... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ...

Selasa, 10 September 2013

[FF] Membuka Surga

Siang itu, setelah pulang dari sekolah, Fima membongkar celengan plastik miliknya, ia congkel-congkel dengan gunting kecil miliknya. Kamarnya dikunci rapat-rapat, ia tak mau ibunya tahu apa yang dilakukannya. Celengan itu adalah pemberian ibunya dua bulan yang lalu.

“Asik, terima kasih bu. Fima janji akan rajin menabung,” Kata-kata itu kini tinggal kenangan. Janji itu Fima langgar dengan membongkar celengannya. Semua ia lakukan karena terpaksa. Fima melangkah gontai melewati pekarangan rumahnya, ia takut ketahuan ibunya kalau siang-siang keluar. Fima mengeluarkan sepedanya, kakinya menggoes dengan semangat menuju pasar.

Sampailah Fima di depan toko kue. Ia masih duduk di atas sepedanya, kemudian mengeluarkan dan menghitung kembali uangnya, ada tiga lembar uang dua puluh ribu, dan empat uang sepuluh ribu. senyumnya mengembang, keceriaan hadir dalam dirinya saat itu. Tinggal beberapa langkah lagi niatnya akan terwujud.


Dari kejauhan ada tiga orang dewasa berbadan tinggi, besar dan menyeramkan. Mereka dari tadi terus memperhatikan Fima. Menyadari keberadaannya diperhatikan, Fima langsung memutar balik sepedanya, pada saat itu juga ia membatalkan niatnya membeli kue. Ia menggoes lagi sepedanya. Kencang lebih kuat dari sebelumnya.
“Heii bocah mau kemana kau?!!!” Tanpa pikir panjang tiga preman itu mengejar Fima tidak kalah kencang.

Fima terus mengayuh sepedanya, semakin cepat. Ia kerahkan semua tenaganya. Kondisi pasar siang itu tidak begitu ramai, beberapa pedagang sedang asik melayani pembeli, sebagian lagi ada yang tidur dan ada toko-toko yang tutup.

Roda sepedanya berputar semakin cepat, tangan Fima memegang erat setang, sesekali ia menoleh  memastikan keberadaan preman-preman yang mengejarnya. Berharap mereka sudah tertinggal jauh. Tapi harapannya putus begitu melihat mereka malah semakin dekat. Jaraknya hanya sekitar  lima ratus meter di belakangnya. Keringat mengucur deras membasasi wajah dan tubuhnya, rasa takut dan was-was menghantui pikirannya.

“Tuhan, tolong aku.” Gumam Fima.

“Hahaha, mau kemana lagi kau bocah. Sudahlah berikan uang itu pada kami.” Preman berusaha menarik baju Fima. Tapi tangannya tak sampai.

Konsentrasi Fima terpecah, ketakutan yang menghantuinya memperlambat laju sepedanya. Preman itu tak pantang menyerah mereka masih terus mengejarnya.

BRAKKK!!! Tubuh Fima tergeletak di atas aspal, ia terpental jauh dari sepedanya. Bannya masih berputar, meski sudah terjatuh. Fima menabrak tiang pondasi toko beras.

“Dasar bocah ngeyel. Hahaha.” Mereka mengambil uang dan sepeda Fima, lalu meninggalkannya begitu saja.

***
Fima membuka matanya. Samar-samar terlihat ibu dan anggota keluarga yang lain mengelilinginya. Fima sudah berada di rumah. Bang Bima tetangga depan rumahnya menemukan ia dikerumuni orang-orang di ujung pasar, kemudian ia langsung membawanya pulang.

“Fima, kamu sudah sadar nak?”

“Sudah bu, Fima di mana ini?” Ia mencoba duduk.

“Kamu di rumah, Nak. Kamu ga apa-apa kan? Mana yang sakit? Kamu ke pasar ngapain?” ibunya langsung memberondong pertanyaan pada Fima.

“Aku aku aku, baik-baik saja bu. Tadi Fima ingin membelikan kue ulang tahun dan hadiah untuk ibu. Besok kan ulang tahun ibu, tapi di jalan Fima di kejar-kejar preman. Fima jatuh.

“Ya ampun Fima. Ibu bahkan lupa hari ulang tahun ibu. Terima kasih nak.”  Fima di peluk erat ibunya. Tubuh anak yang dulu kecil, kini sudah tumbuh menjadi laki-laki yang berani dan perhatian. Air matanya tumpah dalam pelukan hangat penuh rasa bangga. 


Djamall

Tidak ada komentar:

Posting Komentar