Di antara tumpukan baju, sepatu, dan
peralatan sekolah baru hasil pemberian beberapa donatur, anak laki-laki
yang ada di hadapanku hanya memilih sekotak pensil warna. Hmm, dia
kutaksir berusia delapan tahun. Rambutnya keriting dan kulitnya sawo
matang. Dia tidak tergiur dengan aneka barang baru yang terhampar di
sekelilingnya. Teman-temannya memandang heran pada anak laki-laki itu.
“Hai, Ris. Kau nggak tertarik dengan baju barumu ini?” tanya temannya heran. “Buat aku saja ya?”
Ah kini aku tahu namanya: Ris. Aku lihat dia tidak menanggapi hanya sekedar menjawab pertanyaan temannya. Dia terus sibuk memandang kotak pensil berisi 32 warna barunya.
Ris berlari ke lantai atas tempat kamarnya berada. Dia mengambil buku sketsa. Beberapa menit dia hanya terpaku memandang lurus kertas putih di depannya. Sepertinya Ris sedang berpikir ingin menggambar apa. Perlahan dia membuka kotak pensil warna dan mengambil pensil hitam.
Ris membuat sebuah sketsa. Tampaknya dia sangat lihai menggambar. Ris memainkan pensil hitam itu dengan lincah seperti penari. Aku dapat melihat dengan jelas gambar itu. Tiga orang manusia yang kurasa seperti ayah, ibu, dan anak. Gambar itu berada di sebuah taman nan cantik. Menikmati pemandangan sambil bercengkrama. Mungkinkah itu gambar tentang diri Ris dengan ayah-ibunya?
Ris lalu mengambil pensil warna lainnya. Dia memainkan berbagai warna untuk menciptakan gambar yang sangat indah. Dan astaga! Aku sangat takjub! Gambarnya benar-benar sangat indah!
Ris kemudian mengambil kembali pensil hitamnya. Dia menggoreskan sebuah kalimat. Oh, Tuhan, aku tercengang membaca kalimatnya!
Aku sangat rindu ayah-ibu...
Aku ingin bertemu dan memeluk kalian :’(
Sebuah keajaiban terjadi. Aku melihat gambar itu hidup. Ya, hidup! Ris sempat terlonjak kaget namun sebuah cahaya menarik dirinya ke dalam gambar itu. Kini Ris berada di dunia berbeda. Dia menjadi objek dari gambar yang dibuatnya sendiri.
“Aku, aku ada di mana?” tanya Ris heran.
“Ris, anakku...”
Sebuah suara memanggil Ris dengan lembut. Ris menoleh ke sumber suara dan terkesiap mendapati dua sosok yang betul-betul mirip seperti yang digambar olehnya: ayah-ibu.
“Ka...kalian siapa?” tanya Ris sambil menunjuk dua orang yang ada di hadapannya.
“Kami ini ayah-ibumu, Nak,” jawab Ibu Ris.
“Nggak...nggak mungkin!” Ris menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kedua orang tuaku telah tiada. Bunda di Panti Asuhan yang bilang kalau mereka meninggal karena kecelakaan saat usiaku dua tahun.”
“Tapi kau yang menggambar kami dengan menggunakan pensil warna ajaib itu,” terang Ibu Ris.
“Apa? Pensil warna ajaib?”
***
Setiap pulang sekolah, Ris sudah tidak pernah lagi ikut makan siang bersama anak-anak panti. Dia langsung bergegas menuju kamarnya. Mengunci pintu. Padahal kamar ini bukan milik dia seorang. Ada lima ranjang bertingkat di kamar ini. Akan tetapi sekarang kamar ini serasa milik Ris seorang.
Ris mengambil sekotak pensil warna dan buku sketsanya. Saat hendak mulai menggambar, ketukan pintu mengagetkan Ris.
“Ris, kamu nggak makan siang? Sudah beberapa hari ini Bunda nggak pernah lihat kamu ikut makan bersama,” Suara perempuan, hmm, mungkin Ibu pengurus Panti Asuhan ini.
“Aku sedang nggak lapar Bunda,” jawab Ris sekenanya.
“Ya sudah kalau nanti lapar, kamu turun ke ruang makan ya,” ucap perempuan yang Ris panggil Bunda.
Setiap hari, Ris selalu menggambar kedua orang tuanya dan menuliskan beberapa kalimat di bawah gambarnya. Jika dia tahu, sesungguhnya kalimat-kalimat itulah yang membuka cahaya portal antara dunia nyata dan gambar. Dunia gambar yang sangat luas melebihi apa yang telah kau ciptakan. Dunia yang mungkin kau tidak akan bisa membedakan antara dunia nyata dan gambar buatanmu sendiri.
Akan tetapi Ris tidak menyadari itu. Dia hanya senang bisa bertemu dengan kedua orang tuanya. Orang tua dari hasil imajinasi Ris.
Kali ini Ris menggambar suasana ruang kelas. Kursi-meja berderet, sebuah papan tulis, tempat kapur, jam dinding, foto presiden dan wakilnya, serta hiasan-hiasan dinding menambah indah gambar Ris. Gambar kelas itu dipenuhi para murid beserta orang-tua mereka masing-masing. Di depan kelas terlihat orang tua sedang berbincang dengan gurunya. Ah, aku tahu pasti ini suasana pembagian rapor. Di baris kedua dari depan, aku lihat Ris duduk dengan ayah dan ibunya.
Tahukah Ayah-Ibu, aku sangat iri dengan teman-temanku? Mereka diambilkan rapor oleh orang tuanya. Sementara aku? Aku terkadang mengambil raporku sendiri karena Bunda di Panti Asuhan sibuk mengambil rapor anak lain dan selalu terlambat mampir ke sekolahku :’(
Kembali aku lihat selarik cahaya yang menarik Ris ke dalam gambar buatannya sendiri. Kini Ris berada di ruang kelas.
“Orang tua Ris Septian silakan ke depan.” Seorang guru nan cantik memanggil Ris dan orang tuanya.
Sambil bergandengan tangan, mereka berjalan ke depan dan duduk bersisian menghadap guru cantik itu.
“Selamat ya Bapak-Ibu, anak kalian menjadi juara kelas dengan nilai rata-rata semua mata pelajaran sembilan,” ujar guru cantik itu sambil tersenyum bangga.
Ayah dan ibu Ris menoleh kepadanya. Sebuah senyum hangat dan tepukan pundak dari ayahnya membuat Ris menjadi senang. Sang ayah mengajak Ris untuk merayakan keberhasilannya ini.
Sambil mendendangkan lagu-lagu ceria, sang ayah melajukan mobilnya ke sebuah taman rekreasi. Ramai. Tempat itu dipenuhi beraneka permainan. Satu-persatu Ris dan ayah-ibunya mencicipi permainan yang lebih banyak memacu adrenalin.
Berteriak lepas, mereka mencoba permainan roller-coaster. Ris duduk di samping ibunya, sementara sang ayah duduk di depan sendiri. Aku tak tahu apakah selama di Panti Asuhan, Ris pernah naik roller-coaster dan wajahnya sebahagia ini? Ah, aku tidak pernah tahu seperti apa dunia Panti Asuhan itu. Semoga dunia mereka penuh dengan keceriaan.
Lelah mencicipi satu permainan ke permainan lain, mereka beristirahat di sebuah taman indah yang penuh dengan bunga-bunga cantik. Menikmati semilir angin sore dan makanan bekal, mereka berbincang seru.
“Jika Ris sudah besar ingin menjadi apa?” tanya sang ibu.
“Hmm ... Mungkin aku akan menjadi seorang pelukis, bu,” terang Ris.
“Kamu memang berbakat menjadi seorang pelukis, Nak. Tetap kejar cita-citamu dan jangan pernah berhenti menyerah,” nasihat sang ayah menyemangati Ris.
“Baik, Ayah. Ris berjanji akan terus mengejar cita-citaku menjadi seorang pelukis dan membuat kalian bangga,” kata Ris sambil menyantap sepotong cake.
Ayah dan ibu Ris tersenyum senang. Sang ibu mendekap Ris dan berkata lirih, “Jangan pernah mengecewakan kami ya, Nak.”
Matahari mulai menyingsing ke peraduannya. Langit perlahan menjadi senja yang tampak indah dengan jingganya. Mereka bersiap untuk untuk pulang. Namun langkah mereka tertahan oleh Ris yang masih terpaku berdiri.
“Ayah ... Ibu ... Jangan pernah meninggalkan Ris lagi. Aku kesepian tanpa kalian. Aku ingin terus bersama kalian.” Sebulir air mata menetes di pipi Ris.
Ayah dan ibu Ris hanya bisa saling pandang. Kemudian mereka mendekati Ris dan mencoba mengatakan sesuatu.
“Ris ... Ris ... Kamu sedang apa di dalam? Ini sudah mau magrib. Kami mau masuk ke kamar. Ayo, buka pintunya!” Aku dengar beberapa orang mengetuk pintu untuk segera dibukakan.
