... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ...

Selasa, 10 September 2013

Cerita dari kereta

Bahkan kau bisa merasa jatuh cinta di atas kereta yang melaju….”
Rene menyodorkan tiket dan KTP-nya kepada penjaga peron stasiun. Lelaki paruh baya itu menerimanya dengan senyum ramah. Rene membalas dengan senyum dan anggukan kecil. Setelah selesai mengecek semuanya, penjaga peron menyilakannya masuk. Setelah berterima kasih, Rene berjalan menuju ruang tunggu.
Jadwal keberangkatan keretanya masih lima belas menit lagi. Dia memilih duduk di ruang tunggu yang kursinya sudah diisi oleh beberapa orang. Untungnya jalanan Jakarta malam ini bisa bermurah hati padanya hingga tidak terlambat sampai ke Stasiun Senen.
Rene menyimpan tas pakaian yang sejak tadi dia jinjing di kursi di sampingnya. Sebuah kotak persegi panjang dia keluarkan dari dalam tasnya. Kotak dengan tinggi tak lebih dari 20 cm. kotaknya terbuat dari bahan plastik bening, dengan tali di bagian atas sebagai pegangan saat kotak itu dijinjing.
Dengan mata berbinar Rene memandangi lima buah boneka teddy bear di dalam kotak itu. Boneka beruang—yang sejak pertama kali dilihatnya di toko boneka kemarin, sudah membuatnya jatuh cinta dan tak berpikir lama untuk membelinya—dengan berbagai pernak-pernik di tubuhnya. Ada yang memegang kukis, memakai topi warna-warni, dan ada pula yang memakai baju penutup warna merah muda.

Lamunan gadis 20 tahun itu terhenti saat mendengar pemberitahuan dari pengeras suara bahwa Kereta Senja Utama tujuan Solo sudah datang. Rene segera bangkit dan mengambil tas pakaiannya. Kotak bonekanya tak dimasukkan ke tas, melainkan dijinjing. Dia berjalan menyusuri peron menuju gerbong kereta, lalu mencari kursinya.
Gerbong 1, kursi 2A. Setelah menyimpan tas barangnya, Rene mengempaskan tubuh di kursi kereta berpendingin ini. Kereta akan berangkat pukul 9 malam dan kemungkinan sampai di Solo pukul 5 pagi. Rene mengeluarkan mp3 player dari saku bajunya. Seketika Insomnia milik Efek Rumah Kaca mengalun dari earphone-nya.
Sepertinya malam ini aku akan tidur sampai Solo nanti. Tidak ada hal menarik di kereta ini yang akan membuatku insomnia. Rene menggumam dalam hati saat mendengar bait-bait lagunya.
Dia melirik ke bangku di sebelahnya. Masih kosong. Dalam hati dia berharap mendapatkan ‘teman jalan’ yang menyenangkan. Setidaknya temannya nanti tidak suka menjatuhkan kepala di bahunya saat tidur.
Rene baru saja ingin mengistirahatkan matanya sebentar ketika tiba-tiba ada gerakan di sampingnya. Dia lalu membuka mata berniat melihat seperti apa teman perjalanannya ini. Seorang lelaki muda, berkaca mata, tinggi, dengan kulit coklat bersih. Rene terkesiap menemukan pemandangan indah yang akan menemani perjalanannya. Dia rela kalau-kalau lelaki ganteng ini tertidur di bahunya, nanti, selama perjalanan.
Lelaki di sampingnya melirik dan tersenyum tipis ke arahnya. Rene masih terkesima dengan lelaki berkemeja putih garis-garis itu. Menurut pandangan Rene, lelaki di sampingnya berusia sekitar 25-27 tahun. Dari cara berbicaranya dengan kondektur yang barusan lewat, sepertinya dia orang Solo juga. Sama sepertinya. Rene bersorak girang dalam hati. Ada kemungkinan dia bisa bertemu lagi dengan orang ini nanti.
“Kuliah di Jakarta ya, Mas?” Rena berusaha tampak sebiasa mungkin, meskipun sempat dia mendapati suaranya sedikit bergetar saking gugupnya.
“Ndak kok, saya cuma ada urusan di sini. Saya kuliah S2 di Semarang, tapi sedang cuti.”
Mulut Rene membentuk huruf o. “Sama dong, Mas. Saya juga di Jakarta hanya jalan-alan saja. Hehehe—”
Rene melihat lelaki itu mengeluarkan sebuah buku dari ranselnya. Buku tentang Arsitektur. Lagi-lagi Rene takjub. Lelaki ini kemungkinan seorang arsitek. Wah, wah, Rene makin tertarik ingin berkenalan dengan teman seperjalanannya ini.
“Kamu namanya siapa?” Baru saja Rene ingin bertanya hal yang sama, tiba-tiba lelaki berkaca mata menutup bukunya sebentar lalu meliriknya.
“Rene—”
Lelaki itu menyambut uluran tangan Rene dengan senyum yang masih saja memikat remaja yang beranjak dewasa itu. “Agus ….”

*Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar