Senja itu, ada seorang laki-laki datang. Tiada kata, hanya diam saja.
Annisa hanya melihatnya sekilas tanpa ada kata-kata untuknya, lelaki
yang baru saja duduk disampingnya.
Annisa memilih untuk berdiam diri di bandara Sultan Mahmud Badarrudin
II. Menikmati senja yang menghantarkan jingga ke peraduan terakhirnya.
Menghirup sisa-sisa angin dalam paru-paru. Annisa sedang tak ingin
bicara. Dia tidak bisu hanya saja sedang menikmati diam untuk beberapa
waktu.
Hingga tiba waktunya, Annisa beranjak pergi. Tak peduli dengan lelaki
bertopi yang sudah menemaninya sejak tadi. Lelaki itu pun tak tergerak
hati untuk menahannya atau sekadar menanyakan akan kemana dia pergi.
Iya, malam sudah merayap datang. Kini, si lelaki bertopi itu hanya ditemani angin malam yang menusuk-nusuk hingga ke tulangnya.
Beberapa hari berlalu, Annisa kembali ke bandara itu. Dilihatnya
lelaki bertopi itu lebih dulu memilih duduk di sana, di tempat mereka
bertemu kemarin. Sebotol kopi diseduhnya hingga dasarnya. Annisa datang
menghampiri dengan membawa beberapa buku sebagai temannya.
Lelaki itu menoleh saat Annisa datang. Sepertinya itu mengejutkannya,
meski kedatangan ini sudah seperti dugaannya. Annisa, memilih duduk di
antara dua kursi kosong di sampingnya. Masih saja diam. Kadang-kadang
saling bertemu pada dua titik pandangan. Hanya sekilas pandang.
Begitu saja hari-hari terlewati. Hanya hembusan nafas yang akan
terdengar di antara riuhnya angin di bandara ini. “Sekali lagi, dia
tidak sedang bisu, bukan ?” batin Annisa.
Sampai di suatu senja, Annisa tidak menemukan lelaki bertopi itu.
Sorot matanya yang tajam berputar, menari-nari mencari keberadaan sosok
itu. Namun tak juga dijumpainya. Hanya ada sisa-sisa botol minuman yang
biasa menemani lelaki itu di sini. Annisa duduk, memandang jauh ke
langit yang sedang mendung. Tangannya meraba secarik kertas terbungkus
amplop berwarna hijau, seperti warna kesukaannya. Di dalamnya dituliskan
sebuah kalimat yang belum pernah dikenal gaya tulisannya.
Tetap di sana. Duduk di antara penumpang lainnya yang sedang menunggu pesawat selanjutnya, dan selanjutnya lagi datang.
Bertahun-tahun, Annisa tetap duduk di sana. Menunggu, mungkin saja
lelaki bertopi itu akan datang. Bodoh, bukan ? Tidak sedang bisu, tetapi
tidak juga saling berbicara. Menunggu hingga dia kembali di ujung
senja. Bodoh, kan ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar