Cuaca akhir-akhir ini memang tidak
menentu. Harusnya bulan ini adalah musim penghujan.
Tapi entah mengapa, panas yang menyengat pun terkadang mendominasi. Tapi senja
kali ini sepertinya sedang sendu, hujan datang sedari tadi yang tidak
menunjukan tanda-tanda akan berhenti.
Dari jendela, terlihat hujan sangat
deras. Beberapa orang sibuk memayungi dirinya masing-masing. Dengan payung, tas
atau bahkan plastik seadanya. Mereka sibuk mencari tempat atau sesuatu yang
bisa melindungi diri dari hujan. Sebentar, mengapa banyak orang yang tidak
menyukai hujan ?
Sedangkan aku, aku masih saja duduk
disini. Duduk di kafe ini sudah kurang lebih dua jam, masih dengan laptop yang
terus menyala, beberapa kertas yang berserakan dan tiga cangkir kopi yang telah
kuhabiskan.
Rutinitas adalah sesuatu yang
membosankan, menurutku. Aku sudah merasa lelah dengan deadline yang tidak ada
habisnya, dengan meeting-meeting yang hanya menghabiskan waktu atau suara
ocehan bos yang masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. Bekerja menjadi salah
satu karyawan di sebuah perusahaan besar membuatku muak. Aku ingin bebas.
Dan bulan ini, aku memutuskan untuk
mengambil keputusan yang mungkin bagi sebagian orang adalah hal gila. Aku akan
berhenti bekerja setelah semua tanggung jawabku di kantor selesai. Aku akan
menikah dan aku akan tinggal di Bali, tempat impianku menghabiskan waktu. Aku
ingin bebas dan berkarya disana. Menjadi seorang fotografer yang sesekali
menjadi seorang penyair, untuk diriku sendiri.
**
Hari senin, hari yang aku sukai. Hari
dimana aku akan memulai segalanya dari awal. Dengan semangat baru setelah
menghabiskan weekend dengan orang-orang disekelilingku. Aku terkadang heran,
mengapa banyak orang yang tidak menyukai
senin? Bukannya harusnya bersyukur karena sudah bisa merasakan weekend?
Begitulah hidup.
“Kamu hari ini mau kemana?” kudengar
suaranya yang pertama untuk hari ini, aku rindu.
“Selamat pagi, lelaki hujanku. Kamu
menelpon dengan awal kalimat tanya seperti itu? Hmm kuharap kamu tidak lupa
menghabiskan sarapanmu. Aku hari ini akan ke Bandung, menemui klienku yang
memang harus bertemu langsung di Bandung. Hanya sebentar, lagipula besok aku
harus ke tempat Ibu. Membicarakan persiapan untuk acara kita... “. Aku
tersenyum mendengar ocehannya pagi ini, selalu ramai jika membicarakan apapun
dan aku menyukainya.
Disa. Seseorang yang kutemui delapan tahun yang lalu. Aku
sangat percaya takdir dan sama sekali tidak percaya akan kebetulan.Aku dan Disa
sama-sama mengikuti pelatihan fotografi waktu itu. Hal yang pertama membuatku tertarik
– atau mungkin sedikit heran- adalah diantara sepuluh peserta pelatihan
fotografi ini hanya Disa satu-satunya wanita yang ikut.
Seperti layaknya lelaki yang mendapatkan
hadirnya satu perempuan diantara mereka,
teman-temanku berusaha mencuri
perhatian Disa. Aku hanya memperhatikan, untuk soal mendekati perempuan kuakui
aku sedikit payah.
Kuperhatikan Disa hanya tersenyum dan
mengobrol seadanya, tidak berlebihan dan tetap ramah. Dan aku sadar, aku jatuh
cinta sejak hari itu, sampai saat ini.
“Bagaimana pelatihannya?” aku langsung
menembak pertanyaan kepadanya, ia sempat terlihat kaget karena aku yang
tiba-tiba bersuara. Karena sedari tadi memang kami saling diam. Duduk saling
diam di halte busway, dia sibuk dengan DSLR milikya. Sedangkan aku sibuk
memikirkan bagaimana cara memulai pembicaraan ini. Ah, payah sekali bukan ?
“hm? Menyenangkan. Aku sangat suka
pelatihan seperti ini, bagaimana denganmu?” jawabnya sambil mematikan DSLR nya,
ia menghormati orang yang berbicara
dengannya.
Semenjak saat itulah, aku tidak akan menghabiskan
waktuku untuk menyesal. Aku jatuh cinta, mendekatinya. Berusaha mengetahui
hal-hal yang tidak ia sukai atau yang sangat ia sukai. Ada beberapa hal yang
tidak bisa dipisahkan dari kami berdua. Foto, hujan, dan puisi. Kami berdua
menyukai fotografi dan kami berdua memutuskan untuk masuk total kedalam dunia
fotografi setelah
kami menikah nanti. Lalu hujan, aku dan Disa sangat mencintai hujan. Saat
pasangan-pasangan lain jika hujan turun akan meneduh di ruko-ruko atau tempat makan
sambil menunggu hujan turun, kami malah terkadang sengaja untuk menerobos
hujan. Hujan-hujanan menurut kami bukan hanya milik anak kecil saja. Maka dari
itu, Disa selalu memanggilku dengan lelaki hujan. Lucu saat mendengar sebutan
itu untukku, tapi toh aku menikmatinya. Dan puisi, aku tidak akan mengatakan
puisi-puisi yang kuhasilkan sangat bagus atau bisa mengalahkan para penyair
favoritku. Aku menyukai saat berpesta dengan hujan, puisi dan Disa yang selalu
menemaniku. Itu saja sudah cukup.
*****
“Kamu
tahu? Siang tadi bos menyuruhku datang keruangannya. Ia mengatakan suatu hal
yang bagiku tidak mungkin... “ Disa selalu menceritakan apapun kepadaku,
seperti saat ini. Kami sedang berada di kafe langganan kami. Menikmati makan
malam dan membicarakan banyak hal.
“ Oh ya? Apa? Kamu tidak di perbolehkan
untuk resend?” aku menebak, Disa bekerja disebuah perusahaan keramik yang
dituntut deadline yang sepertinya tidak pernah mengenal kata “lelah”. Dan Disa
rasanya sudah cukup bekerja disana selama empat tahun. Ia akan resend bulan
ini, setelah pernikahan kami dilaksanan.
“Bingo!
Bos menyuruhku tetap berada di kantornya, bahkan ia mengatakan akan ada
pengangkatan jabatan dan kenaikan gaji untukku. Hahaaa, aku hanya tertawa saat
mendengar semua itu. Kamu
tahu sendiri, aku sudah lelah bekerja di kantoran seperti itu, dan kita sudah
berjanji akan memulai kehidupan baru bersama di Bali, bukan?. “ Disa menunjukan
senyum manisnya, masih dengan bekas eskrim di sekitar bibirnya. Menurutnya, es
krim adalah mood booster
kedua setelahku. Halah.
Lalu aku mengingat perjanjian kita
dahulu, akan sama-sama berhenti dari pekerjaan menjadi seorang karyawan di
kantoran dan memulai hidup baru di Bali, meninggalkan penatnya Jakarta.
“ Aku tahu, bos manapun tidak akan
merelakanmu pergi dengan melihat kinerjamu yang luar biasa dalam membangun perusahaan mereka. Kau
luar biasa.. “
“ kau lebih luar biasa, kau dapat
bertahan dengan seseorang yang selebor
sepertiku ini. Hahaaa terimakasih.. “ucapnya seraya memegang tanganku.
Aku mengenggam tangannya, harusnya ia
tahu bahwa aku yang sangat beruntung memilikinya. “terimakasih, sayang. Untuk
sewindu yang sudah kita lewati. Baiklah, kau ingin keluar ?” aku melihat
keluar, gerimis datang. Disa menyukai gerimis, dan aku tahu ia tidak akan
menolak ajakanku untuk keluar dari kafe ini.
***
Firasat. Kau percaya akan firasat ?
sebuah pertanda yang hadir dibawah alam sadar kita. Sesuatu yang hadir tanpa
kita bisa mencegahnya. Sesuatu yang tidak bisa kita cegah. Antara firasat dan
takdir, aku tidak mengeti bagaimana mereka berhubungan.
Akhir-akhir ini aku seperti merasakan
sebuah firasat. Firasat yang tidak baik mengenai seseorang yang sudah sangat
dekat denganku. Beberapa hari ini, aku memimpikan Disa, aku melihatnya berjalan
menghampiriku namun tidak pernah sampai. Aku pun tidak bisa melihatnya dengan
jelas, selalu tertutup hujan yang deras. Mataku selalu di halangi oleh derasnya
hujan. Sungguh, aku tidak suka perasaan seperti ini.
Akhir-akhir ini aku selalu menghubunginya
setiap beberapa jam sekali. Hanya ingin memastikan ia baik-baik saja.
Seperti malam ini, ia akan pergi
beberapa hari ke Bali. Mengecek dan mempersiapkan segalanya untuk pernikahan
kami yang tidak kurang dari dua minggu lagi. Aku tidak bisa ikut, karna harus
menyelesaikan deadline terakhirku sebelum aku resend. Aku awaalnya juga tidak
menyetujui ia pergi sendiri, terlebih dengan mimpi yang aku alami beberapa hari
ini. Tapi ia beberapa kali terus meyakinkanku bahwa ia akan baik-baik saja,
semoga.
“Kamu yakin ingin pergi sendiri ke Bali?
Kamu masih punya waktu untuk membatalkannya.. “ satu jam lagi pesawat menuju
Bali akan berangkat. Mungkin berlebihan, mungkin memang tidak baik saat terlalu
mengkhawatirkan segala sesuatu yang belum terjadi. Tapi ya Tuhan, aku membenci
firasat.
“kamu percaya aku akan baik-baik saja?”
Disa bertanya dengan senyum yang malah membuatku makin khawatir.
Aku mengenggam tangannya, “aku percaya,
selalu.”
*****
Hujan ditempatku baru saja turun, mereka
seperti ingin melengkapi hariku.
Hawa sore ini juga terlalu dingin, tidak biasanya. Tapi aku menikmatinya, hari
ini tepat seminggu setelah Disa meninggal. Seminggu pula menuju pernikahan
kami, seharusnya.
Aku
menengadahkan tanganku,
menyentuh satu satu hujan yang terasa hangat di kulitku. Aku tidak membenci
hujan, aku berusaha untuk tidak membenci hal-hal yang tidak pernah terlepas
dari Disa.
Malam itu, mungkin bisa menjadi kabar
terburuk untukku. Mendapat kabar bahwa Disa mengalami kecelakaan saat
perjalanan menuju hotel tempat ia menginap. Mobil travel yang ia tumpangi
menambrak pembatas jalan hingga bagian depan mobil tersebut hancur tak bersisa,
begitupun dengan Disa. Saat melihat wajah Disa yang hampir tak kukenali lagi,
aku tahu satu hal;Disa pergi dalam keadaan tersenyum.
Tidak akan ada lagi panggilan lelaki
hujan untukku, tidak ada lagi perempuan yang menghujaniku dengan semua ceritanya.
Atau tidak ada lagi perempuan yang biasa berbalas puisi dan hunting foto
denganku. Semua tidak akan pernah sama lagi.
Berbahagialah disana, Disa. Ijinkan
hujan menjadi pegingat bahwa ada seseorang yang sangat istimewa dalam hidupku.
Kamu.
Selamat
malam, lelaki hujan.
Terimakasih
atas sewindu yang telah kita lewati.
Sewindu
itu sangat sebentar, bukan?
Aku
masih ingin mengenalmu lebih jauh.. jauh.. jauuh lagi.
Selamat
malam, lelaki hujan.
Terimakasih
atas rasa cinta yang menyelimtiku bahkan sampai pada membran tertipisku.
Aku
akan meminta kepada dewa Neptunus agar sepanjang malam ini hujan, agar kamu dapat
tidur dengan nyaman. Di temani impian-impian tentang kita, cita dan cinta.
Selamat
malam, lelaki hujanku.
....
Surat terakhir saat berbalas puisi saat merayakan
sewindu yang kita lewati dari Disa. Aku rindu main hujan dengannya.
SELESAI.
Cerpen ini ditulis oleh Fitria
Tidak ada komentar:
Posting Komentar