Cahaya portal kembali terbuka dan menyeret Ris ke dunia nyata. Dia bergegas membuka pintu.
“Kamu ini kebiasaan, Ris, tidur siang selalu ditutup pintunya.”
Tidur siang dan kebiasaan mengunci adalah alasan Ris agar tak diketahui teman-temannya jika dia memiliki pensil warna ajaib.
Aku masih ingin terus bersamamu, Ayah...Ibu..., batin Ris.
***
Ris sudah mulai berubah. Sekarang dia sering berbohong. Dari rumah pamit kepada ibu Panti untuk belajar di sekolah tetapi tidak pernah ke kelas dan malah bersembunyi di gudang sekolah. Dia sering pulang larut malam ke panti. Pernah aku curi dengar saat Ris dinasihati Bunda bahwa nilai-nilai dia di sekolah menurun drastis.
Ris jengah di Panti karena selalu dinasihati Bunda akan prestasinya yang menurun dan sering bolos sekolah. Dia kabur membawa buku gambar dan pensil warnanya. Ris benar-benar terlena dengan pensil warna ajaib tersebut.
Dia sering mengunjungi dunia gambar untuk bertemu dengan orang tuanya. Tak hanya itu, dia juga menggambar hal lainnya, seperti super hero atau pun sebuah istana megah dan seorang pangeran. Jika dia kesal dengan temannya karena dijahili, dia menggambar sosok temannya itu untuk membalas perbuatannya.
Ah, Ris, kau lupa bahwa dunia nyata akan selalu tetap indah dibanding dunia gambar hasil imajinasimu. Kau lupa bahwa pensil warna itu juga akan habis karena sering dipakai.
Kini Ris berada di dunia kosong. Benar-benar kosong. Semua pensil warnanya telah habis dipakai. Hanya menyisakan aku, Sekotak Pensil Warna.
“Pulanglah Ris ke rumahmu di Panti. Bunda dan teman-temanmu pasti sangat mengkhawatirkanmu.” Sayang, Ris pasti tidak bisa mendengar kata-kataku.
Kesemuan itu benar-benar telah membutakannya. “Aah Ris, kenapa engkau menjadi seperti itu?”
Di tengah kekesalannya, Ris membeli sesuatu di warung dekat dengan tempat persembunyiannya. Hai, apa itu? Korek api?
Ris menyulut dan mengarahkan korek apinya padaku.
Ris ... Aku mohon jangan bakar aku! Jangaaaan!!!
-hQZou-
Buitenzorg, 21 Juli 2013
“Hai, Ris. Kau nggak tertarik dengan baju barumu ini?” tanya temannya heran. “Buat aku saja ya?”
Ah kini aku tahu namanya: Ris. Aku lihat dia tidak menanggapi hanya sekedar menjawab pertanyaan temannya. Dia terus sibuk memandang kotak pensil berisi 32 warna barunya.
Ris berlari ke lantai atas tempat kamarnya berada. Dia mengambil buku sketsa. Beberapa menit dia hanya terpaku memandang lurus kertas putih di depannya. Sepertinya Ris sedang berpikir ingin menggambar apa. Perlahan dia membuka kotak pensil warna dan mengambil pensil hitam.
Ris membuat sebuah sketsa. Tampaknya dia sangat lihai menggambar. Ris memainkan pensil hitam itu dengan lincah seperti penari. Aku dapat melihat dengan jelas gambar itu. Tiga orang manusia yang kurasa seperti ayah, ibu, dan anak. Gambar itu berada di sebuah taman nan cantik. Menikmati pemandangan sambil bercengkrama. Mungkinkah itu gambar tentang diri Ris dengan ayah-ibunya?
Ris lalu mengambil pensil warna lainnya. Dia memainkan berbagai warna untuk menciptakan gambar yang sangat indah. Dan astaga! Aku sangat takjub! Gambarnya benar-benar sangat indah!
Ris kemudian mengambil kembali pensil hitamnya. Dia menggoreskan sebuah kalimat. Oh, Tuhan, aku tercengang membaca kalimatnya!
Aku sangat rindu ayah-ibu...
Aku ingin bertemu dan memeluk kalian :’(
Sebuah keajaiban terjadi. Aku melihat gambar itu hidup. Ya, hidup! Ris sempat terlonjak kaget namun sebuah cahaya menarik dirinya ke dalam gambar itu. Kini Ris berada di dunia berbeda. Dia menjadi objek dari gambar yang dibuatnya sendiri.
“Aku, aku ada di mana?” tanya Ris heran.
“Ris, anakku...”
Sebuah suara memanggil Ris dengan lembut. Ris menoleh ke sumber suara dan terkesiap mendapati dua sosok yang betul-betul mirip seperti yang digambar olehnya: ayah-ibu.
“Ka...kalian siapa?” tanya Ris sambil menunjuk dua orang yang ada di hadapannya.
“Kami ini ayah-ibumu, Nak,” jawab Ibu Ris.
“Nggak...nggak mungkin!” Ris menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kedua orang tuaku telah tiada. Bunda di Panti Asuhan yang bilang kalau mereka meninggal karena kecelakaan saat usiaku dua tahun.”
“Tapi kau yang menggambar kami dengan menggunakan pensil warna ajaib itu,” terang Ibu Ris.
“Apa? Pensil warna ajaib?”
***
Setiap pulang sekolah, Ris sudah tidak pernah lagi ikut makan siang bersama anak-anak panti. Dia langsung bergegas menuju kamarnya. Mengunci pintu. Padahal kamar ini bukan milik dia seorang. Ada lima ranjang bertingkat di kamar ini. Akan tetapi sekarang kamar ini serasa milik Ris seorang.
Ris mengambil sekotak pensil warna dan buku sketsanya. Saat hendak mulai menggambar, ketukan pintu mengagetkan Ris.
“Ris, kamu nggak makan siang? Sudah beberapa hari ini Bunda nggak pernah lihat kamu ikut makan bersama,” Suara perempuan, hmm, mungkin Ibu pengurus Panti Asuhan ini.
“Aku sedang nggak lapar Bunda,” jawab Ris sekenanya.
“Ya sudah kalau nanti lapar, kamu turun ke ruang makan ya,” ucap perempuan yang Ris panggil Bunda.
Setiap hari, Ris selalu menggambar kedua orang tuanya dan menuliskan beberapa kalimat di bawah gambarnya. Jika dia tahu, sesungguhnya kalimat-kalimat itulah yang membuka cahaya portal antara dunia nyata dan gambar. Dunia gambar yang sangat luas melebihi apa yang telah kau ciptakan. Dunia yang mungkin kau tidak akan bisa membedakan antara dunia nyata dan gambar buatanmu sendiri.
Akan tetapi Ris tidak menyadari itu. Dia hanya senang bisa bertemu dengan kedua orang tuanya. Orang tua dari hasil imajinasi Ris.
Kali ini Ris menggambar suasana ruang kelas. Kursi-meja berderet, sebuah papan tulis, tempat kapur, jam dinding, foto presiden dan wakilnya, serta hiasan-hiasan dinding menambah indah gambar Ris. Gambar kelas itu dipenuhi para murid beserta orang-tua mereka masing-masing. Di depan kelas terlihat orang tua sedang berbincang dengan gurunya. Ah, aku tahu pasti ini suasana pembagian rapor. Di baris kedua dari depan, aku lihat Ris duduk dengan ayah dan ibunya.
Tahukah Ayah-Ibu, aku sangat iri dengan teman-temanku? Mereka diambilkan rapor oleh orang tuanya. Sementara aku? Aku terkadang mengambil raporku sendiri karena Bunda di Panti Asuhan sibuk mengambil rapor anak lain dan selalu terlambat mampir ke sekolahku :’(
Kembali aku lihat selarik cahaya yang menarik Ris ke dalam gambar buatannya sendiri. Kini Ris berada di ruang kelas.
“Orang tua Ris Septian silakan ke depan.” Seorang guru nan cantik memanggil Ris dan orang tuanya.
Sambil bergandengan tangan, mereka berjalan ke depan dan duduk bersisian menghadap guru cantik itu.
“Selamat ya Bapak-Ibu, anak kalian menjadi juara kelas dengan nilai rata-rata semua mata pelajaran sembilan,” ujar guru cantik itu sambil tersenyum bangga.
Ayah dan ibu Ris menoleh kepadanya. Sebuah senyum hangat dan tepukan pundak dari ayahnya membuat Ris menjadi senang. Sang ayah mengajak Ris untuk merayakan keberhasilannya ini.
Sambil mendendangkan lagu-lagu ceria, sang ayah melajukan mobilnya ke sebuah taman rekreasi. Ramai. Tempat itu dipenuhi beraneka permainan. Satu-persatu Ris dan ayah-ibunya mencicipi permainan yang lebih banyak memacu adrenalin.
Berteriak lepas, mereka mencoba permainan roller-coaster. Ris duduk di samping ibunya, sementara sang ayah duduk di depan sendiri. Aku tak tahu apakah selama di Panti Asuhan, Ris pernah naik roller-coaster dan wajahnya sebahagia ini? Ah, aku tidak pernah tahu seperti apa dunia Panti Asuhan itu. Semoga dunia mereka penuh dengan keceriaan.
Lelah mencicipi satu permainan ke permainan lain, mereka beristirahat di sebuah taman indah yang penuh dengan bunga-bunga cantik. Menikmati semilir angin sore dan makanan bekal, mereka berbincang seru.
“Jika Ris sudah besar ingin menjadi apa?” tanya sang ibu.
“Hmm ... Mungkin aku akan menjadi seorang pelukis, bu,” terang Ris.
“Kamu memang berbakat menjadi seorang pelukis, Nak. Tetap kejar cita-citamu dan jangan pernah berhenti menyerah,” nasihat sang ayah menyemangati Ris.
“Baik, Ayah. Ris berjanji akan terus mengejar cita-citaku menjadi seorang pelukis dan membuat kalian bangga,” kata Ris sambil menyantap sepotong cake.
Ayah dan ibu Ris tersenyum senang. Sang ibu mendekap Ris dan berkata lirih, “Jangan pernah mengecewakan kami ya, Nak.”
Matahari mulai menyingsing ke peraduannya. Langit perlahan menjadi senja yang tampak indah dengan jingganya. Mereka bersiap untuk untuk pulang. Namun langkah mereka tertahan oleh Ris yang masih terpaku berdiri.
“Ayah ... Ibu ... Jangan pernah meninggalkan Ris lagi. Aku kesepian tanpa kalian. Aku ingin terus bersama kalian.” Sebulir air mata menetes di pipi Ris.
Ayah dan ibu Ris hanya bisa saling pandang. Kemudian mereka mendekati Ris dan mencoba mengatakan sesuatu.
“Ris ... Ris ... Kamu sedang apa di dalam? Ini sudah mau magrib. Kami mau masuk ke kamar. Ayo, buka pintunya!” Aku dengar beberapa orang mengetuk pintu untuk segera dibukakan.
Cahaya portal kembali terbuka dan menyeret Ris ke dunia nyata. Dia bergegas membuka pintu.
“Kamu ini kebiasaan, Ris, tidur siang selalu ditutup pintunya.”
Tidur siang dan kebiasaan mengunci adalah alasan Ris agar tak diketahui teman-temannya jika dia memiliki pensil warna ajaib.
Aku masih ingin terus bersamamu, Ayah...Ibu..., batin Ris.
***
Ris sudah mulai berubah. Sekarang dia sering berbohong. Dari rumah pamit kepada ibu Panti untuk belajar di sekolah tetapi tidak pernah ke kelas dan malah bersembunyi di gudang sekolah. Dia sering pulang larut malam ke panti. Pernah aku curi dengar saat Ris dinasihati Bunda bahwa nilai-nilai dia di sekolah menurun drastis.
Ris jengah di Panti karena selalu dinasihati Bunda akan prestasinya yang menurun dan sering bolos sekolah. Dia kabur membawa buku gambar dan pensil warnanya. Ris benar-benar terlena dengan pensil warna ajaib tersebut.
Dia sering mengunjungi dunia gambar untuk bertemu dengan orang tuanya. Tak hanya itu, dia juga menggambar hal lainnya, seperti super hero atau pun sebuah istana megah dan seorang pangeran. Jika dia kesal dengan temannya karena dijahili, dia menggambar sosok temannya itu untuk membalas perbuatannya.
Ah, Ris, kau lupa bahwa dunia nyata akan selalu tetap indah dibanding dunia gambar hasil imajinasimu. Kau lupa bahwa pensil warna itu juga akan habis karena sering dipakai.
Kini Ris berada di dunia kosong. Benar-benar kosong. Semua pensil warnanya telah habis dipakai. Hanya menyisakan aku, Sekotak Pensil Warna.
“Pulanglah Ris ke rumahmu di Panti. Bunda dan teman-temanmu pasti sangat mengkhawatirkanmu.” Sayang, Ris pasti tidak bisa mendengar kata-kataku.
Kesemuan itu benar-benar telah membutakannya. “Aah Ris, kenapa engkau menjadi seperti itu?”
Di tengah kekesalannya, Ris membeli sesuatu di warung dekat dengan tempat persembunyiannya. Hai, apa itu? Korek api?
Ris menyulut dan mengarahkan korek apinya padaku.
Ris ... Aku mohon jangan bakar aku! Jangaaaan!!!
-hQZou-
Buitenzorg, 21 Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar