"Aduh!" Ia meringis
menahan sakit, kemudian membungkuk untuk membekap telapaknya agar darah tak
lagi mengucur. Ia kembali menegakkan badannya dan berjalan berjinjit melewati
kerikil-kerikil jahat yang tak pernah bersikap baik pada telapaknya.
Ia meletakkan ranting-ranting kayu
yang sedari tadi digendongnya. Bergegas menuju kiwan*, buru-buru membasuh darah
yang sudah sedikit mengering pada telapaknya.
Ia tak memiliki anak. Suaminya
mandul. Kini, suaminya sakit-sakitan, hanya bisa terbaring menungguinya pulang
dengan secangkir kopi dan singkong rebus disamping dipan*nya. Sesekali ia
mengganti menu singkong rebus dengan pisang goreng yang digoreng tanpa tepung.
Ia duduk disamping ranjang suaminya,
mengganti piring kosong dengan piring baru berisi singkong rebus.
Mata suaminya tak lepas dari telapak
kakinya yang dibungkus kain seadanya. Seolah matanya berkata, "kakimu
kenapa?"
"Tadi terkena kerikil tajam, sudah, tidak apa-apa." Jawabnya.
Ia selalu bisa membaca mata
suaminya.
Suaminya mengangguk pelan, dan mengalihkan pandangan ke lain arah.
Suaminya mengangguk pelan, dan mengalihkan pandangan ke lain arah.
"Yasudah, saya ke depan dulu,
mau jemur ranting."
***
Sudah berpuluh tahun suaminya
terbaring lemah tanpa bisa apa-apa. Kalau mau, sudah ia tinggalkan suaminya
untuk mencari kehidupan yang lebih enak. Tapi, hatinya menahannya untuk tetap
tinggal disana, bersama suami tercintanya. Meski ia tahu, kehidupan yang
semakin sulit akan menghadangnya didepan sana.
Sudah sejak 15tahun yang lalu
penyakit yang diderita suaminya tak kunjung membaik, begitu-begitu saja setiap
hari. Selain tak punya biaya, juga karena tempat tinggalnya yang terpelosok.
Dusun kecil di salah satu kota kecil di Jogjakarta. Disana tak ada alat medis
yang memadai, hanya ada sebuah puskesmas kecil yang jam buka nya pun tak tentu.
Ada yang bilang kalau penyakit suaminya itu penyakit tua. Entahlah...
Baginya, meski Ia tak pernah
kemana-mana tapi perjalanan hidupnya telah mengalahkan seseorang yang telah
mengelilngi dunia sekalipun.
Ia lelah, sangat lelah. Tapi,
melihat wajah suaminya seakan segala macam lelah dari ujung rambut hingga ujung
kaki rasa-rasanya tak berarti. Luruh begitu saja.
Di onggokan jalan lengang, di
tumpuan gubuk yang malang, lara telah sama besar dengan cinta.
Semarang, 29 Juli 2013
Kiwan = dapur + kamar mandi
Dipan = tempat tidur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar