
Di kursi ini, aku terduduk membungkuk. Sikuku bertumpu di atas lutut, sedangkan kedua telapak tanganku jatuh bebas. Yang kanan memeluk secarik kertas, dengan jariku. Setelah beberapa menit menatapi ke arah jendela itu , aku menunduk, menatap surat itu. Sudah berapa lama aku meninggalkan kota ini dan memulai kehidupan di kota lain. Sudah begitu banyak rindu yang menumpuk di persendian ini untuknya, sesosok lelaki yang pastinya sudah tidak muda lagi. Aku mulai menerka seperti apa raut wajahnya saat ini. Terakhir aku melihatnya, wajahnya masih halus dan tidak ada kerutan. Mungkin saat ini sudah ada sepuluh kerutan dikeningnya. Ya, sudah lama aku tidak bertemu Ayah.
Aku pikir, hari ini adalah hari yang tepat untuk pulang. Setelah sekian lama pergi demi keegoisan akan mimpi dan cita-cita yang terlalu tinggi di kota lain. Akhirnya, rasa rinduku menang atas rasa egoku sendiri. Sudah hampir setengah jam berlalu, tetapi tidak ada tanda bahwa Ayah akan datang ke kafe ini. Apakah Ayah sudah tidak melakukan kebiasaannya lagi mengunjungi kafe ini, ungkapku dalam hati.
“Strawberry cake’s love nya seperti biasa di meja sudut kafe.” suara di ujung sana.
“maaf, Pak. Tempat itu sudah terisi lebih dulu oleh seorang wanita muda. Katanya dia sedang menunggu seseorang di kursi itu.” tutur pelayan kepada si Bapak tua.
“I can’t remember the last time I ever saw you.” Aku langsung membuka mataku ketika mendengarnya. Sepatu hitam itu membuatku mengukir sebuah cekungan di wajah.
“Really?” aku menaikkan kepalaku.
“Never was, never is and never will be,” balasnya, yang kemudian diikuti dengan senyuman.
Saat itu dia mengenakan baju dengan model yang sama dengan yang terakhir kuingat dipakainya; kemeja kotak-kotak berwarna biru gelap yang semua kancingnya tertutup dan rambut kusutnya yang berwarna hitam pekat.
Dia saat itu sedang memanggul payung, melindungi tubuhnya dari gerimis di luar sana. Dia pun menutup payungnya, memasukkannya di tasnya dan mengisi tempat duduk kosong di sampingku. Dia pun menengok ke arahku, kembali memberikanku senyuman yang tadi. Aku memalingkan muka, kembali menunduk dan akhirnya, meneteskan air mata. Dia pun memeluk erat tubuhku. Ah, aku terlalu merindukan pelukan hangat seperti ini.
“Ayah senang bisa melihatmu lagi di sini, Nak” Suaranya lembut. Suara yang hanya miliknya, dan akan langsung aku kenali jika aku mendengarnya lagi. Aku membalikkan tubuhku, dan tertegun secara tiba-tiba.
“Aku yang seharusnya minta maaf padamu, Ayah. Sudah beberapa tahun aku meninggalkanmu, membiarkanmu melewati masa tua sendiri di sini.” Tuturku sambil mengusap air mata.
“Ayah mengerti, Nak.” senyumnya menyimpan sesuatu.
Untuk sesaat, kami hanya bertukar tatapan, sementara bisikan angin terdengar jelas diantara kami. Akhirnya, tak sampai sedetik, aku berpaling, menatap jendela itu. “No. It ‘never was, never is and never will be’,” kataku meniru perkataannya tadi, sambil menatapnya dan menyeduh segelas susu yang telah kupesan sedari tadi.
Tatapannya bingung. Aku bisa melihat itu dengan jelas. Ada sedikit pengharapan juga disana. Dan lagi-lagi, kesunyian merayap diantara kami. Lalu, “Ayah terharu melihatmu duduk di sini lagi bersama Ayah. Memesan strawberry cake’s love kesukaan Ibumu.”
“Aku selalu ingat tempat ini, kafe ini, dan menu yang dipesan di sini, Ayah!” suaraku tanpa sengaja meninggi. Aku pun sadar, dan menarik nafas yang dalam.
Dia berpaling. Tertunduk, sambil menghela nafas yang cukup panjang. Aku pun memegang bahu kirinya, dan mebawa wajahnya untuk menatapku. Sambil mengelus pipinya, aku berkata, “Semua orang boleh berlalu, tetapi kenangan akan tetap tinggal seperti rasa strawberry cake’s love ini.” Aku pun menunduk, mengambil tangan kanannya dan membukanya. Kemudian, aku menaruh kertas surat di genggaman tangan kananku ke telapaknya yang terbuka itu, dan menutupnya.
Tiba-tiba, kedua tangannya melingkar erat di tubuhku. Aku pun merasakan bahu kananku menjadi basah. “Aku merindukanmu, Gadis kecilku.” Tuturnya pelan.
Kami pun melepas pelukan. Berlalu meninggalkan jejak di kafe itu. Melangkah menuju senuah pusara orang yang kami cintai. Aku membawa satu keranjang strawberry kesukaan Ibu. Aku ingin berlama-lama di pusaranya. Menikmati udara yang biasa Ayah lakukan setiap senja. Ya, Ayah selalu melakukan hal itu sejak aku pergi.
Tiba-tiba, Ayah berhenti. Lalu, dia memalingkan wajahnya ke arahku, dan memberikan sebuah senyuman. Aku tahu, saat ini Ayah memang sudah tidak semuda dulu lagi. Ternyata kerutan wajahnya lebih banyak dari yang aku duga. Aku pun tertawa mengingatnya.
Kami tiba di pusara Ibu. Tampak bersih dan rapi. “ Ibu pasti tenang di sana ya, Yah.!” Tuturku pada Ayah.
“Mungkin sekarang dia sedang menyiapkan hidangan strawberry cake’s love dan secangkir kopi untuk kita di sana.” Jawab Ayah sambil setengah tertawa.
“ah, Ayah terlalu merindukan Ibu ya.” jawabku merayunya.
Akhirnya, setelah beberapa tahun tidak menginjakkan kaki di rumah tua ini, aku pun sekarang telah duduk lagi di sini. Menikmati kehangatan udara yang datang dari pohon-pohon di sekitar rumah. Dan satu hal yang membuatku selalu merindukan rumah ini, menyantap menu strawberry cake’s love dan secangkir kopi bersama Ayah di setiap senja.
“Aku mencintai sosok lelaki yang duduk dihadapanku, dia mengajarkanku bahwa mencintai itu sama seperti saat kamu sedang memakan strawberry. Meskipun tanpa Ibu, dia masih selalu membuat Ibu seolah ada di rumah ini dengan menghadirkan menu strawberry cake’s love kesukaan Ibu.”
Cerpen ini ditulis oleh Sonya Annisa Ilma
Di suatu titik di masa lalu, tepat di tanggal yang sama, aku ikut merayakan hari pernikahan Ayah dan Ibu. Dan di sinilah kami. Duduk di sudut kafe, sementara sejumlah orang di sekitar kami sibuk dengan pembicaraan mereka masing-masing. Ada juga yang tatapannya penuh tanda tanya. Beberapa orang yang lewat di belakang kami untuk sekedar memesan kue atau kopi saja. Lalu berlalu. Aku masih ingat, saat Ibu dan Ayah bercanda lalu aku menatap mereka pekat dan dalam. Seru. Tetapi aku lebih banyak tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Usiaku dulu masih terlalu kecil untuk paham. Ya, terkadang mereka tertawa lepas, lalu saling berteriak. Tidak lama kemudian mereka kembali menyeduh kopi dan makan beberapa buah strawberry. Jadi orang dewasa itu enak tetapi sepertinya terlalu rumit untuk dijalani, bisikku dalam hati.
Aku pernah bertanya pada Ayah, “mengapa kita harus mengunjungi kafe ini setiap tahunnya ? Lalu, memesan strawberry cake’s love sambil menyeduh kopi dan aku diberi segelas susu.”
Ayah hanya menjawab sederhana, “karena di kafe ini tempat pertama kali Ibu menemukan Ayahmu dulu. Kami adalah pecinta strawberry, menyukai kopi, dan sering berkunjung ke kafe ini menghabiskan senja.”
Saat Ayah mengatakan itu, ada senyum yang tersipu disudut bibirnya. Aku mulai paham, betapa berartinya kafe ini untuk mereka. Meskipun sudah tiga tahun kami mengunjungi kafe ini tanpa Ibu lagi. Ya, hanya lima kali aku merayakan pesta pernikahan Ayah dan Ibu. Setelah selanjutnya, Ibu telah lebih dulu pergi ke rumahNya.
Aku kembali menatap pekat kotak kecil itu, mengingat setiap rekaman kenangan di kursi kafe ini. Ibu pergi terlalu cepat, dia meninggalkan seorang lelaki yang masih sangat membutuhkan pundaknya untuk bersandar. Di hari terakhirnya, Ibu mengajak Ayah untuk mengunjungi kafe ini, berdua saja tanpa aku. Aku tidak tahu pasti apa yang mereka lakukan di sini hari itu. Ya, aku hanya tahu bahwa mereka pergi ke kafe ini bukan di hari biasanya.
Sepulang dari kafe, Ibu membawakanku satu keranjang strawberry. Aku tersenyum bahagia sambil mengambil beberapa buah strawberry lalu memakannya. Kami bertiga duduk di teras rumah. Hari itu adalah terakhir kalinya Ibu menghidangkan kopi buat Ayah, segelas susu untukku, dan sepiring strawberry cake’s love kesukaan Ibu. Ya, hari di mana terakhir kalinya kulihat senja tampak cerah.
“Halo, mbak Adisa.” Sapaan dari salah satu pelayan di kafe ini langsung membuatku tersadar.
Sebelum merah wajahku disadari oleh pelayan ini, aku berkata, “Eem, yeah, halo juga, mbak. Yah, seperti biasa, saya di sini mau mengantarkan strawberry cake’s love nya lagi , yah, seperti biasa.” Aku tertawa rendah untuk menutupi kegugupanku yang meluap. Untuk lebih menutupinya, aku pun mengangguk saja.
Strawberry cake’s love, nama khusus untuk kue yang selalu dimakan Ayah dan Ibu di kafe ini. Mereka yang memberi nama pada kue itu. Aku ingat Ayah pernah juga mengatakan padaku, bahwa Ibu seorang wanita yang sangat pintar dan berbakat. Semasa kuliah, Ibu adalah mahasiswa sastra yang pintar. Beberapa kali memenangkan lomba menulis cerpen dan mengikuti lomba menulis lainnya. Ibu juga sangat suka dengan strawberry, hampir setiap bulan Ibu akan mengunjungi kebun strawberry milik keluarga Ayah. Dulu. Ibu bermimpi, suatu hari nanti bisa membuat kue dengan bahan khusus strawberry untuk orang yang dicintainya. Itulah mimpi Ibu yang belum tersampaikan. Ah, Ibuku memang wanita yang sangat istimewa untuk Ayah.
Di kursi ini, aku terduduk membungkuk. Sikuku bertumpu di atas lutut, sedangkan kedua telapak tanganku jatuh bebas. Yang kanan memeluk secarik kertas, dengan jariku. Setelah beberapa menit menatapi ke arah jendela itu , aku menunduk, menatap surat itu. Sudah berapa lama aku meninggalkan kota ini dan memulai kehidupan di kota lain. Sudah begitu banyak rindu yang menumpuk di persendian ini untuknya, sesosok lelaki yang pastinya sudah tidak muda lagi. Aku mulai menerka seperti apa raut wajahnya saat ini. Terakhir aku melihatnya, wajahnya masih halus dan tidak ada kerutan. Mungkin saat ini sudah ada sepuluh kerutan dikeningnya. Ya, sudah lama aku tidak bertemu Ayah.
Aku pikir, hari ini adalah hari yang tepat untuk pulang. Setelah sekian lama pergi demi keegoisan akan mimpi dan cita-cita yang terlalu tinggi di kota lain. Akhirnya, rasa rinduku menang atas rasa egoku sendiri. Sudah hampir setengah jam berlalu, tetapi tidak ada tanda bahwa Ayah akan datang ke kafe ini. Apakah Ayah sudah tidak melakukan kebiasaannya lagi mengunjungi kafe ini, ungkapku dalam hati.
“Strawberry cake’s love nya seperti biasa di meja sudut kafe.” suara di ujung sana.
“maaf, Pak. Tempat itu sudah terisi lebih dulu oleh seorang wanita muda. Katanya dia sedang menunggu seseorang di kursi itu.” tutur pelayan kepada si Bapak tua.
“I can’t remember the last time I ever saw you.” Aku langsung membuka mataku ketika mendengarnya. Sepatu hitam itu membuatku mengukir sebuah cekungan di wajah.
“Really?” aku menaikkan kepalaku.
“Never was, never is and never will be,” balasnya, yang kemudian diikuti dengan senyuman.
Saat itu dia mengenakan baju dengan model yang sama dengan yang terakhir kuingat dipakainya; kemeja kotak-kotak berwarna biru gelap yang semua kancingnya tertutup dan rambut kusutnya yang berwarna hitam pekat.
Dia saat itu sedang memanggul payung, melindungi tubuhnya dari gerimis di luar sana. Dia pun menutup payungnya, memasukkannya di tasnya dan mengisi tempat duduk kosong di sampingku. Dia pun menengok ke arahku, kembali memberikanku senyuman yang tadi. Aku memalingkan muka, kembali menunduk dan akhirnya, meneteskan air mata. Dia pun memeluk erat tubuhku. Ah, aku terlalu merindukan pelukan hangat seperti ini.
“Ayah senang bisa melihatmu lagi di sini, Nak” Suaranya lembut. Suara yang hanya miliknya, dan akan langsung aku kenali jika aku mendengarnya lagi. Aku membalikkan tubuhku, dan tertegun secara tiba-tiba.
“Aku yang seharusnya minta maaf padamu, Ayah. Sudah beberapa tahun aku meninggalkanmu, membiarkanmu melewati masa tua sendiri di sini.” Tuturku sambil mengusap air mata.
“Ayah mengerti, Nak.” senyumnya menyimpan sesuatu.
Untuk sesaat, kami hanya bertukar tatapan, sementara bisikan angin terdengar jelas diantara kami. Akhirnya, tak sampai sedetik, aku berpaling, menatap jendela itu. “No. It ‘never was, never is and never will be’,” kataku meniru perkataannya tadi, sambil menatapnya dan menyeduh segelas susu yang telah kupesan sedari tadi.
Tatapannya bingung. Aku bisa melihat itu dengan jelas. Ada sedikit pengharapan juga disana. Dan lagi-lagi, kesunyian merayap diantara kami. Lalu, “Ayah terharu melihatmu duduk di sini lagi bersama Ayah. Memesan strawberry cake’s love kesukaan Ibumu.”
“Aku selalu ingat tempat ini, kafe ini, dan menu yang dipesan di sini, Ayah!” suaraku tanpa sengaja meninggi. Aku pun sadar, dan menarik nafas yang dalam.
Dia berpaling. Tertunduk, sambil menghela nafas yang cukup panjang. Aku pun memegang bahu kirinya, dan mebawa wajahnya untuk menatapku. Sambil mengelus pipinya, aku berkata, “Semua orang boleh berlalu, tetapi kenangan akan tetap tinggal seperti rasa strawberry cake’s love ini.” Aku pun menunduk, mengambil tangan kanannya dan membukanya. Kemudian, aku menaruh kertas surat di genggaman tangan kananku ke telapaknya yang terbuka itu, dan menutupnya.
Tiba-tiba, kedua tangannya melingkar erat di tubuhku. Aku pun merasakan bahu kananku menjadi basah. “Aku merindukanmu, Gadis kecilku.” Tuturnya pelan.
Kami pun melepas pelukan. Berlalu meninggalkan jejak di kafe itu. Melangkah menuju senuah pusara orang yang kami cintai. Aku membawa satu keranjang strawberry kesukaan Ibu. Aku ingin berlama-lama di pusaranya. Menikmati udara yang biasa Ayah lakukan setiap senja. Ya, Ayah selalu melakukan hal itu sejak aku pergi.
Tiba-tiba, Ayah berhenti. Lalu, dia memalingkan wajahnya ke arahku, dan memberikan sebuah senyuman. Aku tahu, saat ini Ayah memang sudah tidak semuda dulu lagi. Ternyata kerutan wajahnya lebih banyak dari yang aku duga. Aku pun tertawa mengingatnya.
Kami tiba di pusara Ibu. Tampak bersih dan rapi. “ Ibu pasti tenang di sana ya, Yah.!” Tuturku pada Ayah.
“Mungkin sekarang dia sedang menyiapkan hidangan strawberry cake’s love dan secangkir kopi untuk kita di sana.” Jawab Ayah sambil setengah tertawa.
“ah, Ayah terlalu merindukan Ibu ya.” jawabku merayunya.
Akhirnya, setelah beberapa tahun tidak menginjakkan kaki di rumah tua ini, aku pun sekarang telah duduk lagi di sini. Menikmati kehangatan udara yang datang dari pohon-pohon di sekitar rumah. Dan satu hal yang membuatku selalu merindukan rumah ini, menyantap menu strawberry cake’s love dan secangkir kopi bersama Ayah di setiap senja.
“Aku mencintai sosok lelaki yang duduk dihadapanku, dia mengajarkanku bahwa mencintai itu sama seperti saat kamu sedang memakan strawberry. Meskipun tanpa Ibu, dia masih selalu membuat Ibu seolah ada di rumah ini dengan menghadirkan menu strawberry cake’s love kesukaan Ibu.”
Cerpen ini ditulis oleh Sonya Annisa Ilma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar