“Bahkan kau bisa merasa jatuh cinta di atas kereta yang melaju….”
Rene menyodorkan tiket dan KTP-nya kepada penjaga peron stasiun.
Lelaki paruh baya itu menerimanya dengan senyum ramah. Rene membalas
dengan senyum dan anggukan kecil. Setelah selesai mengecek semuanya,
penjaga peron menyilakannya masuk. Setelah berterima kasih, Rene
berjalan menuju ruang tunggu.
Jadwal keberangkatan keretanya masih lima belas menit lagi. Dia
memilih duduk di ruang tunggu yang kursinya sudah diisi oleh beberapa
orang. Untungnya jalanan Jakarta malam ini bisa bermurah hati padanya
hingga tidak terlambat sampai ke Stasiun Senen.
Rene menyimpan tas pakaian yang sejak tadi dia jinjing di kursi di
sampingnya. Sebuah kotak persegi panjang dia keluarkan dari dalam
tasnya. Kotak dengan tinggi tak lebih dari 20 cm. kotaknya terbuat dari
bahan plastik bening, dengan tali di bagian atas sebagai pegangan saat
kotak itu dijinjing.
Dengan mata berbinar Rene memandangi lima buah boneka teddy bear di
dalam kotak itu. Boneka beruang—yang sejak pertama kali dilihatnya di
toko boneka kemarin, sudah membuatnya jatuh cinta dan tak berpikir lama
untuk membelinya—dengan berbagai pernak-pernik di tubuhnya. Ada yang
memegang kukis, memakai topi warna-warni, dan ada pula yang memakai baju
penutup warna merah muda.
Lamunan gadis 20 tahun itu terhenti saat mendengar pemberitahuan dari
pengeras suara bahwa Kereta Senja Utama tujuan Solo sudah datang. Rene
segera bangkit dan mengambil tas pakaiannya. Kotak bonekanya tak
dimasukkan ke tas, melainkan dijinjing. Dia berjalan menyusuri peron
menuju gerbong kereta, lalu mencari kursinya.
Gerbong 1, kursi 2A. Setelah menyimpan tas barangnya, Rene
mengempaskan tubuh di kursi kereta berpendingin ini. Kereta akan
berangkat pukul 9 malam dan kemungkinan sampai di Solo pukul 5 pagi.
Rene mengeluarkan mp3 player dari saku bajunya. Seketika Insomnia milik Efek Rumah Kaca mengalun dari earphone-nya.
Sepertinya malam ini aku akan tidur sampai Solo nanti. Tidak ada hal menarik di kereta ini yang akan membuatku insomnia. Rene menggumam dalam hati saat mendengar bait-bait lagunya.
Dia melirik ke bangku di sebelahnya. Masih kosong. Dalam hati dia
berharap mendapatkan ‘teman jalan’ yang menyenangkan. Setidaknya
temannya nanti tidak suka menjatuhkan kepala di bahunya saat tidur.
Rene baru saja ingin mengistirahatkan matanya sebentar ketika
tiba-tiba ada gerakan di sampingnya. Dia lalu membuka mata berniat
melihat seperti apa teman perjalanannya ini. Seorang lelaki muda,
berkaca mata, tinggi, dengan kulit coklat bersih. Rene terkesiap
menemukan pemandangan indah yang akan menemani perjalanannya. Dia rela
kalau-kalau lelaki ganteng ini tertidur di bahunya, nanti, selama
perjalanan.
Lelaki di sampingnya melirik dan tersenyum tipis ke arahnya. Rene
masih terkesima dengan lelaki berkemeja putih garis-garis itu. Menurut
pandangan Rene, lelaki di sampingnya berusia sekitar 25-27 tahun. Dari
cara berbicaranya dengan kondektur yang barusan lewat, sepertinya dia
orang Solo juga. Sama sepertinya. Rene bersorak girang dalam hati. Ada
kemungkinan dia bisa bertemu lagi dengan orang ini nanti.
“Kuliah di Jakarta ya, Mas?” Rena berusaha tampak sebiasa mungkin,
meskipun sempat dia mendapati suaranya sedikit bergetar saking gugupnya.
“Ndak kok, saya cuma ada urusan di sini. Saya kuliah S2 di Semarang, tapi sedang cuti.”
Mulut Rene membentuk huruf o. “Sama dong, Mas. Saya juga di Jakarta hanya jalan-alan saja. Hehehe—”
Rene melihat lelaki itu mengeluarkan sebuah buku dari ranselnya. Buku
tentang Arsitektur. Lagi-lagi Rene takjub. Lelaki ini kemungkinan
seorang arsitek. Wah, wah, Rene makin tertarik ingin berkenalan dengan
teman seperjalanannya ini.
“Kamu namanya siapa?” Baru saja Rene ingin bertanya hal yang sama,
tiba-tiba lelaki berkaca mata menutup bukunya sebentar lalu meliriknya.
“Rene—”
Lelaki itu menyambut uluran tangan Rene dengan senyum yang masih saja memikat remaja yang beranjak dewasa itu. “Agus ….”
*Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar