Selamat malam…. Apa kabarmu hari ini, Pak? Maafkan aku yang telah
lama tak mengunjungimu, bahkan menulis surat padamu aku tak pernah lagi.
Ketika aku menuliskan surat ini mungkin engkau sedang tertidur. Bukan
mungkin, tapi kau sudah tertidur, tertidur untuk selamanya di alam sana.
Saat itu 58 tahun dan kau tetap tak pernah letih setiap pagi dengan
kakimu yang semakin hari semakin ringkih mengayuh sepeda belasan kilo
dan harus turun beberapa kali ketika melewati jembatan yang hanya
menggunakan batang kelapa. Belasan kilo itu menjadi dua kali lipat
ketika kau kembali mengayuh sepeda onthel itu menuju peraduanmu
di siang hari. Peraduan yang sebenarnya hanya merupakan rumah papan
dengan atap rumbia yang bahkan saat hujanpun air akan merembes masuk ke
dalam rumah.
Tapi itulah kau, kau yang bahagia dengan kesederhanaanmu. Kau yang
setiap pagi menyapa kami dengan tawamu, yang selalu memulai kelas dengan
cerita-cerita penuh kearifan darimu. Kau yang dipenghujung pensiunmu
malah kembali memilih kelas rendah untuk kau ajar. Kau ajarkan kami
menulis, berhitung, dan juga hal yang paling ku benci, bernyanyi. Ya,
bagiku bernyanyi adalah cuma buat anak TK. Bukan buatku yang sudah
berseragam merah-putih.
Kaupun tak pernah mengeluh ketika harus sabar melerai kami yang
bertengkar karena hal sepele. Pertengkaran yang hanya kan berakhir jika
salah satu diantara kami menangis tentunya. Rasa jijik pun tak ada,
dengan telatennya kau mengangkat hajat dari salah seorang teman kami
yang dengan lugunya eek di bangkunya.
Melalui surat ini aku ingin menyampaikan terima kasih atas ketulusan
dan kesabaran membimbingku dan teman teman. Tanpamu, belum tentu aku
bisa menjadi seperti saat ini. Aku begitu menyesal tak bisa menyampaikan
ucapan terima kasihku secara langsung. Karena tepat seminggu sebelum
penaikan kelas, kau meninggalkan kami untuk selama-lamanya.
Masih kuingat 18 Juni 1997, pagi itu mendung menyelimuti desa, hujan
rintik jatuh membasahi tanah yang kering. Langit pun ikut menangisi
kepergianmu pagi itu. Aku dan teman teman yang sedang asyik bermain di
koridor sekolah mendengar kabar tersebut. Kau pergi karena kanker yang
menggerogotimu. Kanker yang sudah bersemayam di dalam tubuhmu selama 12
tahun. Saat itu aku belum tau apa itu kanker, yang aku tahu hanyalah aku
tak akan melihat senyummu, aku yang tak akan mendengar lagi ceritamu,
dan aku yang tak akan lagi mendapat nilai 100 darimu.
16 tahun berlalu, doaku masih sama seperti dahulu… Semoga Allah
memasukkan mu kedalam golongan yang akan menikmati surga-Nya. Aamiin
Surabaya, 26 Mei 2013
~muridmu yang paling ndablek~
Surat Pendidikan ini ditulis oleh Chalriz
Tidak ada komentar:
Posting Komentar