Jakarta, 29 Mei 2013
Salam!
Kepada kalian pewaris peradaban,
Selamat siang. Surat ini kubuat setelah istirahat makan siang. Di sela kesibukanku bekerja. Kau tahu, ini project aneh bagiku. Menulis surat bertemakan pendidikan, mengeluarkan semua uneg-unegku dalam 1000 kata. Lantas, selanjutnya.. apakah akan didengarkan keluhanku? Apa follow-up lanjutannya? Kepada siapa tepatnya surat ini kutujukan? Pada bapak presiden? Aah… beliau sudah terlalu sibuk memikirkan negeri ini, siapalah aku? Hingga suratku HARUS ia baca. Kepada bapak menteri pendidikan? Aduuh… janganlah diganggu pula, tugasnya begitu berat. Mencerdaskan anak bangsa, itu tidak mudah, Kawan. Kepada bapak dirjen Dikti? Kepada rektor? Kepada dekan? Kepada dosen? Kepada guru? Kepada guru mengaji? Kepada ayah dan ibu? Aah… mereka semua sudah terlalu dipusingkan oleh hal lain yang lebih besar.
Ya sudahlah,,, aku pilih kalian saja. Ya… kalian yang sadar dan mencintai peradaban. Peradaban yang madani, yang lahir dari sebuah proses pendidikan yang baik. Peradaban yang kita rindukan namun belum kita maksimalkan untuk menggapainya. Hanya sekadar pengen. Yaa… kurasa itulah permasalahan kita sedari dulu. Terlalu jauhnya realita dan asa. Seakan segala teori itu hanyalah utopia. Benarkah begitu? Tapi… tapi.. aku lihat masih banyak manusia yang idealis dan berhasil mewujudkan mimpinya yang dianggap terlalu bias. Kok bisa ya? Hmm….
Apa saja sih masalah pendidikan? Beuh… banyak, Met! Mengenai infrastruktur, tes evaluasi (UN), kurangnya guru yang berkompeten, pendidikan karakter yang belum terinternalisasi dengan benar, role model yang masih acak-adut (Ya kali, mau anaknya baik, yang mengajarnya saja kelakuannya bejat, suka korupsi waktu, dll), dan masih banyak seabreg masalah lainnya.
Tapi…sesungguhnya, apa MASALAH DASAR pendidikan di Indonesia ini? Bagaimana menurutmu, kawan? Kalau menurutku, masalah dasarnya adalah internalisasi nilai kepercayaan yang dianut. Yaa… coba saja jikalau anak-anak kita dididik dasar agama yang kuat, dan itu menginternalisasi hingga ke pribadinya dewasa. Maka itulah yang akan melekat sebagai jiwa karakternya. Permasalahan lain akan selesai dengan sendirinya, bila karakter mereka sesuai dengan nilai-nilai kepercayaan yang luhur. Contohnya, bila kita berbicara tentang infrastruktur.
Infrastruktur biasanya tidak merata, bukan karena kurangnya dana. Melainkan karena PENYAMPAIAN dana yang tidak tepat, atau habis dipotong pungli sana-sini. Aku berani berkata begini, karena saudaraku yang bekerja di Kementerian Pendidikan sana memberikan fakta pekerjaannya yang terkait “uang basah” ini.
Ah.. sungguh kapiran urusan ini, kawan. Aku hanya malu. Menuntut sesuka hati, berteori sepanjang hari. Sedang sesungguhnya, aku pun bukanlah guru ataupun tenaga pendidik yang benar dan baik. Dua tahun mengajar di homeschooling, aku hanya mampu “menemani” dan mencoba “menumbuhkan” rasa bahwa belajar itu bukanlah beban. Belajar itu adalah suatu kebutuhan, tak perlu dibawa risau.
Mencintai proses pembelajaran, bukan sekadar nilai. Tapi… itu hanya sebatas upayaku. Bolehlah kau tanyakan pada murid-muridku, guru macam apalah aku ini. Maka, membicarakan tema pendidikan ini.. tak urung aku merasa “menampar” diriku sendiri. Sarjana pendidikan yang belum mampu mendidik dengan benar. Sarjana pendidikan yang “lari” dari kenyataan dan memilih bekerja di lembaga training (pendidikan orang dewasa), karena menyadari bahwa mendidik manusia sedari kecil itu sulit. Membentuk karakter dari dini itu sulit. Walaupun tidak mungkin, memang. Dalam angan, kadang aku terbayang sosok mereka perintis rumah 1000 malaikat ataupun Oemar Bakrie, Ibu Muslimah, dan pengajar lain yang tak tersebut, namun jasanya begitu besar.
Lantas… apa yang akan kita lakukan?
Apa perbaikan yang dapat kita berikan?
Apa manfaatku bagi negeri ini?
Dapatkah kita jawab bersama, kawan?
Di sebuah pemikiran.
Salam,
Meta morfillah
Salam!
Kepada kalian pewaris peradaban,
Selamat siang. Surat ini kubuat setelah istirahat makan siang. Di sela kesibukanku bekerja. Kau tahu, ini project aneh bagiku. Menulis surat bertemakan pendidikan, mengeluarkan semua uneg-unegku dalam 1000 kata. Lantas, selanjutnya.. apakah akan didengarkan keluhanku? Apa follow-up lanjutannya? Kepada siapa tepatnya surat ini kutujukan? Pada bapak presiden? Aah… beliau sudah terlalu sibuk memikirkan negeri ini, siapalah aku? Hingga suratku HARUS ia baca. Kepada bapak menteri pendidikan? Aduuh… janganlah diganggu pula, tugasnya begitu berat. Mencerdaskan anak bangsa, itu tidak mudah, Kawan. Kepada bapak dirjen Dikti? Kepada rektor? Kepada dekan? Kepada dosen? Kepada guru? Kepada guru mengaji? Kepada ayah dan ibu? Aah… mereka semua sudah terlalu dipusingkan oleh hal lain yang lebih besar.
Ya sudahlah,,, aku pilih kalian saja. Ya… kalian yang sadar dan mencintai peradaban. Peradaban yang madani, yang lahir dari sebuah proses pendidikan yang baik. Peradaban yang kita rindukan namun belum kita maksimalkan untuk menggapainya. Hanya sekadar pengen. Yaa… kurasa itulah permasalahan kita sedari dulu. Terlalu jauhnya realita dan asa. Seakan segala teori itu hanyalah utopia. Benarkah begitu? Tapi… tapi.. aku lihat masih banyak manusia yang idealis dan berhasil mewujudkan mimpinya yang dianggap terlalu bias. Kok bisa ya? Hmm….
Apa saja sih masalah pendidikan? Beuh… banyak, Met! Mengenai infrastruktur, tes evaluasi (UN), kurangnya guru yang berkompeten, pendidikan karakter yang belum terinternalisasi dengan benar, role model yang masih acak-adut (Ya kali, mau anaknya baik, yang mengajarnya saja kelakuannya bejat, suka korupsi waktu, dll), dan masih banyak seabreg masalah lainnya.
Tapi…sesungguhnya, apa MASALAH DASAR pendidikan di Indonesia ini? Bagaimana menurutmu, kawan? Kalau menurutku, masalah dasarnya adalah internalisasi nilai kepercayaan yang dianut. Yaa… coba saja jikalau anak-anak kita dididik dasar agama yang kuat, dan itu menginternalisasi hingga ke pribadinya dewasa. Maka itulah yang akan melekat sebagai jiwa karakternya. Permasalahan lain akan selesai dengan sendirinya, bila karakter mereka sesuai dengan nilai-nilai kepercayaan yang luhur. Contohnya, bila kita berbicara tentang infrastruktur.
Infrastruktur biasanya tidak merata, bukan karena kurangnya dana. Melainkan karena PENYAMPAIAN dana yang tidak tepat, atau habis dipotong pungli sana-sini. Aku berani berkata begini, karena saudaraku yang bekerja di Kementerian Pendidikan sana memberikan fakta pekerjaannya yang terkait “uang basah” ini.
Ah.. sungguh kapiran urusan ini, kawan. Aku hanya malu. Menuntut sesuka hati, berteori sepanjang hari. Sedang sesungguhnya, aku pun bukanlah guru ataupun tenaga pendidik yang benar dan baik. Dua tahun mengajar di homeschooling, aku hanya mampu “menemani” dan mencoba “menumbuhkan” rasa bahwa belajar itu bukanlah beban. Belajar itu adalah suatu kebutuhan, tak perlu dibawa risau.
Mencintai proses pembelajaran, bukan sekadar nilai. Tapi… itu hanya sebatas upayaku. Bolehlah kau tanyakan pada murid-muridku, guru macam apalah aku ini. Maka, membicarakan tema pendidikan ini.. tak urung aku merasa “menampar” diriku sendiri. Sarjana pendidikan yang belum mampu mendidik dengan benar. Sarjana pendidikan yang “lari” dari kenyataan dan memilih bekerja di lembaga training (pendidikan orang dewasa), karena menyadari bahwa mendidik manusia sedari kecil itu sulit. Membentuk karakter dari dini itu sulit. Walaupun tidak mungkin, memang. Dalam angan, kadang aku terbayang sosok mereka perintis rumah 1000 malaikat ataupun Oemar Bakrie, Ibu Muslimah, dan pengajar lain yang tak tersebut, namun jasanya begitu besar.
Lantas… apa yang akan kita lakukan?
Apa perbaikan yang dapat kita berikan?
Apa manfaatku bagi negeri ini?
Dapatkah kita jawab bersama, kawan?
Di sebuah pemikiran.
Salam,
Meta morfillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar