Stasiun Senen, Jakarta pukul enam sore
tidaklah terlalu ramai. Sandy melihat sekeliling, di setiap sudut
stasiun ada saja para penumpang dengan membawa banyak sekali bawaan.
Sandy menertawakan dirinya sendiri, Sandy hanya membawa ransel yang
entah isinya apa. Ia tidak peduli.
Sandy memeriksa kembali tiket kereta dengan tujuan Yogyakarta. Sandy akan melarikan diri dari penatnya Jakarta. Jakarta, sudah tidak senyaman dulu.
Dua puluh lima menit sebelum jadwal keberangkatan, kereta datang. Sandy mulai mencari tempat duduknya, gerbong enam dengan nomor kursi 13A.
“Ini gerbong enam, 13A, benar kan?” Sandy heran melihat kursinya sudah ada yang menduduki.
Lelaki berusia kira-kira lebih tua tiga tahun dari Sandy itu menoleh menatap Sandy, Lelaki itu tersenyum “Iya, benar. Maaf saya duduki. Tadi belum ada siapa-siapa, jadi saya duduk dulu di sini.”
Kalian pernah merasakan bagaimana rasanya nyaman membicarakan segala hal dengan seseorang yang baru saja ditemui? Begitulah.
Kereta mulai jalan perlahan, “Untuk apa perjalanan ini?” Sandy mengalihkan perhatiannya dari buku yang ia pegang dan sekarang memandang lelaki di depannya.
“Untukku? Aku ingin sebentar saja melarikan diri dari penatnya Jakarta. Bagaimana denganmu?’
“Aku rindu merindukan rasanya untuk pulang..”
“Kau beruntung,”
“Menurutmu seperti itu?
“Iya, kau dapat melakukan perjalanan dalam sebuah pencarian bagaimana rasanya rindu untuk pulang.”
“Sebuah rindu itu sebuah rasa?”
“Menurutmu?”
“Rindu itu seperti sunyi pada malam hari. Ia merasuk diam-diam, tinggal menetap dan memaksa untuk menikmatinya.”
“Kau penulis? Aku suka kalimatmu barusan..”
“Aku bercita-cita. Rasanya menyenangkan, jika banyak orang menikmati tulisan kita.”
“Sangat. Kau pasti bisa.”
“Semoga. Lalu, apa cita-citamu?”
“Aku ingin mempunyai rumah singgah. Anak-anak di manapun harus mendapatkan keceriaan dan pendidikan.”
“Kau luar biasa, niat baikmu akan diberikan jalannya. Percayalah..”
“Aku percaya. Senang bertemu denganmu. Kau percaya takdir yang mempertemukan kita? Kau bertemu dengan orang-orang baru yang menyenangkan atau bahkan menyebalkan lalu saat itu juga kau akan berpisah lagi.”
“Aku selalu menunggu pertemuan-pertemuan yang telah direncanakan oleh Tuhan. Setelah ini, jangan ucapkan selamat tinggal, karna kita tidak tahu, di waktu bagian mana Tuhan akan mempertemukan kita lagi..”
__
Di pesta pernikahan ini, mereka semua mungkin tidak dapat melihat bagaimana wajah sebenarnya sang pengantin wanita.
Sandy begitu cantik dengan gaun sederhana bewarna putihnya. Setengah jam lalu, Sandy sah menjadi Nyonya Bastian, seorang pengusaha yang baru ia kenal seminggu yang lalu.
Dengan senyum yang semoga saja tidak terlalu kelihatan dipaksakan, Sandy menerima ucapan dari para tamu undangan yang hadir. Lalu senyum Sandy hilang.
Lelaki itu.
Lelaki itu hadir di sini, di pernikahan yang tidak Sandy inginkan.
Lelaki itu berjalan mendekat, lalu Sandy mendengar bisikan dari suaminya, “Kau lihat lelaki yang berjalan itu? Dia adikku yang sering melakukan perjalanan dan jarang pulang ke rumah”
Sandy tidak menjawab apa-apa, Lelaki itu sudah ada di depannya “Hei, ini ternyata waktu yang direncanakan Tuhan akan pertemuan kita selanjutnya, bukan?” kata Lelaki itu sambil tersenyum dan memberi selamat.
Kalau bukan karena harus membayar hutang keluarga dengan pernikahan ini, Sandy mungkin tidak akan berada di sini. Sandy mencintai lelaki yang ia tak tahu namanya sejak pertemuan di kereta. Ia jatuh cinta pada adik dari seseorang yang telah menjadi suaminya.
Selesai.
Fitria
Sandy memeriksa kembali tiket kereta dengan tujuan Yogyakarta. Sandy akan melarikan diri dari penatnya Jakarta. Jakarta, sudah tidak senyaman dulu.
Dua puluh lima menit sebelum jadwal keberangkatan, kereta datang. Sandy mulai mencari tempat duduknya, gerbong enam dengan nomor kursi 13A.
“Ini gerbong enam, 13A, benar kan?” Sandy heran melihat kursinya sudah ada yang menduduki.
Lelaki berusia kira-kira lebih tua tiga tahun dari Sandy itu menoleh menatap Sandy, Lelaki itu tersenyum “Iya, benar. Maaf saya duduki. Tadi belum ada siapa-siapa, jadi saya duduk dulu di sini.”
Kalian pernah merasakan bagaimana rasanya nyaman membicarakan segala hal dengan seseorang yang baru saja ditemui? Begitulah.
Kereta mulai jalan perlahan, “Untuk apa perjalanan ini?” Sandy mengalihkan perhatiannya dari buku yang ia pegang dan sekarang memandang lelaki di depannya.
“Untukku? Aku ingin sebentar saja melarikan diri dari penatnya Jakarta. Bagaimana denganmu?’
“Aku rindu merindukan rasanya untuk pulang..”
“Kau beruntung,”
“Menurutmu seperti itu?
“Iya, kau dapat melakukan perjalanan dalam sebuah pencarian bagaimana rasanya rindu untuk pulang.”
“Sebuah rindu itu sebuah rasa?”
“Menurutmu?”
“Rindu itu seperti sunyi pada malam hari. Ia merasuk diam-diam, tinggal menetap dan memaksa untuk menikmatinya.”
“Kau penulis? Aku suka kalimatmu barusan..”
“Aku bercita-cita. Rasanya menyenangkan, jika banyak orang menikmati tulisan kita.”
“Sangat. Kau pasti bisa.”
“Semoga. Lalu, apa cita-citamu?”
“Aku ingin mempunyai rumah singgah. Anak-anak di manapun harus mendapatkan keceriaan dan pendidikan.”
“Kau luar biasa, niat baikmu akan diberikan jalannya. Percayalah..”
“Aku percaya. Senang bertemu denganmu. Kau percaya takdir yang mempertemukan kita? Kau bertemu dengan orang-orang baru yang menyenangkan atau bahkan menyebalkan lalu saat itu juga kau akan berpisah lagi.”
“Aku selalu menunggu pertemuan-pertemuan yang telah direncanakan oleh Tuhan. Setelah ini, jangan ucapkan selamat tinggal, karna kita tidak tahu, di waktu bagian mana Tuhan akan mempertemukan kita lagi..”
__
Di pesta pernikahan ini, mereka semua mungkin tidak dapat melihat bagaimana wajah sebenarnya sang pengantin wanita.
Sandy begitu cantik dengan gaun sederhana bewarna putihnya. Setengah jam lalu, Sandy sah menjadi Nyonya Bastian, seorang pengusaha yang baru ia kenal seminggu yang lalu.
Dengan senyum yang semoga saja tidak terlalu kelihatan dipaksakan, Sandy menerima ucapan dari para tamu undangan yang hadir. Lalu senyum Sandy hilang.
Lelaki itu.
Lelaki itu hadir di sini, di pernikahan yang tidak Sandy inginkan.
Lelaki itu berjalan mendekat, lalu Sandy mendengar bisikan dari suaminya, “Kau lihat lelaki yang berjalan itu? Dia adikku yang sering melakukan perjalanan dan jarang pulang ke rumah”
Sandy tidak menjawab apa-apa, Lelaki itu sudah ada di depannya “Hei, ini ternyata waktu yang direncanakan Tuhan akan pertemuan kita selanjutnya, bukan?” kata Lelaki itu sambil tersenyum dan memberi selamat.
Kalau bukan karena harus membayar hutang keluarga dengan pernikahan ini, Sandy mungkin tidak akan berada di sini. Sandy mencintai lelaki yang ia tak tahu namanya sejak pertemuan di kereta. Ia jatuh cinta pada adik dari seseorang yang telah menjadi suaminya.
Selesai.
Fitria
Tidak ada komentar:
Posting Komentar