Perjalanan
jauh antar wilayah itu sangat melelahkan. Aku sampai harus beristirahat di
suatu restoran restoran di daerah BSD, Tangerang ini memang mewah sekali.
Harganya mahal-mahal, tetapi aku sedang ingin makan di sini walau sampai harus
menguras uangku.
Aku duduk sendiri di sudut restoran dan berhadapan dengan kaca. Beberapa meja di sekitarku terisi oleh pelanggan. Baik pelanggan yang makan sendirian ataupun bersama dengan kenalannya, setiap meja terisi. Restorannya sedang rame di saat waktu makan siang.
Aku memesan satu paket steak yang dilengkapi dengan salad dan kentang goreng dengan segelas ice cappuccino. Saat aku sedang menunggu pesananku dating, aku mencuri dengar pembicaraan pelanggan lainnya yang berada di seberang mejaku.
Seorang wanita yang kuyakini usianya lebih tua dariku, berpenampilan begitu biasa saja. Berbalutkan dress panjang berwarna abu-abu, dengan rambut berantakannya yang sedikit memutih dia duduk bersama dengan seorang pria yang sepertinya seusia dengannya. Pria itu memakai topi hitam yang bagian depannya ditekuk, jaket hitam polos yang kerahnya ditegakkan hingga menutupi lehernya. Keduanya duduk dengan tidak tenang, sepertinya sedang ada yang mengawasi mereka atau apalah.
“Bagaimana hasilnya?” tanya wanita tua itu sambil mencondongkan wajahnya ke pria tua di depannya.
Pria itu menoleh ke arah kiri dan kanan, sambil berbisik-bisik menjawab, “Berhasil. Seperti rencana.”
“Benarkah?”
“Masa kau tidak percaya denganku? Bah!” pria tua itu meringis kesal.
Aku yang sebernarnya tidak berniat untuk mencuri dengar menjadi penasaran. Karena dua pelanggan itu terlihat begitu mencurigakan dan membuatku penasaran. Aku menggeser kursiku untuk bisa mendengar pembicaraan mereka lebih jelas lagi.
“Lalu uangnya bagaimana? Sudah kau ambil kah?”
Salah satu sudut bibir pria tua itu terangkat, “Sudahlah. Steve-O selalu melakukan pekerjaan dengan beres.”
“Bagus kalau begitu,” ucap wanita tua itu sambil meneguk segelas sampange-nya. Aku bahkan baru sadar, mereka sedang meminum minuman beralkohol kelas atas itu.
Dahiku semakin mengkerut semakin dalam. Aku semakin penasaran. Mereka membicarakan tentang rencana yang berhasil dan uang. Sesuatu yang besar sedang mereka lakukan.
“Lalu mayatnya?” ucap wanita tua itu, dengan bibir yang mendekat pada wajah pria tua itu. Membuatku duduk dengan tegang.
Pria tua itu menoleh padaku dengan pandangan yang tajam sekali. Aku langsung memegang handphone-ku dan berpura-pura sedang menulis sesuatu. Saat aku berniat untuk keluar dari restoran, pesananku sudah datang dan dihidangkan di mejaku.
“Marrie, jaga mulutmu,” omel pria tua itu. “Tenang saja. Mayatnya sudah kubuang di suatu tempat.”
Aku langsung melahap satu potongan daging steak yang besar ke mulutku. Dengan jantung yang berdebar kencang, rasa takut yang luar biasa dan bulu kuduk yang meremang, aku makan dengan tidak nyaman.
Lalu wanita tua itu tersenyum lebar sambil bersandar pada kursinya, “Nah, itu yang terpenting sekali. Hilangkan jejak kita. Jadi, kita bisa aman, kan?”
“Jelas!”
Keduanya lalu mengangkat kedua gelas mereka tinggi dan menegak minuman beralkohol itu dengan nikmatnya. Aku hanya bisa memandang takut sambil mengunyah dengan begitu cepat.
“CUT!” teriak seseorang di belakangku, “Bagus sekali. Bravo! Acting yang luar biasa,” ucapnya lagi sambil bertepuk tangan. Aku mengangakan mulutku sambil tercengang.
“Istirahat satu jam lalu nanti kita syuting lagi. Oke?”
“Oke,” sahut wanita tua itu. Lalu tersenyum lebar padaku yang sedang kebingungan sendirian ini.
Dania Sunshine
Aku duduk sendiri di sudut restoran dan berhadapan dengan kaca. Beberapa meja di sekitarku terisi oleh pelanggan. Baik pelanggan yang makan sendirian ataupun bersama dengan kenalannya, setiap meja terisi. Restorannya sedang rame di saat waktu makan siang.
Aku memesan satu paket steak yang dilengkapi dengan salad dan kentang goreng dengan segelas ice cappuccino. Saat aku sedang menunggu pesananku dating, aku mencuri dengar pembicaraan pelanggan lainnya yang berada di seberang mejaku.
Seorang wanita yang kuyakini usianya lebih tua dariku, berpenampilan begitu biasa saja. Berbalutkan dress panjang berwarna abu-abu, dengan rambut berantakannya yang sedikit memutih dia duduk bersama dengan seorang pria yang sepertinya seusia dengannya. Pria itu memakai topi hitam yang bagian depannya ditekuk, jaket hitam polos yang kerahnya ditegakkan hingga menutupi lehernya. Keduanya duduk dengan tidak tenang, sepertinya sedang ada yang mengawasi mereka atau apalah.
“Bagaimana hasilnya?” tanya wanita tua itu sambil mencondongkan wajahnya ke pria tua di depannya.
Pria itu menoleh ke arah kiri dan kanan, sambil berbisik-bisik menjawab, “Berhasil. Seperti rencana.”
“Benarkah?”
“Masa kau tidak percaya denganku? Bah!” pria tua itu meringis kesal.
Aku yang sebernarnya tidak berniat untuk mencuri dengar menjadi penasaran. Karena dua pelanggan itu terlihat begitu mencurigakan dan membuatku penasaran. Aku menggeser kursiku untuk bisa mendengar pembicaraan mereka lebih jelas lagi.
“Lalu uangnya bagaimana? Sudah kau ambil kah?”
Salah satu sudut bibir pria tua itu terangkat, “Sudahlah. Steve-O selalu melakukan pekerjaan dengan beres.”
“Bagus kalau begitu,” ucap wanita tua itu sambil meneguk segelas sampange-nya. Aku bahkan baru sadar, mereka sedang meminum minuman beralkohol kelas atas itu.
Dahiku semakin mengkerut semakin dalam. Aku semakin penasaran. Mereka membicarakan tentang rencana yang berhasil dan uang. Sesuatu yang besar sedang mereka lakukan.
“Lalu mayatnya?” ucap wanita tua itu, dengan bibir yang mendekat pada wajah pria tua itu. Membuatku duduk dengan tegang.
Pria tua itu menoleh padaku dengan pandangan yang tajam sekali. Aku langsung memegang handphone-ku dan berpura-pura sedang menulis sesuatu. Saat aku berniat untuk keluar dari restoran, pesananku sudah datang dan dihidangkan di mejaku.
“Marrie, jaga mulutmu,” omel pria tua itu. “Tenang saja. Mayatnya sudah kubuang di suatu tempat.”
Aku langsung melahap satu potongan daging steak yang besar ke mulutku. Dengan jantung yang berdebar kencang, rasa takut yang luar biasa dan bulu kuduk yang meremang, aku makan dengan tidak nyaman.
Lalu wanita tua itu tersenyum lebar sambil bersandar pada kursinya, “Nah, itu yang terpenting sekali. Hilangkan jejak kita. Jadi, kita bisa aman, kan?”
“Jelas!”
Keduanya lalu mengangkat kedua gelas mereka tinggi dan menegak minuman beralkohol itu dengan nikmatnya. Aku hanya bisa memandang takut sambil mengunyah dengan begitu cepat.
“CUT!” teriak seseorang di belakangku, “Bagus sekali. Bravo! Acting yang luar biasa,” ucapnya lagi sambil bertepuk tangan. Aku mengangakan mulutku sambil tercengang.
“Istirahat satu jam lalu nanti kita syuting lagi. Oke?”
“Oke,” sahut wanita tua itu. Lalu tersenyum lebar padaku yang sedang kebingungan sendirian ini.
Dania Sunshine
Tidak ada komentar:
Posting Komentar