... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ... Selamat datang di blog GenkBooks, Selamat menikmati karya-karya kami ...

Kamis, 29 Agustus 2013

[FF] Perjalanan

Bapakku nomor satu di dunia. Dengan sepeda onthellnya, dia mengantarkanku ke mana pun aku suka. Berdua kami membaca awan di langit, melihat pacet menggelantung di kaki petani, menertawakan siput yang kalah cepat dengan semut, dan hal lainnya.
Berbeda dengan ibuku yang sakit-sakitan, bapak lebih sering menemaniku. Tak pernah absen mengajakku bepergian.
“Bapak mau ke mana?”
“Ibu sakit. Harus ke dokter, Bapak mau antar. Kamu jaga rumah, ya, Nduk.
Aku mengangguk patuh. Beberapa hari ini ibu terlihat semakin parah dengan sakitnya. Malam yang menggigit seringkali menyebabkan batuknya semakin kencang. Bahkan kudapati saputanganku yang dipinjamnya berlumuran bercak darah.
**
Sebulan sudah bapak bolak-balik ke rumah sakit tempat ibu dirawat. Aku selalu ikut menemani bapak ke rumah sakit, sepulang sekolah. Namun aku tak bertemu dengan ibu. Dilarang sama dokter karena umurku masih sebelas tahun. Takut menular katanya.
“Besok kamu ndak usah ikut, ya, Nduk.”
“Kenapa?”
“Biar bapak sendiri saja yang pergi. Kamu jaga rumah saja ya, jangan nakal.”
Aku kembali mengangguk patuh. Diam dan menelan kekecewaan karena tak disertakan dalam perjalanan bapak.
**
Dari depan gang rumahku, sudah terpasang bendera kuning. Tiba di depan rumah, rumahku telah disesaki oleh tetangga dan orang yang tak kukenal. Mak Ipin, tukang urut di kampung memelukku.
“Yang tabah, ya, Nduk. Urus ibumu dengan baik, jangan nakal.”
Aku menggangguk sembari menahan napas menghirup bau tubuh Mak Ipin yang kurang sedap. Kulihat ibu terbaring lemah di dipan. Tangannya yang tampak seperti tulang belulang memegangi saputangan, menutupi mulutnya, matanya berair. Di lantai bawah terbaring tubuh bapak, tersenyum dan bau kemenyan menguar dari tubuhnya.
Kali ini bapak pergi sendirian, tanpa mengajakku. Untuk pertama kalinya bapak absen.
**


meta morfillah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar