Hari sudah berganti (lagi). Perasaanku,
kemarin baru hari senin, tapi sekarang tiba-tiba sudah hari sabtu. Apa
aku bermimpi? Atau waktu yang begitu cepat berlalu?. Aku selalu
menyimpan tanya dalam hati, waktu itu apa? Bentuknya seperti apa?
Bagaimana dia bisa hadir di tengah-tengan kita tapi dia tak terlihat?
Apakah dia sejenis hantu?
Waktu, wujudnya tak pernah tampak oleh mata tapi kehadirnnya kadang bisa dirasakan, kadang tidak. Ketika pelajaran di kelas terasa membosankan, bunyi bel jam istirahat terasa begitu lambat berbunyi. Saat istirahat, mengapa jam masuk kelas begitu cepat. Dan terus begitu dan berulang. Apakah itu waktu? Apa benar dia itu waktu? Aku masih belum benar-benar tahu. Yang aku simpulkan, hanya ada ‘waktu yang membosankan’ dan ‘waktu yang menyenangkan’. Dua-duanya bisa membuat kita terlena.
***
Setiap hari minggu datang, ayah selalu mengajakku pergi meninggalkan rumah. Kita sering pergi bertiga. Tapi belakangan ini ibu sering sakit, kondisinya tak sesehat dulu. Jadi kami lebih sering pergi berdua. Ibu yang melahirkan dan mengajarkanku tentang dunia, ayah yang mengenalkanku pada dunia, melihat begitu indahnya ciptaan tuhan, serta lika-liku kehidupan. Mereka berdua adalah pencerita serta guru terbaik.
“Siap mengelilingi waktu bersama ayah Lywa?”
Hari ini kita akan ke Jakarta menggunakan kereta. Kami berangkat dari rumah pagi sekali, matahari belum menampakan wujudnya. Burung belum ada yang bernyanyi, embun sudah membasahi dedaunan di taman rumah, ayam-ayam sudah berkokok menjelang adzan shubuh tadi. Kami berpamitan pada ibu dan berlalu pergi.
Tak perlu waktu lama, kami sudah sampai di stasiun. Jalanan bogor tak seramai dan juga tak semacet jalan Jakarta. Tiket sudah di pegang ayah, tidak seperti biasanya, kereta tak datang tepat waktu.
“Ayah mengapa waktu sering membuat kita menunggu?”
“Anakku, waktu tak pernah membuat kita menunggu, tapi kita yang sering bermain-main dengan waktu, sehingga kita seolah-olah dipermaikan olehnya.”
“Maksudnya ayah?”
“Kita masing-masing di berikan waktu 24 jam dalam sehari. Apakah sudah kita pergunakan dengan baik? Atau hanya di pergunakan untuk kesia-siaan? Ingat anakku, ‘bukan waktu yang berlalu begitu cepat atau lambat’ tapi kita yang menjalaninya. Suatu saat waktu akan menjawab semua pertanyaanmu lewat jalan yang tak terduga-duga.”
Ayah menuntunku naik ke dalam kereta dan duduk. Lalu dia izin keluar untuk membeli makanan dan minuman untuk bekal kita diperjalanan. Tidak beberapa lama kereta sudah mulai jalan, tapi ayah tak kunjung datang. Aku panik dan bertanya-tanya, cemas menghantui pikiranku. Aku memcoba melihat ke jendela, ayah sedang berlari mengejar kereta sambil memegang dadanya, asmanya kambuh. Ia sudah berpegangan pada pintu, tapi tangannya melemah. Dia tergelatak dan tertinggal kereta.
“Ayaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhh.”
***
Ayah pergi untuk selamanya. Waktu perlahan menjawab pertanyaan-pertanyaanku lewat kejadian-kejadian yang aku alami. Yang jelas perjalanan [akan] berakhir dengan banyak cerita, waktu hantarkan pelajaran demi pelajaran lewat detik, menit dan jam yang terus berjalan. Perjalanan hidup ayah sudah berakhir. Mungkin besok aku menyusul? Aku tidak tahu kapan waktuku berakhir, yang jelas waktu itu sama seperti rezeki, sama-sama misteri yang tidak bisa di tebak manusia. Tugasku adalah mempersiapkan akhir perjalananku dengan memastikan setiap perbuatan dan langkahku bernilai kebaikan. Sebaik-baiknya bekal menghadapi kematian adalah amal kebaikan.
FF ini ditulis oleh Djamall
Waktu, wujudnya tak pernah tampak oleh mata tapi kehadirnnya kadang bisa dirasakan, kadang tidak. Ketika pelajaran di kelas terasa membosankan, bunyi bel jam istirahat terasa begitu lambat berbunyi. Saat istirahat, mengapa jam masuk kelas begitu cepat. Dan terus begitu dan berulang. Apakah itu waktu? Apa benar dia itu waktu? Aku masih belum benar-benar tahu. Yang aku simpulkan, hanya ada ‘waktu yang membosankan’ dan ‘waktu yang menyenangkan’. Dua-duanya bisa membuat kita terlena.
***
Setiap hari minggu datang, ayah selalu mengajakku pergi meninggalkan rumah. Kita sering pergi bertiga. Tapi belakangan ini ibu sering sakit, kondisinya tak sesehat dulu. Jadi kami lebih sering pergi berdua. Ibu yang melahirkan dan mengajarkanku tentang dunia, ayah yang mengenalkanku pada dunia, melihat begitu indahnya ciptaan tuhan, serta lika-liku kehidupan. Mereka berdua adalah pencerita serta guru terbaik.
“Siap mengelilingi waktu bersama ayah Lywa?”
Hari ini kita akan ke Jakarta menggunakan kereta. Kami berangkat dari rumah pagi sekali, matahari belum menampakan wujudnya. Burung belum ada yang bernyanyi, embun sudah membasahi dedaunan di taman rumah, ayam-ayam sudah berkokok menjelang adzan shubuh tadi. Kami berpamitan pada ibu dan berlalu pergi.
Tak perlu waktu lama, kami sudah sampai di stasiun. Jalanan bogor tak seramai dan juga tak semacet jalan Jakarta. Tiket sudah di pegang ayah, tidak seperti biasanya, kereta tak datang tepat waktu.
“Ayah mengapa waktu sering membuat kita menunggu?”
“Anakku, waktu tak pernah membuat kita menunggu, tapi kita yang sering bermain-main dengan waktu, sehingga kita seolah-olah dipermaikan olehnya.”
“Maksudnya ayah?”
“Kita masing-masing di berikan waktu 24 jam dalam sehari. Apakah sudah kita pergunakan dengan baik? Atau hanya di pergunakan untuk kesia-siaan? Ingat anakku, ‘bukan waktu yang berlalu begitu cepat atau lambat’ tapi kita yang menjalaninya. Suatu saat waktu akan menjawab semua pertanyaanmu lewat jalan yang tak terduga-duga.”
Ayah menuntunku naik ke dalam kereta dan duduk. Lalu dia izin keluar untuk membeli makanan dan minuman untuk bekal kita diperjalanan. Tidak beberapa lama kereta sudah mulai jalan, tapi ayah tak kunjung datang. Aku panik dan bertanya-tanya, cemas menghantui pikiranku. Aku memcoba melihat ke jendela, ayah sedang berlari mengejar kereta sambil memegang dadanya, asmanya kambuh. Ia sudah berpegangan pada pintu, tapi tangannya melemah. Dia tergelatak dan tertinggal kereta.
“Ayaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhh.”
***
Ayah pergi untuk selamanya. Waktu perlahan menjawab pertanyaan-pertanyaanku lewat kejadian-kejadian yang aku alami. Yang jelas perjalanan [akan] berakhir dengan banyak cerita, waktu hantarkan pelajaran demi pelajaran lewat detik, menit dan jam yang terus berjalan. Perjalanan hidup ayah sudah berakhir. Mungkin besok aku menyusul? Aku tidak tahu kapan waktuku berakhir, yang jelas waktu itu sama seperti rezeki, sama-sama misteri yang tidak bisa di tebak manusia. Tugasku adalah mempersiapkan akhir perjalananku dengan memastikan setiap perbuatan dan langkahku bernilai kebaikan. Sebaik-baiknya bekal menghadapi kematian adalah amal kebaikan.
FF ini ditulis oleh Djamall
Tidak ada komentar:
Posting Komentar