... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ...

Selasa, 10 September 2013

[FF] Perayaan

“Datanglah, demi penghormatan terhadap masa lalu kita.”

Kalimat gadis di hadapannya bagaikan nyanyian kematian. Sepucuk undangan berwarna ungu dikombinasikan perak menegaskan surat pengantar kematian hati pemuda itu. Desember. Penutup tahun yang sungguh tepat dipilihnya. Segala kisah yang teramu ternyata berakhir seperti ini. Desember datang dengan gontai, meranggaskan pucuk-pucuk harapan dalam diri pemuda itu. Yang tersisa hanyalah keletihan yang tak mampu ia hadapi sendiri, seakan hidup segan mati tak mau. Sementara bagi sang gadis, Desember membawa pucuk yang akan bersemai dan berbunga. Balutan gaun pengantin nan indah, para tamu yang bersulang demi kebahagiaannya, diiringi lagu “From this moment” seperti yang dicitakan sang gadis.

“Kau akan datang, kan?”

“Aku belum tahu.”

“Aku sangat mengharapkan kedatanganmu, Adri. Berbahagialah untukku.”

Undangan.


Haruskah ia berbahagia dan menarikan tarian perayaan atas kematian hatinya? Tiba-tiba saja pemuda bernama Adri itu mengagumi segala kehancuran yang tiba-tiba dibawakan gadis di hadapannya. Desember seketika menjadi sebuah kotak hadiah yang berisikan zonk baginya. Semacam lelucon. Terdengar koor kesedihan dari ruangan lain, yang berasal dari kepalanya. Ia terseret ke dalamnya. Adri seakan berada di di sebuah gedung pertunjukan teater. Menjadi penonton satu-satunya. Tarian itu lahir tanpa iringan musik. Gadis itu menjadi pusatnya. Wajah berbinar bahagia. Senyum tak lepas dari bingkai wajahnya yang sempurna. Senyum yang telah memikatnya dahulu. Senyum yang mampu menciptakan ribuan kupu-kupu beterbangan di dalam perutnya. Pemuda itu melihat sang gadis berdiri menggandeng tangan seorang lelaki, yang seharusnya adalah dirinya, namun bukanlah dirinya. Para tamu tertawa tanpa suara. Tiada yang mengindahkan kehadirannya. Ada ataupun tiada dirinya, pertunjukan akan tetap berlangsung. Lalu ia keluar dari gedung itu, disambut jalanan yang basah karena hujan. Ia berjalan dalam diam, tanpa payung. Tubuhnya tidak basah, tapi hatinya hujan. Aah… siapa pun harus tetap melangkah walau dalam diam. Keseimbangan hidup hanya akan terjadi jika kita tetap melangkah. Seperti halnya bersepeda. Kita akan jatuh bila tak melangkahkan kaki untuk mengayuh pedal. Bergerak.

Maka tergeraklah hatinya untuk datang di 22 Desember, menghadiri perayaan kematian itu. Sang gadis tersenyum hangat melihat kehadirannya. Menyangka semua usai dengan baik, tidak ada yang perlu dicemaskan. Sementara bagi pemuda itu, waktu terhenti di tanggal 22 Desember. Ia tidak akan pernah menjadi pemuda yang sama lagi. Hingga akhir hidupnya.

Meta Morfillah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar